Duduk di bangku pesawat, Amela menoleh, tepat di samping kanannya, ada jendela yang menampilkan pemandangan dari sebuah kota besar. Meski berada jauh di atas awan, dia masih bisa melihat gedung-gedung besar yang menjulang tinggi. Cahaya kuning lembut sore hari, membuat kota di bawahnya tampak berkilau keemasan.
Matanya berbinar senang, mengantisipasi kesenangan yang akan dia rasakan saat menjelajahi kota itu, Menoleh ke sisi kirinya, Amela berkata. "Beb, lihat deh, kotanya bagus banget!"
Gue terduduk memejamkan mata, menikmati alunan lagu dari band favortinya, tak mendengar kata-kata wanita di sampingnya.
Amela cemberut, dia menarik earphone di telinga pria itu, membuat yang terakhir menoleh tak senang padanya.
"Apa Mel?" tanya gue, saat ketenangannya di interupsi.
"Lagian kamu nggak dengerin aku sih!" jawabnya kesal, sebelum menunjuk ke jendela pesawat. "Itu, pemandangan kota di luar bagus banget, kamu harus lihat."
Mendengarnya, gue mengangkat alis, mencondongkan tubuh mendekat ke jendela dan menemukan pemandangan kota besar.
'Udah mau sampe?' tanya gue dalam hati.
Sebelumnya gue menghabiskan waktu hanya untuk bermain ponsel dan mendengarkan lagu, tak menyadari bahwa sepertinya mereka sudah sampai di penghujung perjalanan.
Dan benar saja, ketika tak lama pengumuman akan mendaratnya pesawat di umumkan dan kami diminta bersiap karena pesawat akan melakukan landing.
Beberapa menit kemudian, pesawat mengalami turbulensi ringan, membuat tubuh kami sedikit bergoyang. Di sampingnya Amela sudah menggenggam tangannya, dan gue mencengkram lebih kuat tangan lembutnya, berharap meredakan rasa khawatirnya, hingga akhirnya pesawat menyentuh landasan bandara dan perlahan melambat.
Setelah mendapatkan arahan untuk keluar, kami bangkit dan berjalan pergi. Dengan salam hangat para staf, kami meninggalkan pesawat, berjalan di boarding bridge dan masuk ke dalam Bandara Internasional Incheon, Korea Selatan.
Sudah sekitar satu bulan berlalu sejak acara wisuda Amela, dan besok malam, adalah malam pergantian tahun.
Dulu gue pernah mengatakan bahwa jika Angst Clothing sukses, gue akan mengajaknya jalan ke Korea. Tentu, waktu itu konteksnya hanya sebatas bercanda, namun sekarang, dengan keadaan finansialnya saat ini, tidak ada masalah jika dia ingin sejenak liburan ke luar negri.
Berpikir demikian, kami melanjutkan perjalanan, mengambil koper, membeli SIM card lokal untuk kebutuhan internet dan mengambil sejumlah uang tunai won.
Amela menatap terpesona saat kami berjalan ke luar Bandara, mencari supir Uber yang telah gue pesan. Mencari selama sepuluh menit, kami akhirnya bertemu dan mulai berjalan ke mobil, masuk ke dalam, dan pergi meninggalkan Bandara.
Selama ini, Amela hampir tak pernah mengalihkan perhatiannya dari jendela, menatap pemandangan di luar dengan rona bahagia yang tak bisa di sembunyikan. Seringkali dia akan memanggil gue untuk ikut melihat apa yang dilihatnya, sebuah aksi kekanak-kanakan yang memancing senyum kecil di sudut bibir gue.
Mobil berkendara, melalui Yeongjong Bridge, terus melaju sampai ke hotel di kota Seoul yang telah gue pesan jauh hari. Setibanya disana, kita masuk ke dalam, menyelesaikan check-in, mendapatkan kartu akses dan pergi. Menaiki lift, kita turun di lantai dua puluh empat dan memasuki kamar.
Di dalam, Amela meletakkan sembarang kopernya, langsung berjalan ke jendela besar di sisi kamar, melihat pemandangan kota Seoul dari atas.
Sementara itu, gue melihat kamar hotelnya, ini adalah sebuah kamar minimalis modern yang luas, dengan dua ranjang di sisi ruangan, dan ada sepasang sofa dan meja kecil di antaranya, menghadap pada jendela besar yang menampilkan pemandangan kota.
"Ihh... keren banget!" Amela berseru riang, sebelum berbalik, menghadap pacarnya dan menunjuk keluar. "Lihat tuh Beb! itu Seoul Tower! kelihatan dari sini! ihh... bagus banget!"
Gue terkekeh, berjalan mendekat dan melihat apa yang menjadi kesenangan Amela. Menatap ke luar, melihat sebuah bangunan yang tampak seperti menara pemancar, berdiri di atas sebuah bukit tinggi.
Jaraknya dari sini tak begitu dekat tapi juga tidak begitu jauh, masih cukup jelas untuk dilihat. Juga, gue bisa menemukan matahari sore yang perlahan terbenam di balik menara itu, membuat pemandangan di depannya tampak seperti sebuah lukisan yang indah.
"Aku masih nggak percaya aku bakal kesini," gumam Amela, menatap kota Seoul yang diselimuti cahaya kuning lembut sore hari.
Melirik kepadanya, gue bertanya. "Emang kamu belum pernah kesini?"
Tak menjawab, Amela malah bertanya balik. "Emang kamu pernah kesini sebelumnya?"
Gue menggeleng. "Nggak, ini pertama kalinya aku liburan keluar negri, kamu?"
"Aku pernah ke sini, sama temen-temen SMA ku dulu, waktu liburan sekolah," jawabnya, mengusap dagu sebelum tersenyum nakal dan menoleh kepada pacarnya. "Tapi aku masih nggak nyangka deh bakal kesini sama kamu."
Tubuh gue seketika membeku, ingin berkomentar tapi Amela lebih dulu melanjutkan. "Aku masih penasaran, gimana caranya kamu bisa ngebujuk orang tua aku, supaya kita bisa malam tahun baru di Korea, cuma berdua lagi, hihi..."
Amela terkikik lucu, dia tak bisa tidak mengingat hari dimana mereka berangkat.
Pacarnya menjemputnya ke rumah sementara orang tuanya hanya berdiri diam, melihat putri mereka dibawa pergi. Dirinya bisa melihat betapa tidak senang Ayahnya. Sepanjang waktu, Ayahnya hanya berdiri diam, menatap tajam pada pria yang menjemputnya.
Tapi disitulah yang membuatnya bingung, dia tidak akan pernah bisa pergi jika Ayahnya dengan serius tidak mengizinkannya, tidak peduli bahkan jika Ibunya ikut campur. Bahkan jika dirinya nekat untuk pergi tanpa memberitahu, Ayahnya pasti akan segera menyusul dan menyeretnya pulang.
Fakta bahwa Devin bisa membawanya pergi tepat di bawah hidung Ayahnya, menegaskan bahwa mereka sudah mendapatkan izin, terlepas betapa muram raut wajah Ayahnya melihat putrinya dibawa pergi.
Di sepanjang perjalanan, Amela sering menanyakan bagaimana kekasihnya itu bisa membujuk Ayahnya sehingga mereka mendapatkan izin untuk pergi liburan, menikmati malam pergantian tahun di luar negri hanya mereka berdua. Dan ya... jawaban yang diterimanya akan selalu seperti ini...
"Ini bagian dari hadiah kelulusan kamu," jawab gue dengan lesu, lelah karena mengulanginya lagi dan lagi. "Karena kamu suka yang korea-korea, jadi aku pengen ajak kamu malam tahun baruan di sini."
Amela menatap skeptis. "Kalo gitu, kenapa orang tua aku juga nggak ikut? aku yakin mereka nggak akan keberatan kok."
"Ehem," berdehem canggung, gue berkata."Mereka itu sibuk, punya pekerjaan lain, dan mereka juga cukup percaya sama aku, lagian kita nggak lama kok disini, lusa nanti kita udah harus pulang lagi."
Amela menyipitkan matanya, menatap lekat-lekat wajah pacarnya yang dengan canggung menoleh ke arah lain, menghindari tatapan menyelidiknya. "Hmm... oke deh," katanya, dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih, tapi dia merasa bahwa pria itu akan dengan keras kepala tak memberitahunya, jadi dia memutuskan untuk tidak menekannya lebih jauh.
Berpikir demikian, Amela pergi ke kopernya, berniat mengambil barang-barangnya.
Melihat wanita itu pergi, gue menghela napas, meski ini adalah perjalanan liburan, bagi gue, perjalanan ini adalah sebuah misi penting dalam hidupnya, bagaimanapun, dia akan melamar Amela tepat di malam tahun baru.
Itu jugalah yang menjadi alasan mengapa orang tuanya mengizinkan dia untuk membawa putri mereka ke negri asing, hanya berdua.
Berpikir demikian, gue tak bisa tidak mengingat kembali malam dimana dia menyatakan keinginannya, itu terjadi saat makan malam bersama sebulan yang lalu.
Waktu itu, setelah Amela pergi keluar untuk ke toilet, gue berterus terang pada Om Yuda dan Tante Amaya.
"Begini Tante, Om... Devin mau ngomongin perihal kelanjutan hubungan Devin sama Amela."
Mendengar nada serius gue saat membahas topik penting, keduanya menegakkan punggung, menantikan pemuda di depan mereka untuk melanjutkan.
"Devin punya rencana untuk bawa hubungan kami ini ke arah yang serius, jadi... itu..." Gue mulai gelapan, menundukkan kepala dengan malu.
Meski sudah memantapkan diri dan berpikir dirinya cukup berani untuk mengatakannya dengan tegas, tapi ketika tiba di lokasi, separuh keberaniannya mencair seperti es. Menelan ludah, menekan rasa malunya, gue bersiap untuk bicara, namun...
"Kamu mau ngelamar Amela?"
Mendengar nada lembut itu, gue mengangkat kepala, melihat Tante Amaya menatapnya dengan senyum lucu. "Tapi emangnya kamu yakin udah siap untuk nikah?"
"Devin siap Tante," jawab gue dengan anggukan tegas. Saat ini tabungannya sudah cukup untuk disebut mapan dan ideal untuk membina rumah tangga.
Meski belum bisa sepenuhnya mengejar kesenjangan ekonomi yang ada, gue percaya dengan tingkat pertumbuhannya, hanya soal waktu baginya untuk menyusul ketertinggalan itu, akan ada masanya dia tak lebih rendah dari para kaum sosialita yang menjengkelkan itu.
Melihat jawaban tegas Devin, Amaya mengangguk ringan. "Ini bukan cuma soal materi lho, ini juga tentang kesiapan mental," katanya, menyeruput ringan minuman di gelasnya dan melanjutkan. "Kamu seharusnya beda setahun dari Amela, sekarang anak itu umurnya 23, berarti kamu 24, di zaman sekarang, usia segitu hitungannya nikah muda."
Amaya menutup mulutnya dan terkikik. "Hihi... padahal dulu Tante nikahnya umur 21, dan itu usia ideal di zaman itu, sekarang nikah di usia dibawah 25 aja disebut nikah muda, waktu bener-bener cepet berubah ya."
Memahami kekhawatirannya, gue menjawab dengan mantap. "Devin secara mental juga udah siap kok Tante, Devin percaya bisa jaga Amela."
Amaya menatap lekat-lekat, Sebagai seorang wanita dewasa berpengalaman, dia bisa merasakan pancaran kedewasaan dari pemuda di depannya.
Dirinya tahu bahwa pemuda itu lebih dewasa dari kebanyakan orang seusianya. Yah, tak mengherankan, mengingat apa saja yang pemuda itu harus lalui dalam hidupnya, dia pasti dipaksa untuk menjadi dewasa lebih cepat oleh keadaan.
Pikiran itu membuat Amaya menatap iba padanya. "Yah, kalo Tante sih nggak punya masalah," katanya dengan kedipan mata.
Hati gue merasa ringan, seolah beban seberat gunung di pundaknya baru saja menghilang saat dia mendapatkan lampu hijau dari Ibu mertuanya itu. "Makasih Tante-"
"Eh, belum dulu," potong Amaya, membuat pemuda itu menatapnya bingung. "Kalo Tante sih nggak masalah, tapi yang di samping ini lho," katanya, menunjuk dengan lirikan mata kepada pria yang tengah duduk di sampingnya.
Seketika hati gue kembali tertekan, melirik ke samping, gue menemukan Om Yuda yang terduduk dengan wajah tanpa ekspresi. Segera gue merasa bahunya seperti kembali ditimpa gunung dan sekarang bukan cuma satu tapi selusin gunung!
Menelan ludah, gue berkata dengan canggung. "I-Itu... Om.. ee... itu... jadi g-gimana tuh, jawaban Om?"
Yuda duduk dengan punggung tegak, menatap tegas. Dia sejauh ini hanya duduk diam, lebih memilih untuk mendengarkan dan melihat pembicaraan pemuda itu dengan Istrinya.
Tapi, meski diluar dia tampak pendiam, di dalam: 'Sial! sial! saya tahu itu! pasti bajingan ini punya agenda lebih waktu ngajakin makan malam! saya udah curiga dan bener kan!!'
Yuda menggerutu di dalam hati, melepaskan serangkaian kutukan pada pemuda di depannya. Sebagai orang dewasa yang sudah berumur, dia jelas tidak bisa memakinya secara terang-terangan, dia hanya bisa melakukannya di dunia batinnya.
Meski pemuda itu dengan niat baik ingin melamar putrinya, bagi dirinya yang merupakan seorang ayah protektif, lamaran itu setara dengan deklarasi perang!
Yuda menekan rasa kesalnya, membiarkan dirinya berpikir dengan kepala dingin. Dia tahu bahwa hari ini akan tiba, hari dimana dia harus membuat keputusan akan bersama siapa putrinya melanjutkan hidup.
Meski sering kali dia mengabaikannya karena betapa dirinya tak menyukai konsep tersebut, dia sering kali dihantui pertanyaan yang sama: Siapa yang akan menjadi suami putrinya?
Dia telah banyak mendapatkan tawaran dari teman dan rekan bisnisnya, untuk menikahkan putrinya dengan anak mereka, tapi dia selalu mengalihkan topik sebagai bentuk penolakan halus. Lagi pula, dia sendiri tahu bahwa tak sedikit dari rekan bisnisnya yang di belakang menyembunyikan simpanan dari istri sah mereka.
Mereka adalah para petinggi perusahaan, memiliki banyak orang di bawahnya yang mau melakukan pekerjaan untuknya, membuat mereka memiliki cukup banyak waktu luang karena hanya perlu melakukan pemantauan dan terima laporan hasil.
Namun, meski begitu di luar mereka tetap menunjukkan citra sebagai pekerja keras yang sibuk, bukan karena sibuk bekerja, melainkan sibuk menikmati gaya hidup yang hedon. Hal ini berbuah pada kurangnya perhatian pada keluarganya di rumah, terutama perkembangan anak mereka.
Yuda sering menerima laporan kenakalan remaja yang dilakukan oleh anak konglomerat yang beberapa adalah rekan bisnisnya. Dia menemukan banyak pelanggaran yang dilakukan, mulai dari pelanggaran lalu lintas, mabuk saat berkendara, praktek aborsi atau menghamili anak orang tanpa tanggung jawab, hingga yang pernah ramai menjadi berita adalah memukuli orang sampai koma!
Lebih dari itu, Yuda juga tahu bahwa ada beberapa kasus yang bahkan sampai menimbulkan korban jiwa, akibat ulah para pemuda yang penuh ego itu.
Namun biasanya, beritanya segera mereda sebelum menghilang atau benar-benar sama sekali tidak diberitakan. Meksi tidak ada bukti, Yuda yakin pasti ada tangan yang bermain di belakang. Jika bukan karena dia memiliki jaringan informasinya sendiri, dia juga pasti tidak akan tahu akan hal itu.
Dan fenomena ini membuatnya memiliki keraguan yang kuat terhadap para pria di zaman sekarang, terutama setelah apa yang terjadi beberapa tahun silam, saat dia menjemput kembali putrinya dari luar negri.
Yuda merasa sangat sakit melihat putrinya yang begitu patah saat dikhianati oleh kekasih masa kecilnya. Selama setahun penuh saat putrinya hanya mengurung diri di kamarnya, dia selalu menyalahkan dirinya sendiri karena menjadi ayah yang buruk, mempercayai dirinya telah gagal sebagai seorang ayah. Jika bukan karena dukungan istrinya, dia sendiri pasti hancur karenanya, mulai bertindak impulsif karena tekanan emosi.
Dengan lesu, Yuda menyandarkan punggungnya, menghela napas berat dan menutup matanya.
Gue duduk dengan tegang, membiarkan Om Yuda yang tampak merenung panjang, sementara Tante Amaya dengan santai melanjutkan makan, hanya dentingan piringnya yang mengisi suara di ruang makan mewah ini.
Yuda, dalam pandangannya yang gelap, berbagai kilasan kenangan di putar di benaknya. Tangisan seorang bayi, balita menggemaskan yang pertama kali bisa berjalan, gadis kecil yang baru menginjakkan kaki ke sekolah, merawat gadis remaja yang demam, merayakan ulang tahun ke 17 gadis itu, melihatnya pergi untuk melanjutkan kuliah ke luar negri sampai ketika dia menjemput gadis itu kembali dalam keadaan hancur yang bertolak belakang dengan dirinya sebelumnya.
Yuda merasakan sensasi sengatan tertentu di hatinya saat mengingat kembali kenangan itu. Dia secara rutin membawakan makanan, mengetuk pintu kamar putrinya hanya untuk diabaikan. Dia sering membawa dokter dan psikolog hanya untuk tak berbuah apapun.
Tak tahan dengan kondisi itu, dia mendaftarkan putrinya ke Universitas terdekat, berharap gadis itu akan kembali melanjutkan hidupnya.
Dan syukurnya itu berhasil, perlahan putrinya tampak kembali ke dirinya yang dulu, ceria dan lebih ekspresif. Yuda merasa bahagia dan senang karenanya, berpikir bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat.
Namun, disitulah dia akhirnya mengetahui, ada orang lain yang berperan besar atas perubahan putrinya, itu adalah seorang pria yang kini menjalin hubungan dengannya.
Yuda membuka mata, menatap pemuda yang dengan tegang duduk di depannya, menunggu jawaban. Perasaannya campur aduk saat melihat wajahnya, ada perasaan kesal, tapi ada pula rasa terimakasih.
Menarik napas dalam-dalam, dia menjawab dengan nada rendah dan sedikit hangat. "Kalo Om... selama Amelanya senang dan setuju, Om nggak keberatan."
Mata gue membulat mendengarnya, jantung gue berdetak sangat cepat, perasaan bahagia yang kuat, menyelimuti hatinya. Jika bukan karena dia perlu menjaga citranya, gue pasti sudah berteriak senang sambil meninju udara.
Menekan rasa senangnya, gue menjawab dengan tegas. "Makasih Om, Devin bersumpah bakal jaga Amela sampai akhir."
Sementara Yuda menatap dengan agak jengkel, istrinya disamping, Amaya, tersenyum tipis. Dia sudah tahu apa jawaban suaminya sejak lama, itu hanya masalah waktu.
Melirik ke depan, Amaya terkikik melihat pemuda di depannya, mencoba yang terbaik untuk menekan rasa senangnya, meski binar di matanya dengan jelas menunjukkan suasana hatinya.
Masih terjebak di dalam euforia, gue berinisiatif berkata dengan antusias. "Devin juga niatnya mau lamar Amela di Korea, tepat saat malam tahun baru."
Wajah Yuda membeku. 'Apa-apaan ini berengsek?! maen bawa-bawa aja! apa dia kira anaknya udah jadi punya dia sekarang hah?!' Yuda menggerutu kesal, dia merasa pemuda ini tampak menjadi lebih berani sekarang.
Berpikir bahwa dirinya perlu memberi peringatan, Yuda berkata dengan dingin dan menatap tajam. "Om punya nasehat buat kamu."
Gue menatapnya dengan hormat, merasa bahwa ini adalah sesuatu yang penting. "Iya Om?"
Sudut bibir Yuda terangkat, menghasilkan senyum yang mengancam, dia melanjutkan. "Kalo kamu patahin hati anak Om, nanti Om juga bakalan patahin 'kaki ketiga' kamu."
Wajah gue memucat, itu lebih seperti ancaman dari pada nasehat!
"Paham?" Yuda bertanya dengan dingin, yang gue jawab terbata dengan keringat dingin di dahinya. "P-Paham Om."
Melihat suasana panas keduanya, Amaya hanya menatap lucu. Detik berikutnya Amela datang, dia baru saja kembali dari toilet, duduk kursinya di samping pacarnya dan bertanya. "Ini ada apa Mah?"
"Beb! kamu denger nggak sih?!"
Mata gue berkedip, membuyarkan kenangan yang diputar di benaknya. Mengusap wajah untuk mengembalikan fokus, gue bertanya. "Iya, kenapa Mel?"
"Kebiasaan deh kamu itu, suka ngelamun nggak jelas," jawab Amela kesal. "Aku tadi nanya, barang-barang kamu yang di koper mau aku rapihin juga nggak?"
"Nggak apa-apa aku bisa atur sendir," jawab gue, berjalan mendekat padanya, merapikan barangnya sendiri.
Hari sudah gelap saat kami selesai, matahari sudah sepenuhnya terbenam. Lelah karena perjalanan, kami memutuskan untuk hanya makan malam, sebelum akhirnya beristirahat, memutuskan untuk menjelajahi kota Seoul di keesokan harinya.
Kami menghabiskan malam dengan mengobrol. Duduk di sofa, menikmati pemandangan malam kota Seoul dengan segelas kopi, sebelum akhirnya tidur, yang sebenarnya agak sulit dilakukan, bagaimanapun, meski berbeda kasur, mereka tetap tidur di ruangan yang sama, sesuatu yang membuat pikiran gue traveling.
Pada akhirnya, gue memutuskan untuk menghitung domba agar dirinya bisa tertidur.
***
"Beb! sini! lihat yang ini!" Amela berseru senang, menunjuk ke suatu arah.
Gue yang sibuk dengan ponsel untuk merekam sekitar, menoleh, melihat Amela menunjuk sebuah paviliun besar, berjalan mendekat, gue bertanya. "Mau foto?"
Amela mengangguk, memposisikan diri di depan paviliun dan melakukan beberapa pose, sementara gue memotretnya.
"Ayo kamu juga," katanya, saat dia menyeret gue, seenaknya mengambil ponsel, dan mengangkatnya untuk melakukan selfie. Kami mengambil beberapa foto sebelum kembali berjalan, menikmati pemandangan sekitar, melihat Paviliun Gyeonghoeru yang dikelilingi kolam.
Kami saat ini berada di kawasan kompleks Istana Gyeongbok. Kita berniat mengawali liburan dengan menikmati wisata sejarah dan budaya setempat, karenanya kami mengunjungi beberapa tempat seperti Istana Changdeok dan desa Bukchon Hanok yang menyuguhkan lorong-lorong jalan dengan rumah tradisional di sekitarnya.
Selepas dari wisata sejarah dan budaya, kami berniat untuk menikmati wisata modern, sekalian untuk membeli beberapa oleh-oleh juga. Namun, sebelum itu, kami berniat istirahat sejenak sambil menikmati makan siang, karenanya gue membawa Amela ke Restoran lokal dan memesan beberapa menu seperti Naengmyeon, Tteokbokki, Gimbap dan minuman segar.
Sementara gue dengan lahap menikmati makanan, Amela makan sambil menatap ponselnya, melihat-lihat kembali foto yang diambilnya. Gue berhenti makan saat melihat Amela mengerutkan keningnya sambil menatap ponsel. "Kenapa Mel? fotonya nggak bagus?"
Amela melirik padanya, menggeleng sambil menghela napas. "Bukan itu, aku baru aja chat an sama Jeni, dia ngasih tahu aku kalo dia lagi di Bali sama Rama, dia bahkan sampai ngirim fotonya," kata Amela, menunjukkan isi ponselnya.
Disana, gue melihat seorang wanita cantik familiar dengan pakaian minim, tampak sedang bersantai di sebuah pondok dekat tepi pantai. Tepat di samping, duduk seorang pria tanpa atasan, hanya memakai celana pantai sambil menyeruput minuman dari wadah kelapa. Mereka adalah Jeni dan Rama.
Amela manarik kembali ponselnya. "Serius deh! kenapa sih dia mau sama bajingan kayak begitu!" katanya dengan nada kesal.
Gue menggeleng, itu adalah masalah yang terjadi sekitar sebulan yang lalu, ketika gue di keroyok oleh gengnya Rama. Gue sudah diberitahu bahwa Rama sebenarnya tidak terlibat atas pengeroyokan malam itu, semuanya murni inisiatif mereka yang main hakim sendiri. Meski di awal gue merasa skeptis, tidak butuh waktu lama untuk menemukan bahwa itu memang benar.
Amela sudah diberitahu akan hal itu juga, meski yang terakhir tidak terlalu peduli. Sementara gue akhirnya tahu bahwa ketika dirinya di rawat di rumah sakit, Amela sempat mengkonfrontasi Rama.
Sejak hari itu, Rama tak pernah lagi muncul di kehidupan mereka. Namun... melirik Amela, gue terkekeh, wanita itu tampaknya menjadi lebih dekat dengan Jeni. Mereka sepertinya benar-benar menjadi teman. Di beberapa kesempatan gue menemukan bahwa keduanya terkadang memiliki kegiatan bersama, seperti pergi ke salon, klinik kecantikan dan kegiatan kewanitaan lainnya. Gue menggeleng tak berdaya, menemukan takdir terkadang bisa begitu lucu.
Menghabiskan makan siang, kami lanjut menikmati liburan, kini dengan mengunjungi kawasan hiburan yang lebih modern. Dan tempat yang kami kunjungi adalah Lotte World!
Kami menikmati taman hiburan ini, berjalan-jalan, menaiki beberapa wahana dan mengambil foto. Hanya ketika matahari telah terbenam, kami memutuskan untuk keluar, melanjutkan liburan ke pusat perbelanjaan COEX Mall. Disana, kami melihat banyak biota laut dan perpustakaan besar. Tak lupa kami membeli oleh-oleh disana, ada yang dinikmati untuk sendiri, ada juga yang dibeli untuk orang di rumah.
Amela melirik kepada tas belanja yang di bawa oleh pacarnya, pria itu telah membeli beberapa barang. Hal yang normal sebenarnya, namun, dia memperhatikan bahwa mayoritas barang yang dibelinya adalah mainan anak-anak. "Beb, kamu itu beli mainan buat apa?," tanyanya saat mereka berjalan menyusuri Mall.
Gue menoleh padanya, menjawab ringan. "Nggak apa-apa, pengen aja, emang kenapa?"
"Yah enggak apa-apa juga sih," kata Amela. "Tapi kamu beli itu untuk diri kamu sendiri atau oleh-oleh buat orang lain?"
Mengangkat bahu, gue menjawab. "Bisa buat aku, bisa buat orang lain juga, fleksibel aja sih, aku juga beli oleh-oleh untuk anak-anak di Clothing ku."
Amela masih menatap skeptis, jawabannya terlalu ambigu, anak-anak di Clothingnya jelas adalah orang-orang dewasa, jadi mainan anak-anak sudah pasti bukan hadiah yang ideal untuk mereka. Meski demikian, tak sulit bagi Amela untuk mengetahui untuk siapa sebenarnya oleh-oleh mainan anak-anak itu.
Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum. Amela tahu bahwa mainan itu dibelikan pacarnya untuk diberikan pada adik tirinya, Aksa. Karena kedekatannya dengan Ibu Denita, Amela sering bersinggungan dengan anak kecil itu, bahkan terkadang dia mengajaknya bermain.
Di beberapa waktu, pacarnya akan menjemputnya, membuat kedua saudara tiri ini bertemu. Dan hal yang membuatnya terkejut adalah ternyata hubungan mereka baik.
Amela selalu berpikir, fakta bahwa kekasihnya membenci Ibu dan keluarga barunya, dia juga akan membenci anak kecil ini. Tapi ternyata, justru kebalikannya, Devin tampak ramah dan cukup nyaman bersama anak kecil itu. Hanya saja, jika Ibu Denita juga ikut hadir disana, pacarnya akan tampak kurang ekspresif, bersifat netral dan selalu mencoba mencari kesempatan untuk pergi.
Amela seringkali merasa tak enak pada Ibu Denita, setiap kali hal itu terjadi. Tapi di satu sisi, dia bisa memahami kekecewaan yang dimiliki kekasihnya. Dia hanya berharap waktu akan mengobati luka dalam hubungan mereka.
Setidaknya, meski Devin membenci Ibu dan Ayah tirinya, dia tidak menaruh kebencian itu kepada Aksa.
Amela tersenyum masam, melihat bagaimana kekasihnya membenci ibu kandungnya, tapi memiliki kepedulian pada adik tirinya, terkadang takdir bisa begitu menggelikan.
Malam semakin larut dan semakin banyak pula orang yang hadir, bagaimanapun, ini adalah malam pergantian tahun, ada banyak orang yang hadir ingin merayakan malam ini, entah sendiri, bersama teman, keluarga atau pasangan.
Setelah keluar dari Mall, kami singgah dulu ke hotel untuk meletakkan belanjaan dan makan malam. Setelahnya, kami pergi ke bukit Namsam, kompleks Seoul Tower, demi mendapatkan view yang bagus saat melihat kembang api. Dan bagi gue, adalah tempat untuk melamar wanitanya.
Karena begitu banyaknya orang yang hadir, gue memutuskan untuk tidak pergi ke kawasan Seoul Tower, melainkan di kawasan jalan dengan bangku taman di sisinya. Tempat ini relatif sepi, namun masih menghadirkan pemandangan yang bagus.
Menatap ke depan, gue melihat pemandagan kota Seoul di kala malam, menemukan lampu-lampu yang menyala benderang menghidupkan kota besar ini.
Memeriksa jam di ponsel, menemukan tak lama lagi sampai tiba waktu tengah malam. Kami berdiri di tepi pembatas jalan, tangan kami bertautan, menikmati angin segar malam sambil menatap keindahan kota Seoul, menunggu pergantian tahun.
"Beb, kamu happy nggak hari ini?" Amela bertanya tanpa mengalihkan pandangan.
Gue menoleh padanya, melihat bagaimana angin malam menghembuskan helaian rambutnya. "Happy kok, kenapa?"
Amela menoleh, berkata dengan senyum lembut. "Aku cuma mau bilang, kamu nggak harus bawa aku jauh-jauh kesini cuma untuk bikin aku senang, karena sejatinya..." Mencondongkan tubuh, Amela meletakkan kepalanya di bahu kekasihnya. "Aku akan selalu happy sama kamu, nggak peduli dimanapun itu."
Mendengarnya, hati gue terasa manis, tangan kami bertautan lebih kuat. Gue berkata dengan berbisik. "Aku juga, selamu aku sama kamu, aku juga pasti selalu bahagia, nggak peduli dimana kita berada."
Amela tersenyum manis, mengangkat kepalanya untuk menoleh melihat kekasihnya. Kami saling melirik dengan senyum, saling terjebak di tatapan hangat satu sama lain, hingga orang-orang disekitar kami tampak menjadi bising dan heboh.
Melihat ponsel, gue menemukan hanya tinggal menghitung detik sampai tiba pada tengah malam. Amela juga menatap ponselnya sendiri, mengetahui hal yang sama. Segera, orang sekitar mulai berseru senang, menghitung mundur.
Amela juga ikut berseru, semenatara gue sedikit mundur ke belakang, mengambil sesuatu dari sakunya, yakni sebuah kotak kecil. Membukanya, gue menemukan sebuah cincin emas diletakkan di sana. Gue tersenyum, menunggu ketika hujan kembang api diletuskan, sebelum dia akan melamar wanita ini.
"Lima!"
"Empat!"
Amela berseru keras, dengan antusias menghitung mundur menggunakan bahasa indonesia, tidak seperti mayoritas orang disini. "Tiga!"
"Dua!"
"Satu!"
"MENYALA ABANGKU!!"
Senyum gue langsung membeku, kotak cincin yang gue pegang hampir terjatuh ke bawah. Di saat yang lain meneriakkan: Happy New Year, hanya wanita ini satu-satunya yang berteriak: Menyala Abangku, sambil meninju udara.
Segera, rentetan kembang api diletuskan, mengisi langit kota Seoul dengan rentetan cahaya warna-warni dan suara ledakan yang meriah. Amela, menatap terpesona, tidak bisa mengalihkan pandangannya sampai...
"Mel."
Mendengar panggilan, Amela berbalik dan berkata dengan antusias. "Beb! lihat deh itu-eh?"
Dia tidak bisa menyelesaikan kata-katanya saat melihat kekasihnya berdiri dengan sebuah kota yang terbuka di tunjukkan padanya. Menatap lekat-lekat, Amela menemukan sebuah cincin emas disana.
Segera, dengan kaget dia menutup mulut dengan kedua tangannya. Dia mengerti apa yang sedang terjadi disini.
"Kamu inget nggak? sebulan yang lalu, waktu kita makan malam sama orang tua kamu, aku pernah nawarin kamu untuk kerja jadi istri aku," kata gue, tersenyum lembut dengan tatapan hangat. "Sekarang, aku mau nawarin hal yang sama."
Amela hanya menatap dengan matanya yang berbinar air mata, hanya butuh satu kalimat untuk membuat semua itu tumpah, dan dia tengah menunggu kekasihnya untuk mengatakannya.
"Mel, untuk pertama dan terakhir, untuk sekarang dan selamanya, kamu... kamu mau nggak jadi istri aku?"
Mendengarnya, segera air mata itu tumpah. Amela menggigit bibirnya, mencoba untuk fokus, dia harus memberi jawaban. Mengangguk, Amela menjawab dengan serak. "I-Iya aku mau."
Mata gue terasa panas, ada kumpulan air mata yang terbentuk disana, tapi gue dengan kuat menahannya. Berjalan mendekat, membawa wanita itu ke dalam pelukannya.
Amela menenggelamkan kepalanya ke dalam dada pria itu, dengan air mata yang mengotori bajunya. Tak lama, dia merasa dagunya diangkat, wajahnya menghadap wajah kekasihnya dan detik berikutnya, dia merasa sensasi lembut di bibirnya. Matanya membulat saat melihat wajah kekasihnya terbenam ke wajahnya. Amela melingkari leher pria itu dan mengencangkan ciuman mereka.
Di bawah hujan kembang api yang mengisi malam kota Seoul dengan warna-warna indah dan ledakan yang meriah. Di saat semua orang di seluruh dunia merayakan awal tahun yang baru. Di sini, sepasang kekasih sedang terjalin saat keduanya memulai lembaran baru dalam hidup mereka.
Tamat.