Ada suasana aneh yang terjadi di dalam mobil, dimana sepasang pria dan wanita terduduk diam dalam keheningan yang canggung. Gue mengendarai mobil, menuju Apartemen kediaman Jeni. Meski di luar tampak tenang dan fokus ke jalan, ada kebingungan yang melanda isi otak gue. 'Nyari topiknya gimana ya? canggung banget ini cok!' gerutu gue dalam hati.
Keheningan ini membuatnya tak nyaman, gue merasa harus berbicara untuk meredakan suasana, tapi tak tahu topik macam apa yang harus dibahas.
Untungnya atau sialnya, hal yang sama juga berlaku untuk pihak lawan, Jeni terduduk diam, menatap keluar jendela dengan pikirannya yang berkecamuk.
Dia sudah memutuskan untuk menghentikan aksinya dalam merusak hubungan mereka, merelakan uang itu. Lagi pula, dengan apa yang dia lihat hari ini, bahkan jika dia berhasil dalam rencananya, dia tidak akan senang dengan itu. Ini akan menjadi beban hatinya karena telah merusak hubungan temannya.
'Tunggu, sejak kapan gue melihat Amela sebagai teman?' pikirnya dengan bingung. Dia ingin merenung lebih dalam, namun...
"Ehem..." Gue berdehem. "Buat yang sebelumnya... gue mau bilang makasih," kata gue dengan canggung. Jeni melirik sejenak, sebelum mengangguk. "Iya, bukan apa-apa."
Segera, suasana hening kembali, sesuatu yang membuat gue agak masam. Berpikir sudah waktunya untuk jujur satu sama lain, gue mengangkat topik yang paling penting. "Lo bisa berhenti sekarang tahu."
Wajah Jeni berkerut bingung. "Berhenti apa?" Gue meliriknya dan menjawab. "Semua kepura-puraan ini, lo bisa berhenti sekarang."
Mata Jeni membelalak terkejut, sebelum dia dengan cepat menenangkan diri. Menghela napas, Jeni bertanya, tak lagi mempertahankan gaya anggunnya. "Jadi lo udah tahu?"
"Tahu?" gue tersenyum tipis, "Bahkan sejak pertama lo dateng juga gue udah curiga." Kali ini Jeni tak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya. "Tunggu! kalo lo udah tahu sejak awal, berarti yang kemarin itu..."
Dia tak perlu menyelesaikan kalimatnya, senyum lebar pria di sampingnya sudah menjelaskan semuanya. 'Sial! berarti gue sengaja dikerjain waktu itu!' gerutunya, mengingat hari dimana dia terpaksa melakukan photoshoot dan menari untuk mencuri perhatian Devin. Siapa sangka bahwa pria itu tahu betul akan niatnya.
Jeni berbalik, menghindar dengan wajah malu, dia merasa seperti seorang idiot.
Gue terkekeh melihat ekspresi malunya, sebelum bertanya. "Lagian ngapain sih lo ngelakuin ini semua?"
Mendengarnya, Jeni memiliki raut wajah yang kompleks, tak mungkin dia mengatakan bahwa itu karena Rama. Namun, kata-kata Devin selanjutnya membuat tubuhnya membeku.
"Itu karena Rama kan?"
Gue tak perlu mendapat konfirmasi langsung setelah melihat reaksinya. "Hah, lo kenapa sih mau ngikutin apa yang dia suruh?"
Jeni tak menjawab, hanya menatap ke kejauhan.
Melihat diamnya dia, gue lanjut berkata. "Gue nggak tahu apa hubungan lo sama dia, tapi mending lo jauhin dia, dia bukan orang baik."
Jeni mengerutkan keningnya dan membalas. "Lo nggak kenal dia, jadi lo nggak tahu dia itu kayak apa."
"Oh tentu gue tahu." Dengan seringai jijik gue melanjutkan. "Cuma bajingan sampah nggak berguna, idiot yang berpikir dunia dibuat untuk dirinya sendiri."
Ekspresi Jeni berubah muram, meski dia memahami dari mana sumber ketidaksukaan Devin, itu tetap tidak memberinya rasa nyaman saat mendengar crush-nya dihina tepat di depannya. "Dia cuma agak nakal aja, dia nggak seburuk itu, jadi tolong jangan caci maki dia kayak begitu."
Dahi gue berkerut saat mendengar jawabannya. Rasa ketidaksenangan dengan jelas terasa dari nada bicaranya.
'Apa yang bajingan Rama itu lakuin ke dia?' pikir gue dengan bingung.
Gue merasa cukup berterimakasih dengan apa yang dilakukannya hari ini, karenanya gue ingin memberinya nasihat yang bermanfaat, apa lagi kalo bukan untuk menjauh dari bajingan Rama itu.
"Yah... gue cukup yakin, orang yang berencana merusak hubungan orang lain layak disebut begitu," kata gue dengan ringan, sebelum menoleh padanya. "Tapi serius deh, apa sih yang dia kasih ke lo, uang kah?"
Tubuh Jeni tersentak sedikit mendengarnya, sesuatu yang dengan jelas gue lihat. "Kalo itu bener, nggak usah khawatir, usaha gue lagi maju-majunya sekarang, gue bisa kasih lo juga, anggep aja bayaran buat yang kemarin, mungkin nggak sebanyak yang dikasih Rama sih, tapi masih oke kok."
Jeni merasa tak nyaman. Dia tidak kekurangan uang, tapi memang sepuluh miliar masih menggodanya. Sebelumnya, dia merasa tidak ada yang salah dengan itu, wajar jika seseorang tergiur dengan sejumlah besar uang.
Namun, setelah mendengar tawaran dari Devin, Jeni merasa pahit didalam, entah mengapa dia merasa dirinya seperti objek yang bisa diperjual belikan. "Nggak perlu, anggap aja itu bentuk maaf gue buat skema ini."
"Hahaha... oke," gue dengan riang menerima. Lagi pula siapa yang akan menolak lebih banyak uang? 'Persetan di cap pelit dan tidak tahu malu, yang penting banyak uang!' Berpikir demikian, gue berkata. "Lagian skema yang kalian buat itu, bener-bener kacau, terlalu banyak lubang."
Jeni menatap, tak menginterupsi Devin yang melanjutkan. "Apa lagi waktu Amela dapet foto skandal itu, Amela pasti ngasih tahu gue dong, dan dari situ selesai sudah."
Mata Jeni melebar, terkejut dengan informasi barusan. Dia tahu akan foto itu, lagi pula dialah yang membuatnya. Tapi dia tidak tahu jika Rama telah mengirimkannya ke Amela. Setelah mendapatkan foto tersebut, Amela pasti akan mencoba mendapatkan klarifikasi dari pacarnya, dan setelah Devin melihat foto itu, semuanya sudah selesai.
Mungkin Rama berpikir bahwa Amela akan menaruh curiga saat melihat foto tersebut, membuat hubungan mereka secara perlahan rusak. Sayangnya, Rama tak tahu betapa kuatnya hubungan keduanya.
Jeni hanya bisa menghela napas memikirkan betapa cerobohnya Rama.
Gue terkekeh melihat wajah lesunya. "Lihatkan? dia bener-bener bajingan idiot."
Jeni mengerutkan kening, tak senang dengan perkataannya. "Gua udah bilang sebelumnya, bisa nggak sih untuk nggak ngomong kayak begitu tentang dia."
Gue memutar bola mata. "Oh ayolah, buktinya ada didepan mata. Gue curiga kalo kepalanya dibedah, mungkin otaknya cuma segede biji kacang pfft..."
Sementara gue tertawa, wajah Jeni semakin muram, tidak merasa terhibur dengan gurauan barusan. "Berheni," katanya dengan tegas.
Gue yang merasakan jejak keseriusan dari nada bicaranya, memutuskan berhenti mengolok-olok. "Oke oke."
Sejenak keheningan kembali menyelimuti kami sampai...
"Berhenti," Jeni berkata lagi.
Gue mengerutkan kening mendengarnya. "Berhenti apa?"
Gue awalnya berpikir maksud berhenti barusan adalah berhenti meledek Rama, tapi sepertinya bukan itu.
"Iya, gue bilang berhenti," Jeni mempertegas kata-katanya.
"Maksudnya lo mau turun disini?" tanya gue dengan ekspresi tak nyaman.
Jeni mengofirmasi. "Iya, gue mau turun disini, sekarang."
"Nggak usah, tanggung, biar gue anter sampai-"
"Nggak perlu," potong Jeni. "Gue bisa pulang sendiri."
"Yah kan tanggung atuh, ini udah-"
"Gue bilang berhenti ya berhenti!"
Gue menurunkan kecepatan mobil dan menatapnya, menemukan Jeni sedang melotot tak senang padanya. "Oke, gue minta maaf kalo kata-kata gue menyinggung lo, gue akan diem, sekarang kita lanjut jalan ya," kata gue dengan lembut, berharap akan menenangkan hatinya.
Jeni menggeleng, dia sudah keburu jengkel. "Nggak, gue mau turun sekarang juga."
Gue menatapnya dengan intens sebelum bertanya. "Serius?"
Jeni menatap balik dan dengan tegas menjawab. "Turunin gue disini, atau gue bakal turun dengan paksa."
Melihat ketegasannya, gue menghela napas. Memakirkan mobil di bahu jalan, Jeni membuka pintu dan berjalan pergi.
Gue yang melihat itu agak merasa tak enak. Membuka kaca mobil, gue menjulur. "Jen, gue minta maaf buat yang barusan."
Jeni tak menggubrisnya, hanya berjalan menjauh dengan langkah cepat.
Gue bersandar ke kursi kemudi dengan lesu. 'Hati perempuan sensitif banget dah,' keluh gue dalam hati. Gue nggak menyangka, olok-oloknnya barusan akan membuatnya baper dan tersinggung.
'Kejar nggak ya?' pikir gue dengan eskpresi serius. Gue sering mendengar Amela bercerita jika ada karakter perempuan yang ngambek dan pergi, biasanya karakter pria akan mengejarnya. Jadi, perlukah dia melakukan yang sama? Tapi itukan cuma di novel, masa iya gue lakuin itu juga? Ini itu dunia nyata bukan fiksi. Gue ulangi, ini dunia nyata! bukan dunia fiksi! hal-hal penting harus diucapkan dua kali!
Pada akhirnya gue mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang merupakan pakar dalam kehidupan penuh drama. "Halo Mel?"
"Iya, halo Beb." Suara indah yang familiar bergema dari sisi lain, secara efektif menaikkan mood gue yang agak suram.
Tanpa basa-basi, gue menjelaskan apa yang baru saja terjadi, menghindari memberitahunya tentang fakta bahwa Jeni berkoalisi dengan Rama demi merusak hubungan mereka, hanya menjelaskan bagaimana gue tampak menyinggung perasaannya, membuatnya marah sampai dia memilih untuk diturunkan di jalan.
Selesai menjelaskan, suara di sisi lain terdengar. "Ihh... kamu itu, mulutnya nggak bisa dijaga banget sih!"
Gue tersenyum kecut saat mendengar keluhan Amela. "Ya aku nggak tahu kalo itu bakal buat dia tersinggung," kata gue membela diri. "Aku kan niatnya mau bercanda aja."
Meski mengatakan demikian, di dalam gue bergumam: 'Nggak sih, niatnya emang mau ngeledek aja.'
"Ini dari tadi atau baru?" tanya Amela dari ponsel. "Sekitar lima menit sejak dia keluar dari mobil," jawab gue.
"Belum jauh itu, cepetan kejar dia!" Amela berseru, sementara gue mengerutkan kening. "Kamu mau aku ngejar dia?" tanya gue.
"Iya dong, buruan Beb! keburu dia jauh."
"Sebentar, ini kamu beneran mau aku ngejar dia?"
"Ya iyalah."
"Kamu beneran mau aku, sebagai pacar kamu, ngejar cewek lain?" Gue mempertegas pertanyaan. Amela segera menjawab "Ya nggak lah!"
"Berarti aku nggak usah ngerjar dia kan?"
"Ya kejarlah!"
"..."
'Omong kosong macam apa ini?!' jerit gue dengan kesal. Amela seolah memberinya dua jawaban di saat yang bersamaan, apa dia ingin gue mengejar dan tidak mengejar disaat yang bersamaan? hal absurd macam apa itu?! Ini sama seperti diminta menoleh ke kiri dan kanan di saat yang bersamaan!
"Mel, jadi ini aku harus ngejar dia atau nggak sih?" tanya gue dengan agak gusar.
Amela menjawab. "Ya kamu kejar dong Beb, masa iya kamu tinggalin dia di jalan gitu aja, emang kamu nggak peduli apa?"
Mendengarnya, sejenak gue ingin menjawab. 'Itu kamu tahu.' Tapi untuk menghindari masalah, mari kita kesampingkan itu. "Yaudah oke, aku kejar dia sekarang nih."
"Bagus, kamu harus pastiin dia baik-baik aja," kata Amela, sebelum melanjutkan dengan nada mengancam. "Kalo seandainya temen aku itu kenapa-napa, kamu yang bakal aku gibeng!"
Gue terkekeh pahit setelah mendengar ancamannya. Menutup telpon, dengan helaan napas, gue lanjut mengemudi, mencoba untuk menyusul Jeni.
***
Jeni berjalan sendirian di trotoar, sementara beberapa kendaraan terkadang lalu-lalang di sampingnya. Hawa dingin angin malam menyelimutinya, hanya bisa memeluk diri untuk meredakan sensasi menggigil. Dia hanya mengenakan pakaian gaun tipis, pakaian indah yang menonjolkan kecantikannya.
Lagi pula, pada awalnya dia memakai pakaian ini untuk caper kepada Devin. Menyebut kembali orang itu, Jeni teringat kejadian barusan. Dia merasa kesal saat Rama diledek sedemikian rupa. Meski dia tahu alasan Devin melakukannya, tetap saja, dia tidak senang dengan itu.
Namun, jauh didalam, dia juga cukup setuju bahwa Rama memanglah seorang bajingan. Sebagai seseorang yang dekat dengannya, dia bisa mengkonfirmasi hal ini. Tapi sekali lagi, dia masih tak senang jika ada orang secara terang-terangan memakinya.
'Heh, apa ini yang namanya sindrom bucin?' pikir Jeni dengan senyum mencela diri.
Berjalan dalam kesendirian di tengah dinginnya malam, Jeni merenung, memikirkan bagaimana perasaanya bisa sampai ke titik ini. Dia mengenal Rama di Klub Malam, mereka melakukan one night stand dan menjalin hubungan teman tapi mesra setelahnya.
Tentu, dia bukan satu-satunya yang melakukan itu dengan Rama, faktanya dia bukan yang pertama juga bukan yang terakhir. Namun, sejak hubungan mereka, Rama menjadi semacam tembok baginya, secara tak langsung menjauhkan banyak pria hidung belang darinya.
Dengan pesonanya, tak sulit baginya untuk menjadi bagian lingkaran dekat Rama. Waktu berlanjut sampai dia perlahan memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman mesra. Sayangnya, hal yang sama tidak berlaku untuk Rama.
Sejauh ini, Rama melihatnya tak lebih dari wanita lain yang pernah menjalin hubungan nakal singkat dengannya. Seorang wanita yang tak lebih dari sekedar teman tidur. Seseorang yang hanya ada ketika ingin bermain, namun tak seharusnya diajak untuk hubungan serius.
Itu adalah logika yang umum dimiliki oleh para pria di zaman sekarang. Menarik wanita dari kiri dan kanan demi kepuasan masa muda, namun mencari wanita baik-baik untuk membina keluarga, benar-benar sekumpulan munafik.
Jeni berpikir bahwa sepertinya dirinya berada dalam golongan wanita yang hanya mengisi masa muda seseorang saja. Dibandingkan dia, wanita seperti Amela adalah kebalikannya. Para pria berusaha mendapatkannya untuk hubungan yang serius, bahkan Rama tak luput dari itu. Rama rela membayarnya dengan sejumlah besar uang demi merusak hubungan mereka dan mendapatkan Amela.
Bahkan Devin, yang merupakan pria baik-baik, juga menawarinya uang. Apakah itu murni bentuk ketulusan? atau hanya agar dia tak melanjutkan skema yang akan menyulitkannya nanti? Entahlah, dia tidak tahu. Tapi yang jelas, perbedaan perlakuan yang bagaikan langit dan bumi ini membuat hatinya sakit.
Dia tahu dia bukan wanita baik-baik. Dia adalah wanita malam dengan pergaulannya yang toxic. Tapi meski begitu, dia masihlah seorang perempuan. Dihargai dan dicintai juga adalah sesuatu yang dia inginkan.
Apakah dia terlalu kotor sehingga tidak layak untuk mendapatkannya? Sejenak Jeni merasakan sengatan tajam di hatinya, matanya memerah dengan genangan air mata. Namun, dia segera mengusapnya, sebelum berjalan dalam kesepian di tengah dinginnya malam.
Seolah itu tak cukup pilu, Jeni harus menghentikan langkahnya saat sekelompok pria berdiri di depannya.
"Halo cantik~"
"Ih... sendirian aja nih."
"Sini neng, nongkrong sama abang dulu, hehe..."
Jeni membeku terkejut saat dihadapkan dengan para pria berpakaian berantakan dengan tato yang mengancam, tak salah lagi, mereka pastinya preman lokal. Mereka sama sekali tidak menyembunyikan niat mereka.
Jeni bisa dengan jelas melihatnya dari bagaimana mereka menatap dan bersiul padanya. Melihat ini, Jeni merasa hatinya tenggelam.
***
Sekelompok kendaraan bermotor berjalan, meraung di jalanan kota. Masing-masing dari motor ini adalah motor sport yang mahal dan mewah. Kelompok ini terus berjalan, sebelum perlahan berhenti saat motor di paling depan melambat dan berhenti di pinggir jalan.
Yang lain, melihat itu juga mengikuti, salah satu dari mereka, membuka helm dan berbalik ke belakang, ke motor yang pertama kali berhenti. "Lo kenapa Ram?"
Orang yang dibelakang, membuka helmnya, menunjukkan wajah dari pria yang familiar, itu adalah Rama. "Yang tadi kayak mirip Jeni?" gumam Rama.
Sejenak saat melesat cepat dengan motornya, dia secara sekelebat tampak melihat sosok yang familiar, sosok itu mirip dengan Jeni yang tengah berjalan di trotoar.
"Kenapa Ram? gue nggak denger. Bensin lo habis?" kata Reza saat dia melihat Rama bergumam, namun tak mampu mendengarnya.
Rama berpikir sejenak sebelum melirik Reza dan menjawab. "Lo sama anak-anak yang lain duluan aja ke Klub, gue nanti nyusul."
Mengatakan demikian, Rama memutar motornya, dan berkendara pergi.
"Hah? apa? ini nggak mungkin serius dong?!" Reza menggerutu kesal, melihat arogansi Rama, dia berteriak frustasi. "Anjinglah! Taik lo Ram!"
Hanya karena dia adalah ketua mereka, Rama selalu bersikap angkuh dan arogan, memperlakukan yang lain seperti bawahan tak penting. Wajah Reza berkerut marah, dia iri dengan Rama, tak hanya soal kekuasaan dan kekayaan, tapi juga soal wanita. Dia sebenarnya menyukai Jeni, tapi dia jelas tidak berani mengatakannya.
Dia hanya bisa menelan keluhannya dan bersikap seperti anjing jinak dihadapan Rama. "Bangsat lo Ram!!"
"Lo kenapa sih Za?" Javiko, bertanya saat dia melihat temannya berteriak kesal. "Udahlah, Rama emang suka begitu, udah yuk, lanjut ke Klub aja."
Reza tak menjawab temannya. Apa yang dia teriakkan barusan bukan hanya soal kekesalannya pada keputusan mendadak Rama, tapi atas segala apa yang Rama miliki.
"Ya udah, lanjut aja yuk, kita party sampai puas malam ini!" Reza berseru dan yang lain mengikuti dengan riuh, sebelum mereka lanjut berkendara ke Klub Malam.
***
"Cantik, nggak usah takut ya."
"Iya, sebentar aja kok, nggak lama, hehe..."
"Ugh... mulus banget dong itu kulitnya."
Total ada empat orang di depannya, berjalan dengan senyum predator di wajah mereka. Jeni menekan rasa takutnya, melirik ke jalan berharap ada kendaraan yang lewat, namun sayangnya, dia tak melihat apapun, tapi Jeni tetap berkata. "Kalo lo mau macem-macem, gue bakal teriak sekarang juga."
Mendengar ancamannya, para preman sejenak terdiam dengan ekspresi tak nyaman.
Namun, salah satu dari mereka, dengan enteng berkata. "Halah, coba aja, nggak ada yang lewat juga kok," katanya menoleh ke jalan dan berseru. "Hey! coba lihat disini, ada perempuan minta tolong! gimana? ada yang mau bantu dia hah?!"
Kecuali tawa para preman, tidak ada respon lain. Tentu saja, lagi pula tidak ada siapapun disana selain mereka.
Jeni melirik sekitar, jantungnya berdetak kencang karena gugup dan takut. Dia berpikir keras, mencari solusi untuk keluar dari situsasi ini, sampai akhirnya, sebuah ide terbesit di pikirannya. Jeni menatap kedepan, lebih tepatnya ke belakang para preman, dia berseru. "Polisi!"
Mendengar itu, tubuh para preman tersentak kaget. Mereka berbalik, melihat ke arah yang ditunjuk Jeni hanya untuk tak menemukan apapun.
Detik berikutnya mereka mendengar langkah kaki yang dengan cepat bergerak. Berbalik, keempatnya melihat Jeni berlari menjauh, "Berengsek! kejar dia!"
Jeni yang berlari menjauh, melihat lampu sorot kendaraan, hatinya sangat senang, dia berteriak. "Hey! tolong!! ada prema-aww!!"
Teriakan Jeni harus dipotong saat dia merasakan rambutnya ditarik dengan kasar. Sepertinya, karena perbedaan kondisi fisik yang terlalu besar, para preman mampu mengejar dirinya dengan cepat.
"Mau kemana lo sekarang? hehe," kata preman yang menjambak rambutnya.
Jeni berteriak. "Tolong-mph!"
Namun dia segera di bekap.
"Ayo coba teriak lagi?!" seru preman itu dengan senyum mengancam.
Rasa takut kini sepenuhnya menyelimuti hatinya, air mata turun tak terkendali. Dirinya di tarik ke pinggir jalan, ingin dibawa ke suatu tempat, diiringi oleh tawa cabul dari para preman.
Ketika Jeni merasa dirinya sudah berada di tengah jurang, suara kendaraan terdengar. Awalnya pelan namun dengan cepat menjadi lebih keras, tampaknya kendaraan itu tengah melaju dengan cepat. Dan sepertinya itu bukan ilusi, karena Jeni bisa melihat sorot lampu kendaraan tersebut, yang dengan cepat berjalan melesat sampai menabrak salah satu preman.
Tiga preman yang lain tampak terkejut dengan gangguan barusan, mereka melihat rekan mereka yang tersungkur karena ditabrak oleh kendaraan bermotor yang sebelumnya dengan cepat melaju.
Melirik kepada pengendara motor, salah satu preman berteriak. "Woy anjing! bosen hidup lo sialan!"
Orang yang diteriaki, turun dari motor dan melepas helmnya, menunjukan wajah yang familiar. Jeni menatap orang tersebut dengan kaget, kepalanya terasa kosong saat dia melihat Rama.
Sementara itu, Rama yang baru saja melepas helm, melihat apa yang ada di depannya. Tiga pemuda dengan pakaian berantakan sobek-sobek dan tato serta tindikan di wajah mereka.
Rama menatap jijik pada sekumpulan preman atau anak jalanan yang tampak seperti tikus kotor di matanya. Mengabaikan mereka, mata Rama melebar saat melihat wajah yang dikenalnya, kepada wanita yang kini sedang menatapnya dengan matanya yang memerah, ditemani banjir air mata. Mulutnya di bekap, sementara rambutnya di jambak.
Pemandangan didepannya membuatnya terkejut sampai ke akarnya. Ledakan emosi yang kuat terpancing, bangkit karena pemandangan itu. Rama menggertakkan giginya dan menatap para preman dengan marah. "ANJING SIALAN!! GUE MATIIN LO SEMUA!!"
Meraung marah, Rama melesat ke depan sambil melemparkan helmnya kepada preman yang tengah menjambak dan membekap Jeni. Tiba di depan salah satu preman, Rama melepaskan tinju kuat yang langsung membuatnya tersungkur.
Preman lain, melesat padanya dan melayangkan sebuah pukulan. Rama menunduk, mengindari pukulan, sebelum menyerang balik dengan memukul perutnya. Preman itu membungkuk kesakitan, memegangi perutnya, namun Rama tak memberi jeda saat dia menahan kepala preman tersebut dengan kedua tangannya, sebelum membenturkannya kepada lututnya. Tidak berhenti disitu, dia mengakhirinya dengan memukul wajahnya, membuatnya tersungkur kebawah.
Rama melirik sekitar. Preman yang dia tabrak masih mengerang kesakitan, sementara yang dia lemparkan helm dan yang pertama dia tinju, bangkit, menatapnya dengan amarah.
Preman yang sebelumnya menjambak Jeni, mengeluarkan sesuatu dari balik jaket lusuhnya, itu adalah sebuah pisau lipat "Bangsat! mati lo hari ini anjing!!" Berteriak, dia melesat ke depan, bersamaan dengan rekannya.
Rama menghadap pada preman yang memegang pisau. Saat orang itu melayangkan serangannya, Rama dengan sigap menangkap tangan tersebut, dan di saat yang bersamaan, tanpa menoleh, Rama melepaskan tendangan ke belakang, mengenai dada preman lain, membuatnya terpental beberapa langkah.
Detik berikutnya, Rama memelintir tangan si pemegang pisau. Suara retakan dan jeritan bergema di jalanan, sementara pisau yang dipegang orang itu jatuh ke jalan. Rama mencekik lehernya dan melayangkan serangkaian tinju ke wajahnya.
Preman terakhir yang sebelumnya di tendang Rama, bangkit. Melihat Bosnya dijadikan samsak tinju seperti itu, membuatnya merasa takut. Tanpa basa-basi dia berlari pergi.
Jeni hanya berdiri di samping, menonton bagaimana Rama yang sedang menghajar para preman. Hatinya berdeguk kencang, entah karena andrenalin atau emosi lain, tapi yang jelas, matanya tak bisa menghindar dari bagaimana pria di depannya melepaskan rentetan tinju ke wajah preman yang sebelumnya menjambak rambutnya.
Hampir tiga menit Rama menghajar orang tersebut, yang kini memiliki banyak lebam di wajahnya. Preman itu sudah jelek sejak awal dan sekarang tampak lebih jelek lagi. Menemukan dia sudah tak sadarkan diri, Rama melepaskannya, berdiri dan menatap Jeni. Wanita itu hanya terdiam dengan ekspresi melamun. "Jen, lo nggak apa-apa?"
Jeni tak menjawab, hanya berdiri diam, terjebak ke dalam pikirannya sendiri.
Rama mengerutkan kening. "Jen? lo denger gue nggak?" tanyanya sambil melambaikan tangan.
Jeni tersentak kaget, mengedipkan matanya beberapa kali, bangun dari transnya. "Eh i-iya, gue... nggak apa-apa," katanya menoleh kesamping, mencoba menghindari tatapan pria itu.
Rama melihat Jeni dengan lebih baik. Dia memakai gaun indah warna hitam yang meski agak berantakan masih mampu menonjolkan kecantikannya. Dia sedang memeluk dirinya, entah karena dingin atau rasa takut dari insiden sebelumnya. Rambutnya juga sedikit berantakan.
Jeni saat ini tampak seperti wanita yang rentan, seperti kelinci kecil yang mengundang perasaan untuk melindungi dan memakannya di saat yang bersamaan. Rama merasakan dorongan tertentu saat melihat kerentanannya.
Namun, melihatnya memakai pakaian tipis di malam yang dingin ini, dia berinisiatif melepaskan jaketnya, berjalan mendekat dan mengenakannya di bahunya.
Jeni menatap terpesona saat jaket Rama dikenakan padanya, dia menarik lebih dekat, membuat jaket itu tampak seperti selimut yang melindunginya dari dinginnya angin malam.
Rama meliriknya dan bertanya. "Lo ngapain disini?"
Jeni membuka mulut untuk menjawab, sebelum menutupnya kembali dan menunduk. Dia tak ingin Rama tahu bahwa dia baru saja bersama Devin, juga dia tidak ingin berbohong, jadi dia hanya bisa tertunduk diam.
Rama yang melihat itu mengerutkan kening, Jeni tampak tak ingin menjawabnya. Dia ingin bertanya lebih lanjut, namun, mengetahui tempat ini bukanlah tempat terbaik untuk berbicara panjang, dan juga orang yang barusan lari, mungkin saja akan membawa lebih banyak preman, dia mengesampingkan itu.
Berpikir demikian, Rama menatap Jeni. "Yaudah, gue anter pulang aja," katanya sebelum berjalan untuk mengambil helm.
Jeni mengangkat kepalanya, menatap Rama sebelum menjawab dengan lembut. "Oke."
Tak terlalu jauh dari keduanya, sekitar lima puluh meter dari mereka, sebuah mobil warna putih tampak terparkir di bahu jalan.
'Apa yang gue lihat barusan? Siaran langsung Drama Korea?' pikir gue saat terduduk diam, menonton adegan barusan.
Sebelumnya, ketika sedang berkendara untuk menyusul, gue melihat Jeni berlari, melambai dan berteriak padanya, sebelum dia ditangkap oleh segerombolan orang.
Gue awalnya panik dan bersiap untuk melaju cepat. Namun, sebuah sepeda motor datang lebih cepat darinya. Dan gue cukup terkejut saat melihat identitas orang itu ketika dia melepas helm, itu adalah Rama.
Melihat bahwa sudah ada orang lain yang mencuri panggungnya, gue memilih untuk berhenti di bahu jalan, mematikan lampu, dan menonton dengan seksama.
Siapa sangka bahwa dia akan diperlihatkan momen klise yang biasanya hanya muncul di cerita-cerita fiksi yang sering dibicarakan oleh Amela.
Melihat kedepan, gue menemukan Jeni naik ke motor Rama, sebelum mereka berkendara pergi. melihatnya gue terkekeh pahit. "Takdir benar-benar lucu."
Setelah mengatakan itu, ponsel gue tiba-tiba berdering. Melihat kepada nama penelpon, gue tersenyum dan mengangkat panggilan. "Halo Me-"
"Gimana? udah kesusul belum?" tanya Amela, memotongnya seperti biasa.
Gue tersenyum pahit. "Kamu nggak perlu khawatir sayang, udah ada orang lain yang nyusul dia," jawab gue.
"Hah? maksudnya?" tanya Amela bingung. "Kamu gimana sih, nanti kalo itu orang nggak bener gimana?"
"Nggak apa-apa, seharusnya nggak ada masalah kok," jawab gue dengan ringan.
Amela bertanya lagi. "Kamu yakin?" Gue menjawab. "Iya aku yakin."
Meski mengatakan demikian, di dalam gue bergumam. 'Mungkin.'
Gue berbincang lebih lama lagi dengan Amela, sebelum menutup ponsel dan lanjut pergi.
Setelah berkendara sekitar 15 menit, gue tiba di bangunan tiga lantai yang familiar, itu adalah Ruko dimana usaha gue berada.
Hari ini berjalan lebih panjang dari biasanya. Barang-barang gue seperti laptop dan tas kerja, masih ada disana. Gue ingin mengambilnya sebelum pulang.
Setelah memarkirkan mobil, gue berjalan ke Outlet, menemukan semacam panggangan sate di depan, lengkap dengan bara apinya yang menyala.
'Ini Bagas ngapain lagi,' keluh gue dalam hati.
Ini sudah malam dan anak magang sudah pulang, maka hanya tersisa Bagas sebagai orang yang tinggal disini. Berjalan masuk, gue langsung naik ke lantai atas. Tidak menemukan Bagas di lantai dua, gue naik ke lantai tiga. Sampai disana, gue menemukannya, tapi dia bukan satu-satunya.
"Yo Dev," sapa Lintang dengan senyum tipis. "Lo balik juga akhirnya."
Gue menatapnya tanpa menjawab. Sejenak ada keheningan yang tak nyaman mengalir di udara.
Bagas yang melihat itu tampak tak nyaman saat dia terjebak di antara kedua Bosnya. Setelah beberapa saat, Lintang menghela napas dan melirik Bagas. "Gas, lo bisa turun dulu kebawah."
Mendengarnya, Bagas segera berjalan. "Mari Bos Dev," sapanya dengan senyum canggung sebelum pergi melewati gue.
Dibiarkan sendiri, Lintang menghela napas. "Dev, soal Amela, gue minta maaf."
Sejanak gue hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa, sebelum berjalan sambil menghela napas berat. "Hah... gue tahu itu bukan salah lo Tang."
Lintang masih terduduk di tempatnya, menatap Devin yang berjalan ke depan jendela dan membukanya. Gue merasakan dinginnya angin malam dan menatap ke luar, kepada jalan Raya di depan yang ramai akan kendaraan lalu-lalang.
Melirik keatas, gue melihat pemandangan malam yang kontras dengan hiruk-pikuknya jalan. Itu tampak tenang dengan sedikit kilauan bintang berkelip dan bulan betengger di atasnya, memancarkan cahaya biru lembut yang menenangkan.
"Kadang orang harus di tampar keras untuk bisa sadar," kata gue sebelum Berbalik menghadap Lintang dan tersenyum masam. "Dan itulah yang lo lakuin. Walaupun prosesnya pahit, tapi yang namanya obat selalu pahit kan?"
Melihat senyum di wajah rekannya, Lintang merasa lebih ringan, Devin cukup dewasa untuk mengerti bahwa memang, dia tak bisa menyembunyikan sesuatunya untuk selamanya. "Huh... ini bagus, gue kira lo bakal meledak marah dan bilang: Bajingan pengkhianat!"
Gue terkekeh pahit mendengarnya sebelum berkata dengan cibiran. "Jangan salah brengsek, walaupun gue paham lo ngelakuin itu dengan niat baik, gue tetap baper dan ngerasa kayak dikhianati."
Lintang tertawa, di berdiri dan berjalan keluar. "Kalo gitu biar gue kasih kompensasi untuk rasa baper lo itu."
Gue menatap Lintang yang turun kebawah, dan mengikuti sampai ke depan Outlet, menemukan Bagas yang sedang memanggang sate.
"Ini?" tanya gue.
Lintang melirik. "Yah... sebelumnya gue udah mikir kalo lo bakal marah, jadi gue udah siapin ini semua, eh ternyata tanggapan lo lebih tenang, tahu gitu gue nggak akan buat beginian dah hah..." Lintang menghela napas kecewa, sementara gue terkekeh. "Ini bagus, seenggaknya gue bisa makan gratis hehe..."
Lintang menggeleng dan bertanya. "Gimana Gas? udah mateng belum?"
"Bentar lagi sih ini," jawab Bagas sebelum melirik kedua Bosnya yang tampak seperti biasanya. Dia merasa lega karena apapun masalah mereka, sepertinya telah di selesaikan dengan baik.
Dengan itu, kami bertiga menghabiskan separuh malam di depan Outlet, memanggang aneka daging dan menyantapnya dengan lahap.
Menatap kepada bulan di atas, gue tersenyum, hari ini adalah hari yang panjang, namun semuanya berjalan dengan baik, dan gue berharap hal yang sama untuk hari-hari selanjutnya.