Gue berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit dengan tergesa-gesa, tanpa memperhatikan kondisi sekitar. Sejenak gue merasa kembali ke masa lalu, ke beberapa tahun silam, ketika dia berlari di lorong rumah sakit untuk melihat keadaan adiknya, Haikal.
Ini adalah rumah sakit yang berbeda dan gue akrab dengan jalan ini, lagi pula, setiap hari Minggu dia akan mampir kesini. Namun anehnya, khusus hari ini, semuanya tampak begitu asing, seolah ini adalah pertama kalinya dia berkunjung ke sini. Gue tampak bingung menatap setiap tikungan, bertanya-tanya apakah harus berbelok atau tidak, pikirannya seolah telah melupakannnya.
Namun syukurnya, tubuhnya sepertinya masih mengingatnya, karena meski dalam keadaan pikiran yang kacau, tubuhnya secara otomatis bergerak, terkadang berjalan lurus, terkadang berbelok, seolah telah mengingatnya dengan jelas, menuntun dirinya ke jalan yang benar. Tentu, tak setiap kesempatan itu benar.
"Beb!" seru Amela saat dia menatap pacarnya berjalan lurus. "Arahnya kesini," tunjuknya ketikungan.
Gue yang mendengar itu tampak terbangun dari trans, sebelum menjawab dengan linglung. "I-Iya, bener bener... j-jalannya kesini."
Amela menatap dengan khawatir, dia mengikuti pacarnya dibelakang, yang sedang tergesa-gesa berjalan dengan isi kepala yang sepertinya tidak dalam keadaan yang benar.
Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa saat yang lalu, Devin mengangkat sebuah telepon, sebelum menjatuhkan ponselnya. Dia cukup terkejut dengan itu, namun yang membuatnya semakin terkejut adalah bagaimana pacarnya menjadi aneh setelahnya. Devin tampak sangat shock atas sesuatu, dia menjadi linglung seolah pikirannya terjebak entah dimana.
Kami harus menyelesaikan kencan kami dan segera ke mobil. Di sepanjang jalan, Amela mencoba bertanya alasan perubahan mendadaknya, mempertanyakan wahyu seperti apa yang dia terima dari panggilan sebelumnya.
Sayangnya, pacarnya, Devin, tak menjawab dengan jelas. Pria itu hanya mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
Meksi mengatakan demikian, Amela tak begitu bodoh untuk percaya. Dengan jelas dia melihat bagaimana cara kekasihnya itu menjawab, dia bergumam terus menerus, mengatakan semuanya akan baik-baik saja, dengan tangannya yang gemetar di kemudi mobil. Kami bahkan hampir mengalami kecelakaan di beberapa kesempatan karena pacarnya yang mengemudi dengan pikiran yang terganggu. Amela harus menegurnya dari waktu ke waktu untuk menarik kembali pria itu ke kenyataan.
Dan sekarang, mereka tengah berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Amela sudah menaruh curiga saat Devin berkendara ke komplek rumah sakit. Wahyu yang mampu membuatnya tampak begitu shock dan perjalanannya ke rumah sakit dengan tergesa-gesa, adalah bukti yang cukup baginya untuk secara garis besar mengetahui apa masalahnya.
Dia memiliki pemikiran tertentu, namun segera menggeleng untuk menyingkirkan pikiran itu, khawatir bahwa apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan.
Namun, meski hatinya ingin menolak, akal sehatnya dengan jelas telah merumuskan sebuah kesimpulan, kesimpulan yang terlalu memilukan.
Amela menatap punggung pria yang dicintainya, sejenak matanya memerah dengan rasa iba yang kuat, membayangkan apa yang akan dirasakan orang itu jika kesimpulan dalam pikirannya ternyata terbukti benar.
Kami bergerak dan akhirnya tiba di lorong tertentu. Seorang wanita usia 30 an yang familiar, berdiri dengan ekspresi khawatir di depan ruangan ICU. Melihat kepada dua orang yang baru muncul, dia berseru. "Mas Devin! i-itu... A-Ayah Mas..."
Tanpa menunggu Mbak Fina menyelesaikan kata-katanya, gue bergerak melewatinya, membuka pintu ruangan dan berjalan masuk.
Di dalam, sekolompok orang berseragam putih, berdiri mengelilingi ranjang pasien yang terletak di tengah ruangan.
Mereka semua menoleh, menatap kepada pemuda yang masuk. Salah satu dari mereka berjalan mendekat, orang itu menghadap padanya dan berkata dengan berat hati. "Mas Devin... kita semua, tim medis, sudah melakukan yang terbaik untuk keselamatan Ayah Mas, tapi... pada akhirnya takdir punya rencana lain."
Gue berdiri, mendengarkan perkataan dokter Arhan dengan ekspresi kosong. Di sampingnya, Amela juga ikut mendengarkan, kedua tangannya menutup mulutnya, tampak terkejut dan khawatir.
Dokter Arhan melirik sebentar wanita itu sebelum melanjutkan. "Sekitar tiga jam yang lalu, pasien mengalami gagal jantung, sebelum akhirnya mengalami mati otak total. Kami sudah melakukan penanganan sesuai prosedur dengan bantuan alat kejut jantung, tapi... hasilnya sepertinya sudah ditetapkan."
Melirik sejenak kepada pasien dibelakang, dokter Arhan berkata dengan enggan. "Kita sudah melakukan beberapa pemeriksaan dan mampu memastikan bahwa pasien... telah dinyatakan tiada." Menghela napas berat, dokter Arhan melanjutkan. "Pasien telah dipastikan meninggal pukul 14:27 pada..."
Sementar dokter Arhan melanjutkan penjelasan lebih lengkap prihal kematian Ayahnya, gue sudah tak mampu mendengar apapun lagi setelah mendengar kalimat 'telah dinyatakan tiada'.
Disisi lain, Amela berdiri dengan tubuhnya yang gemetar, tampak shock saat air matanya jatuh. Meski dia hampir tak pernah berinteraksi dengan Ayah Devin, mendengar berita kematiannya masih memberinya pukulan emosi, terlebih lagi, ini adalah Ayah kekasihnya.
Amela melirik kepada pacarnya, menemukan pria itu hanya berdiri dengan wajah kosong.
"Beb?" Amela memanggil. "Beb!" Dia menarik bahunya, membuat pria itu tersentak kaget dan menatap padanya. "I-Iya? Mel? k-kenapa?"
Amela mengerutkan kening pada pertanyaan linglung pacarnya. "A-Ayah kamu, itu..."
Amela berkata dengan nada serak, dia ingin mengatakan sesuatu namun bingung apa itu, dia juga tidak tahu harus melakukan apa di situasi seperti ini.
Dokter Arhan menatap iba pada keduanya yang tampak terpukul dengan berita itu, sampai bingung harus melakukan apa. Dia akhirnya memberi saran. "Mas Devin," katanya, menarik perhatian pria itu. "Coba Mas hubungi orang terdekat, kasih tahu mereka kabar duka ini."
"I-Iya, bener bener... k-kasih tahu orang terdekat," gumam gue dengan linglung. Tangannya meraih saku celana, mengambil ponselnya sebelum membeku ketika sebuah pertanyaan bergema di kepalanya: 'Hubungi siapa?'
Sejenak gue bingung, bertanya-tanya siapa yang harus dia hubungi. 'Orang terdekat? siapa? Lintang?' Dia tak bisa menemukan jawaban yang tepat, lagi pula, dia tak punya banyak orang terdekat.
"Beb!" Seruan Amela kembali membangunkannya.
Gue menoleh, melihatnya berbicara. "Kamu kenapa sih! sadar dong!" kata Amela dengan geram, melihat Devin yang seperti kehilangan jiwanya. "Hubungi Mamah kamu! kenapa kamu diem aja sih!"
Omelan Amela sepertinya mampu mengembalikan sedikit kewarasannya. Mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, gue akhirnya mampu berpikir dengan lebih baik. "O-Oke, kamu tunggu disini, aku mau kasih tahu Mamah dulu," kata gue, sebelum berjalan pergi keluar ruangan.
Amela tampak ragu sebelum berjalan keluar juga, dia melihat pacarnya berjalan jauh di lorong. Ada keinginan yang kuat di hatinya untuk mengejar. Namun, pada akhirnya dia memilih untuk tetap di tempat, menatap pada punggung kesepian pria itu yang berjalan menjauh.
Sendirian, gue berjalan dengan bingung. 'A-Ayah meninggal?' tanya gue di dalam hati.
Dia selalu mengharapkan kematian Ayahnya, berpikir bahwa dirinya akan terbebas dari orang itu, orang yang begitu dibencinya karena menjadi penyebab utama atas kehancuran keluarganya.
Namun sekarang, setelah dia benar-benar ditinggalkan, dia mendapati dirinya tak tahu harus melakukan apa. Wahyu tersebut terlalu mengejutkan untuk diterimanya. Baru saja kemarin dia berkunjung, dan hari ini...
Gue terbangun dari trans, menyadari dirinya tengah berada di dalam kawasan toilet pria. Awalnya dia berniat untuk mencari tempat terpencil untuk menghubungi ibunya. Namun sepertinya, jauh didalam, dirinya menginginkan lebih dari itu, dia ingin tempat untuk mengisolasi diri, hingga secara tak sadar berjalan dalam keadaan linglung sampai ke toilet.
Gue melirik, melihat ke jejeran wastafel di sisi ruangan dan jejeran bilik toilet di sisi lain, tak ada siapapun disana kecuali dirinya. Berjalan dan masuk ke salah satu bilik, menguncinya dari dalam dan duduk di closet.
Sejenak gue merasa lebih tenang, seolah kotak kecil ini adalah zona nyaman yang memberinya rasa aman. Terdengar konyol, tapi itulah yang gue rasakan.
Gue mengangkat tangan yang memegang ponsel, menemukan tangan itu sedang gemetar. Menggigit bibir untuk memaksa dirinya tenang, gue membuka Whatsapp hanya untuk bingung saat teringat sesuatu: 'Gue nggak punya kontak Mamah.'
Setelah mengetahui hubungan gelap ibunya, gue sudah menghapus semua kontaknya, dan sekarang gue tidak tahu bagaimana cara menghubunginya.
'Instagram, iya itu, Instagram,' pikir gue, saat teringat ibunya dulu pernah berkata bahwa dia mengetahui update dirinya melalui akun Instagramnya, yang berarti ibunya memfollow akun tersebut.
Membuka aplikasi Instagram, gue memeriksa list akun siapa saja yang mengikutinya. Syukurnya itu tak banyak mengingat dia mengatur akunnya menjadi private.
Menggulir layar ponsel yang retak, gue akhirnya menemukan akun dengan nama yang sama dengan nama ibunya. Membukanya, gue bersiap untuk mengirim pesan, namun...
Tangan gue berhenti, mata gue melebar saat dia melihat isi feed Instagram ibunya.
Mengklik postingan terbaru, dia dihadapkan dengan sebuah foto. Terdapat tiga orang di dalamnya, wanita paruh baya, pria paruh baya dan seorang anak laki-laki berumur sekitar delapan tahun. Mereka terlihat sedang berada di taman hiburan, tersenyum lebar, memandang ke kamera, mengabadikan momen bahagia mereka.
"HAHAHA!!" gue tertawa keras saat melihat foto ibunya dengan keluarga barunya. "Bener juga! kenapa harus bingung! tinggal lupain semuanya dan memulai hidup baru! hidup yang bahagia!! HAHAHA!!"
Meski gue tertawa, ada aliran air mata yang turun, jatuh ke layar retak ponsel yang menampilkan foto keluarga bahagia tersebut. Tangan gue yang lain mencengkram dada, merasakan sesuatu yang begitu sakit didalam.
Sejenak, tawa histeris yang pilu, bercampur isakan tangis, bergema di dalam toilet laki-laki sebuah rumah sakit.
***
Hari ini, Selasa, 17 November. Gue mengenakan pakaian serba hitam, berdiri menatap kepada dua makam di depannya. Yang kanan memiliki batu nisan bertuliskan Haikal Angkara, adiknya. Sementara yang di kiri, bertuliskan Davino Hilman, ayahnya.
Baru sekitar satu jam yang lalu proses pemakaman ayahnya diselesaikan. Mayoritas orang sudah kembali, sementara gue tetap berdiri disini, menatap kedua makam dalam diam. Tentu, sebelumnya ada beberapa orang yang mencoba untuk bertahan bersamanya. Lintang, Bagas dan Yuni, pergi setengah jam yang lalu. Kedua orang tua Amela juga pergi tak lama kemudian. Kini hanya ada tiga orang yang tersisa disini, dirinya, Amela dan ibunya sendiri, Denita.
Denita menatap punggung putranya dengan sedih. Sepanjang proses pemakaman, putranya hanya menunjukkan ekspresi netral, dengan sorot matanya yang redup, seolah ada sesuatu yang telah hilang darinya. Denita dengan jelas tahu jika anaknya itu sangat terpukul atas kematian Ayahnya.
Biasanya putranya akan marah dan jengkel hanya dengan kehadirannya, namun sekarang, dia bahkan tidak berkomentar apapun. Putranya menjadi jarang bicara, hanya menganguk atau menggeleng ringan sebagai respon. Bahkan jika dia bicara, itu selalu dilakukan seminimal mungkin dengan nada yang hampa, seolah tak ada emosi didalamnya.
Hatinya sakit melihat putranya seperti itu. "Nak, dia sudah tenang di sana, kamu yang kuat ya," katanya, berharap menaikkan suasana hati putranya.
Denita menghela napas berat saat dia diabaikan, dia menatap ke atas, menemukan langit tengah mendung dengan awan gelap yang menumpuk. Dia tahu bahwa sebentar lagi akan hujan dan benar saja, dia merasakan beberapa tetes air jatuh ke wajahnya.
Menatap anaknya, dia berkata. "Nak, sebentar lagi hujan, yuk kita pulang."
Dan sekali lagi, dia kembali diabaikan.
Berdiri di sampingnya, Amela menatap bolak-balik antara kekasihnya dan Ibu Denita. Dia melihat dengan jelas betapa terpukulnya pria itu. Meski tak ada air mata sebagai respon duka, sikapnya yang acuh tak acuh membuat dirinya khawatir.
Amela merasa bahwa ini bahkan lebih buruk daripada ketika mereka pertama bertemu. Saat itu Devin bertindak dingin dan penuh akan ketidakpedulian. Namun sekarang, dia bertindak tampak tak tertarik pada apapun, seolah pria di depannya ini hanya cangkang kosong tanpa memiliki jiwa di dalamnya.
Segera, Amela merasakan sengatan di hatinya. Dia tak ingin pacarnya menjadi seperti itu. Dibanding sikap acuh yang hampa ini, dia lebih suka melihat Devin menangis dan berduka. Setidaknya dia tahu, bahwa masih ada emosi di dalam dirinya. "Beb, kita pulang yuk," kata Amela dengan nada lembut.
Namun sekali lagi, tak ada tanggapan dari pria itu.
Melihat dirinya diabaikan dan merasakan tetesan hujan mulai turun lebih banyak, Amela mendekat kepada Ibu kekasihnya. "Bu, kita pulang duluan aja," katanya, menarik perhatian wanita itu. "Pulang? nanti Devinnya gimana? Tente nggak mau ninggalin-"
"Nggak apa-apa Ibu," potong Amela dengan lembut. "Devin lagi butuh waktu untuk sendiri, nanti dia juga akan pulang kok." Amela tersenyum membujuk.
Dia sebenarnya tidak ingin meninggalkan kekasihnya. Namun, dia juga melihat bahwa Ibu Denita tidak akan kembali jika tak ada yang membujuknya. Sekarang sudah mulai turun hujan, wanita paruh baya ini mungkin akan sakit jika dia terus memaksakan diri.
Dan Amela yakin, meski diluar Devin mengabaikan mereka, jauh di dalam, dia pasti tidak ingin ibunya mengalami hal itu, karenanya lebih baik dia mengambil inisiatif. "Ayo Bu, kita pulang duluan."
Denita tampak berkonflik mendengar ajakan wanita muda itu. Dia ingin menemani putranya, namun, dia juga tahu bahwa akan segera turun hujan dan tak baik untuk tetap disini. Menghela napas berat, Denita menatap punggung putranya dan berkata. "Nak, Mamah pulang duluan ya, kamu nanti nyusul juga ya."
Dan seperti yang telah diharapkan oleh keduanya, Devin tak merespon, hanya berdiri diam, menatap kedua makam. Amela berjalan, memegang bahu Denita saat menuntunnya untuk berjalan mengikuti. Keduanya melangkah menjauh dari Devin, di beberapa kesempatan, keduanya akan menoleh kebelakang untuk menatap pria yang berdiri dalam diam itu.
Ditinggal sendiri, Merasakan tetesan air hujan yang semakin deras dan angin dingin yang dibawanya. Gue menutup mata, mencoba untuk menenangkan diri dari konflik batin dengan menikmati sensasi segar dari hujan yang turun.
Gue tahu gue nggak bisa terlarut dalam emosi ini, gue harus bisa melepaskan itu. Menggunakan kecerdasan emosionalnya yang baik, gue mencoba untuk menerima kenyataan.
Waktu berlalu, detik menjadi menit dan menit menjadi jam. Seluruh tubuh sudah sepenuhnya basah oleh air hujan. Lebih dari tiga jam setelahnya, hujan mereda, hanya menurunkan rintik kecilnya. Gue merasakan seseorang berjalan mendekat tapi tidak melirik.
"Beb," katanya dengan serak dan lemah. "Kita pulang yuk."
Mendengar suara yang familiar, gue membuka mata dan berbalik, menemukan seorang wanita berdiri dengan payung di atasnya, melindungi dirinya dari turunnya rintik hujan. Mata wanita itu memerah dengan jejak air mata, menatapnya dengan ekspresi sedih dan tertekan.
Pemandangan itu membuat gue menghela napas, menyadari bahwa secara tak langsung dia telah menyakiti wanita ini. Dengan senyum lemah yang dipaksakan, gue menjawab. "Maaf Mel, ayo kita pulang."
Amela sedikit tersenyum, kekasihnya tampak sedikit membaik. Dia berjalan kedepan dan memeluk pria itu, tidak peduli dengan bajunya yang basah. Merasakan tubuh hangat Amela, hati gue merasa lebih baik.
Mengambil payung dari tangannya, kita berjalan pulang, berduaan dengan satu payung yang melindungi kami dari setiap tetes hujan.
***
Minggu, 22 November. Gue berjalan di area pemakaman, berhenti di malam adik dan ayahnya, membersihkan makam mereka, menaburkan bunga dan memanjatkan doa. Selepas itu, gue berdiri, memandang kepada kedua makam dengan perasaan melankolis. Sudah beberapa hari berlalu dan suasana hati gue jauh lebih baik.
Sama seperti ketika di awal dia tak bisa menerima kematian adiknya, sebelum perlahan menerimanya dengan berlalunya waktu, hal yang sama juga terjadi saat kematian ayahnya.
'Hah, memang benar, terkadang waktu adalah obat untuk semuanya.' pikir gue dengan helaan napas.
Berbalik, gue bersiap pergi hanya untuk menemukan seorang wanita paruh baya datang berjalan ke arahnya, membawa buket bunga tabur dan menggandeng seorang anak kecil berumur sekitar delapan tahun. Itu adalah ibunya, Denita dan anak tirinya.
Gue menatap ke anak kecil yang bisa dibilang adalah adik tirinya.
Ada sedikit perasaan tak senang yang timbul saat melihatnya, namun gue dengan cepat menyingkirkannya. Anak ini tidak bersalah atas apapun dan gue sadar betul akan hal itu, rasa ketidaksukaan yang timbul ini tak lebih dari sekedar keinginan untuk mencari pelampiasan. Sebuah emosi salah arah yang sangat bodoh jika di pelihara.
Seolah menyadari tatapan gue, anak kecil itu melirik kepadanya, sebelum dengan takut-takut bersembunyi di belakang ibunya.
Denita mengusap kepalanya. "Aksa, ayo, ketemu sama Kakak Devin," katanya berusaha menarik lembut anak itu, namun yang terakhir hanya menggeleng tak mau.
Gue tersenyum kecut melihatnya. Ini bukan pertama kalinya dia melihat anak kecil itu. Dulu ibunya pernah mengenalkan anak itu padanya, tak lama setelah dia menikah lagi, mungkin berharap mereka bisa mengakrabkan diri atau semacamnya.
Sayangnya, saat itu gue dengan dingin mengabaikan keduanya dan pergi begitu saja. Pertemuan mereka berikutnya adalah kemarin, ketika kematian ayahnya. Namun, saat itu gue dalam keadaan pikiran yang kacau dan sama sekali tidak memikirkan anak kecil itu. Sekarang, ini adalah pertemuannya yang ketiga.
"Aksa, kamu nggak boleh gitu sayang, itu Kakak kamu lho," tegur lembut Denita pada anak tirinya, namun sekali lagi, anak kecil itu hanya menggeleng dan bersembunyi di belakang.
Melihatnya, gue menghela napas, berjalan mendekat sebelum berlutut dan berkata dengan ramah. "Hey halo, ini Aksa ya."
Disebut namanya, anak itu mengintip, melihat pria yang tersenyum ramah padanya. "Boleh kenalan nggak? ini Devin, panggil Kak Dev juga boleh."
Denita awalnya terkejut dengan respon ramah putra sulungnya, sebelum matanya berbinar dengan kebahagiaan.
Aksa tampak ragu saat menatap pria didepannya. "Ayo, nggak apa-apa, kasih salam buat Kak Dev," kata Denita, membujuk anak tirinya.
Akhirnya, dengan ragu, anak kecil itu menjawab. "A-Aku Aksa, h-halo Kak Dev."
Gue tersenyum, mengulurkan tangan untuk mengacak-acak ringan rambut anak kecil itu, sebelum berdiri dan berjalan pergi.
Denita yang melihat putranya melewatinya begitu saja, berbalik. "Nak."
Gue berhenti, berbalik dan bertanya dengan netral. "Ya?"
Denita tampak ragu sejenak sebelum akhirnya bicara. "Mamah tahu kamu udah bisa hidup mandiri sekarang, tapi... kenapa kamu nggak tinggal sama Mamah aja, kamu masih punya... keluarga untuk pulang."
Gue terkekeh pahit, menundukkan kepala dan bergumam lembut. "Keluarga ya."
Mengangkat kepala dan menatap Ibunya, gue bertanya. "Keluarga apa yang Mamah maksud?"
Denita mengerutkan kening, putranya harusnya tahu apa yang dia bicarakan. "Keluarga Mamah yang sekarang, kamu juga anak Mamah, jadi kamu bisa tinggal-"
"Nggak bisa Mah," potong gue dengan lembut sembari menggelengkan kepala. "Itu bukan tempat Devin."
"Enggak bisa gimana sayang? kamu juga anak Mamah, keluarga Mamah ya keluarga kamu, jadi kamu bisa tinggal sama kita. Mau ya? tinggal sama Mamah lagi" jawab Denita dengan eskpresi memohon.
Gue menghela napas berat. Sejak kematian ayahnya, gue merasa kebencian pada ibunya telah menurun, tentu ini bukan karena dia telah memaafkannya, tapi karena dia merasa terlalu lelah bahkan untuk membencinya.
"Enggak bisa Mah, sulit buat dijelasin pakai kata-kata, tapi... tempat yang Mamah sebut keluarga itu, bukan tempat Devin." Berkata dengan lemah, gue menoleh ke arah makam adik dan ayahnya. "Tempat yang Devin sebut keluarga, selamanya udah nggak ada, sama kayak mereka yang juga selamanya udah nggak ada."
Denita menoleh pada apa yang dilihatnya, menemukan makam anak kedua dan mantan suaminya. Sejenak, emosinya tampak terganggu saat kesedihan menyelimuti hatinya, menoleh pada putra sulungnya, dia berkata dan nada sedikit serak. "Sayang, Mamah masih ada disini, kita bisa tinggal bareng lagi kayak dulu, kita masih satu keluarga sayang."
Menatap Ibunya yang tampak rentan, gue menjawab dengan lembut. "Itu nggak salah, tapi juga salah, kayak Devin bilang barusan, susah buat dijelasin pakai kata-kata. Mamah memang keluarga Devin, dan akan selamanya jadi Mamah Devin. Tapi... tempat yang Mamah sebut keluarga itu, bukan tempat Devin. Keluarga yang Devin punya sudah terkubur jauh, mereka cuma hidup sebagai kenangan."
Berhenti sejenak untuk mengambil napas, menatapnya dengan senyum sedih. "Dan Devin akan menjaga mereka tetap hidup, bahkan jika mereka hanya sebatas kenangan sekalipun."
'Sebatas kenangan,' kata itu mau tak mau membuat Denita menoleh pada kedua makam di depan.
Segera, tumpukan kenangan lama hidupnya terbesit di benaknya. Dia mengingat hari pertama dia bertemu dengan pria itu, Davino Hilman, sebelum tak lama mereka berkencan dan menikah, melahirkan anak pertama, dan anak kedua beberapa tahun setelahnya, bersama merawat dan melihat keduanya tumbuh, sebelum datangnya Covid, mengawali awalnya keruntuhan keluarga mereka saat Davino berubah menjadi pemabuk, pejudi dan sering melayangkan kekerasan padanya.
Hidup dalam tekanan, membuatnya secara tak sadar menginginkan bahu seseorang untuk bersandar, membuatnya banyak curhat dan berinteraksi dengan pria tertentu, tanpa sadar perlahan dia telah jatuh hati padanya, kepada pria yang selalu membantunya di masa rentannya ini, dan pria itu adalah teman lamanya, Arman.
Mereka menjalin hubungan dalam diam setelahnya, sebelum dengan pasti bersiap untuk melangsungkan pernikahan dan tak lama, berita kematian putra keduanya masuk ke telinganya.
Denita ingat betapa terpukulnya dirinya hari itu, namun Arman selalu memberikan bahunya, membantunya melewati kesedihan itu, mengingatkan bahwa itu bukanlah salahnya.
Namun, jika dia mengingat kembali masa itu, maka dia tahu, bahwa dia memang tak memberikan banyak perhatian pada keluarganya, karena dia terlalu sibuk untuk membangun keluarga yang baru, tanpa sadar mengabaikan keluarga yang dia tinggalkan di belakang.
Denita menatap putra sulungnya dengan mata memerah. Dia bisa menemukan jejak kesedihan dan kelemahan di raut wajah pemuda ini.
Hatinya merasakan sengatan yang kuat saat dia melihat pemandangan itu. Denita bisa melihat, putranya lelah, namun memaksa diri untuk tetap berdiri, putranya membencinya, namun terlalu lelah untuk melanjutkan.
Selama ini, anaknya hidup dalam tekanan batin atas hancurnya keluarganya. Dia membenci keluarganya, itu pasti, namun dia masih ingin menyimpan mereka sebagai kenangan di hidupnya, bahkan jika kenangan itu banyak melukainya, dia dengan keras kepala ingin menyimpannya, karena itu adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Denita menggigit bibirnya untuk menahan diri agar air mata tak tumpah, meski jauh didalam hatinya telah menangis sedu.
Dia tak ingin anak tirinya yang masih berumur delapan tahun, melihat ibunya menangis, dia tak ingin membuat anak kecil itu khawatir.
Gue yang melihat tanda konflik batin Ibunya, menatap kepada anak kecil, berjalan mendekat dan mengusap kepalanya. "Hey, ayo ikut Kak Dev, kita jalan-jalan sebentar yuk," kata gue dengan ramah.
Aksa, menatap bolak-balik antara ibunya dan pria yang disapa Kak Dev. Dia tak mengerti apa yang mereka bicarakan, dan ragu apakah harus menerima ajakan orang tersebut atau tidak.
Dia melirik ibunya, berharap mendapatkan jawaban, hanya untuk menemukan ibunya menatap ke lain sisi, mencegah dia melihat wajahnya.
"Mamah?" kata Aksa dengan bingung.
Bahu Denita bergetar ringan saat mendengar putra tirinya memanggil, namun dia dengan keras kepala tak menoleh atau menjawab.
"Aksa, Kak Dev punya hadiah buat kamu, yuk jalan sebentar dulu sama Kakak, nanti Kakak kasih," kata gue, membujuknya dengan senyum ramah sambil mengulurkan tangan.
Aksa menatap pada tangan yang diulurkan padanya, sebelum menoleh pada ibunya. "Mamah, Aksa bolehkan?" tanyanya dengan lugu.
Denita hanya mengangguk lembut. Melihat anggukan Ibunya, Aksa meraih tangan pria itu, mereka berjalan pergi, melangkah menjauh.
Aksa beberapa kali menoleh ke belakang, menemukan ibunya tengah berjongkok, dengan kepala tertunduk dan bahunya yang sedikit bergetar. "Mamah?"
"Enggak apa-apa," kata gue dengan lembut, menarik perhatian anak kecil itu. "Mamah nanti nyusul kok, jadi kamu nggak perlu khawatir."
Aksa hanya mengangguk dengan ragu, sesekali kembali menoleh ke belakang.
Disisi lain, mengabaikan Ibunya yang menangis di belakang, gue bertanya untuk mengalihkan perhatian. "Kamu umur berapa sekarang?"
"Eh? i-itu... aku umur delapan," jawabnya ragu. Gue tersenyum. "Sekolah SD ya, kelas berapa?"
"Aku kelas dua." Aksa menjawab dan gue kembali bertanya hal lain, berjalan ke luar area pemakaman dengan membahas segala macam topik sampai...
"K-Kak Dev?" kata Aksa menarik perhatian gue. "Iya? kenapa?"
Sejenak anak kecil itu terdiam, ragu akan mengatakan ini atau tidak, namun, pada akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya. "I-Itu... hadiah yang Kak Dev bilang... mana ya?"
"..."
Wajah gue membeku mendengarnya. Hadiah yang gue janjikan sebelumnya hanyalah omong kosong belaka, sama seperti seseorang yang sedang makan dan berkata: 'Makan Bang?' kepada orang yang lewat, namun tak benar-benar mengajak orang tersebut makan, itu hanya sekedar basa-basi sebagai bentuk kesopanan saja.
Gue tersenyum kecut, menyadari bahwa anak kecil tidak memahami hal ini dan selalu menelan mentah-mentah apa yang dikatakan orang dewasa. Berpikir apa yang harus dilakukan, gue meraih saku celana dan mengeluarkan sebuah gantungan kunci. "Ini, ambil ini."
Aksa mengambilnya dan menatap dengan bingung, ini tidak seperti hadiah yang diharapkannya.
"Ini?" tanyanya.
"Yah... anggap aja ini semacem jimat," jawab gue. "Itukan ada tulisannya, coba kamu baca."
Aksa menyipit, mencoba untuk membaca tulisan di gantungan kunci tersebut. "A-Always Be S-Safe?"
Gue tersenyum ringan, mengusap kepalanya. "Tahu artinya?" tanya gue yang dia jawab. "Always itu selalu kan?"
Gue mengangguk. "Terus?"
Aksa berpikir dengan wajah seriusnya yang lugu. "Be itu... lebah kan?"
"Hahaha..." gue tertawa, mendengar jawaban polosnya. "Ini itu harus diartiin sekaligus. Always Be Safe, artinya selalu aman, jadi orang yang punya ini bakal selalu aman hidupnya, gimana? kerenkan?"
Aksa mengangguk dan degan ragu bertanya. "I-Ini buat Aksa?"
Gue tersenyum dan mengusap kepalanya. "Iya, ambil aja, nggak usah nggak enakan begitu, gini-gini saya Kakak kamu lho, nggak perlu jadi asing begitu ya."
Melihat jawaban ramahnya, Aksa tersenyum dan mengangguk. "Makasih Kak Dev."
Gue melihatnya yang sedang fokus pada gantungan kunci itu dan sejenak merasa lebih nyaman dengan keberadaan anak kecil ini. Sepertinya interaksi singkat mereka tampak telah membangun sesuatu. Gue tersenyum, menemukan bahwa perasaan itu tidak telalu buruk.
"Ayah!" Aksa berseru saat dia melihat ke gerbang pemakaman, gue menoleh, menemukan seorang pria paruh baya yang berdiri menunggu.
Aksa berlari dan pria itu berlutut membuka tangannya untuk menyambutnya. Sementara anaknya mendekap di pelukannya, dia menoleh, melihat pemuda yang berdiri tak jauh darinya.
Sejenak ada keheningan yang canggung di antara keduanya. Baru beberapa detik yang lalu, gue mengatakan jangan menjadi asing, sekarang, dihadapkan pada Ayah tirinya, gue merasakan sensasi gatal tak nyaman.
'Memang, bicara selalu lebih mudah daripada melakukannya,' pikir gue dengan getir, menemukan dirinya dipaksa menjilat ludahnya sendiri oleh kenyataan.
Yah, ini bukan salahnya, lagi pula gue punya alasan kuat untuk itu, alasan yang selalu menimbulkan kebencian di kedalaman hatinya.
Gue hanya berdiri menatapnya dengan netral, tidak seperti Aksa yang merupakan anak kecil tak bersalah, pria dewasa di depannya berbeda. Orang ini, dengan kesadaran penuh bahwa ibunya telah bersuami, telah memiliki keluarga di belakang, masih memutuskan untuk menjalin hubungan. Dimatanya, orang ini adalah salah satu pelaku atas hancurnya keluarganya.
Bahkan jika dia telah banyak membantu ibunya, dia tetap memiliki kesan buruk pada orang itu. Mengabaikan tanpa mengatakan apa-apa, gue berjalan melewatinya.
"Ayah! Ayah! lihat, aku punya jimat, ini dikasih sama Kak Dev," kata Aksa dengan antusiasme polosnya.
Arman melirik kepada gantungan kunci yang dipegang anaknya, sebelum tersenyum dan bekata. "Oh iya, bagus banget, udah bilang makasih belum sama Kak Dev?"
Aksa mengangguk. "Udah Ayah, Aksa udah bilang, Kak Dev-eh?" Aksa dengan bingung, menatap ke tempat yang seharusnya Kak Dev berada, hanya untuk tak menemukan siapapun.
Dia menatap sekitar dan melihat Kak Dev, berjalan menjauh ke luar. "Kak Dev!" serunya, membuat gue berbalik menatapnya.
"Kak Dev mau kemana?!"
Gue tersenyum ringan. "Kak Dev pulang dulu ya, dadah!" melambaikan tangan, gue berjalan pergi.
Arman melihat kepada punggung pemuda itu yang semakin menjauh, dia menghela napas berat, ada perasaan bersalah tertentu di hatinya.
Dia dengan jelas menyadari apa yang telah dilakukannya. Dia telah lama menyimpan perasaan pada Denita hanya untuk memendamnya setelah mengetahui dia telah menikah.
Namun, ketika Denita berada dalam kondisi rentan, dia tak bisa tidak menempatkan dirinya untuk menjadi media bersandar. Mendengarkan curhatnya, membantu pekerjaannya di kantor, hingga mengajaknya jalan dengan alasan refreshing untuk menghilangkan stres.
Tentu, jauh didalam, dia merasa nyaman dengan kebersamaan mereka, dan seiring berjalan waktu, semakin kuat juga perasaan satu sama lain, hingga mereka sampai pada titik ini.
Semenjak dia bersama Denita, hari-harinya berjalan dengan lebih baik. Anaknya memiliki sosok ibu yang baik dan dia memiliki pendamping hidup yang dia idamkan.
Namun dibelakang, sepertinya ada orang yang hidupnya justru terbalik. Dia selalu tahu bahwa kebahagiaan keluarganya dibangun atas kehancuran keluarga lain.
Namun, seperti betapa cerahnya matahari yang bersinar sampai tak mampu melihat gelapnya luar angkasa, dirinya selalu teralihkan setiap kali melihat kebahagiaan keluarganya, hanya di momen seperti inilah dia kembali diingatkan bahwa tak peduli seberapa terang cahaya tersebut, akan selalu menghasilkan bayangan dibaliknya.
'Memang, tidak peduli betapa tulus perasaannya, pernikahan yang dibangun atas perselingkuhan tak pernah berjalan semulus yang diharapkan,' pikir Arman dengan perasaan hati yang terbebani oleh rasa bersalah, saat dia menatap punggung Devin, yang berjalan pergi sebelum menghilang di kejauhan.