Pria itu menggenggam jemari gemetar Vipera yang mencengkeram lengannya. Menepuknya lembut untuk membuat gadis itu lebih tenang. "Tidak apa-apa, kau bersamaku," bisiknya lembut.
Tapi rasa takut Vipera pada keluarganya sendiri masih sangat sulit untuk ia singkirkan. Apalagi Afon menatapnya dengan mata membara. Pria setengah baya itu mendekat dan berhenti beberapa langkah di hadapan putri tertuanya itu. Altair maju satu langkah untuk menghentikan apapun yang ingin dilakukan Afon. Berdiri dengan menggenggam tangan Vipera yang terasa dingin, menatap Afon kejam.
Rasa dingin dari jari-jari Vipera menjalari jari Altair, membuat gelegak kemarahan perlahan mendidih dalam dadanya. Entah berapa banyak rasa sakit yang ia terima dari orang yang terpaksa ia panggil sebagai ayah, sehingga bahkan sekedar bertatapan pun ia gemetar seperti ini.
"Saya hanya ingin bicara dengan Vipera," ujar Afon, ia tidak ingin bertentangan dengan Altair saat ini. Kejadian malam sebelumnya sudah cukup untuk membuatnya mengerti bahwa pria ini sangat melindungi Vipera.
Dan bagi Afon itu cukup menguntungkan, ia tak lagi peduli anak yang mana yang diinginkan Altair. Selama ia bisa memberi jaminan pada Group Afon, pria itu tak akan lagi peduli siapa yang akan dipilih Altair.
"Silahkan katakan apapun yang ingin Anda katakan," ujar Altair.
Mencoba menatap mata Vipera yang balas menatapnya. Ia bisa melihat rasa takut dan sedikit kemarahan ataukah itu kebencian dalam tatapnya. "Saya ingin bicara berdua saja dengan putri saya," jawab Afon.
Altair menoleh ketika merasakan gerakan kecil jari-jari Vipera yang masih terasa dingin dan gemetar. Menatap mata indah yang balas menatapnya, gadis itu terlihat jelas sedang menguatkan diri.
"Tidak apa-apa," sahutnya pelan, dari suaranya yang gemetar jelas dia tidak baik-baik saja.
"Waktu Anda lima menit," sahut Altair membiarkan Vipera melepaskan genggamannya dan berjalan sedikit menjauh dari mereka. Menjaga jarak agar gadis itu tetap berada dalam jangkauannya, bersikap waspada jika Afon melakukan sesuatu yang mungkin menyakiti Vipera.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Afon, pertanyaan yang sungguh tidak bermakna. Jelas mereka disana untuk makan malam, tapi ia tidak bisa memilih kata-kata lain untuk memulai pembicaraan ini. Melihat Vipera tak berniat menjawab pertanyaannya, pria itu menghela nafas.
"Hanya makan malam," jawab Vipera singkat. Afon menatap matanya yang masih terlihat sedikit gugup.
"Kau bekerja pada Altair sudah berapa lama?" tanyanya kemudian.
"Apa itu penting untuk Anda?" Vipera balik bertanya. Sorot matanya secara perlahan mulai kembali percaya diri.
"Kenapa kau tidak datang untuk bekerja pada perusahaan kita?" tanya Afon. "Kenapa harus perusahaan Altair?"
"Maksud Anda? Saya sengaja bekerja pada Altair?"
"Bukankah begitu? Kau tahu dia tunangan adikmu."
Vipera tertawa kesal mendengar kata-kata itu, jadi seperti itulah mereka memandangnya. Bahwa ia sengaja mendekati Altair karena tahu pria itu adalah tunangan Anjani?
"Saya sudah bekerja padanya lebih lama dari pertunangan mereka. Dan saya bahkan tidak tahu dia adalah tunangan putri Anda sebelum dia datang untuk mengamuk di rumah saya karena pertunangan mereka berakhir," jawab Vipera.
Dada Afon terasa dihantam godam besar saat mendengar kata putri Anda keluar dari bibir Vipera. Gadis itu menjelaskan jarak diantara mereka, jarak yang sangat lebar dan tinggi.
"Dia adalah adikmu, kau juga putriku," desis Afon.
Kali ini Vipera tak lagi bisa menahan tawa sinis yang begitu saja tercetus dari bibirnya. "Saya harap Anda sadar apa yang Anda ucapkan, selama ini saya pikir saya hanyalah pembantu dan samsak bagi keluarga Anda," sahutnya.
"Dan jika Anda bertanya mengapa saya bekerja pada Altair, karena perusahaannya adalah perusahaan terbaik. Siapa yang tidak ingin bekerja disana?" sambung Vipera.
Afon melengak menatapnya, mata gadis itu tak lagi goyah saat menatap sang ayah. "Apa hubunganmu dengannya?" selidik Afon. "Makan malam hanya berdua di akhir pekan."
"Tidak ada, kami hanya atasan dan bawahan," jawab Vipera.
"Jujurlah, kau menyukainya?" desak Afon, ia bertekad untuk memastikan hubungan mereka agar bisa menentukan sikap. Dalam hati merasa yakin jika Altair menyukai Vipera, pria itu pasti akan bersedia membantu perusahaannya. Karena bagaimanapun gadis itu adalah putrinya.
"Sejak kapan perasaan saya jadi urusan Anda?"
Kemarahan menggeliat dalam dada Afon mendengar kata-kata itu. "Bagaimanapun kau adalah putriku," desisnya.
"Bukankah Anda tidak pernah mengakuinya? Apa Anda lupa kata-kata yang selalu Anda lontarkan bahwa saya hanyalah anak haram yang dibawa Ibu?"
Wajah Afon memerah seketika. Marah. "Bersama Altair membuatmu merasa punya kekuatan sekarang?" geramnya, karena selama ini Vipera tak pernah membantah apapun yang ia katakan.
"Waktu Anda habis," Altair menyela ketika ia melangkah untuk lebih dekat pada Vipera. Menarik gadis itu ke sisinya dan memeluk bahu Vipera erat. "Kami permisi."
Tanpa menghiraukan Afon yang menggeram, Altair membawa Vipera menjauh dari tempat itu. Tersenyum licik saat pada Afon yang masih menatap mereka setelah Vipera duduk dan ia menutup pintu mobil.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Altair setelah ia duduk di belakang kemudi, menatap Vipera yang menyandarkan kepalanya di punggung tempat duduk. Gadis itu menoleh dan mengangguk.
Tanpa sadar, tangan Altair menjangkau kepalanya dan memberi usapan sangat lembut di puncak kepala gadis itu. "Kau harus bisa melawan rasa takutmu pada mereka," ujarnya. Tersentak ketika Vipera mencoba menghindari usapan keduanya.
"Ah, maaf," ujar Altair seraya berpaling, memasang sabuk pengamannya dengan sedikit gugup dan perlahan meninggalkan halaman restoran.
Mereka melewati perjalanan pulang dalam diam, Altair hanya sesekali meliriknya sembari berharap gadis itu tidak salah paham dengan apa yang ia lakukan barusan. Setengah dari dirinya menyesali apa yang telah ia lakukan karena khawatir Vipera akan menjauhinya.
Altair menghentikan kendaraannya perlahan setelah sampai di tempat tinggal Vipera, menghela nafas sebelum membiarkan gadis itu turun. "Apapun yang dikatakan ayahmu, kuharap kau tidak merasa terganggu," ujarnya kemudian.
"Apapun yang terjadi antara aku dan Anjani tidak ada hubugannya denganmu. Aku memilih meninggalkan pertunangan kami karena aku memang tidak bisa mencintainya. Aku tahu karena keputusanku kau menjadi sasaran kemarahan keluargamu," sambungnya.
"Saya sudah terbiasa menjadi sasaran kemarahan mereka."
"Berhenti menjadikan itu sebagai sebuah kewajaran," sahut Altair, terdengar kesal. "Kau harus menegakkan kepala di hadapan mereka mulai sekarang. Kau tidak harus menahannya, jika kau ingin meluapkan semua kemarahan yang selama ini tertahan, kau boleh melakukannya. Bahkan jika kau ingin membuat kekacauan semaumu, lakukan saja. Aku akan membereskan semuanya setelah itu," sahut Altair. Seulas senyum lembut menghias bibirnya ketika mengucapkan itu.
"Ah, rasanya saya tidak bisa melakukan itu," jawab Vipera, sedikit tersenyum saat mengatakannya. "Saya tidak ingin melibatkan siapapun dalam masalah saya. Apalagi, Anda sudah cukup repot karena keluarga saya."
"Jangan pikirkan itu, lakukan saja apa yang ingin kau lakukan terhadap mereka. Aku akan selalu mendukungmu," Altair mengusap lembut puncak kepala gadis itu. "Masuk dan istirahatlah," ujarnya kemudian.
"Terima kasih," ujar Vipera setengah tergesa, kedua kalinya tangan Altair mengusap rambutnya membuat gadis itu merasa canggung. Ia berjalan meninggalkan Altair tanpa menoleh dan memasuki rumah tanpa mengucapkan salam perpisahan pada Altair yang menatap punggungnya dengan tersenyum senang.
'Dia tidak menolak,' pikirnya senang setelah pintu di belakang punggung Vipera menutup. Dengan senyum merekah seperti bunga di musim semi, Altair kembali ke mobil dan pulang dengan riang.
Sementara itu, Vipera memasuki rumah dengan wajah terasa panas. Bi Sumi yang menyambutnya menatapnya heran.
"Non sakit?" tanyanya ketika melihat wajah cantik itu memerah. "Mukanya merah banget, Non demam?" tanyanya lagi dengan nada khawatir. Memegang dahi Vipera dan menggeleng heran.
"Ngga demam," gumamnya sendiri.
"Ngga papa Bi," sahut Vipera pelan, mencoba menenangkan dadanya yang masih berdegup kencang. Bi Sumi menatap wajahnya cukup lama dan tersenyum.
"Non mandi dulu sana, Bibi sudah siapin makanan kesukaan Non," sahutnya kemudian. Diam-diam ia tersenyum, berharap sesuatu yang menyenangkan terjadi. Ia selalu berharap Vipera pada akhirnya menemukan seseorang yang bisa melindunginya.
"Vip udah makan Bi," sahut Vipera seraya berjalan menuju kamarnya. "Lev belum pulang?"
"Belum, tadi telepon sih nanyain Non. Katanya pulang terlambat karena harus mampir ke rumah utama. Pamannya datang mendadak," jawab Bi Sumi dengan suara terdengar jauh.
"Paman Abrisam?" tanya Vipera, ia mengurungkan niat masuk ke kamar dan menyusul Bi Sumi ke ruang makan.
"Ya, katanya mendadak datang tadi sore, jadi Lev kesana untuk bertemu beliau," jawab Bi Sumi.
Vipera mengangguk dan manggut-manggut sendiri sebelum beranjak ke kamarnya. "Bibi istirahat aja, udah malam," serunya sebelum menutup pintu kamar.
Gadis itu meletakkan tas dan sepatunya sebelum kemudian melempar tubuhnya ke tempat tidur. Membenamkan wajahnya yang masih terasa panas ke bantal. Bayangan Afon yang menatapnya dengan mengintimidasi seperti biasa membuat nafasnya terasa sesak.
Pertemuannya dengan salah satu dari mereka selalu menyisakan rasa sesak yang luar biasa. Tapi hari ini, rasa sesak itu tak terlalu menyiksanya. Genggaman erat Altair sesaat sebelum meninggalkannya untuk bicara dengan Afon seolah memberinya kekuatan. Kekuatan yang membuatnya mampu membalas setiap kata-kata pedas yang dilontarkan pria yang harus ia panggil ayah itu.
'Tidak, itu bukan karena Altair,' bantahnya dalam hati. 'Karena sudah muak mungkin pada akhirnya aku memiliki keberanian itu.'
Vipera tersentak ketika ponselnya menjerit pelan, gadis itu bangkit untuk mengambil benda mungil itu. "Hai Dan, maaf tadi aku terpaksa ikut Pak Altair," sahutnya ketika panggilannya tersambung.
Terdengar suara tawa Dan yang renyah dari ujung sana. "Tidak apa-apa, aku hanya memastikan dia sudah membawamu pulang?" tanya Dan. "Dia tidak melakukan sesuatu yang aneh kan?"
"Apa sih? Ya enggalah," sahut Vipera dengan tawa kecil. "Kami hanya makan malam dan pulang."
"Makan malam?"
"Hmm, dan bertemu Tuan Afon," lapor Vipera.
"Afon? Dia membawamu bertemu Tuan Afon?"
"Oh, tidak. Kami bertemu dia saat keluar dari restoran. Sepertinya dia sedang bertemu klien, itu saja."
"Dia mengatakan sesuatu padamu?" suara Dan terdengar sedikit cemas.
"Dia hanya bertanya mengapa aku bekerja pada Altair dan sudah berapa lama aku bekerja disana. Sepertinya dia berpikir aku bekerja pada Altair karena aku tahu pria itu adalah tunangan Anjani."
Terdengar suara geraman Dan dari seberang sana. "Dia sampai mengatakan itu?" geramnya kesal.
"Tidak apa-apa, malam ini aku bisa menjawab pertanyaannya tanpa merasa takut atau gemetar seperti biasa. Aku tidak bersembunyi Dan, aku bisa menghadapinya. Yah, kuakui masih menyisakan rasa dingin dan sesak seperti biasa tapi tidak terlalu menyakitkan," jawab Vipera.
"Kau baik-baik saja?" tanya Dan cemas.
"Aku baik-baik saja. Baru sampai di rumah dan belum mandi," kekeh Vipera.
"Sungguh? Apa Lev sudah pulang?"
"Bi Sumi bilang Lev mungkin ga pulang malam ini. Katanya Paman Abrisam tiba-tiba pulang."
"Paman Abrisam?" heran Dan.
"Hmm, Bi Sumi bilang begitu."
"Kau sungguh baik-baik saja? Aku perlu kesana?"
"Ngga papa, aku baik-baik aja. Hanya butuh mandi dan berendam sebentar."
"Baiklah, bersihkan dirimu dan tidurlah. Kalau kau merasa tidak nyaman beritahu aku."
Vipera baru saja meletakkan ponselnya, berlalu ke kamar mandi setelahnya. Di bawah siraman air hangat pikirannya kembali melayang pada pertemuannya dengan Afon.
'Tidak ada yang berubah,' batinnya kelu. 'Mereka masih melempar seluruh kesalahan padaku.'
Dalam hati juga bertanya-tanya mengapa Afon mendadak peduli dengan pekerjaannya? Orang yang selama ini tidak pernah peduli apakah dia masih hidup atau tidak, sekarang tertarik dengan pekerjaannya. Berpikir bahwa Afon mungkin tertarik dengan pekerjaannya hanya karena itu berhubungan dengan Altair. Orang yang sangat ia harapkan akan menjadi menantu agar bisa menjadi pelapis bagi perusahaannya.
Terkadang dalam batin terjauhnya Vipera berharap ibunya masih hidup. Harapan yang sejatinya ia pelihara sejak ia menyadari bahwa Felicia bukanlah ibunya. Sekiranya Ibu masih ada, apa yang akan terjadi? Pikirnya seraya mengeringkan tubuh dengan handuk.
Kematian ibunya selalu menjadi gunjingan bagi orang-orang di sekitar mereka dulu. Bahwa ia menghilang setelah melahirkan putrinya, ada yang mengatakan ia berubah jadi ular karena itulah putrinya dinamai Vipera (ular). Batin Vipera selalu merasa getir setiap kali mengingat banyaknya kata yang singgah di telinganya tentang sang ibu. Tentang pengkhianatannya pada Tuan Afon yang membuat pria itu sangat membencinya.
Apa yang sebenarnya terjadi, pertanyaan itu sering singgah dalam pikiran Vipera. Tapi orang-orang di sekitarnya tidak ada yang mengetahui dengan pasti apa yang terjadi. Tidak ada yang tahu bagaimana perusahaan keluarga Santana hancur hanya dalam waktu sekejap. Seluruh anggota keluarga terbunuh dalam kecelakaan yang tak pernah diketahui penyebabnya.
Kejadian yang dilupakan begitu saja seolah ada kekuatan di balik kejadian itu yang tidak ingin terekspos. Orang-orang yang terdekat Keluarga Santana satu per satu pun menjauh atau menghilang. Perusahaan besar yang telah bertahan selama puluhan tahun, hancur dalam sekejap tapi tidak ada yang merasa aneh dengan itu. Ia memang pernah mendengar selentingan bahwa perusahaan itu tidak hancur tapi secara perlahan berpindah tangan pada Afon.
"Mungkin sudah waktunya aku mencari tahu, agar aku tahu apa yang terjadi pada Ibu," gumam Vipera seraya menatap wajahnya sendiri di cermin.
Tapi harus mulai dari mana?
Keesokan harinya, Vipera memutuskan mendatangi rumah ibunya. Sudah cukup lama ia tidak mendatangi rumah itu. Tapi saat hendak mengeluarkan kendaraannya, Altair berdiri di hadapannya. Tersenyum rapi, serapi pakaian kasual yang ia kenakan hari ini. Dahi Vipera mengernyit melihat pria yang biasanya selalu terbalut jas lengkap itu mengenakan pakaian kasual. Ia terlihat seperti pemuda kebanyakan.
"Kau mau kemana?" tanya Altair.
"Sudah lama tidak mengunjungi rumah saya," jawab Vipera.
"Kau sendirian?"
Vipera mengangguk, "Lev masih ada pekerjaan, Dan juga begitu," jawabnya.
"Kalau begitu, pergi denganku saja," sahut Altair. Mengabaikan tatapan heran Vipera.
"Jangan menatapku seperti itu, memangnya tidak boleh aku bersantai di akhir pekan?" cetus Altair.
Vipera mengalihkan tatapnya dan menggeleng. "Anda bersantai?" gumamnya, Altair tertawa dan mengacak rambutnya pelan.
"Memangnya ngga boleh?"
"Ayo…," sahut Altair.
"Ah, tapi saya ingin mengendarai motor saja," ujar Vipera, sudah lama ia tidak mengendarai motor karena kakinya belum pulih sempurna. Hari ini sedianya ia ingin mencoba mengendarai motor setelah sekian lama tidak menggunakan kendaraan kesayangannya itu.
Mata Altair menemukan motor sport itu dan tersenyum. "Kau mau mengendarai motor dengan kaki seperti itu?" omelnya. "Berikan kuncinya. Ah, kau punya helm yang lain?"
Sesaat Vipera terlihat bingung. 'Berboncengan dengan pria ini?' pikirnya. Berada dalam mobil yang sama dengannya saja sudah membuat gadis itu merasa canggung apalagi harus duduk di belakang Altair dan sepanjang perjalanan harus menatap punggungnya?
"Hei?" Altair melambaikan tangan di depan wajah Vipera yang masih terpaku menatap helmnya yang sudah berpindah ketangan Altair.
"Ah," gadis itu tersentak dan bergegas masuk dan kembali dengan menenteng helm.
Bibir Altair lagi-lagi mengukir senyum melihat sikap kikuk Vipera. Ia memahami gadis itu pasti bingung dengan kehadirannya yang mendadak. Tapi, Altair tidak ingin kehilangan waktu bersamanya. Pria itu mengambil helm dari tangan Vipera dan mengenakannya.
"Bergegaslah, mumpung masih pagi," cetusnya ketika melihat gadis itu masih melamun di sisi motor. Vipera tersentak dan menyeringai bingung, dengan kikuk ia naik dan duduk di balik punggung lebar Altair yang menyebarkan aroma seperti hutan pinus yang segar. Aroma yang membuat dadanya bergetar halus perlahan.
"Pegangan," ujar Altair ketika mereka sudah berada di jalan raya. Ucapan yang membuat Vipera semakin bingung, wajah gadis itu perlahan memerah. Apalagi ketika Altair menoleh dan mencoba meraih tangannya yang memegang sisi jaket pria itu dengan ujung jarinya.
*Bersambung*