Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 17 - Bab 17. Hari Kelulusan

Chapter 17 - Bab 17. Hari Kelulusan

Berdiri di depan cermin, menatap kepada pantulan diri. Gue saat ini sedang mengenakan outfit yang sama dengan hari dimana dia pernah menghadiri pernikahan teman Amela. Hanya saja, acara yang kali ini akan dia hadiri adalah wisuda kelulusan Amela.

Gue meletakkan tangan di kepala. Sudah beberapa hari berlalu sejak malam dia terbaring di rumah sakit. Lukanya sudah sembuh, termasuk memar di beberapa titik tubuh. Hanya cidera di kepalanyalah yang paling membutuhkan waktu untuk pulih. Baru kemarin dia melepaskan perban di kepalanya. 

Sebenarnya dia masih merasa sedikit sakit disana, namun karena itu masih bisa ditolerir dan hanya terjadi sesekali, gue memutuskan untuk pulang lebih cepat. Lagi pula, ada sebuah usaha yang dia tinggalkan di belakang. Meski Lintang mampu mengambil alih, tetap saja akan lebih baik jika gue pulih lebih cepat dan mengambil pekerjaannya kembali.

Gue terkekeh pahit, mengingat bagaimana reaksi Amela yang tak senang karena dia memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit lebih cepat. Dirinya harus menahan rentetan omelan yang diletuskan oleh wanita itu. 

Gue harus menahan keinginan untuk menutup telinga, membiarkan Amela memuntahkan kekesalannya. Tentu, gue tahu bahwa itu adalah bentuk kepeduliannya, sesuatu yang membuat gue merasa bersyukur karena memilikinya.

Berjalan keluar kamar, gue berhenti di kamar adiknya, Haikal. Membuka pintu, melihat sekitar ruangan dengan perasaan melankolis. Menatap selama satu menit, gue menghela napas, menutup kembali kamar sebelum berjalan keluar rumah dan masuk ke dalam mobil.

Berkendara selama beberapa menit, gue tiba di bangunan tiga lantai yang familiar. Memarkirkan mobil dan masuk ke dalam Outlet, menemukan Yuni yang tampak sedang melakukan live.

"Iya Kakak, yang ini bisa di order sekarang Kakak, gratis ongkir kok, yang ini bahkan beli dua dapat satu," kata Yuni saat dirinya sedang menjajakan produk Angst Clothing. 

Melihat kedatangan seseorang, dia melirik dan tersenyum menyapa. "Pagi Bos Dev, hari ini sehat juga kan Bos?"

Gue tersenyum balik dan mengangguk ringan. "Begitulah, lebih baik dari kemarin," kata gue, sebelum naik ke lantai atas, meninggalkan Yuni yang kembali melakukan penjualan secara live.

Di lantai dua, gue menyapa Bagas yang sedang mengatur barang di gudang. Naik ke lantai tiga, gue menemukan Lintang yang tengah duduk di tempat kerjanya. 

Lintang menoleh, melihat kepadanya yang baru masuk. Tatapannya berpindah, melirik dari atas ke bawah sebelum menghela nafas. "Hah, padahal lo nggak perlu dateng kesini dulu, seharusnya lo langsung aja ke kampus."

Gue terkekeh mendengarnya, ini adalah akhir bulan November, sudah waktunya untuk mengurusi pembayaran pengeluaran bisnis mereka. Membayar gaji, biaya sewa Ruko, tools premium, perhitungan pajak dan sebagainya. 

Lintang bisa melakukannya, namun sejauh ini, itu adalah tanggung jawabnya, jadi gue sejenak mampir kesini untuk menuntaskan pekerjaannya.

Duduk di meja kerjanya yang biasa, menggeser mahluk berbulu yang tengah tertidur pulas di atas mejanya. Gue tersenyum, membelai sedikit kucing itu sebelum membuka laptop dan mulai bekerja. 

Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah jumlah pendapatan yang dihasilkan, ada lebih dari lima miliar rupiah!

Bisnisnya meledak saat Angst Clothing dirilis, itu terjadi dua puluh hari yang lalu. Tingkat penjualannya dinamis dan tak tetap, namun kita bisa menarik angka rata-ratanya di kisaran tiga ribuan pcs setiap harinya. Dan keuntungan yang kami peroleh selama penjualan bulan ini sudah tembus lima miliar!

Gue menelan ludah, itu uang yang sangat banyak! Pengeluaran bisnisnya sangat kecil jika dibandingkan angka itu. 

Satu-satunya yang membuat gue merasa sakit adalah fakta bahwa nilai pajak yang harus dibayarkannya juga akan sangat besar. 

Gue bertanya-tanya, 'kungfu' seperti apa yang harus dilakukannya untuk mengakali dari membayar pajak yang besar. 'Membeli aset atas nama perusahaan? Membangun yayasan non-profit? atau melakukan cuci uang?' pikir gue sebelum dengan cepat menggelengkan kepala. 

Sebagai warga negara teladan, lebih baik untuk tetap mengikuti regulasi. Lagi pula, pajak yang akan dibayarkannya, pasti dialokasikan untuk pembangunan negara, tidak mungkin untuk yang lain. Ya kan? benar kan? hal-hal penting harus dipertanyakan dua kali!

Menyingkirkan pikiran guyon itu, gue fokus ke laptop, melakukan pekerjaannya. Kali ini agak lama dari biasanya, mengingat sejumlah besar keuangan yang dimiliki, tapi dengan software pengelolaan perusahaan, semuanya jauh lebih cepat dari yang seharusnya. 

Menyelesaikan pekerjaannya, gue pamit kepada Lintang, turun ke bawah, masuk ke mobil dan mulai berkendara ke kampus Amela, menghadiri acara wisudanya.

***

"Mah, Devin udah dateng belum?" Amela bertanya saat dia melirik sekitar, mencari sosok pria tertentu. 

Sementara itu, Amaya menggeleng. "Mamah juga belum lihat sayang, udah sana, kamu duduk ke tempatmu, acaranya udah mau mulai."

Amela cemberut, dia ingin memamerkan penampilannya saat ini yang tengah mengenakan seragam toga. 

'Demi Tuhan! kenapa dia susah banget sih dihubungi!' Amela mengutuk, dirinya telah mencoba menelpon Devin berkali-kali, namun tak ada satu pun yang diangkat. Dia merasa entah mengapa, bajingan kesayangannya itu telah mengembangkan kebiasaan untuk mengabaikan panggilannya.

Yuda, yang melihat wajah cemberut putrinya, terkekeh. "Ketiduran kali, mungkin aja dia lupa, haha-aww!"

Amela mencubit Ayahnya dengan tak senang, yang terakhir hanya bisa tersenyum masam, sementara Amaya terkikik melihat kejenakaan mereka.

Dengan dengusan sebal, Amela berjalan pergi ke tempat duduk yang telah disiapkan untuknya. Namun, sebelum duduk, matanya masih melirik sekitar dan segera dia menemukan apa yang dicarinya.

Devin baru saja datang, mengenakan kemeja batik dengan balutan blazer tanpa kancing warna navy, itu outfit yang familiar baginya. Amela melihat Devin berjalan mendekat kepada orang tuanya, dia menyapa mereka sebelum terlibat percakapan singkat sampai ibunya menunjuk ke arahnya.

Pria itu menoleh, melihat kepada dirinya dan melambai sambil tersenyum. Sejenak, ada perasaan senang yang membuncah di hati Amela. Dia mengangkat tangannya, berniat melambai balik dan tersenyum. 

Namun, dia membeku di tengah jalan. 'Tunggu! seharusnya aku lagi kesel sama dia!' keluh Amela.

Menatap kepada pria itu, Amela meledek dengan menarik kantung matanya dan menjulurkan lidah, sebelum berbalik dan duduk di tempatnya, berperilaku seolah tidak peduli pacarnya.

Disisi lain, gue tersenyum masam melihat aksi Amela barusan, sementara Tante Amaya, terkikik karenanya. "Kamu sih, pakai terlambat segala, dia jadi kesel kan tuh."

Gue menggaruk kepala dengan canggung. "Devin punya sedikit kerjaan, jadi datangnya agak lamaan."

Menggeleng tak berdaya, gue duduk di samping orang tua Amela, kami menonton acara wisudanya, terkadang mengobrol, mempertanyakan kesehatannya, atau prihal bisnisnya. 

Juga, gue menawarkan diri untuk mengajak mereka makan di Restoran. Dengan jumlah uang yang dia miliki sekarang, gue ingin memberi semacam reward kepada diri gue sendiri, juga kepada Amela yang baru saja wisuda untuk makan bersama sebagai bentuk perayaan atas hari yang bahagia ini. 

Dan syukurnya, mereka menerimanya dengan ramah.

Akhirnya tiba waktunya Amela naik ke podium. Dia bukan lulusan terbaik, tapi nilainya juga tidak buruk. 

Menyelesaikan serangkaian acara, Amela akhirnya kembali. Kami mengambil banyak foto, mencoba mengabadikan setiap momen di hari itu. 

Gue juga memberitahunya akan acara makan bersama untuk merayakan kelulusannya ini. 

Amela sangat senang, sampai menjerit di tengah kerumunan, membuat kami menjadi pusat perhatian. Gue, Tante Amaya dan Om Yuda, tertunduk malu karenanya.

***

Malam telah tiba, dan gue saat ini sedang mengendarai mobil sedan hitam. Ini adalah mobil yang gue sewa, bagaimanapun, gue memiliki acara makan bersama malam ini, sesuatu yang gue janjikan kepada keluarga Amela siang sebelumnya. 

Karena mobil city car gue yang biasa, agak tidak pada tempatnya untuk menjemput mereka ke Restoran yang sudah dipersiapkan, jadinya gue menyewa mobil yang lebih mewah, yakni BMW 3 Sedan.

Berkendara sampai akhirnya tiba di sebuah rumah besar tiga lantai yang familiar. Gerbang dibuka dan gue masuk untuk memarkirkan mobil, keluar, memastikan dirinya berada dalam tampilan terbaik dengan merapikan tuksedo hitam yang dia kenakan malam ini, sebelum berjalan ke pintu utama rumah.

Tante Amaya menyambutnya dengan ramah, mengajak masuk. "Amela! Devin udah sampai nih!" serunya kepada area tangga, dan detik berikutnya datang jawaban. "Iya Mah!"

Suara yang familiar itu membuat gue berdiri, menantikan sesuatu yang akan turun, dan benar saja, seorang wanita cantik dengan gaun malam yang indah dan menggoda, berjalan menuruni tangga. 

Rambut hitam kecoklatannya ditata sedemikian rupa, memberikan kesan wanita dewasa. Matanya yang cerah penuh binar dengan bibir merah muda menggoda. Sedikit balutan kosmetik membuatnya tampak mulus dan lembut. 

Kedatanganya seperti putri malam yang bersiap untuk menghadiri pesta. Berjalan dengan senyum dan langkah percaya diri, seolah tahu bahwa dirinya adalah sorotan dunia. Gue menelan ludah sementara jantung sudah berdetak cepat. Entah karena lampu atau apa, tapi Amela tampak begitu bersinar malam ini. 

Gue begitu terpaku melihatnya sampai tak sadar bahwa Amela sudah berdiri di depannya, hanya menatap dengan senyum lucu kepada pria yang tengah melamun terpesona.

"Ehem," Yuda, yang mengenakan setelan jas, berdehem untuk merusak suasana yang terbangun. Dirinya tak nyaman dengan suasana yang terjalin di udara, dia merasa bajingan itu akan menyeret putrinya ke suatu tempat dan mereka tak pernah kembali lagi. "Udah siap semua kan? kita bisa jalan sekarang."

Gue sedikit menggeleng untuk mengembalikan fokus. "Iya, Devin udah oke, tinggal jalan aja," jawab gue. Yang lain menganggukkan kepala sebelum berjalan keluar rumah. 

Di perjalanan, gue sedikit melambat untuk menyesuaikan diri ke posisi Amela, gue merasa perlu memujinya untuk penampilannya malam ini. "Kamu cantik banget, kayak Cinderella."

Amela tersenyum manis. "Oh ya?"

Gue mengangguk dan tersenyum kecil saat berkata. "Iya, kamu mirip kayak Cinderella, bahkan sepatu kamu juga hilang sebelah kan?"

Amela memiringkan kepala, tampak bingung dengan pertanyaannya, dia ingin menjawab tidak, tapi kekasihnya lebih dulu melanjutkan dengan bisikan menggoda. "Soalnya sebelahnya lagi ada di rumahku."

Amela berpikir selama sepersekian detik sebelum akhirnya mengerti apa yang dimaksudkan pacarnya. Pipinya merona, dia tampak salah tingkah sejenak, sebelum mendengar gelak tawa dari pria itu. 

Dengan cemberut manis, dia mencubit pinggang kekasihnya yang tengah menikmati reaksinya.

Di depan mereka, Yuda dan Amaya, mencuri pandang ke belakang, melihat keduanya yang tampak sedang bersenang-senang. Mereka jelas mendengar dan melihat apa yang terjadi sebelumnya. 

Amaya menyikut ringan suaminya. "Kamu dulu nggak pernah gombalin aku kayak gitu," katanya dengan cemberut main-main.

Yuda mendengus, dia melirik, menatap kepada pemuda di belakangnya dan mengutuk. 'Dasar bajingan beruntung!' 

Disisi lain, Amaya yang melihat raut wajah cemberut suaminya, menutup mulut untuk menahan tawa. 

Mereka akhirnya masuk ke mobil, dimana gue duduk di kursi kemudi, dengan Om Yuda di sampinnya, sementara para wanita berada di kursi belakang.

Berkendara selama sekitar lima belas menit, kami akhirnya tiba di sebuah Restoran yang tampak mewah. Bahkan ada orang yang secara khusus menyambut untuk memarkirkan mobilnya. 

Gue menyerahkan kunci dan menatap mobilnya yang dibawa pergi, berharap agar orang itu bisa memarkirkan mobilnya dengan baik, karena bagaimanapun, mobil itu adalah mobil sewa dan dia pasti harus mengganti rugi jika ada kerusakan yang terjadi, dan gue sangat yakin bahwa biaya ganti ruginya pasti akan jauh dari kata murah.

Kami masuk kedalam, disambut dengan interior ruangan yang begitu mewah, khas restoran mahal eropa. Ruangannya memiliki banyak dekorasi bunga dan tanaman menjalar, diatur sedemikian rupa hingga memberikan kesan asri. 

Ornamen ukiran di sekitar dinding dan benda lainnya, memiliki kesan klasik khas eropa. Beberapa stand meja disusun rapi dengan beberapa pengunjung juga hadir di dalamnya. Namun, ini bukan tempat pilihannya, tempat yang sudah gue pesan lebih eksklusif dari ini.

Pergi ke resepsionis, memberitahukan identitas dan kebutuhannya, kami di arahkan ke tempat lain, naik lift dan tiba di lantai dua puluh dua. Staf restoran membawa kami ke meja yang telah gue pesan. Masuk ke dalam, gue menemukan sebuah meja lebar panjang, dengan beberapa kursi di sisinya. Melirik ke lain sisi, gue dihadapkan dengan kaca besar yang langsung menghadirkan pemandangan malam kota.

Amela berjalan mendekat ke kaca dan menatap terpesona, sebelum berbalik, melihat padanya dengan senyum bahagia. "Tempatnya bagus banget Beb! lihat deh itu, lampu-lampunya cantik banget," katanya, menunjuk setiap gedung dengan antusiasme selayaknya anak kecil.

Gue tersenyum ringan, duduk di kursi, di sebelah Amela, sementara kedua orang tuanya, duduk di depan kami. Tepat di samping kita adalah kaca besar itu, membuat kami bisa melihat pemandangan kota. 

Kami memilih menu, dan menyerahkannya kepada staf tersebut, menunggu kedatangannya kembali sambil bercakap ringan, membahas banyak topik. Namun, ada satu topik yang menjadi perhatian lebihnya.

"Aku habis ini mau kemana ya?" tanya Amela dengan eskpresi berpikir. Dia baru saja lulus, dan sekarang bingung untuk bagaimana ingin melanjutkan hidupnya.

"Emang kamu belum punya planning untuk itu sayang?" Amaya, bertanya pada putrinya. Yang terakhir hanya menggeleng. "Nggak Mamah, lagian nagapain juga aku mirikin sesuatu yang belum kejadian juga?" jawabnya dengan ringan, mengangkat bahu seolah itu hanyalah hal sepele.

Amaya tersenyum masam sementara suaminya berkata. "Kamu bisa pilih, mau lanjut S2 atau mau kerja, Ayah bisa kasih kamu tempat kalo kamu pilih yang ke dua."

Gue yang mendengarnya, agak membeku di tempat. 'Jadi orang kaya benar-benar enak,' pikirnya dengan helaan napas. 

Mereka bisa dengan mudah memasukkan keluarga atau kerabat mereka ke dalam perusahaan, sementara banyak diluar sana yang berjuang hanya untuk mendapatkan pekerjaan dengan posisi rendah. 

Sebagai orang biasa, gue jelas tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan, dia merasa agak sedih karenanya. 

Di situasi normal, gue pasti akan mencibir praktek 'ordal' ini, tapi mengingat bahwa yang melakukannya adalah orang terdekatnya, gue hanya bisa diam, terutama jika hal itu lebih menguntungkan kekasihnya. 

Ada apa? apa itu terlihat menjijikan dan tampak munafik? kalian tak salah, tapi percayalah, ini juga yang akan kalian lakukan jika dihadapkan pada posisi yang sama. Ini hanyalah realita kehidupan.

Amela tampak berpikir, memilah pilihan yang diberikan Ayahnya. "Hmm... kalo kerja aku mager banget, tapi kalo lanjut S2..." 

Amela seketika membeku, dia berpikir bahwa jika dirinya memilih melanjutkan pendidikannya, maka dia akan jauh dari kekasihnya. 

Melirik pria di samping, dia menggeleng dengan kuat. "Aku nggak mau lanjut S2, jadi mungkin kerja aja." 

Itu benar, meski dia tidak suka bekerja, jauh dari kekasihnya terdengar lebih mengerikan baginya.

Mendengar keputusan putrinya, Yuda berkata. "Kalo gitu kamu bisa gabung ke tim pemasaran sebelumnya, waktu magang juga kamu disana kan? atau kamu mau posisi lain untuk cari pengalaman?"

Sementara Amela berpikir, gue tersenyum menggoda. "Kenapa nggak kamu kerja sama aku aja?"

Amela melirik pacarnya, tampak tertarik dengan gagasan itu. "Kerja sama kamu? jadi apa aku? model?" tanyanya penasaran. 

Gue menyeringai dan berkata dengan canda. "Kerja jadi istri aku, hahaha..."

Segera, keheningan menyelimuti seluruh ruangan, hanya tawa gue yang bergema. Tak berlangsung lama, gue segera terdiam, merasakan suasana aneh yang terbentuk. Melirik sekitar, wajah gue memucat setelah memahami apa yang salah.

Di situasi normal, apa yang gue katakan sebelumnya mungkin hanya sekedar canda gurau. Tapi disini, dihadapkan dengan acara makan malam khusus. Dengan kedua orang tuanya terduduk tepat di depannya, apa yang barusan gue katakan setara dengan sebuah lamaran!

Mata Amela bersinar terang, jantungnya berdetak sangat cepat dengan rona merah di wajahnya. "Aku mau! aku terima lamara-"

"N-Nggak-nggak! aku tadi cuma bercanda," kata gue tergesa-gesa, memotong Amela, berharap untuk meluruskan kesalahpahaman barusan.

"Eh?! itu bohong! kamu nggak mau nikahin aku?!" tanya Amela cemberut kesal.

"B-Bukan itu, aku mau, tapi-"

"Jadi kamu ngelamar aku kan?"

"Bukan!"

"Berarti kamu nggak mau nikahin aku!"

"B-Bukan itu Mel..."

Gue tertunduk malu, mengalihkan pandangan, terutama dari dua pasang mata di depannya. Apa yang gue katakan sebelumnya adalah sebuah spontanitas, dirinya telah terbiasa untuk berceletuk untuk menggoda Amela. 

Gue mengutuk diri, karena melakukannya tanpa melihat kondisi, sekarang dia tak tahu harus melakukan apa.

Ditengah keraguannya, masuklah seseorang, membawa troli berisi berbagai piring dari makanan pesanan kami. Itu ditempatkan sedemikian rupa di atas meja, sebelum dia kembali pergi.

"Oke, kalo gitu kita makan yuk," kata Amaya tersenyum, mencoba meredakan susana canggung yang terbangun. 

Gue menganggukkan kepala dengan rasa malu yang kuat, berharap bisa menemukan lobang untuk mengubur dirinya hidup-hidup!

Kecuali Amela yang tampak masih ingin menggali topik sebelumnya, yang lain bertindak seolah kejadian barusan tak pernah terjadi. Kami makan dengan lahap, memulai obrolan kecil yang secara perlahan mengembalikan suasana.

Di sela makan, gue melirik yang lain. Kepada Amela yang tengah lahap menyantap daging, dan kepada orang tuanya di depan yang makan dengan lebih beradab. 

Gue sedikit melamun melihatnya, momen ini mengingatkannya pada makan malam keluarganya. Sudah begitu lama terjadi, gue bahkan lupa kapan terakhir kali dia berada dalam posisi ini.

Terjebak ke dalam rasa melankolis, gue teringat wajah-wajah keluarganya, dan segera, pandangannya tampak buram. 

Gue menatap ke depan, kepada wajah orang tua Amela yang entah bagaimana, perlahan berubah menjadi wajah lain yang familiar. Dia menemukan wajah Tante Amaya berubah menjadi wajah ibunya, Denita. Sementara wajah Om Yuda, berubah menjadi wajah ayahnya, Devino.

Tak hanya mereka, gue melihat ruangan sekitar juga telah berubah, sekarang dirinya berada di ruang makan kecil yang sederhana, ini adalah ruang makan di rumahnya. 

Gue melirik kesamping, seorang remaja laki-laki yang sedikit lebih muda darinya duduk disampingnya. Ketiganya bercengkrama satu sama lain, terkadang berbagi tawa dengan senyum di wajah mereka. 

Gue terduduk terpaku, menatap pemandangan ini dalam diam, sampai ketika adiknya, Haikal, menoleh padanya, tersenyum dan berkata. "Bang? bangun bang!"

"Beb! bangun Beb!"

Sosok adiknya tampak tumpang tindih dengan wajah seorang wanita, detik berikutnya pemandangan di sekitar telah berubah, kembali seperti semula. 

Amela menggoyangkan tubuh pria itu. "Hey Beb! bangun dong!"

"I-Iya... Mel?" kata gue tergagap, baru saja terbangun dari trans. 

Amela menatap khawatir dan bertanya. "Kamu nggak apa-apa?"

Menarik napas dalam-dalam, gue tersenyum lemah dan menjawab. "Iya, aku nggak apa-apa."

Amela masih menatap skeptis. "Kalo kamu nggak apa-apa, kenapa kamu... nangis?"

Mata gue membulat terkejut, menyentuh pipinya, gue menemukan ada aliran air mata yang turun. "N-Nggak... ini kelilipan aja, haha..."

Tertawa palsu, gue mengambil tisu, mengusap mata, sementara yang lain menatap dengan iba. Amaya tersenyum lembut. "Kamu bisa cerita kalo kamu butuh ya? nggak usah di pendem sendiri." 

Dirinya tahu bahwa pemuda di depannya baru saja kehilangan ayahnya. Putrinya juga telah menceritakan permasalahan keluarga yang dihadapi oleh pacarnya ini.

Mendengarnya, gue tersenyum ringan, mengangguk tanpa menjawab. 

Berpikir untuk membantu meningkatkan susana hati pacarnya, Amela berceletuk. "Dih cengeng, cuma makan aja nangis."

Dahi gue berkedut kesal, menoleh, gue berkata. "Aku nggak mau denger itu dari orang yang nangis cuma gara-gara lembaran kertas."

Kini wajah Amela yang berkedut kesal. "Mereka itu temen-temen aku! kami berbagi banyak cerita! cowok cengeng kayak kamu nggak akan ngerti hubungan spesial kita!"

"Oh aku ngerti kok, ngerti banget bahkan," kata gue dengan seringai jahat. "Hubungan kalian itu disebut kehaluan! sebuah ekspektasi absurd yang berharap mereka itu adalah makhluk nyata!"

Amela melotot tak senang. "Mereka itu nyata! titik! statement yang lain itu palsu! itu datangnya dari elit global!"

Wajah gue berkedut mendengar kata-kata tidak masuk akalnya. "Palsu? pembenaran aneh kamu itu yang palsu!" Mecubit pipinya, gue berkata dengan gemas. "Buka mata kamu wahai Amela Asadel, mereka itu hanya karakter fiktif, dan fiktif itu artinya nggak nyata! telan kebenaran itu Nona!"

Amela meletakkan kedua tangannya ke telinganya, menggelengkan kepalanya dengan kuat, "Nggak mau denger! nggak mau denger! mereka itu nyata! sisanya aku nggak mau denger!"

Amaya terkikik melihat kejenakaan mereka, sementara Yuda hanya menggeleng dengan senyum kecil. 

Makan malam berlanjut sampai akhirnya Amela memutuskan untuk izin ke toilet. 

Ditinggal sendiri dengan orang tuanya, gue merasa tegang, mulut gue terbuka dan tertutup, ingin bicara tapi ragu untuk melakukannya.

Seolah mendari rasa tegangnya, Amaya bertanya dengan lembut. "Kenapa Dev?"

Gue menelan ludah, menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri untuk bicara. "Begini Tante, Om... Devin mau ngomongin perihal..."

Sementara gue bicara, Amaya dan suaminya, Yuda, duduk mendengarkan dengan seksama. 

Sekitar sepuluh menit kemudian, Amela kembali dari toilet. Dia duduk di kursinya namun segera merasa aneh pada suasana yang terbentuk.

Menoleh, dia melihat pacarnya tengah duduk dengan tegang, ada keringat dingin yang bercucuran di dahinya. Mengalihkan pandangan, dia melihat Ayahnya tampak menatap tajam, raut wajahnya agak kaku, terkesan tegas dan tak ramah, tidak seperti dirinya yang biasa. 

Tapi yang aneh, ibunya hanya tersenyum lucu, seolah terhibur akan sesuatu.

"Ini ada apa Mah?" tanya Amela yang bingung. Mendengar pertanyaan putrinya, senyum Amaya semakin lebar. "Oh, bukan apa-apa, cuma mikirin kelulusan aja."

Memiringkan kepala dengan bingung, Amela bertanya. Kelulusan aku?" Amaya tersenyum misterius, dia menjawab. "Mungkin, hihi..."

Amela semakin curiga saat dia melihat ibunya terkikik lucu, seolah ada sesuatu yang begitu menghibur baginya. 

Matanya beralih, menatap bolak-balik pada kedua pria yang tampaknya menjadi kebalikan dari ibunya, keduanya terlihat serius dan tegang.

Amela berbisik kepada kekasihnya. "Beb, ada apaan sih? emang ada sesuatu waktu aku ke toilet tadi?"

Gue terkekeh canggung dan menggeleng. "Nggak, nggak ada apa-apa, kita emang lagi ngomongin perihal kelulusan."

Amela menatapnya curiga, dia merasa ada sesuatu yang lebih, tapi pada akhirnya dia tak menekan lebih jauh. 

Disisi lain gue sedikit senang melihatnya berhenti bertanya. Dan meski di luar gue tengah tersenyum, di dalam gue terkekeh mencela diri. 'Ya, hari ini memang layak disebut hari kelulusan.'