Chereads / Vipera, Menantu di Luar Radar / Chapter 23 - Bab 23. Rahasia Kelam (1)

Chapter 23 - Bab 23. Rahasia Kelam (1)

Jari-jari Altair merasakan ujung jari Vipera yang dingin ketika ia membawa tangan gadis itu untuk memeluk pinggangnya. "Aku tidak tahu kau masih duduk di belakangku atau tidak jika kau hanya mencubit sisi jaketku," ujarnya kemudian.

"Saya tidak akan jatuh," ujar Vipera pelan, mencoba menarik kembali tangannya dan lagi-lagi mencekal sisi jaket Altair. Pria itu hanya tersenyum, tidak ingin memaksanya.

"Anda tahu rumah lama saya?" tanya Vipera ketika mengenali jalur yang dilewati Altair. Ia tidak pernah tahu bahwa pria itu pernah mendatangi rumah tersebut.

Altair yang tidak menyangka akan diberi pertanyaan itu sejenak bingung. "Ah, waktu kau sakit, Dan pernah bilang alamatmu," sahutnya. Vipera hanya ber-oh kecil menanggapi jawaban itu.

Mereka berhenti di depan gerbang kusam rumah Vipera, gerbang yang terlihat sunyi dari kejauhan. Dedauan dari pohon pelindung di sekitarnya sudah sangat rindang, mungkin penjaga rumah yang sekaligus merawat taman belum sempat memotong ranting-ranting yang menjulur panjang ke jalanan.

Keduanya terkejut ketika sebuah mobil berhenti di sisi motor Vipera. Mobil mewah yang dikenali Vipera sebagai salah satu milik Lev. Gadis itu tersenyum karena berpikir Lev yang datang, tapi ketika seseorang turun dari kendaraan itu ia mundur satu langkah. Altair yang mengenali sosok itu ikut terkejut dan secara reflek menarik Vipera ke pelukannya. Keterkejutan yang sama ketika sosok tersebut menemukan mereka.

Ia menatap wajah Vipera yang juga menatapnya heran, sebelum kemudian tatap itu turun ke tangan Altair yang melingkari pinggang gadis itu. Seulas senyum super tipis menghiasi bibir pria tersebut.

"Apa yang kalian lakukan disini?" tanya pria bertubuh jangkung itu, menatap Vipera tajam. Gadis itu balas menatapnya dengan mata menyelidik. Sepertinya ia pernah melihat sosok ini tapi tidak bisa mengingat dimana ia pernah melihatnya.

"Saya rasa pertanyaan itu milik saya," ujar Vipera pelan. "Anda siapa dan apa yang membuat Anda datang?"

Altair melengak, 'gadis ini tidak mengenali Abrisam?' pikirnya dalam hati. 'Dia tumbuh bersama Lev tapi tidak mengenal satu-satunya keluarga sahabatnya sendiri?'

Ia menatap wajah Vipera yang terlihat waspada, sepertinya gadis itu berpikir bahwa pria di hadapan mereka adalah salah satu orang Afon? Tapi dia tidak mungkin tidak mengenali kendaraan yang digunakan Abrisam.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, apa yang kalian lakukan disini?" tanya Abrisam, kali ini menatap Altair. Ia tentu saja mengenali pria muda di hadapannya, tidak ada pengusaha yang tidak mengenali Altair.

"Ini rumah saya," sahut Vipera.

"Rumahmu?" suara Abrisam terdengar sedikit aneh. "Bagaimana rumah ini bisa menjadi rumahmu?"

"Saya mewarisi rumah ini dari ibu saya," jawab Vipera, kali ini ia menatap Abrisam dengan tatapan seolah sedang meneliti benda aneh di bawah mikroskop.

"Ibumu?" tanya Abrisam, terdengar sedikit terkejut dan mata tajamnya menyiratkan ketidakpercayaan.

"Ya, ibu saya," jawab Vipera.

"Setahuku rumah ini belum dijual. Aku mengenal pemilik asli rumah ini," sahut Abrisam.

"Ah, Anda mengenal ibu saya?" tanya Vipera, wajah cantik gadis itu bersinar penuh harapan.

"Siapa ibumu?"

"Zelene Santana, nama ibu saya adalah Zelene Santana," jawab Vipera.

Abrisam maju beberapa langkah dan mendekati Vipera, berdiri di hadapan gadis itu dengan tatapan seolah sedang mengancam. "Kau bilang siapa nama ibumu?" ulangnya.

"Zelene Santana," kali ini Altair yang menjawab. "Dia adalah putri Zelene dan Afon."

"Kau yakin?" sentak Abrisam, ia menatap Vipera dengan menyelidik. Menghela nafas ketika mata gelapnya bertemu mata penuh luka gadis itu.

"Yah, tentu saja. Dia adalah putri yang tidak pernah diakui oleh Afon karena pria itu berpikir gadis ini adalah putri Anda dan Zelene," tegas Altair, ia mengeratkan pelukannya di pinggang Vipera yang sekarang sedikit gemetar.

'Dia selalu merasa cemas setiap kali bertemu orang baru?' heran Altair dalam hati. Perlahan ia menarik tangannya ke atas dan membelai lembut punggung Vipera seolah sedang memberinya kekuatan.

Tetapi Abrisam menarik Vipera sedikit kasar. "Jangan mencoba membohongiku," sergahnya.

Gadis yang terkejut itu mencoba menarik kembali tangannya dari cengkeraman Abrisam yang sangat kuat. Tatapan mengancam pria itu membuatnya merasa terintimidasi.

"Dia tidak berbohong," Altair membantu Vipera melepaskan cengkeraman Abrisam di tangannya. Kembali memeluk gadis itu dengan sangat erat dan meluruskan punggungnya menatap Abrisam. "Dia adalah putri Afon."

"Sebaiknya kita bicara di dalam," ujar Altair kemudian, ia menuntun motornya memasuki halaman dan menutup gerbang setelah Abrisam memarkir kendaraannya.

"Anda bisa memanggil Lev dan Tuan Theo serta Nyonya Alisha untuk memastikan identitasnya. Atau perlukah kita bertemu Afon?" ujar Altair setelah mereka duduk di ruang tamu.

"Mereka bilang putri yang dilahirkan Zelene meninggal setelah dia pergi," sahut Abrisam kemudian. "Tidak ada yang memberitahuku bahwa anak itu masih hidup."

Altair tersenyum kecut. "Padahal dia tumbuh bersama keponakan Anda sejak kecil," sahutnya.

"Lev?" Abrisam menatap Vipera, gadis itu mengangguk.

"Ya, selama ini Lev yang melindungi saya dari Afon dan keluarganya," jawab Vipera. "Bahkan saat ini saya tinggal di rumah Lev karena rumah ini sudah tidak aman bagi saya."

"Anak itu, dia tidak pernah mengatakan apapun tentangmu padaku," ujar Abrisam, suaranya sedikit bergetar. Mata kelamnya menatap Vipera seolah ingin menemukan sesuatu yang ia cari atau ia rindukan di wajah cantik yang terlihat sedikit gugup itu.

"Kau ternyata mirip dengan ibumu saat masih muda," ujarnya kemudian, suaranya serak seakan sedang menahan tangis yang mungkin telah coba ia endapkan selama bertahun-tahun.

"Bagaimana kau hidup selama ini? Apakah Afon bersikap baik padamu?" tanya Abrisam setelah ia berusaha menenangkan diri. Bertemu dengan Vipera merupakan kejutan baginya, ia tidak pernah tahu keberadaan gadis itu selama ini.

"Saya baik-baik saja," sahut Vipera.

"Dan, apa hubungan kalian?" tanya Abrisam dengan tatapan menyelidik.

Baginya cukup aneh, bagaimana bisa keturunan terakhir Santana memiliki hubungan dengan cucu musuh bebuyutan keluarganya. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah gadis ini tahu bahwa keluarga Altair adalah salah satu dalang kehancuran keluarga Santana?

"Ah, aku bahkan belum tahu namamu," ujar Abrisam kemudian, mencoba tersenyum ramah ketika mengulurkan tangannya pada Vipera. "Aku teman ibumu," sambungnya kemudian.

"Saya Vipera. Anda bisa memanggil saya Vip, Lev memanggil saya begitu."

"Lev? Ah anak itu bahkan tidak pernah bercerita tentang kau padaku selama ini," ujar Abrisam dengan nada kesal. "Kau bilang dia melindungimu dari Afon? Seburuk apa bajingan itu memperlakukanmu?"

"Kami tumbuh bersama sejak masih kecil, Lev adalah salah satu orang yang banyak membantu saya," jawab Vipera. Ia mengabaikan pertanyaan Abrisam tentang Afon.

"Anda mengenal ibu saya?" tanya Vipera lagi, gadis itu bangkit dan berjalan menuju foto ibunya. Mata jernihnya menatap foto Zelene muda yang terpajang di dinding. "Bisakah Anda menceritakan tentang Ibu pada saya?"

Abrisam mengikuti tatapan gadis itu dan bangkit mendekati pigura besar yang membingkai wajah cantik Zelene. Berdiri di sisi Vipera yang menatap wajah ibunya dengan mata penuh kerinduan.

"Kau sangat merindukan ibumu?"

"Saya bahkan tidak pernah melihat wajahnya sejak lahir, saya hanya mengenalnya melalui foto-foto ini dan cerita Bi Sumi," jawab Vipera.

"Aaa, jadi dia masih bekerja padamu?" tanya Abrisam, suaranya terdengar hangat.

"Bi Sumi?"

"Hmm."

"Ya, dia menjadi pengganti Ibu bagi saya. Setiap kali Tuan Afon dan yang lainnya memperlakukan saya dengan buruk, Bi Sumi yang selalu melindungi saya," sahut Vipera.

Abrisam menatap wajahnya yang tersenyum kecil, terlihat sedih dan menderita. 'Seberapa buruk Afon memperlakukan dia selama ini? Si Bodoh itu berpikir bahwa gadis ini adalah putriku? Akan kubuat dugaannya itu menjadi sebuah kebenaran, dengan begitu aku bisa melindunginya. Aku harus menebus kelalaianku yang tidak menemukan dia lebih awal,' pikirnya dalam hati.

"Nak," ujar Abrisam, ia merengkuh Vipera perlahan ke dalam pelukannya. "Paman akan menceritakan semua tentang ibumu. Tapi, sebelum itu tolong jelaskan apa yang terjadi sehingga kau harus meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama Lev?"

"Paman bisa bertanya padaku."

Keduanya menoleh, Lev berdiri di belakang mereka bersama Altair yang menggenggam secangkir kopi.

"Kau hanya membuat kopi untuk dirimu sendiri?" tanya Abrisam setengah mengomel. Selama ini hubungannya dengan Altair semata hanya hubungan sesama pengusaha. Ia tidak pernah bicara secara pribadi dengan pria itu, tapi melihat dia dan Vipera hari ini entah mengapa membuat Abrisam merasa ia harus mendekatkan diri pada Altair.

"Saya tidak ingin mengganggu Anda yang tengah bernostalgia," sahut Altair cuek.

Abrisam memilih mengabaikannya sekalipun dalam hati super jengkel. Ia mengalihkan tatap pada keponakan kesayangannya. "Dan kau," sahutnya. "Mengapa selama ini kau tidak pernah menceritakan gadis ini padaku? Bukankah kau tahu dia putri dari seseorang yang sangat berharga bagiku?"

Lev menelan salivanya yang mendadak terasa pahit, ia tahu suatu saat akan menerima pertanyaan itu. Dan ia sendiri tidak tahu jawabannya, mengapa selama ini ia tidak pernah menceritakan keberadaan Vipera pada Abrisam. Padahal dari cerita Theo dan Talisha, Lev mengetahui bahwa Vipera adalah putri dari mantan kekasih Abrisam.

"Aku hanya tahu bahwa dia putri dari mantan kekasih Paman, mantan kekasih yang menikah dengan orang yang paling Paman benci. Tidakkah aku harus menyembunyikan keberadaannya?"

"Apa?" Abrisam terlihat syok dengan apa yang baru saja diutarakan Lev. "Kau takut aku akan membencinya karena ibunya meninggalkanku?"

Pria setengah baya yang masih terlihat gagah di usianya yang sudah setengah abad itu terlihat syok ketika Lev mengangguk. "Bukankah memang begitu?" ujar Lev.

"Apa yang kau katakan?" sergah Abrisam. "Aku membenci putri Zelene?"

Ia mendadak tertawa, "pikiran macam apa itu," kekehnya kemudian. "Tentu saja aku tidak akan pernah membencinya. Aku tidak mungkin membenci satu-satunya orang yang ditinggalkan wanita yang paling kucintai."

Mata Vipera membola, pria di hadapannya mengaku dengan begitu santainya bahwa ia masih mencintai ibunya? Setelah sekian lama, bertahun-tahun terlewati ia masih bisa mengucapkan kat-kata itu?

"Anda...mencintai Ibu?"

Abrisam menoleh dan mengusap rambut gadis itu lembut, mengabaikan Altair yang berwajah masam sejak Abrisam memeluk Vipera. 

"Aku selalu mencintai ibumu, bahkan sampai sekarang," jawab Abrisam pelan. Menatap wajah tersenyum Zelene di dinding. "Dan foto ini, aku masih ingat akulah yang mengambil fotonya. Foto sebelum kami memutuskan berpisah secara baik-baik karena ia terpaksa harus menikah dengan Afon. Aku tahu, aku terlalu pengecut untuk membawanya pergi saat itu. Jika saja saat itu aku punya keberanian untuk membawanya pergi seperti keinginan Zelene, mungkin aku masih bisa bersamanya saat ini. Dan kau, kau mungkin tidak akan menderita karenanya."

Suaranya terdengar sarat dengan kerinduan yang maha berat. Tangan Abrisam menggapai sisi pigura dan mengusap lembut benda itu seolah ia sedang berhadapan dengan Zelene yang masih hidup. "Keputusanku hari itu adalah keputusan yang paling aku sesali hingga sekarang," ujarnya serak.

"Apakah Anda tahu dimana Ibu dimakamkan?" tanya Vipera, setidaknya ia bisa mengunjungi makam sang ibu sekali saja.

Abrisam menoleh dan tersenyum pahit. "Aku mencarinya ke seluruh tempat yang mungkin ia kunjungi," jawabnya. "Di awal dia menghilang aku menelusuri seluruh tempat yang pernah kami datangi. Aku juga bertanya pada semua orang yang pernah mengenalnya, tapi bahkan mereka tidak pernah tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Tidak ada jejak sama sekali."

Wajah Vipera menyiratkan kekecewaan yang mendalam mendengar jawaban itu. Abrisam mengelus lembut puncak kepalanya.

"Kau pasti kecewa," ujarnya pelan. "Tapi, aku belum berhenti mencarinya hingga sekarang. Karena itulah aku menitipkan perusahaan pada Lev, aku meyakini dia masih hidup di suatu tempat dan menunggu kita menemukannya."

"Anda yakin Ibu masih hidup?"

"Ya, kuharap itu sebuah kebenaran Vip. Karena sebelum aku menemukan makamnya bagiku dia masih bertahan di suatu tempat. Aku tidak akan pernah berhenti mencoba menemukannya seumur hidupku."

"Kau juga ingin menemukan dia bukan?" senyum Abrisam yang disambut anggukan penuh semangat Vipera.

Untuk pertama kalinya gadis itu merasa ia memiliki harapan baru. Sekalipun menyadari bahwa itu mungkin hanyalah sebuah harapan kosong, tapi Vipera tetap ingin memelihara harap itu. Karena sekarang ia tahu, ada orang lain yang memiliki harapan yang sama.

Abrisam meminta Vipera menceritakan semua tentang dirinya yang dilengkapi oleh Lev. Altair yang selama ini tidak terlalu banyak mengetahui tentang gadis itu menyimak dengan seksama. Hatinya menjadi semakin terpaut pada gadis itu setelah mengetahui hampir seluruh kisahnya yang memilukan. Membuat kemarahannya pada Afon semakin menggelembung, dalam hati Altair mematri sebuah janji bahwa ia akan membalas semua rasa sakit Vipera satu per satu.

"Mulai sekarang, kau harus menegakkan kepala di hadapan mereka," ujar Abrisam setelah mendengar seluruh cerita Vipera. "Kau tidak perlu takut lagi pada mereka, karena Paman yang akan menghadapi mereka untukmu."

"Seperti yang kukatakan, kau boleh membuat kekacauan sesukamu dan kami yang akan membereskannya," sambung Altair yang disambut anggukan identik dua pria lainnya.

Vipera menggeleng melihat ekspresi ketiganya. "Tidak, aku tidak akan membuat kekacauan apapun selama mereka tidak menggangguku," sahutnya.

"Jangan bilang kau sudah memaafkan mereka?" heran Altair.

"Selama mereka tidak menggangguku, aku tak peduli mereka melakukan apa. Karena bagiku mereka bukanlah bagian dari kehidupanku lagi."

Ketiganya saling pandang untuk sejenak, saling memberi isyarat bahwa mereka tidak akan melepaskan Afon maupun anak-anak dan istrinya. Sekalipun itu berarti mereka harus melakukannya tanpa diketahui Vipera. Lev yang selama ini sudah terlalu muak dengan perilaku keluarga Afon tersenyum kejam.

'Akhirnya aku bisa melakukan semua rencanaku selama ini,' gumamnya dalam hati.

Mereka membersihkan rumah peninggalan Zelene sembari mendengarkan nostalgia Abrisam tentang wanita kesayangannya itu. Ia yang sesekali menatap Vipera dengan tatapan kerinduan terkejut ketika Altair mendekat.

"Orang akan berpikir Anda jatuh cinta padanya jika terus menatapnya seperti itu," ujar Altair, membuat Abrisam menggeram seperti beruang marah. "Anda tidak menganggapnya Zelene bukan?"

Tapi Abrisam tertawa kecil ketika matanya menemukan percik kecemburuan di mata Altair. "Kau merasa tersaingi dengan kehadiranku?" kekehnya.

"Cih, Anda jelas bukan sainganku. Saingan terberatku adalah keponakan kesayangan Anda," sahut Altair jengkel.

Seketika Abrisam menoleh pada Lev yang tengah membantu Vipera membersihkan beberapa foto sembari bercerita. Sesekali keduanya tertawa dan di lain waktu Lev membiarkan Vipera merebahkan kepala di bahunya sementara ia memeluk atau mengusap rambutnya penuh kasih sayang. Altair menggeram ketika melihat tatapan penuh sayang Abrisam pada keduanya.

"Sekarang aku mengerti mengapa anak itu sama sekali tidak pernah tertarik pada perempuan. Dia bahkan menolak mentah-mentah ketika aku berencana menjodohkannya dengan putri sahabatku," gumam Abrisam. "Ternyata dia memiliki tambatan hati. Pantas dia tidak pernah mau meninggalkan negara ini sekalipun aku sudah mengancamnya akan dikeluarkan dari daftar pewaris."

Altair mendengus mendengar monolog Abrisam. Pria setengah baya itu menoleh padanya.

"Dan kau? Apa hubunganmu dengan Vip?"

"Aku?" sejenak Altair bingung menjawab pertanyaan itu. Secara harfiah mereka hanyalah atasan dan bawahan, gadis itu bahkan tidak tahu perasaan Altair yang bergolak setiap kali mereka bersama.

Mata jeli Abrisam mengikuti tatapan Altair dan tersenyum. "Kau sedang mengejarnya?" ia terkekeh seolah kenyataan itu sebuah kemenangan baginya. "Dan kau bahkan tidak mampu bersaing dengan keponakanku?"

Tawa Abrisam yang penuh kebanggaan membuat Altair menelan salivanya yang terasa pahit sekarang. Alis melengkung Altair bertaut ketika Abrisam menariknya menjauh dari keduanya.

"Dan apakah gadis itu tahu bahwa kakekmu adalah satu orang yang telah menghancurkan keluarganya?" tanya Abrisam pelan.

Pertanyaan yang seperti petir menggelegar di telinga Altair. "Apa yang Anda katakan?"

Sejenak Abrisam menyesal melontarkan pertanyaan itu, mengutuk dirinya sendiri dalam hati. 'Jadi anak ini tidak pernah mengetahui hubungan keluarga mereka di masa lalu? Karena itu ia mengejar Vipera tanpa mengetahui bahwa apapun yang terjadi keluarganya pasti akan menolak gadis itu?'

"Apa maksud Anda?" ulang Altair, ia sama sekali tidak pernah mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Santana. Ia juga tak pernah mengetahui bahwa keluarganya memiliki sejarah yang panjang dengan keluarga Santana.

Dengan penuh penyesalan Abrisam menatap Vipera yang tertawa kecil bersama Lev sebelum menatap Altair. Menghela nafas panjang sebelum bicara padanya. "Kau sedang mengejarnya bukan?"

Altair menatap Abrisam tajam. "Percintaan saya bukanlah urusan Anda," kecamnya kejam.

"Cara bicaramu persis seperti ibumu," ujar Abrisam sedikit tertawa.

"Anda mengenal Mama?"

"Tentu saja," sahut Abrisam, kali ini nadanya terdengar mengandung kemarahan. "Dia adalah sahabat terbaik Zelene, orang terdekat yang selalu berbagi cerita dengannya. Orang yang kemudian menusuknya dari belakang dan menjadi pengkhianat terbesar bagi Zelene. Kurasa kalau ibumu bertemu Vipera dia pasti akan mengenali gadis itu dan menentang hubungan kalian?"

Tawa Abrisam semakin masam saat memperhatikan ekspresi Altair, bahwa semua dugaannya benar. "Tentu saja dia tidak akan pernah merestui hubungan kalian sekuat apapun kau berusaha meyakinkan mereka. Aku yakin, dia tidak akan pernah bisa menghapus rasa bersalahnya dan pastinya tidak ingin kejahatannya terungkap."

"Saya sungguh tidak mengerti apa yang Anda bicarakan," ujar Altair.

"Kalau kau ingin merebut hati gadis itu, kita tidak bisa membicarakan ini disini sekarang. Kalau kau ingin dia mencintaimu, kau harus bisa menutup rapat-rapat semua rahasia ini."

*bersambung*