Vipera menoleh dari tablet, setengah mengumpat karena deringnya membuat konsentrasi gadis itu buyar. Dengan mengomel ia meraih benda mungil cerewet tersebut dari kasur di sampingnya. Mendecih ketika nama Altair tertera disana.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" tanyanya dengan nada kesal.
Suara tawa Altair menggema di telinganya setelah pertanyaan itu selesai. "Maaf aku mengganggumu malam-malam," ujar Altair lembut. "Kau sibuk?"
"Hmm."
"Tidak bisakah kita bertemu sebentar?" tanya Altair dengan nada memohon. "Aku ada di depan rumahmu."
Cih, Vipera bangkit dari kursi malasnya dan berjalan ke jendela. Mendecih kesal ketika melihat Altair berdiri di depan rumah dan menengadah menatap jendela kamarnya.
"Tunggu sebentar," ujar Vipera, gadis itu bergegas turun dan sama sekali lupa mengganti pakaiannya.
Altair berpaling dengan wajah memerah ketika gadis itu muncul di hadapannya dengan hotpants dan baju tidur yang hampir memperlihatkan separuh bahunya.
"Anda kenapa?" sergah Vipera melihat tingkah pria itu.
"Kau tidak berganti pakaian dulu?" ujar Altair dengan telinga panas.
Vipera tersentak, ia meraba tubuhnya sendiri dan melotot menatap kaki jenjangnya yang telanjang. Secara reflek gadis itu menutupi dadanya yang dan berbalik. Berlari dengan wajah memerah kembali ke kamar, membiarkan pintu berdebam keras di balik punggungnya.
'Haah, kenapa dia cantik sekali sih?' Altair mengomel sendiri dalam hati dengan wajah hingga tengkuk panas dan memerah. Kaki jenjang gadis itu membuat dadanya berdegup kencang dan tidak nyaman. Apalagi wajah Vipera yang memerah karena malu sebelum berlari, membuat Altair menggigit jarinya sendiri.
Ini pertama kalinya seorang perempuan membuat ia merasa tidak nyaman seperti ini. Jantungnya berdetak keras bahkan hanya karena wajah memerah gadis itu.
Ia tersenyum ketika Vipera kembali turun, gadis itu terlihat sedikit salah tingkah ketika Altair menatapnya dengan senyum.
"Ada apa?" tanyanya.
"Boleh temani aku makan?" tanya Altair pelan. "Tidak jauh dari sini ada tempat makan yang pastinya kau suka."
Vipera melirik jam tangannya, sudah cukup larut untuk makan malam. "Masuklah, makan di rumah saja. Bi Sumi pasti tidak keberatan memasak sesuatu buat Anda," ujarnya.
Bagi Altair itu sebuah keberuntungan, senyumnya mengembang seperti adonan donat dan ia mengangguk cepat. Ia mengikuti langkah Vipera memasuki rumah.
"Kau sendirian?" tanya Altair.
"Tidak, ada Bi Sumi."
"Ah maksudku, Lev tidak ada?"
"Dia pergi bersama Paman Abrisam sejak pagi. Mungkin pulang ke rumah utama," jawab Vipera.
Mereka melangkah ke dapur, Bi Sumi yang tengah memanaskan air untuk merendam kaki terkejut melihat kedatangan Altair.
"Dia kelaparan, Bibi bisa memasak sesuatu untuknya?" tanya Vipera, membuat Altair menggeram gemas padanya.
"Tuan mau makan apa?" tanya Bi Sumi. Ia sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Altair.
"Apa saja, Bi," sahut Altair dengan tidak enak hati.
Mereka meninggalkan Bi Sumi memasak dan duduk di ruang tamu. Vipera membawa tabletnya ke ruang tamu dan melanjutkan pekerjaan, bergeser beberapa inci ketika Altair duduk di sisinya. Tapi pria itu hanya duduk diam di sampingnya.
Gadis itu bahkan hampir melupakan Altair di sisinya, hingga pria itu selesai makan dan meletakkan mangkuk kotor ke dapur. Altair berdiam diri hanya menatap wajahnya dari samping hingga tertidur.
"Anda tidak berniat pulang?" tanya Vipera ketika pekerjaannya selesai dan berpaling.
Mata gadis itu membola dengan seringai lucu ketika menemukan Altair tertidur dalam posisi duduk dan bersandar di punggung kursi. Terlihat sangat nyenyak.
'Haish, orang ini,' gumamnya dalam hati. 'Bangunin ga ya?'
Vipera memutar tubuh untuk melihat Altair lebih dekat. Pria itu memiliki bulu mata yang tebal dan lentik dengan alis yang seperti dilukis. Matanya yang biasa tajam dan menakutkan itu cukup besar untuk mata seorang pria. Rahang dan dagunya benar-benar bersih tanpa noda dengan kening lebar dan datar.
'Cih, wajahnya benar-benar membuat perempuan iri. Dia bisa terlihat cantik dan tampan disaat bersamaan,' pikir Vipera dan ia terkikik sendiri dengan pemikiran itu.
Gadis itu lantas bangkit, meraih tablet dan berjalan menuju kamar untuk mengambil bantal dan selimut. Berpikir untuk membiarkan Altair tidur beberapa waktu, nanti saat ia terbangun pria itu pasti akan pulang dengan sendirinya. Gadis itu kembali dan menyelimuti Altair perlahan agar tidak membangunkannya. Lalu meletakkan kartu pintu utama di sisi ponsel Altair yang tergeletak di atas meja. Setelah memastikan pria itu tidur dalam posisi yang cukup nyaman, Vipera mematikan lampu, menyisakan satu lampu kecil agar tidak terlalu gelap dan kembali ke kamar.
'Sebenarnya mengapa dia datang di malam begini? Tidak mungkin hanya untuk menumpang makan,' pikiran itu menghantui Vipera saat merebahkan tubuh di tempat tidur.
Altair juga tidak terlihat sedang kalut atau gelisah. Ia tenang seperti biasanya, membuat Vipera tidak bisa menduga apa yang membawa pria itu datang ke rumah. Gadis itu tersentak ketika Lev menghubunginya.
"Aku pulang ke rumah utama," ujarnya setelah mendengar suara Vipera.
"Baiklah. Apakah pekerjaan kalian belum selesai?"
"Hmm, ada beberapa hal yang harus diselesaikan sebelum Paman kembali ke luar negeri," jawabnya. "Kau baik-baik saja? Anjani atau Afon tidak mengganggumu lagi?"
"Aku baik-baik saja," jawab Vipera. "Tapi...ada Altair disini."
"Altair? Ngapain dia datang malam begini?" sentak Lev.
"Entahlah. Tadi sih datang katanya lapar. Tapi setelah makan malah ketiduran tuh di ruang tamu," jawab Vipera setengah tertawa.
"Kau membiarkan dia tidur disana?"
"Haruskah aku usir?" kekeh Vipera. "Aku tidak mau dipecat."
Lev menghempas napas kasar, dadanya bergejolak ingin pulang seketika. Ia tahu Altair tengah mengejar Vipera dan itu membuatnya khawatir. 'Pria itu benar-benar melakukan segala cara untuk mendapatkan gadis incarannya,' gumam Lev dalam hati.
"Aku akan pulang," putus Lev kemudian.
"Tidak perlu, selesaikan pekerjaanmu disana. Ada Bi Sumi disini," jawab Vipera.
"Kau percaya padanya?" sergah Lev. "Apa kau tahu dia mengejarmu?"
"Kurasa dia tidak begitu," jawab Vipera. "Lagipula dia bisa melakukan apa?"
Untuk beberapa saat Lev bersikukuh pulang, tapi deheman Abrisam yang mengingatkan pekerjaan mereka membuat ia menelan kembali keinginan pulang. "Baiklah, hati-hati," pesannya pada Vipera. "Kabari aku kalau orang itu macam-macam."
Lewat tengah malam, Altair tersentak dan membuka mata. Cahaya temaram membuatnya harus mengerjab beberapa kali untuk bisa menyesuaikan diri dengan keremangan. Dia bukan orang yang terbiasa tidur dalam suasana temaram seperti itu. Perlahan ia bangkit dan meraih ponselnya, sudah menjelang dinihari. Bibirnya menyungging senyum setengah kesal ketika melihat kartu pintu di sisi ponsel.
'Kau berharap aku terbangun dan pergi?' gumamnya dalam tawa kecil. Ia menoleh ke tempat dimana tadi berbaring, menyeringai senang karena ternyata Vipera memberinya bantal dan selimut. 'Tapi sayangnya aku tidak berniat pergi,' cengir Altair dalam hati.
Setelah mengecek ponselnya sebentar, Altair merebahkan tubuh kembali. Tapi hingga pagi matanya tak bisa lagi terpejam, menjelang subuh Bi Sumi terbangun dan terkejut melihat ia masih ada disana.
"Tuan tidak pulang?" heran wanita setengah baya itu, dengan cengiran tidak enak hati Altair mengangguk dan meminta maaf.
Bi Sumi hanya bisa menggelengkan kepala ketika pria itu meminta izin untuk menggunakan kamar mandi tamu. "Lagian kenapa ga tidur di kamar tamu?" heran Bi Sumi.
"Sepertinya saya tertidur saat menunggu Vip selesai bekerja," jawab Altair.
Bi Sumi mengangguk maklum dan berjalan menuju dapur. Tersenyum rikuh ketika sepuluh menit kemudian Altair datang dan membantunya menyiapkan sarapan.
"Dia biasanya suka apa?" tanya Altair ketika mempersiapkan bahan.
"Nona tidak pilih makanan," jawab Bi Sumi. "Tapi dia lebih senang sesuatu yang mengandung sayuran atau buah untuk sarapan."
Sementara itu Vipera turun dari kamarnya ketika matahari mulai muncul. Gadis itu turun dengan pakaian lengkap siap untuk bekerja dan membawa semua perlengkapan kerjanya ke meja makan. Tertegun ketika menemukan sarapan yang tidak biasa di meja.
"Ah, akhirnya kau turun," suara itu membuatnya berpaling cepat. Altair tersenyum cerah padanya sambil meletakkan segelas smoothies di hadapan Vipera.
"Kenapa Anda masih disini?" heran gadis itu. "Saya meninggalkan kartu di meja."
Altair duduk dengan santai di sisinya, menarik segelas kopi tanpa gula. "Aku terbangun setelah lewat tengah malam, aneh rasanya jika aku keluar di jam segitu dari rumah seorang gadis bukan?"
Vipera mendecih sebal. "Makanlah," ujar Altair seraya mendorong bubur tim ayam plus sayuran yang ia siapkan untuk Vipera. Bi Sumi sampai menggeleng takjub saat ia menyiapkan makanan itu dengan seksama sepagi ini.
"Dimana Bibi?" tanya Vipera karena ART kesayangannya tidak terlihat di pagi ini. 'Jangan-jangan Altair merebut dapurnya sejak pagi?' pikirnya.
"Ada di dapur," jawab Altair santai. "Cobalah," sambungnya dan sekali lagi mendorong mangkuk mungil itu ke hadapan Vipera. "Aku menyiapkan dengan sepenuh hati pagi ini."
"Terima kasih, saya harap rasanya seindah tampilannya," gumam Vipera.
Altair tertawa, "Kau meragukan kemampuanku memasak?"
"Entahlah, siapa yang tahu," jawab Vipera.
"Aku terbiasa memasak karena selalu tinggal sendiri sejak remaja," jawab Altair. "Makan dan beri aku penilaian."
Ia menatap Vipera yang mencicipi masakannya dengan mata penuh harap.
"Saya tidak bisa menelan kalau Anda menatap saya seperti itu," ujar Vipera, gadis itu memutar tubuhnya agar tatapan Altair tak memanggang wajahnya. Mata indahnya sedikit membesar ketika merasakan bubur yang ia telan ternyata sangat enak.
"Gimana, enakkan?"
"Hmm, lumayan…."
"Kau hanya memberi lumayan?" sungut Altair.
"Anda berharap apa?"
"Seharusnya kau memberi nilai 200 dari 100," sungut Altair lagi, membuat Vipera mengekeh kecil. "Kalau tidak segitu, aku akan menganulir bekalmu yang sedang diwadahi Bi Sumi."
"Kantin kantor masih lumayan enak," jawab Vipera membuat Altair mendecih sebal.
Bi Sumi muncul dari dapur dengan tersenyum, meletakkan bekal Vipera di samping tasnya. "Ini, Tuan Altair menyiapkannya sejak pagi," pamernya.
Vipera mendelik pada bibi kesayangannya itu. "Sekarang Bibi berpihak pada dia?"
Bi Sumi terkekeh kecil. "Soalnya dia memberi Bibi banyak resep untuk makanan yang pastinya Nona suka."
"Ck, ternyata Bibi mudah dirayu ya," Vipera mengomel sembari menghabiskan buburnya. Dua orang itu saling tertawa kecil tapi menatapnya dengan bahagia. Bagi Bi Sumi, kebahagiaan Vipera adalah satu-satunya yang ia harapkan selama ini.
"Kau tidak akan bersamaku?" tanya Altair ketika Vipera keluar dari rumah. Gadis itu biasanya dijemput Dan, tapi pagi ini berkat Altair pria itu harus berangkat lebih dulu ke kantor untuk mempersiapkan beberapa berkas. Vipera tentu saja tahu itu semua ulah Altair.
"Saya naik taksi," ucapnya, tersentak ketika Altair mengambil alih tas dan bekalnya.
"Masuklah. Kau akan terlambat kalau menggunakan taksi," sahutnya. "Ayolah, atau perlu kugendong?"
Dengan mendesis sinis, Vipera masuk ke mobil. Memasang sabuk pengamannya dengan kesal. "Turunkan saya sebelum kantor," ujar gadis itu ketika mereka sudah memasuki jalanan yang mulai ramai.
"Aku bahkan pernah menggendongmu sampai ke meja," ujar Altair cuek. "Kalau hanya sekedar berangkat bareng apa masalahnya?"
Vipera mengertakkan gigi saking jengkelnya, tapi ketika matanya bertemu mata Altair gadis itu merasa ada yang meleleh di dalam dada. Sesuatu yang membuat ia tidak bisa mengatakan apapun. Altair tersenyum, tangannya menjangkau puncak kepala Vipera.
"Vip, kau pernah berkeinginan mengambil alih perusahaan yang ditinggalkan keluarga ibumu?" tanya Altair pelan.
Sejenak Vipera menatapnya heran, apakah Altair mengetahui sesuatu tentang keluarganya? Ataukah hanya karena pembicaraan mereka dengan Abrisam tempo hari?
"Saya cukup senang dengan hidup saya sekarang," jawab Vipera. "Saya tidak peduli dengan perusahaan apapun itu. Yang saya inginkan hanyalah menemukan Ibu, secara fisik ataupun hanya makamnya."
Altair mencengkeram setir dengan kuat, menghela napas dalam-dalam. "Apakah Afon atau Tuan Theo pernah mengatakan sesuatu tentang ibumu? Apa yang terjadi hingga ia menghilang?"
"Tidak banyak yang mereka katakan tentang Ibu," sahut Vipera.
"Kenapa kau tidak tinggal bersama Paman Theo?"
"Karena kalau saya tinggal bersama mereka, Afon akan mengganggu perusahaan mereka. Saya tidak ingin membuat mereka kesulitan karena saya."
"Apa kau tahu, perusahaan keluarga ibumu diambil alih oleh Afon?"
"Hmm, ya. Nyonya Felicia pernah secara tidak sengaja mengatakan itu."
"Dan…kau tidak ingin merebutnya kembali?"
"Saya belum memiliki kemampuan itu."
"Dengan dukungan Paman Theo dan Lev, seharusnya kau bisa," ujar Altair. "Jika kau ingin melakukannya sekarang, aku akan membantumu."
"Terima kasih, tapi saya rasa Anda tidak punya alasan untuk melakukan itu."
"Tidakkah kita berteman sekarang?" tanya Altair. "Aku bisa membantumu, bahkan tanpa bantuan Lev ataupun Abrisam dan Theo. Aku sendiri bisa melakukannya. Selama kau mengatakan iya, aku akan melakukannya."
Mata mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum sama-sama berpaling.
"Kenapa?" tanya Vipera dengan suara kecil, bahkan suaranya hampir tertelah helaan napasnya sendiri.
"Karena aku ingin kau bahagia. Aku tidak ingin kau menderita lagi."
"Kebahagiaan saya tidak karena perusahaan itu kembali. Saya lebih membutuhkan Ibu ketimbang perusahaan."
Altair mengerlingnya sebentar, hatinya berdenyut dalam rasa bersalah. Penderitaan gadis ini bermula dari keserakahan kakek dan ibunya. "Baiklah, aku akan membantu menemukan ibumu," janji Altair.
Vipera tersenyum dan mengangguk, menggumamkan terima kasih. "Selama ini Lev serta Dan berusaha mencari Ibu. Tapi kami tidak punya banyak petunjuk," sahutnya.
"Kita bisa menggabungkan beberapa informasi, Bi Sumi dan Paman Abrisam serta orang tua Dan adalah orang-orang terdekat ibumu. Dan bukankah ibu Ruly adalah mantan sekretaris ibumu?"
"Yah, dia pernah mengatakan itu," ujar Vipera dengan nada ragu.
"Kenapa? Kau tidak percaya?"
"Lev bilang dia bekerja pada Nyonya Felicia setelah kepergian Ibu."
"Tapi, tidak ada salahnya menemui beliau bukan?"
Vipera mengangguk ragu atas pernyataan itu, ia sebenarnya tidak meragukan ibu Ruly karena selama ini pria itu bersikap sangat baik dan selalu melindunginya. Vipera hanya takut jika ia menghubungi ibu Ruly maka wanita itu akan menjadi target Afon dan Felicia.
"Saya hanya tidak ingin beliau menjadi sasaran Nyonya Felicia," ucapnya kemudian. "Itu akan merugikan keluarga Ruly."
"Aku mengerti," ujar Altair. "Kau tidak perlu cemaskan itu, karena aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu kau dan orang-orang di sekitarmu lagi," janjinya.
"Terima kasih, tapi itu akan sangat merepotkan."
"Aku senang jika direpotkan olehmu," ujar Altair dengan senyum yang membuat hati Vipera bergetar halus.
Mereka sampai di kantor di saat orang-orang mulai berdatangan, membuat Vipera cemas. Ia tidak ingin ada yang melihatnya turun dari mobil Altair karena itu pasti akan menimbulkan gunjingan.
"Turunlah dan naiklah lebih dulu," ujar Altair seolah tahu apa yang dipikirkan gadis itu ketika ia memarkir kendaraan. "Jangan lupa bekalmu."
"Terima kasih Tuan Altair," sahut Vipera seraya membuka pintu. Terkejut ketika tangannya ditarik.
"Bisakah kau tidak memanggilku Tuan?" pinta Altair, menatap manik gelap gadis itu. "Aku ingin kau memperlakukan aku sama dengan kau sikapmu pada Dan maupun Lev."
"Anda atasan saya, tidak mungkin saya memperlakukan Anda sama seperti mereka," tolak Vipera.
"Baiklah, tapi setidaknya di luar kantor jadilah temanku," desak Altair. Vipera menatap mata yang memohon padanya, menghela napas dan akhirnya mengangguk.
"Baiklah."
"Janji?"
"Hmm."
Dengan senyum riang Altair melepaskan cekalannya di lengan Vipera. Menatap punggungnya yang menjauh dengan senyum. 'Tunggu aku bicara pada Kakek dan Mama, setelah itu aku akan mengakui segalanya,' batin Altair.
Pagi ini ia bicara panjang dengan Bi Sumi tentang Zelene, mendapatkan beberapa informasi kecil yang berharga. Ternyata bahkan pernikahan Afon dan Zelene adalah rencana yang telah disusun dengan matang oleh kakeknya, Afon dan Felicia. Mereka sejak awal sudah merencanakan mengambil alih Grup Santana. Beruntung baginya karena Bi Sumi yang ternyata sangat membenci Afon dan ibunya tidak membagi kebencian itu pada diri Altair.
"Anda mungkin tidak tahu apa yang mereka lakukan di masalalu," ujar Bi Sumi. "Lagipula Anda sangat baik pada Nona. Tapi saya berharap kebaikan itu bukan untuk menyakiti Nona lebih jauh. Nona sudah sangat menderita dari kecil, hidupnya tidak pernah nyaman. Semua haknya direnggut dan ia diabaikan, jika tidak ada Tuan Lev dan Dan, saya tidak pernah tahu apakah Nona akan bisa bertahan."
Cerita singkat tentang Vipera yang mengalir dari bibir tua Bi Sumi membuat dada Altair terasa sesak. Ibu yang selama ini ia hormati ternyata membuat hidup gadis itu sangat menderita. Dan kali ini ia bertekad untuk mengembalikan semuanya pada Vipera. Dengan cara apapun.
"Kalau Anda ingin membantu Nona, Anda bisa bicara pada Tuan Theo atau Nyonya Alicia. Sebenarnya ada satu orang lagi, Rose. Dia adalah sekretaris Nyonya Zelene yang kemudian dipaksa Felicia untuk bekerja padanya. Sejak Nyonya Zelene menghilang, saya tidak pernah lagi bertemu Rose. Terakhir yang saya dengar Felicia menawan putranya agar Rose tetap bekerja padanya. Saya tidak tahu apakah putra Rose selamat atau tidak."
*Bersambung*