Rose, nama itu terus menggaung dalam kepala Altair sepanjang hari. Ia ingat Rose adalah ibu Ruly, jika cerita Bi Sumi adalah sebuah kebenaran apakah putra yang ditawan itu adalah Ruly? Bagaimana ia selamat dari tangan Felicia? Apa yang diberikan Rose hingga ia bisa menyelamatkan putranya?
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Altair menekan tombol kecil di telepon mejanya. "Panggil Ruly ke ruanganku," ujarnya.
Pria itu muncul dalam hitungan detik, menutup pintu rapat-rapat di belakangnya dengan sangat hati-hati. Altair sangat jarang memanggilnya, hanya saat Vipera tidak ada ia akan dipanggil. Karena itu hari ini ia datang dengan sedikit khawatir, cemas jika ia telah melakukan kesalahan yang merugikan perusahaan.
"Duduklah," ujar Altair ketika Ruly berdiri kaku di depannya. Seraya menggumamkan terima kasih, ia duduk dan menatap Altair.
"Ah, sepertinya kau terkejut aku memanggilmu?" ujar Altair, sedikit tersenyum agar Ruly tidak terlalu cemas.
"Biasanya Anda hanya akan memanggil saya jika Vip tidak datang," sahut Ruly.
"Aku tidak ingin bertanya tentang pekerjaan," sahut Altair. Tersenyum samar ketika melihat wajah Ruly yang khawatir berubah menjadi lebih rileks. "Kau bilang, ibumu dulu adalah sekretaris ibunya Vipera?"
Tatapan tajam Altair membuat Ruly mengangguk seketika.
"Ceritakan padaku, apakah kau adalah putra yang ditawan Felicia?"
"Bagaimana Anda mengetahui hal itu?" tanya Ruly terkejut. Kejadian itu adalah rahasia yang hanya diketahui Afon, Felicia dan keluarganya. Bahkan Vipera tidak pernah mengetahui hal itu, apalagi saat itu mereka masih kanak-kanak.
"Kau tidak perlu tahu sumberku. Ceritakan saja," jawab Altair tegas.
Ruly memperbaiki duduknya, meluruskan punggung lebih sempurna.
Flashback On
Felicia mendatangi Rose yang berkemas di ruang kerjanya, wanita itu menata seluruh barang pribadinya ke dalam sebuah kotak. Barang terakhir yang ia masukkan ke dalam kotak transparan itu adalah foto Zelene yang biasa selalu terpajang di sudut mejanya. Foto dalam ukuran kecil dengan pigura cantik yang dibuat Zelene sendiri saat mereka berkunjung ke sebuah pantai. Berhiaskan kulit kerang dari berbagai ukuran.
"Kau benar-benar akan pergi?" suara Felicia membuat Rose mengangkat kepala dan menyusut air mata perlahan.
"Nyonya Zelene sudah tidak ada, perusahaan yang beliau bangun sejak lama pun sudah tidak ada. Saya tidak punya alasan untuk bertahan," ujar Rose seraya menegakkan bahu. Berusaha sekuat tenaga menyimpan kebenciannya pada perempuan cantik yang menatap dengan angkuh itu.
"Kau bisa bekerja padaku," ujar Felicia seraya berjalan mendekat. Menatap Rose dengan tatapan mengintimidasi. "Kau harus bekerja padaku karena kau adalah sekretaris Zelene. Kau orang yang paling mengetahui semua hal tentang perusahaan. Jelas, aku tidak akan melepaskanmu."
Ucapan panjang itu disertai ancaman, tapi Rose membalas tatapan Felicia dengan sama tegasnya. "Maafkan saya Nyonya Felicia. Saya tidak bekerja pada orang yang telah menghancurkan dan merebut kehidupan Nyonya Zelene," tegasnya.
"Sekalipun aku menawan putramu yang lucu itu?" ujar Felicia licik, seiring dengan itu seseorang membawa Ruly yang meronta-ronta ke hadapannya. Bocah lima tahun itu berteriak rusuh dan mencoba menggigit orang yang mencengkeram kerah bajunya.
Rose menahan gemetar kemarahan, menatap putranya yang masih terus memberontak. Ia berkali-kali menggigit dan mencakar orang yang menawannya. Berteriak agar ia dibebaskan, suara kecilnya melengking memenuhi ruangan kedap suara itu.
"Anda benar-benar licik," gumam Rose dalam kemarahan yang tertahan.
"Kau hanya punya satu pilihan Rose. Bekerja padaku atau putramu lenyap," ujar Felicia, ia mengelilingi Rose dengan tatapan keranjingan. Menatap putra Rose yang terus meronta dan mencoba mencakar apa saja yang ada di dekatnya. "Kau pasti tidak ingin kehilangan putramu bukan?"
Rose menggenggam jari-jarinya dalam gigilan kemarahan, mengertakkan rahang secara diam-diam. Perlahan merasakan aliran hangat mengaliri telapak tangan, karena terlalu kencang menggenggam hingga kuku panjangnya menusuk daging telapak tangan. Darah perlahan menetes dari genggaman Rose.
"Sepertinya kau sangat marah," bisik Felicia dengan suara licik, menyeringai kejam melihat Rose yang mengertakkan rahang menahan seluruh kebenciannya. "Kau tidak punya pilihan Rose."
Rose menarik napas panjang, menatap putranya yang sekarang perlahan mulai diam. Sepertinya bocah itu kelelahan karena terus memberontak. "Bebaskan putraku," lirih Rose.
"Aku akan membebaskan putramu kalau kau sudah menyelesaikan seluruh tugas yang aku berikan padamu," ujar Felicia. "Lakukan seluruh tugas itu secepatnya dan kau akan berkumpul dengan putramu. Jika kau tidak bisa menyelesaikan tugas itu, kau akan kehilangan anakmu."
"Anda sudah merencanakan semuanya sejak awal," ujar Rose dalam gigilan kemarahan yang terus menjalari hingga seluruh nadinya.
"Tentu saja, kami harus punya rencana sempurna untuk mengambil semuanya dari Zelene. Dan kau adalah bagian terakhir dari rencana itu. Putramu selamat atau tidak, itu tergantung padamu Rose," bisik Felicia persis di telinga Rose.
"Bawa anak itu!" perintahnya kemudian. Pria yang mencekal Ruly membawa bocah yang kembali menjerit itu keluar dari ruangan.
"Dan selesaikan tugasmu untukku!" ujar Felicia pada Rose. Perempuan yang setengah mati menahan air matanya itu meremas kertas berisi list pekerjaan yang harus dilakukannya. Pekerjaan yang memastikan bahwa semua aset Zelene tidak ada yang tersisa.
Flashback Off
"Saat itu saya masih lima tahun," ujar Ruly pelan. "Tidak banyak yang saya ingat tentang kejadian itu. Tetapi saya tidak bisa melupakan air mata Ibu yang terpaksa melakukan semuanay demi keselamatan saya."
"Ibumu menyelesaikan semua perkerjaan itu?" tanya Altair. Alisnya bertaut ketika Ruly menggeleng.
"Entahlah, saya tidak pernah bertanya pada Ibu. Karena itu adalah yang paling menyakitkan dan paling disesali beliau. Saya tidak ingin mengingatkan Ibu pada hal menyedihkan itu."
"Aku ingin bertemu ibumu," putus Altair. "Bersama Vip."
"Saya akan memberitahu Ibu," jawab Ruly segera. "Saya akan mengabari Anda waktunya."
"Terima kasih," ujar Altair seraya mengangguk.
Sorenya setelah jam kerja berakhir, Altair memberitahu Vipera untuk menunggunya pulang. "Ada tempat yang harus kudatangi bersamamu," ujarnya ketika mendengar nada keberatan Vipera.
Vipera mengomel sendiri setelah panggilan Altair berakhir. Ruly yang duduk di sampingnya tersenyum kecil. "Kau pasti tahu sesuatu," omel Vipera padanya. Pemuda itu hanya menyeringai tidak jelas menanggapi omelan itu. Ia sudah berjanji pada Altair untuk tidak memberitahu Vipera rencana mereka sore ini.
Dan pulangnya Vipera masih mengomel karena Altair memaksanya ikut. "Kau tidak akan menyesali ini," ujar Altair sabar.
"Sebenarnya siapa yang akan kita temui? Apakah ini terkait pekerjaan?"
"Bukan pekerjaan, ini tentang ibumu," sahut Altair.
Vipera terdiam, menatap keluar jendela yang sedikit berembun karena diluar sedang gerimis. Mendung menggantung berat di atas mereka, gelap yang melebihi kegelapan senja perlahan mengawali malam.
"Kenapa Anda begitu tertarik pada ibu saya?" tanya Vipera, kali ini ia menatap Altair.
Pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin dijawab Altair untuk saat ini, dan ia setengah menyesali keputusannya untuk mengajak Vipera bertemu Rose malam ini. Tapi gadis itu harus tahu apa yang terjadi. Mungkin pertemuan malam ini akan membuka semua hubungan buruk keluarganya dengan keluarga Vipera di masa lalu, tapi Altair bertekad untuk menanggung semua itu.
"Aku hanya ingin membantumu mencaritahu apa yang terjadi," jawab Altair pelan. "Kau pasti ingin tahu tapi sulit bagimu untuk mencaritahu semua itu sendiri."
"Lev maupun Dan pernah menawarkan hal yang sama," gumam Vipera.
"Lalu?"
"Entahlah, mungkin saya yang belum siap untuk mengetahui semua itu," jawab gadis itu dengan suara sangat kecil. Altair mengusap rambutnya perlahan, bagi Vipera hal itu bukan lagi menjadi sesuatu yang mengejutkan. Ia seolah sudah terbiasa ketika tangan lebar itu mengusap rambutnya dengan lembut.
"Apa kau tahu ibumu berasal dari keluarga yang sangat ditakuti dulunya?" tanya Altair. "Keluarga ibumu adalah salah satu keluarga terkuat sebelum mereka hancur."
Sejenak Vipera menatap Altair, terlihat setengah tidak percaya dan heran. "Anda mengetahui sesuatu yang bahkan saya tidak tahu tentang keluarga saya," ujarnya kemudian. Nadanya jelas menyiratkan ketidakpercayaan.
"Kau boleh tidak percaya padaku saat ini, tapi nanti kau akan mengetahui sedikit dari begitu banyak kebenaran yang disembunyikan banyak orang di sekitarmu."
"Saya tahu, Ibu meninggalkan perusahaan yang dikelola Papa Theo sekarang," ujar Vipera dengan nada ngeyel.
"Perusahaan itu hanya sebagian kecil dari yang seharusnya kau miliki," sahut Altair.
"Hmm, ya saya tahu yang lain sudah diambil alih oleh Afon dan istrinya."
"Kau tahu itu?"
"Hmm, ya tentu saja. Nyonya Felicia pernah mengatakannya secara tak sengaja," jawab Vipera.
"Sebenarnya saya tidak peduli dengan perusahaan yang pernah keluarga saya atau Ibu miliki. Saya hanya ingin tahu apa yang terjadi pada Ibu," sambungnya kemudian.
"Kau tidak ingin mengambil kembali apa yang menjadi hakmu?" heran Altair.
"Jika itu hanya akan menimbulkan rasa sakit yang baru, saya tidak ingin. Mengetahui apa yang terjadi saat itu saja sudah cukup. Apapun yang telah mereka ambil saya tak lagi peduli. Rasa sakit yang mereka berikan sudah terlalu banyak dan saya tidak ingin mendapatkan luka baru karenanya."
Altair mengangguk mendengar jawaban itu, ia memahami keinginan gadis itu tetapi tetap merasa bahwa ia harus mengungkap semua kebenarannya. Ia harus mengembalikan apa yang telah diambil dari gadis itu, terutama yang telah dinikmati keluarganya selama ini.
'Resto ini lagi,' batin Vipera ketika Altair memarkir kendaraannya. Sebelumnya lalu ia bertemu Afon di sini dan berharap kali ini tak harus melihat wajah pria itu disini.
"Kalaupun harus bertemu dia lagi, aku akan tetap melindungimu," ujar Altair ketika Vipera bergeming. Menggamit tangan gadis itu dan menggenggamnya erat, membawa ia masuk ke dalam restoran. Vipera melangkah cepat di sisinya, masih cukup sulit bagi gadis itu untuk mengimbangi langkah Altair yang panjang.
'Dia bisa membaca pikiran ya?' heran Vipera dalam hati, sepanjang langkahnya gadis itu menatap Altair dari samping.
"Apapun yang kau pikirkan itu terpeta di wajahmu," ujar Altair seraya menyentil hidung bangir Vipera lembut. Membuat wajah gadis itu sontak memerah hingga ke telinga, ia buru-buru melepaskan genggaman tangan Altair dan berjalan lebih cepat. Senyum pria itu mengembang seperti adonan donat ketika melangkah menyusul Vipera.
"Hei, mereka disini," Altair menarik tangan gadis itu ketika mereka melewati sebuah ruangan tertutup. Berpaling dengan heran ketika Vipera menahan langkah.
"Tidak perlu cemas, orang yang menunggu kita sangat berharap bisa bertemu denganmu," ujarnya lembut. "Percayalah aku tidak akan membawamu bertemu orang yang tidak kau inginkan," sambungnya seraya membuka pintu.
"Ruly?" heran Vipera ketika pemuda itu bangkit dan menyambut mereka. Seorang wanita berusia 40 tahunan berdiri dengan wajah gugup di sampingnya, menatap Vipera dengan mata terharu.
"Ah Vip...," sambut Ruly tersenyum. "Perkenalkan ini ibuku, beliau sudah lama ingin bertemu denganmu."
Wanita itu maju dan menatap Vipera ragu-ragu. "Kau mirip sekali dengan ibumu," ujarnya dengan suara tertahan. Ada isak yang sekuat tenaga ia tahan, tapi genangan kecil di sudut matanya tidak bisa berbohong. Air matanya mengalir begitu saja ketika ia menggenggam tangan Vipera dengan hangat.
"Bolehkah Tante memelukmu?" pinta Rose dengan suara sangat parau. Vipera maju dan memeluk lembut tubuh Rose yang bergetar hebat. Tangan wanita itu merangkul punggung Vipera dengan kuat, kali ini ia tak mampu lagi menahan tangisnya.
Cukup lama Rose memeluk gadis itu, seolah sedang memuaskan diri. Ia melepaskan Vipera ketika Ruly menepuk bahunya lembut. "Maafkan Tante," lirihnya setelah mereka saling melepaskan diri. Mereka duduk tapi mata Rose masih menatap Vipera dengan terharu, bulir bening air matanya masih menetes sesekali.
"Bu, kalau Ibu terus menangis Vip akan merasa tidak nyaman," bisik Ruly.
"Ah, maaf," sekali lagi Rose berucap lirih seraya menyusut air matanya.
Mereka berdiam diri untuk beberapa saat, memberi waktu pada Rose untuk menenangkan diri. Butuh waktu beberapa menit baginya untuk benar-benar mengeringkan air mata dan menatap Vipera.
"Maaf, jika baru sekarang kita bertemu," ujar Rose kemudian.
"Sepertinya saya yang harus minta maaf," ujar Vipera. "Karena Ruly sebenarnya sudah lama menawarkan pertemuan tapi...."
"Dia tidak ingin Afon dan Felicia menjadikan Anda sebagai sasaran jika kalian bertemu," Altair yang meneruskan kalimat Vipera. Rose mengangguk mengerti.
"Ya tentu saja. Mereka adalah orang-orang yang rela melakukan apa saja demi mencapai tujuan mereka," ujarnya kemudian.
"Vip pasti ingin tahu Bu apa yang terjadi saat itu," ujar Ruly.
Sejenak Rose menatap Altair, jika ia menceritakan semua yang terjadi saat itu, maka hubungan buruk keluarga Altair dan Vipera akan terbuka. Dari Ruly ia mengetahui bahwa Altair sangat memperhatikan Vipera, dan Rose sama sekali belum bisa menilai hubungan mereka.
"Tidak apa-apa," ujar Altair seolah mengerti arti tatapan itu. "Ceritakan saja apa yang Anda ketahui."
"Tapi...," Rose mengalihkan tatapnya pada Vipera dan Altair bergantian. "Anda yakin?"
"Ya. Tentu saja," tegas Altair.
"Sejatinya tidak banyak yang Ibu ketahui," ujar Rose perlahan. "Sebagai sekretaris Ibu hanya fokus pada pekerjaan. Kehidupan pribadi Nyonya Zelene tidak banyak kuketahu, karena beliau menyimpan rapat-rapat semuanya. Yang Ibu ingat, beliau selalu mencari Nyonya Talishia setiap kali ada masalah. Mereka berteman sejak kecil karena keluarga mereka memang dekat. Sebagai sahabat, Talishia sering datang ke kantor dan memberi banyak masukan bagi Nyonya Zelene. Tapi ketika pernikahan Nyonya dan Afon terjalin, persahabatan itu sepertinya agak merenggang. Nyonya Talishia jarang datang."
"Nyonya Talishia?" heran Vipera, ia menatap Rose dan Altair bergantian.
"Ya, ibuku," sahut Altair tegas. "Aku juga baru tahu mereka bersahabat."
'Mungkin itu sebabnya beliau beberapa kali membantuku menghadapi Anjani?' pikir Vipera. Tatapan Talishia padanya memang kadang mengganggu Vipera, ia merasakan banyak perasaan dalam mata wanita itu terhadapnya. 'Tapi terkadang beliau terkesan membenciku.'
"Sejak menikah, Afon sering mendesak Nyonya untuk mengakuisisi perusahaan keluarga Afon yang hampir bangkrut. Tapi Nyonya selalu menunda itu karena sebenarnya beliau tidak ingin perusahaan mereka bersatu. Pada akhirnya Nyonya hanya memberikan bantuan finansial pada perusahaan Afon dan itu sering menjadi pertengkaran bagi mereka. Afon tidak pernah puas dengan perusahaannya yang sulit untuk bangkit dan selalu menyalahkan Nyonya untuk itu. Sampai akhirnya ia bekerja sama dengan Tuan Ron."
"Ron?" tanya Vipera terkejut.
"Ya, kakekku," lirih Altair. "Akan ada banyak hubungan antara keluarga kita, Vip. Hubungan yang membuatku terpaksa bertunangan dengan saudari tirimu."
Vipera mengangguk canggung mendengar penjelasan itu. Sebuah kejutan baginya ternyata keluarga Altair memiliki hubungan dengan keluarga Santana.
"Mengapa Ibu tidak bersedia mengakuisisi perusahaan Afon?" tanya Vipera, baginya itu sesuatu yang mengherankan. Karena jika ibunya mengakuisisi perusahaan Afon, mungkin itu akan memperkecil kemungkinan pria itu bisa merusak perusahaan ibunya.
"Sudah jelas beliau tidak akan mau melakukan itu. Pernikahan mereka hanya karena perjanjian keluarga, Nyonya Zelene tidak pernah mempercayai ataupun mencintai Afon. Jika beliau mengakuisisi perusahaan Afon, maka itu hanya akan memberi dia kesempatan untuk mengambil alih perusahaan Nyonya. Afon pasti tidak akan melepaskan kesempatan itu, sesuatu yang memang dia inginkan sehingga mau meninggalkan kekasihnya untuk menikah dengan Nyonya Zelene."
"Mereka punya perjanjian," lanjut Rose.
"Perjanjian?" tanya Vipera.
"Ya, mereka memiliki perjanjian secara personal. Jika dengan bantuan Nyonya Zelene perusahaan Afon bisa bangkit lagi mereka akan bercerai di tahun kedua dengan persyaratan kedua, mereka harus memiliki anak agar Afon terhindar dari desakan keluarganya. Keluarga Afon tidak menyukai Felicia, karena itulah ia bersedia menerima perjodohan dengan Nyonya Zelene."
"Ibu hanya dijadikan alat? Kenapa keluarga Santana melakukan itu?"
"Hubungan keluarga Santana dengan keluarga Afon sudah terjalin sejak sangat lama. Jadi sekalipun mereka menerima Tuan Abrisam dengan baik, mereka tidak bisa mengingkari janji yang telah terpatri sejak lama," jawab Rose.
"Tetapi, hal yang tidak pernah diduga adalah Afon ternyata bekerja sama dengan Tuan Ron. Sahabat sekaligus musuh bebuyutan Keluarga Santana," Rose mengerling Altair ketika mengucapkan kata-kata terakhirnya.
"Musuh?" tanya Vipera.
"Yah, Tuan Ron dan Tuan Santana adalah sahabat lama. Tetapi mereka beberapa kali bergesekan karena berebut proyek, gesekan yang secara perlahan memperbesar jarak diantara mereka. Tetapi jarak itu tidak terlihat karena nona besar dari keluarga Santana dan nona besar dari keluarga Ron bersahabat karib sejak kecil. Mereka seperti tidak terpisahkan bahkan hingga keduanya memiliki suami. Perjanjian perjodohan antara Keluarga Ron dengan Keluarga Santana sejatinya adalah perjanjian antara Nyonya Zelene dengan Nyonya Talishia."
Kalimat terakhir Rose membuat Altair menyunggingkan senyum lebar. "Itu berarti perjodohan antara aku dan Vip?" tanyanya tak sabar, menyeringai lebih lebar ketika Vipera menyikutnya dengan tatapan jengkel.
"Tapi, sepertinya Nyonya Talishia tidak menganggap itu sebagai perjodohan diantara kami," cetus Vipera.
Sesaat Rose terlihat ragu, ia tersenyum kecil seraya mengambil tangan Vipera. "Ibu yakin beliau tidak membencimu. Beliau mungkin hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa ternyata kau masih hidup," ujarnya pelan.
"Maksudnya?"
*Bersambung*