Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 15 - Bab 15. Malam Berdarah

Chapter 15 - Bab 15. Malam Berdarah

Pegang tanganku ini~

Dan rasakan yang kuderita~

Genggam tanganku ini~

Genggam perihnya kehidupan~

Alunan musik melow dengan lirik indahnya, bergema di kamar ukuran 3x4 yang sederhana. Gue terbaring dengan lesu, mendengarkan lantunan musik dari band favoritnya, Noah, dengan judul lagu Dibalik Awan.

Sama seperti anak muda Gen-Z pada umumnya, gue juga menikmati lagu galau untuk menemani hatinya yang sedang bersedih. 

Waktu berlalu dan ketika lagunya berhenti, itu akan memutar lagu lain dari playlist yang berisi kumpulan lagu Noah pilihannya. Dan jika semua lagu dalam playlist telah habis, itu akan memulai kembali dari awal, memutar lagu-lagu yang sama terus menerus. 

Gue nggak tahu berapa kali playlist itu diulang, hanya membuka mata saat gue merasa ada seseorang yang memanggil di depan rumah.

Bangun dengan enggan, mempause lagu dan berjalan keluar kamar. Berdiri di depan pintu masuk rumah, gue bisa mendengar suara familiar yang memangil-mangil. 

Membuka pintu, gue menemukan seorang wanita cantik berambut hitam kecoklatan dengan warna mata yang sama, mengenakan hoodie putih, berdiri di depannya dengan membawa tas belanja di tangannya. 

Tersenyum lemah, gue menyapa. "Halo, Amela sayang."

Wajah Amela sedikit cemberut, dia telah menunggu selama lima belas menit disini, menggedor pintu, memanggil-mangil dan mencoba menghubunginya. 

Jika ini terjadi di situasi normal, dia pasti akan mengeluhkannya. Namun saat ini, dihadapkan pada kondisi pacarnya yang tengah berduka, dia menelan rasa kesalnya dan bertanya dengan lembut. "Beb, kok kamu bukanya lama benget sih dan kenapa telepon aku nggak kamu angkat?"

Gue sejenak mengerutkan kening dengan bingung, sebelum sadar atas sesuatu. "Oh itu, maaf, kayaknya mode jangan ganggu hp aku nyala, jadi nggak ngeh deh," kata gue, tersenyum minta maaf.

Amela menggeleng dengan helaan napas sebelum bertanya. "Aku kesini mau ngecek keadaan kamu, gimana? kamu udah makan belum?"

Gue membuka mulut untuk menjawab bahwa dirinya sudah makan, namun segera terdiam saat dia melihat keluar, langit sudah gelap yang berarti ini sudah malam. Terakhir kali gue makan adalah saat sarapan, itupun dibawakan oleh Amela, dan sekarang sudah malam, sudah lebih dari sepuluh jam berlalu sejak dia terakhir kali makan.

Amela yang melihat pacarnya terdiam, menghela napas, ini bukan pertama kalinya terjadi. "Hah, ini aku bawain makanan," katanya sambil berjalan masuk, dan duduk di kursi kayu ruang tamu.

Meski di luar gue tersenyum pahit, didalam gue merasa senang atas perhatiannya. Tidak seperti kebanyakan pacar klise diluar sana yang hanya bertanya apakah sudah makan atau belum tanpa memberi, Amela langsung datang ke rumahnya dengan membawa makanan, bahkan tanpa bertanya sekali pun, benar-benar tipikal pacar green flag.

Duduk di sebelahnya, gue membuka bungkusan yang dibawa Amela, menemukan sebuah kotak makanan. Membukanya, gue melihat nasi dengan beberapa lauk. Meraih sendoknya, gue mulai menyantapnya.

Disisi lain, Amela hanya terduduk diam, melihat sekeliling, kepada ruang tamu sederhana ini. Tak seperti rumahnya yang besar, rumah Devin jauh lebih sederhana, rumah satu lantai berukuran 8x15 meter, ini adalah rumah peninggalan orang tuanya. 

Mengalihkan perhatian, Amela menatap pacarnya yang tengah makan dengan lahap. Ada senyum kecil di bibirnya, menemukan bahwa cukup dengan melihatnya makan, memberinya rasa kebahagiaan tertentu.

Tak sampai lima menit gue menghabiskan makanannya, menunjukkan betapa laparnya dia. Menoleh kepada wanita yang melamun menatapnya, gue bertanya. "Minumnya mana Mel?"

Amela berkedip dan sadar. "Iya, itu ada di-eh?" Amela ingin mengatakan bahwa minumnya ada di dalam tas belanja, sebelum dia teringat bahwa dia hanya membeli makanan dan lupa membeli minumnya. 

"Itu... aku lupa." katanya dengan suara kecil, menundukan kepala karena malu.

Gue tersenyum masam, berdiri dan berjalan ke dapur, sebelum kembali setelah beberapa detik kemudian. Amela menatap bingung saat dia menemukan Devin menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. "Kamu kenapa?"

Gue terkekeh pahit dan menjawab. "Air di rumah ternyata habis."

"..."

Amela menatap kosong pada keteledoran pacarnya, dia menepuk jidatnya. Terkadang pria ini bisa sangat ceroboh, bagaimana dia bisa hidup tanpa memiliki air? Amela tak bisa tidak bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa berpacaran dengan pria semacam itu, tanpa menyadari bahwa dirinya juga sama teledornya. 

Menghela napas, dia berdiri. "Ya udah, aku ke Minimarket dulu aja."

"Oh nggak perlu, aku aja yang jalan," kata gue, bergegas keluar rumah. Tidak enak membiarkan Amela yang rela jauh-jauh datang kesini malah menjadi pesuruh.

"Tunggu!" seru Amela, menghentikan langkah Devin yang sudah sampai di teras. "Kamu bawa uangnya kan?"

Mendengarnya, gue merogoh kantung celana dan tak menemukan uang sama sekali. "Bener juga, aku lupa dompetku masih di dalam," kata gue, sebelum masuk kembali kedalam, mengambil dompet dan berjalan keluar.

Amela menatap bodoh pada pria ceroboh yang bulak-balik itu. Melihat Devin keluar pagar rumah, dia berpikir: 'Nanti pas pulang, dia inget kalo ini rumahnya kan?'

***

Berjalan dengan kantung belanja di tangannya, gue menyeruput botol minuman yang dipegangnya, menikmati sensasi dingin dan manis yang turun ke tenggorokan. Mengelap bibir, gue manatap kantung belanjaan, tersenyum lucu saat dia mengingat bagaimana Amela datang membawa makanan tanpa membawa minumnya. 

Yah... gue telah membelikan makanan ringan dan minuman dari Minimarket untuknya. Sejak kematian ayahnya, gue sudah tidak mengisi persediaan air lagi, hanya makan dan minum dari pesanan online atau yang dibawakan oleh Amela.

Gue tersenyum, mengingat bagaimana wanita itu hampir tak pernah meninggalkannya selama masa duka ini. Amela secara rutin akan datang untuk melihat keadaannya, mengingatkannya untuk makan, mandi, berolahraga, mengajaknya jalan keluar rumah, memberinya serangkaian nasehat dan filosofi hidup yang mungkin dia temukan dari cerita novel yang sering dibacanya.

Tentu, yang memberinya dukungan tak hanya Amela, ada beberapa. Namun jika harus menempatkan orang kedua yang paling memberinya perhatian setelah Amela, jelas ibunya akan menempati posisi itu. 

Meski tak sesering Amela, ibunya akan mampir untuk melihat keadaanya. Dan seperti biasa, gue menanggapinya dengan netral. Tidak menunjukkan tindak impulsif, namun juga tidak begitu ramah tamah.

Gue menghela napas berat saat hatinya merasa sedikit bersalah atas itu. Hubungan buruk mereka dimulai saat dia mengetahui hubungan gelap ibunya. Namun, gue hanya mulai benar-benar membencinya selepas kematian adiknya. 

Sering kali, gue menyalahkan ibunya, berpikir bahwa jika seandainya dia lebih memperhatikan keluarganya sendiri, Haikal mungkin masih hidup sekarang.

Tentu, dia tahu bahwa ibunya saat itu juga tengah hidup dalam tekanan. Ayahnya yang sering melayangkan kekerasan, membuatnya enggan untuk kembali ke rumah, membuatnya juga hampir tak menyadari bagaimana kehidupan anak-anaknya. 

Jika dipikirkan kembali, mungkin sejak awal gue hanya memiliki dua pilihan, membiarkan adiknya tewas atau membiarkan ibunya terus menderita di tangan ayahnya.

Tentu, gue punya harapan bahwa ibunya untuk sementara waktu bisa tetap bertahan, menjaga Haikal sampai gue cukup untuk menampung hidup kita bertiga, sebelum memisahkan diri dari ayah. Tapi sayangnya, dunia ini bukan negri ajaib yang dibentuk dengan mengabulkan harapan.

Berpikir demikian, gue mempercapat langkah, mengabaikan kendaraan yang terkadaang lalu-lalang di sampingnya. Jarak dari rumahnya ke Minimarket agak jauh, untuk jalan kaki butuh waktu sekitar tujuh menit untuk sampai. Dia agak lama juga di Minimarket, memilah makanan dan minuman yang ingin dibawanya. Sebelumnya juga dia pulang dengan berjalan santai sambil minum. 

Amela mungkin mulai jengkel karena betapa lamanya dia keluar. Gue terkekeh, membayangkan wajah kesalnya yang menunggu di rumah, berharap makanan ringan yang dibawanya, cukup untuk menyenangkan wanita itu.

***

Sunyinya malam, harus dinodai dengan bisingnya suara beberapa kendaraan bermotor. Ada enam dari mereka dengan masing-masing membawa motor sport mewah. 

Yang berada di ujung depan, sejenak menurunkan kecepatannya sebelum berhenti tepat di tengah jalan. Yang lain juga mengikuti, berhenti di tengah jalan. 

Bukan hanya karena mereka tidak peduli pada pengendara lain, tapi jalan ini juga jarang dilalui kendaraan, jadi tak perlu untuk menepi, itulah yang ada di dalam otak penuh ego mereka, benar-benar sekumpulan sampah masyarakat.

"Lo kenapa Za?" Javiko bertanya saat temannya memutuskan untuk berhenti. 

Reza membuka helmnya, menoleh dengan tatapan tajam.

Melihatnya, Javiko menurunkan pandangan dan menghela napas, temannya Reza tidak dalam suasana hati yang baik. Akhir-akhir ini, Reza lebih sensitif dari biasanya, dan tentu dia tahu alasannya, itu karena Rama. 

Entah mengapa, Rama dan Jeni tampak lebih dekat dari sebelumnya. Javiko tahu bahwa Reza naksir dengan Jeni, tapi tidak berani menunjukkannya karena takut pada Rama.

Reza memiliki kebiasaan untuk melampiaskan kekesalannya pada wanita acak di Klub, atau orang yang lebih lemah darinya. Dan kedekatan lebih antara Jeni dan Rama membuat Reza tampak lebih bringas dari biasanya. Dia memukuli orang lebih dari biasanya, jika bukan karena anak-anak yang lain memisahkannya, Reza mungkin bisa terlibat dengan hukum yang serius.

Mengabaikan Javiko yang tertunduk, Reza mengerutkan kening, barusan dia melihat seseorang yang familiar, meski belum lama ini mengenalnya, orang itu telah memberi kesan mendalam padanya, dia adalah orang yang di incar oleh Rama.

Reza lupa siapa namanya, tapi yang jelas, orang ini memiliki masalah dengan Rama. Namun, tak seperti dirinya yang takut pada Rama, orang itu tampaknya tidak takut meski dia hanya orang biasa. Reza merasa harga dirinya dilukai saat dia menyadari bahwa orang yang dimatanya tak lebih dari sekedar rendahan, tampak lebih jantan daripada dirinya yang segan kepada Rama.

Kekesalan di hatinya bertambah besar, kecendurungan sadisnya muncul saat dia merasa akan memusakan untuk memukuli orang itu. Berbalik menatap Javiko dan anak-anak yang lain, dia berkata. "Kita puter balik, ada orang yang harus kita kasih pelajaran."

Javiko mengerutkan kening, khawatir dengan perkembangan yang mungkin bisa terjadi. "Ngapain sih Za, Rama lagi nugguin kita di Klub, nanti kalo dia-"

"Bacot!" bentak Reza. "Biarin aja dia, hidup gue ya hidup gue, siapa dia mau ngatur gue, bangsat sialan!"

Javiko merasa takut saat melihat wajah bringas Reza, dia memutuskan untuk diam, yang lain juga sama. Reza, melihat anak-anak yang lain tampak patuh, mengangguk puas. Dia merasa tak senang saat nama Rama disebut, itu membuatnya semakin kesal. 

"Lo semua ikutin gue, dan lakuin aja apa yang gue suruh," katanya dengan senyum haus darah sebelum memutar motor dan melaju, sementara yang lain mengikuti.

***

Amela menghentakkan kakinya dengan kesal, dia tengah berdiri di teras rumah, menunggu selama lebih dari dua puluh menit disini, sementara bajingan kesayangannya itu masih belum kembali. "Serius! dia nggak lupa sama rumahnya sendiri kan?" katanya frustasi.

Dia ingin menghubungi orang itu, hanya untuk menyadari bahwa Devin tidak membawa ponsel saat keluar. Dengan berlalunya waktu, dia merasa kesabarannya akan habis. Dia tahu dimana letak Minimarket itu berada, dan tahu bahwa memang jaraknya agak jauh, tapi seharusnya nggak akan selama ini.

Amela menatap langit malam, memeluk dirinya. Entah mengapa, meski memakai hoodie, dia merasa malam ini tampak lebih dingin dari biasanya. Dia memandang ke pagar rumah, bertanya-tanya apakah dia perlu untuk menyusulnya.

***

Berjalan dalam kesendirian dia tengah dinginnya malam, langkah gue harus terhenti setelah sekelompok kendaraan bermotor yang berisik datang. Mereka menepi di pinggir jalan di sekitarnya yang sedang berjalan di trotoar. Tiga motor berhenti di belakangnya, sementara tiga lainnya berhenti di depannya.

Gue mengerutkan kening, melihat sekumpulan motor ini yang berhenti dengan sengaja disekitarnya, membuatnya tampak dikelilingi. Berdiri diam, mengamati keenam pengendara yang turun dari masing-masing motor dan melepas helm. Mata gue menyipit setelah menemukan wajah-wajah yang familiar, mereka adalah gengnya Rama. 

'Apa maksudnya ini? apa Rama mau cari masalah lagi?' pikir gue dengan hati-hati, bertanya-tanya apa rencananya kali ini.

"Wah wah, lihat siapa udik miskin yang ada disini." Reza berkata dengan senyum mengejek yang dingin, sorot matanya tampak mengancam dan jauh dari kesan ramah.

Gue hanya berdiri menatap, tanpa menunjukkan kesan terprovokasi apapun. Reza menatap tak senang saat melihat tidak adanya respon apapun dari orang ini. Matanya melirik sesuatu di tangan orang itu, melihat sebuah kantong belanja. Tersenyum dingin, dia melangkah. "Wah, apaan nih, coba dong-hmm?"

Reza yang tangannya sudah terulur untuk mengambil kantong belanja, hanya bisa menangkap udara saat orang itu dengan sigap menghindar. 

"Lo siapa bodoh? main ambil-ambil aja," kata gue dengan tak senang saat belanjaannya ingin diambil.

Urat di wajah Reza menonjol, kemarahannya mulai menumpuk. "Lo nggak tahu gue siapa anjing? biar gue kasih tahu lo-"

"Nggak perlu, gue udah tahu," potong gue. "Lo cuma bajingan klise, karakter sampingan yang nggak penting, dan pengemis kelaparan yang suka nyolong belanjaan orang kan?"

Wajah Reza membeku sejanak sebelum sorot matanya menajam sementara tanganya terkepal kuat. Melirik kedepan, dia berkata dengan dingin. "Pegang dia."

Javiko, yang berada di belakang Devin, bergerak bersama dua anak geng lain di kedua sisinya. Dia memegang tangan kanan Devin dengan kuat, sebelum tertarik kedepan dan tersungkur.

Gue yang sebelumnya tangannya ditahan, menyentakkan dengan kuat, membuat Javiko terjauh kedepan. Orang itu menoleh padanya dengan ekspresi marah. 

"Lo bangsat sialan!" Meraung, dia melepaskan tunjunya. 

Gue bergerak kesamping, menghindari pukulan Javiko, namun, segera gue merasakan pukulan di wajah dari sisi lain, membuat gue tersentak mundur beberapa langkah dan menabrak kedua anak geng yang sebelumnya berada di sisi Javiko, keduanya segera memegangnya dengan kuat.

Gue melirik, melihat Reza yang tangannya terbentang di udara, bajingan ini yang baru saja memukulnya. Gue masih merasakan sensasi denyutan di sisi wajahnya karena pukulan itu.

"Huh, lumayan juga," kata Reza dengan seringai puas, setelah berhasil menghempaskan tinjunya ke wajah Devin.

Javiko berdiri di depan gue, dengan ekspresi marah, bersiap melepaskan pukulan pada gue yang terkekang ini. Bergerak ke depan untuk memukul, gue dengan cepat menunduk, membuat pukulan Javiko bukan hanya meleset, tapi memukul wajah rekannya sendiri.

Yang lain terkejut karena momen itu, dan gue memanfaatkannya dengan meninju wajah anak geng satunya yang masih mengekangnya. 

Terbebas, gue berlari ke jalanan untuk melarikan diri, hanya untuk di kepung di tengah jalan.

"Lo mau kemana anjing!"

"Habis lo malem ini sialan!"

"Mampus lo berengsek!"

Dikelilingi dan diteriaki dengan serangkaian ancaman, gue menatap dengan waspada, melihat apakah ada jalan baginya untuk pergi. 

Sayangnya, jangankan menemukan jalan keluar, untuk berpikir saja dia tidak diberi waktu saat Javiko dari belakang, melompat ke depan, melepaskan tendangan.

Gue melesat kesamping, namun didepan sudah ada yang bersiap melawannya. Terpaksa berkelahi, gue mengangkat tangan, menunggu momentum untuk memukul. Di saat orang di depannya melepaskan tinju, gue menghindar ke belakang, sebelum menyerang balik, memukul tepat di wajahnya. 

Merasakan seseorang mengejar di belakang, gue meraih kantong belanja, mengeluarkan minuman kaleng, berbalik dan melemparnya, mengenai tepat ke wajah Javiko.

Reza maju, meninju dengan kuat hanya untuk meleset saat gue memutar tubuh dan dengan keras memukul plipis wajahnya dengan sikunya. Mengabaikan orang itu yang tampak pusing, gue maju melawan anak geng lainnya, menghindar dan menyerang, terkadang menggunakan beberapa benda yang ada di dalam kantong belanjanya, sesuatu yang membuat hatinya sakit.

Reza menggeleng, memegang kepalanya, pandangannya yang sebelumnya tampak berputar, mulai kembali normal secara perlahan. Pukulan sebelumnya membuatnya pusing dan hampir terjatuh. 

Dia tak menyangka orang itu bukanlah cupu yang lemah. Pukulannya keras dan gerakannya lincah, orang ini pasti memiliki semacam pelatihan rutin. Reza melirik ke mereka yang sedang berkelahi. 

Meski di kepung, Devin terlihat tidak terlalu terpojok. Jika terus seperti ini, orang itu mungkin bisa lolos, tidak, lebih buruk lagi, mereka semua mungkin bisa saja dikalahkan olehnya.

Pemikiran itu membuat hati Reza tenggelam, dia sudah hidup seperti antek di bawah Rama, dan sekarang dia akan dikalahkan oleh orang yang di matanya hanya sekedar rendahan miskin. Bahkan meski dia mengeroyoknya, dia masih saja dikalahkan? 

Hati Reza manjadi dingin saat memikirkannya, matanya menajam dengan intensitas yang mengerikan, dia melirik motornya, menatap kepada sebuah tongkat baseball yang disematkan di sampingnya. Bibirnya sedikit terangkat saat dia melangkah.

Disisi lain, Gue merasa frustasi, hanya bisa memukul dan menghindar. Selama ini, gue selalu berupaya untuk melarikan diri. Melanjutkan perkelahian jalanan ini terlalu konyol baginya yang berpikiran dewasa, dia tidak peduli di cap pengecut atau semacamnya, dia hanya ingin pergi, menjauh dari sekumpulan idiot yang penuh gejolak hormon ini.

Sayangnya, setiap kali gue menjatuhkan satu, akan ada lagi yang datang, membuatnya mau tak mau berupaya menghindari serangan. Dan ketika dia berhasil menghindar, mencoba untuk berlari pergi, akan ada saja orang yang menghalangi jalannya, memaksanya untuk menyerang. Siklus ini terus berlanjut, membuat gue semakin kesal, terutama saat dia merasakan rasa nyeri di beberapa tempat.

Meski sebagian besar gue mampu menghindar, tetap saja ada satu atau dua pukulan yang kena. Gue bisa merasakan sensasi berdenyut di wajah, bahu dan perutnya, itu adalah lokasi dari beberapa pukulan yang sempat mengenainya. Juga belanjaannya sudah rusak semua, tercecer di jalanan.

Berdiri di tengah jalan, gue memperhatikan sekitar, ada dua orang yang tergeletak di tanah, mengerang sakit, mereka adalah orang-orang yang selangkangannya gue tendang. Ada tiga orang lainnya, yang berdiri dengan waspada, wajah mereka terlihat sedikit lebam karena pukulan gue, dan bahkan ada satu yang meletakkan satu tangannya di depan selangkangannya, seolah berhati-hati jika ada serangan yang datang ke arah sana. Gue tersenyum kecut melihatnya.

Menatap pada ketiga anak geng yang masih berdiri, kepada Javiko dengan dua anak geng lainnya yang berdiri di sampingnya. "Mendingan kita berhenti disini," kata gue, mencoba untuk berdamai. "Kita selesain masalah ini pakai cara yang lebih dewasa aja gimana?"

Javiko hanya tersenyum mengejek. Gue menemukan mata orang itu entah kenapa melirik ke sesuatu di belakangnya. 

Segera, gue teringat bahwa masih ada satu orang lagi yang seharusnya ada. Gue ingin berbalik, namun, sebuah pukulan kuat datang dari belakang, menyerang punggungnya, membuat gue tersentak dan jatuh ke bawah.

"Hahaha!" Tawa sadis Reza bergema saat dia berdiri sambil memegang tongkat baseballnya. "Mampus! mati lo sekarang anjing!"

Gue meringis kesakitan saat tergeletak di jalanan. merasakan seseorang berlari ke arahnya, gue dengan cepat berguling kesamping, menghindari tendangan yang diarahkan padanya.

"Bangsat! licin banget sih lo sialan!" Javiko menggerutu marah saat menemukan serangannya kembali meleset.

Gue Bangkit dengan kesusahan, meletakkan tangannya ke belakang punggungnya, merasakan rasa sakit yang membuatnya ngilu. 

Keempatnya kembali mengelilinginya, Rama berada di belakangnya, seolah menunggu kesempatan. Javiko di depannya dan sisa dua anak geng lainnya bergerak ke sisi kiri dan kananya.

Gue dengan waspada melirik ke sekitar, berharap menemukan solusi yang sekali lagi, tidak diberi waktu berpikir saat gue melihat Javiko melakukan ancang-ancang. Gue dengan waspada memperhatikannya, hanya untuk merasakan sesuatu bergerak di belakangnya. 

Tanpa pikir panjang, gue menunduk dan benar saja, ada ayunan tongkat secara horizontal yang mengarah ke kepalanya, gue juga mendengar Reza mendesis tak senang saat serangannya meleset.

Gue ingin berbalik, membalas Reza namun tidak bisa, bagaimanapun, Javiko yang berada di depannya, segera melesat saat melihat serangan Reza gagal. Gue menghindar ke samping kanan. Ada anak geng lain di sana, tapi gue dengan cepat meninju keras wajahnya, membuat orang itu tersungkur.

Melihat sayap kanan mereka telah kosong, gue berniat berlari menjauh dari sana, hanya untuk tertahan saat Javiko menahan bajunya dan menariknya. Gue memutar tubuh sambil melayangkan pukulan, tapi ditahan olehnya. Kini Javiko yang mencoba memukul, namun gue berhasil menahannya juga. Tangan kami saling mengunci, satu tangan gue yang sebelumnya digunakan untuk menyerang, di cengkram oleh Javiko, sedangkan satu tangan Javiko di cengkram oleh gue.

Seolah situasi belum cukup buruk, Reza melesat ke belakang, mengayunkan pemukulnya ke arah punggungnya. Gue dengan paksa memutar posisi, berharap Reza akan memukul rekannya sendiri, tapi sayangnya, dia mampu berhenti tepat sebelum mengenai Javiko, sementara yang terakhir segera melepaskan diri kesamping.

Gue terlalu fokus pada keduanya tanpa menyadari ada orang lain di belakangnya. anak geng ini melompat dan menendang punggungnya, membuat gue merasakan rasa sakit yang menyengat karena tendangannya mengenai luka lebam akibat pukulan benda tumpul Reza. 

Gue kehilangan fokus karena rasa sakit dan tersentak ke depan. Reza menyeringai kejam saat melihat kesempatan. Dia mengayunkan tongkatnya ke sisi wajah Devin, dekat dengan pelipisnya.

Kepala gue tersentak ke samping saat dipukul dengan benda tumpul. Kepalanya pusing saat pemandangan di sekitarnya tampak buram dan berputar. Gue secara samar bisa melihat ada seseorang bergerak ke arahnya, tapi rasa sakit di kepalanya membuatnya sulit berpikir.

Javiko meraih kerah baju orang yang linglung itu, dia tersenyum dingin. "Kena lo sekarang bangsat!" 

Dia mengangkat tangan dan memukul keras wajahnya yang sudah berdarah akibat pukulan Reza.

Gue kembali tersentak, saat rasa sakit kembali melanda kepalanya. Semuanya berputar dan buram, gue hanya bisa secara sekilas melihat beberapa orang berandalan berpakaian ala gengster mengelilinginya, motor sport para pemiliknya dan jalanan aspal yang dingin. 

Gue tersungkur jatuh, tanganya memegang kepalanya yang pusing dan sakit, ada sensasi basah di tangannya, melihatnya, gue menemukan warna noda merah.

Pikirannya yang berantakan, pemandangannya yang buram dan berputar, membuat gue tidak bisa berpikir dengan benar. Melihat noda merah ini, mengingatkannya pada saat kematian adiknya, Haikal, kepada kondisi terakhir adiknya yang bersimbah darah. 

Segera, kebencian yang kuat, amarah yang tak terkendali mulai menyelimuti hatinya. Gue menggertakkan gigi dengan keras, mengepalkan tinjunya dengan kuat.

"Udah yuk kita cabut," kata Javiko saat dia melihat Devin yang tersungkur dengan lututnya menyentuh aspal jalan, memegang kepalanya, tampak kesakitan. 

Dia merasa bahwa ini sudah cukup, tapi sayangnya, Reza tidak berpikir demikian, "Gue masih belom puas," kata Reza saat dia berjalan mendekati pria malang itu.

Javiko mengerutkan kening. "Za, kita nggak bisa kelewatan, nanti kalo dia lapor polisi gimana-"

"Bacot anjing!" Reza memotong tak senang. "Nggak usah jadi pengecut! dia cuma orang miskin, polisi nggak akan mau ngurusin kasus dia." 

Menoleh untuk melihat Devin, Reza tersenyum mengejek. "Lagian, gue bisa minta Bokap gue untuk suap polisi supaya mereka ngebungkam orang ini."

Reza terkekeh kejam, menikmati kekuasaannya, ini adalah resiko menjadi orang rendahan, mereka tidak memiliki 'keadilan' di pihak mereka. 

Berdiri di depannya, Reza mengangkat tongkatnya, bersiap untuk mengayunkannya, namun...

Buk!

 Wajahnya dipukul dengan keras. 

Dia jatuh kebelakang, terduduk ke aspal jalan, tongkatnya terlepas dari tangannya. 

Reza menyentuh bibirnya, menemukan noda merah. Dia dengan marah menoleh hanya untuk kembali tersentak saat sebuah tendangan kuat menendang kepalanya. 

Reza meringis kesakitan saat dia tergeletak di jalanan.

Javiko menatap terkejut, melihat orang itu kembali berdiri dengan darah yang melumuri sisi wajahnya, menatap kosong dengan tangannya yang terkepal kuat.

"Bangsat!!" salah satu anak geng meraung dan melesat kedepan saat dia melihat Reza dihajar.

"Woy! berhenti!" Javiko menegur, dia merasa ada keanehan di balik kebangkitan orang itu, dan anak gengnya tak menyadarinya. 

Benar saja, Javiko melihat anak gengnya dipukul jatuh. Namun, yang membuatnya ngeri adalah orang itu tak berhenti disana, dia meraih kepala rekannya dan membantingnya ke aspal, langsung membuatnya pingsan.

Javiko dan tiga anak geng lainnya yang telah pulih, menatap terkejut dengan kebrutalan barusan. Jantung mereka terasa seperti melompat saat melihat tatapan kosong orang itu beralih ke mereka. 

Detik berikutnya, orang itu melesat kedepan, apa yang terjadi selanjutnya adalah pertempuran berdarah.

Reza bangkit, dia duduk dengan tangannya yang menutupi wajahnya. Melihat tangannya, dia menemukan banyak noda merah. Darah bercucuran dari hidungnya. Dia juga merasakan sakit dimulutnya, sepertinya bibirnya robek. Reza menatap sekitar hanya untuk terkejut saat dia menemukan anak-anak geng yang lain, jatuh tersungkur dengan wajah lebam dan berdarah. Mereka meringis kesakitan.

Pandangan Reza berpaling, menatap kepada seseorang yang tengah memukuli orang di bawahnya. Matanya melebar saat dia menemukan rekannya, Javiko, dipukuli sedemikian rupa.

Reza bangkit, menatap sekitar dan menemukan tongkat baseballnya tergeletak tak jauh darinya. Mengambilnya, dia berjalan perlahan, menyelinap ke belakang. Ketika sampai pada jarak serangan, dia mencengkram kuat tongkatnya, mengangkat ke atas dan bersiap untuk melakukan pemukulan ke belakang kepala orang ini dengan kekuatan penuhnya. Dia sudah tidak peduli lagi apakah orang ini akan mati atau tidak karenanya, dia hanya ingin membalas dendam. 

Mata Reza memerah dengan emosi yang gelap. Dia bersiap untuk mengayunkan tongkatnya namun...

"HEI!!" Suara teriakan keras seorang wanita terdengar. 

Reza dengan kaget mengalihkan pandangannya, menemukan seorang wanita dengan hoodie warna putih berlari cepat ke arah mereka.

Reza tersadar, dia menyadari kesalasahannya, teriakan wanita itu menghancurkan momentum yang dibuatnya, membuat fokusnya terganggu, hingga dia sejenak melupakan serangannya. Dia menoleh hanya untuk melihat Devin melesat ke arahnya, lehernya dicekik dengan kuat oleh kedua tangan orang itu yang telah berlumuran darah. 

Dengan panik, dia mencoba melepaskan diri, membuat tongkat yang dipegangnya terjauh.

Disisi lain, Amela berlari mendekat. Dia ketakutan melihat pemandangan di sekitarnya. Banyak orang tersungkur, meringis kesakitan. Ada juga noda darah yang bercecerah di sekitar jalan. Namun, tentu yang menjadi kekhawatiran utamanya terletak pada kekasihnya. 

Amela tiba di samping Devin. "Beb! Beb! kamu nggak apa-"

Amela tersentak kaget, saat pacarnya meliriknya dengan mata kosong, meski menatap kepadanya, Amela merasa bahwa mata itu sedang tak melihat apa-apa, kosong tanpa cahaya. Menekan rasa takutnya, Amela bicara dengan lembut. "Beb, tolong kamu lepas ya, kamu inget aku kan? ini aku Amela."

Tidak ada repon darinya. Sementara Reza merasa oksigen di paru-parunya mulai habis, dia dengan susah payah mencoba menghirup udara dengan sia-sia, sambil mencoba melepaskan cengkraman di lehernya dengan sia-sia pula. Matanya mulai memutih saat kesadarannya mulai menghilang.

Mengetahui situasi semakin buruk, Amela berkata sambil memegang tangan Devin yang mencekik Reza. "Sayang, kamu lepas ya, kamu inget kan kamu siapa? inget nama kamu sayang, kamu Devin... dan inget nama aku sayang, aku Amela... inget juga temen-temen kamu, Lintang... Bagas, Yuni... sama Mamah kamu... inget mereka sayang."

Suara Amela mulai semakin tak jelas saat perlahan itu tercampur dengan isak tangis. Meski dia mencoba kuat, melihat orang dicintainya berlumuran darah dengan jejak luka di sana-sini, tetap memberinya sengatan di hatinya. "Maaf... aku harusnya nggak ninggalin kamu... maaf..."

Isak tangisnya tampak memicu sesuatu di kedalam hati pria itu saat kilauan emosi mulai muncul di matanya. Gue mengedipkan mata berkali-kali, sebelum melepaskan Reza yang sudah tak sadarkan diri.

Karena kesadarannya telah kembali, andrenalin yang terpicu akibat terjebak di dalam trans, perlahan mereda, membuat sarafnya kembali bekerja saat gue merasakan rasa sakit di sekujur tubuh.

Gue terjatuh yang di tangkap oleh Amela. meringis kesakitan, gue merasa banyak sensasi berdenyut di sekujur tubuhnya, yang paling buruk adalah kepalanya, gue merasa sangat sakit dan pusing, kesadarannya mulai menghilang karena tak kuat akan rasa sakitnya.

Disisi lain, Amela terduduk, memeluk seorang pria yang bersimbah darah. Dia tidak peduli bahkan jika noda merah itu mengotori hoodie putihnya, dia hanya memeluknya dengan isakan tangisnya yang tertahan, bergema di jalanan malam itu.