Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 16 - Bab 16. Separuh Aku

Chapter 16 - Bab 16. Separuh Aku

Terbaring di sebuah ranjang, membuka mata untuk melihat kepada langit-langit ruangan yang familiar. Menatap selama beberapa detik, fokusnya teralihkan saat dia secara samar mendengar suara gaduh di luar. 

Suara itu semakin jelas saat dia memusatkan pikirannya untuk mendengarkan lebih jelas. Meski masih tak sepenuhnya jelas, dia bisa secara kasar mengetahui bahwa itu pasti suara keributan. Itu tampak tercampur antara pria dan wanita yang saling meneriaki satu sama lain. Juga terkadang ada beberapa suara seperti benda yang dilemparkan. Terdengar pecah, terbanting, menabrak tembok dan sebagainya.

Bangun dan duduk di ranjang, dia menatap sekitar, menemukan ruangan dengan perabotan yang dikenalnya, ini adalah kamarnya. Bangun dari tempat tidur, berjalan ke pintu, dia mendengar suara gaduh itu semakin jelas. 

Membuka sedikit pintu, dia mengintip keluar, menemukan pemandangan ruang keluarga yang sudah berantakan total. Televisi, lemari, meja, kursi sofa, dan semua perabotan lainnya, tampak berserakan dan porak-poranda. 

Ditengah pemandangan kehancuran itu, sepasang wanita dan pria dewasa tampak cekcok, saling menunjuk dan meneriaki satu sama lain, hingga akhirnya sang pria mengangkat tangannya untuk menampar wanita itu.

Suara tamparan keras bergema, membuatnya takut dan secara spontan menutup kembali pintu kamar.

"Bang, kenapa Ayah sama Mamah berantem terus."

Tubuhnya tersentak kaget saat dia mendengar suara di belakangnya. Berbalik, dia menemukan seorang anak laki-laki yang lebih muda darinya, duduk di pojok tembok ruangan, menekuk lututnya, menyembunyikan wajahnya di balik itu.

Awalnya dia bingung dengan kemunculan tiba-tiba anak itu, sebelum dia teringat bahwa anak laki-laki itu adalah adiknya. Tersenyum, dia berjalan mendekat dan berkata. "Nggak apa-apa, Abang kan ada disini, jadi nggak usah takut."

"Bener Bang? Abang nggak akan ninggalin Haikal kan?" tanya anak itu dengan takut-takut. 

Mendengarnya, dia membelai kepala adiknya dan berkata dengan hangat. "Abang janji kok, Abang nggak akan ninggalin Ade."

"Tapi... kenapa justru Abang malah ninggalin Haikal?" tanya anak itu, kini dengan suara yang tampak kosong. 

Sementara dia menjadi bingung dengan perubahan nada bicara adiknya, yang terakhir mengangkat kepalanya, menunjukkan wajah remaja di usia awal tujuh belas tahun.

Dia menatap wajah adiknya, yang matanya tampak kusam tak bernyawa. Detik berikutnya, dia melihat noda merah keluar dari lubang wajahnya, hidung, mulut, telinga, bahkan matanya. Adiknya membuka mulut. "Kenapa Abang tinggalin Haikal?!"

Suaranya melengking kuat, tampak tak sebagaimana harusnya suara manusia menjadi. Dengan panik dia mundur, melihat adiknya yang perlahan berubah. Luka mulai bermunculan, dengan darah yang keluar darinya. Mulutnya terbuka, meneriakkan kalimat yang sama berulang kali.

Tidak tahan dengan suara dan pemandangan didepannya, dia menggelengkan kepala dengan kuat, sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya. Pandangan disekitarnya tampak berputar dan buram, seolah ada distorsi ruang di sekitarnya. Segera, pemandangan berganti menjadi sebuah kamar rumah sakit.

Meski lampunya menyala, cahaya disekitar ruangan tampak remang, memberinya kesan tak nyata. Dia menatap ada sekelompok orang berseragam putih dengan warna merah yang menodai seragam mereka. Kelompok orang ini tengah berdiri, mengelilingi ranjang dimana seseorang tampak terbaring di atasnya, bersimbah darah.

Detik berikutnya, dia melihat pintu ruangan dibuka dengan keras. Matanya membulat terkejut saat melihat orang yang baru masuk, itu adalah seorang pemuda yang sangat mirip dengannya! 

Pria itu berjalan tertatih ke ranjang, sementara orang berseragam disekitar tampak mundur memberi jalan. Pria itu memeluk pasien yang terbaring, tanpa peduli dirinya ternodai oleh noda darah. Pria itu berteriak dengan tangisan yang keras.

Seolah ada resonansi antara dia dan pria di depan. Dia merasa sesuatu yang menyakitkan di dalam hatinya. Dia mencengkram dadanya, sesuatu terasa begitu sesak dan menyengat. Nafasnya tersendat, air mata mulai berjatuhan sementara pandangan di depannya mulai pudar, seperti lukisan yang warnanya memucat. 

Hal terakhir yang dia lihat adalah saat pria yang sangat mirip dengannya itu, menoleh padanya, menatapnya dengan kebencian yang jelas. Pria itu membuka mulutnya dan berkata. "Bangun."

***

Membuka mata, gue tersentak bangun dengan panik. Nafasnya tersendat, gue membuka mulut, berusaha menarik oksigen sebanyak-banyaknya. Sayangnya, tindakan paniknya ini hanya membuatnya semakin sulit bernafas.

"Beb! hey tenang, kamu yang tenang sayang!" Amela berseru kaget saat dia menemukan pacarnya tiba-tiba bangun dengan agresif. Dia mengatupkan pipi pria itu dan mengarahkan kepalanya untuk menatapnya. "Beb, lihat aku, kamu yang tenang ya, nggak apa-apa, semuanya udah selesai sayang, disini kamu aman."

Sambil bicara untuk menenangkan, dia melihat ekspresi panik pacarnya. Mata pria itu menatap tak fokus, nafasnya tersendat, dan ada air mata yang menetes. Hatinya sakit melihat pemandangan itu, dia mengigit birbinya untuk menguatkan diri. "Lihat aku, aku disini sayang, semuanya udah selesai, jadi kamu yang tenang ya."

Dukungan Amela mulai menunjukkan hasilnya saat nafas gue mulai lebih tenang, mata gue jadi lebih fokus. Terengah-engah, gue memegang tangan lembut yang mengatupkan pipinya, melihat kepada wanita yang familiar, gue berkata dengan lemah. "M-Mel?"

Amela tersenyum dengan mata berlinang. "Iya, ini aku." Mengatakan demikian, Amela membawa pria itu kedalam pelukannya. 

Berada didalam dekapannya, membuat hati gue menjadi jauh lebih santai. Kehangatan, kelembutan dan aroma manisnya, secara efektif mengendurkan sarafnya yang tegang.

Gue melirik sekitar, menemukan dirinya berada di dalam ruangan kamar rumah sakit, terduduk di ranjang pasien.

Melepaskan pelukan, gue bertanya. "Mel, ini kita di rumah sakit?"

Amela sedikit mengusap sudut matanya sebelum mengangguk. "Iya, aku bawa kamu ke rumah sakit, sebelumnya aku coba nyusul kamu dan..."

Suara Amela mengecil, dia tidak ingin melanjutkan. Gue yang melihat itu, menghela napas berat, mengingat kembali perkelahiannya dengan geng Rama. 

Gue ingat, dirinya di cegat saat berjalan pulang, mereka berkelahi yang akhirnya kepala gue dipukul dengan tongkat baseball, dan selanjutnya... hmm apa ya? darah? digebukin?

Gue merasa kesulitan mengingat kejadian setelah dirinya dipukul di kepala. Saat mencoba untuk mengingat lebih jauh, rasa sakit menyelimuti kepalanya. Meringis dan memegang kepalanya, gue menemukan ada semacam perban disana.

"Beb! hey kamu nggak apa-apa?" Amela berkata dengan khawatir saat dia melihat raut wajah kesakitan pacarnya.

Menghentikan dirinya untuk berpikir lebih jauh. Perlahan rasa sakitnya memudar, gue tersenyum lemah. "Nggak apa-apa, sekarang udah mendingan kok."

Amela, meski tampak ragu, hanya mengangguk mengiyakan. "Oke, kalo gitu, aku kabarin Mamah kamu dulu-"

Amela berhenti bicara, menatap kepada tangan pria itu yang menahan pergelangan tangannya. Sebelumnya, dia ingin beranjak untuk menelpon, namun segera dihentikan. 

Menoleh, dia melihat pacarnya berbicara. "Nggak perlu, dia nggak perlu tahu."

"Nggak Beb, dia Mamah kamu, dia juga berhak-"

"Nggak Mel, dia nggak perlu tahu, itu cuma nambah masalah aja."

"Tapi-"

"Mel... please."

Amela tampak berkonflik, melihat ekspresi memohon pacarnya, membuatnya ragu. Dirinya menjadi lebih dekat dengan Ibu Denita sejak hari pemakaman. Wanita paruh baya itu sering kali menanyakan prihal keadaan putra sulungnya, dan tak jarang menitipkan makanan padanya, memintanya untuk mengirimkannya tanpa memberitahu jika itu berasal darinya.

Amela jelas tahu hubungan dingin mereka, dan dapat mengerti mengapa Ibu Denita lebih memilih menitipkan semua itu padanya. Dia juga telah berpesan padanya, untuk selalu mengabarinya kabar tentang Devin. 

Ingin menjadi 'calon menantu' yang baik, Amela tanpa keraguan segera menerimanya, dan mereka mulai sering ada komunikasi. Dia merasa bahwa perlu untuk mengabari keadaan Devin sekarang padanya, namun...

Gue menatap Amela dengan lemah, berharap dia tidak menghubungi ibunya. Pemikiran dijenguk olehnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan hatinya. Dia ingin menjaga jarak dengan ibunya. Beberapa orang mungkin mengecam tindakan keras kepalanya ini, melihat dirinya sebagai anak yang durhaka dan tidak berbakti. 

Tapi, mereka tidak tahu apa-apa, mereka tidak akan pernah mengerti rasa sakit yang dirasakan setiap kali gue melihatnya. Keberadaannya seperti pemantik yang menyalakan kembali kenangan kelam masa lalu, sesuatu yang menyiksanya selama bertahun-tahun.

Segera, gue merasakan denyutan dikepalanya, meringis dan memegang kepalanya. Amela disisi lain tampak khawatir. "Beb! kamu nggak apa-apa?"

Mengabaikan keprihatinannya, gue memaksakan diri untuk menatapnya dan berbicara. "Please Mel... jangan kasih tahu Mamah ya, tolong..."

Amela berkeringat dingin, melihat kekasihnya yang berusaha keras, memohon padanya. Membuat keputusan, Amela berkata dengan lembut. "Iya sayang, aku janji nggak akan kasih tahu Mamah kamu." Membelai ringan sisi wajahnya, dia melanjutkan. "Sekarang, kamu yang tenang ya, kamu istirahat aja ya."

Merasakan kelembutannya, rasa sakit yang berdenyut itu mereda. Amela mendorong lembut bahunya, memintanya untuk beristirahat di ranjang. 

Berbaring dengan hati-hati, gue menatap langit-langit ruangan kamar rumah sakit. Melirik kesamping, melihat Amela yang meski tersenyum lembut, matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, sesuatu yang membuat hati gue tak nyaman melihatnya. "Kamu nggak usah khawatir Mel, aku nggak apa-apa, cuma butuh kamu disini, nggak perlu yang lain," kata gue, tersenyum lemah.

Amela menggenggam tangan kekasihnya. "Iya, aku bakal selalu ada disini kok, di samping kamu," katanya, tersenyum dengan matanya yang semakin memerah.

Hati gue terasa lebih tenang saat mendengarnya, terutama ketika tangan mereka bertautan, seolah tangan itu akan selalu meraihnya setiap kali dia akan tenggelam di kegelapan. Pemikiran itu membuatnya merasa damai, kelelahan mulai menyelimuti dirinya saat rasa kantuk membuat matanya mulai terpejam, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya seluruh pandangannya ditutupi oleh kegelapan. 

Namun, meski begitu, rasa lembut dan hangat genggaman tangannya, membuat kegelapan itu tidak semenakutkan sebelumnya, dia merasa aman dan nyaman karenanya.

Disampingnya, Amela menatap hangat kepada pria yang tengah terlelap. Dia meremas lebih kuat tangannya saat merasa hatinya seperti terkoyak. Kekasihnya sudah memiliki banyak masalah dalam hidupnya, kehancuran keluarganya, kematian adiknya, kematian ayahnya, kebenciannya pada ibunya, dan sekarang ini. 

Disaat Devin kehilangan kesadaran dalam pelukannya dengan lumuran darah, untuk sejenak, dia merasa bahwa pria ini akan diambil darinya. Amela merasa seolah separuh jiwanya akan lenyap saat itu juga. Dia bertanya-tanya dosa apa yang dibuat kekasihnya sampai Tuhan memberinya begitu banyak cobaan.

"Tuhan... tolong jangan ambil dia, tolong..." Amela mencium tangan kekasihnya, berdoa dengan isak tangis yang tertahan. Air mata hangatnya mengucur, menodai tangan itu.

***

Javiko, melihat anak-anak geng yang lain. Mereka memiliki banyak perban dan balutan yang menutupi luka mereka. Dirinya juga punya, hidungnya diperban, banyak hansaplast di wajah dan tangannya, menutupi luka dibaliknya.

Javiko melirik orang di sampingnya, Reza, yang tengah terduduk di ranjang dengan wajah tertekan. Ada perban yang membalut lehernya, hansaplast di bibir dan beberapa tempat lainnya. Dia menatap tak senang padanya, jika bukan karena kesembronoannya, mereka tidak akan berakhir seperti ini.

Berpikir demikian, dia bangkit, berjalan ke sisi ruangan. Mereka saat ini berada di rumah sakit, di ruangan dengan jejeran ranjang pasien. Disini, kita berenam mendapatkan perawatan dari perkelahian semalam. Syukurlah, kami hanya mengalami luka ringan. Setelah mendapatkan perawatan dan istirahat semalaman, kondisi kami jauh membaik dan bisa pulang saat ini juga.

Javiko berhenti di jendela ruangan, melihat hari sudah pagi, sekitar pukul sembilan. Dia sedikit meringis saat merasa denyutan di beberapa titik tubuhnya. Meksi telah di rawat, rasa sakitnya tak hilang begitu saja. Javiko berbalik, menatap kepada rekan geng lainnya yang terbaring di ranjang. "Gimana? mau pada balik sekarang?"

Kecuali Reza, yang lainnya menoleh, mereka saling melirik sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. Javiko mengangguk juga sebagai jawaban, dia berjalan ke pintu ruangan kamar, yang lain mulai bangkit untuk mengikuti. 

Saat dia membuka pintu, Javiko membeku di tempat saat dia melihat seseorang didepannya. Seorang wanita cantik dengan rambut hitam kecoklatan dengan warna mata yang sama, berdiri, menatap dengan dingin padanya. "Mau kemana? masalahnya belum selesai."

Javiko terkejut, begitu juga dengan yang lainnya. Mereka tahu bahwa wanita ini adalah orang yang telah menghubungi pihak rumah sakit, meminta ambulan dan mengirim mereka semua kesini. Juga mereka tahu, bahwa wanita ini adalah kerabat dari orang yang mereka hajar semalam, tidak, lebih tepatnya orang itulah yang menghajar mereka!

Amela menoleh, melirik ke yang lain, terutama Reza dengan matanya yang dingin. Yang lain menunduk atau mengalihkan pandangan untuk menghindari tatapan penuh kebenciannya. Bahkan Reza sedikit ketakutan karenanya. Mengabaikan sekumpulan idiot itu, Amela berkata. "Sekarang, kasih tahu gue dimana Rama."

Javiko sedikit terkejut saat mendengar nama yang tak dia harapkan untuk didengar dalam situasi ini. "Rama? buat apa?" tanyanya. 

Dia tahu wanita ini memiliki semacam hubungan dengan Rama, lagi pula, dia ada disana saat Rama memasuki kawasan kampus dan menonton wanita ini berjalan dengan pria yang mereka keroyok semalam.

Javiko menggeleng. "Rama nggak ada hubungan sama kejadian ini, dia nggak tahu apa-apa."

Amela menggeleng tak percaya. "Kasih tahu gue dimana dia sekarang," katanya, dengan nada suara yang lebih dingin dari sebelumnya, menahan gejolak amarah.

Wajah Javiko sedikit berkonflik, dia ragu untuk menjawab. Disisi lain, Amela semakin tak sabar, dia mendesis. "Lo mau kasih tahu gue, atau lo semua gue bawa ke kantor polisi."

Tak hanya Javiko, yang lain juga mendengarnya, mereka terkejut dan mulai khawatir, bahkan Reza sedikit gemetar panik. Menelan ludah, Javiko menjawab. "O-Oke, gue kasih tahu, tapi tolong jangan bawa masalah ini ke hukum."

Dia lebih baik memberitahu keberadaan Rama daripada diproses hukum. Dia tahu bahwa kasus pengeroyokan bisa mendapatkan hukuman pidana penjara sampai lima tahun. Itu tertera di Pasal 262 UU 1/2023. Dengan enggan, dia memberitahu tempat Rama biasanya berada.

***

Berdiri di balkon lantai dua dari gedung Showroomnya, Rama menatap kepada ponselnya, dia sudah menghubungi anak-anak gengnya namun tak ada jawaban sampai sekarang. Menatap ke kejauhan, melihat pemandangan pagi hari di tengah kota, sambil menikmati kopi paginya. Melirik kepada gelas, dia merasakan sedikit kebahagiaan saat melirik kepada gelas kopi, bagaimanapun, itu dibuatkan oleh seseorang.

"Ram, kamar mandinya udah kosong, lo bisa pake."

Mendengar suara manis yang familiar, Rama berbalik, malihat Jeni yang baru saja mandi. Dia mengenakan pakaian tipis, menunjukkan banyak area terbuka, kulit putih mulus susunya tampak lebih cerah dan terkesan lebih lembut. Dia berjalan mendekat sambil mengeringkan rambut panjang basahnya dengan hairdryer.

"Ram?" Jeni bertanya, saat dia tak mendapatkan respon dari pria di depannya. Tentu, dia dengan jelas tahu bahwa pria itu tengah melamun menatapnya, tampak terpesona dengan dirinya yang baru saja mandi, sesuatu yang membuat hatinya senang.

Rama berkedip, terbangun dari trans, dia berdehem canggung. "Ehem, Oke, nanti gue mandi," katanya, melirik kembali wanita itu. 

Sejak insiden malam itu, dirinya dengan Jeni tampak semakin dekat. Seberada dekat itu? sangat dekat sampai lebih baik tidak usah dijelaskan.

Menatap kecantikan di depannya, Rama menahan dorongan primal yang mulai muncul, dia mengambil nafas dalam-dalam dan bergumam kecewa. "Seharusnya tadi mandinya bareng aja."

"Hm? apa?" Jeni bertanya, berpura-pura seolah tak mendengar, meski sebenarnya, dirinya mendengar dengan jelas. Dia tentu memahami keinginan nakal pria itu, tapi dia ingin Rama mengatakannya secara langsung, itu pasti akan menjadi pemandangan yang menyenangkan untuk dilihat.

Rama berdehem, menggelengkan kepala. "Nggak, bukan apa-apa, kalo gitu gue-"

Rama tak bisa menyelesaikan kata-katanya saat dia melihat ke bawah. Sekelompok kendaraan bermotor tiba ke area gedungnya, itu adalah anak-anak gengnya. Juga ada sebuah mobil hitam yang ikut bersama mereka.

Disisi lain, Jeni, menatap apa yang mencuri perhatian Rama. Dahinya mengerut saat melihat mobil yang familiar. Dan benar saja, saat kelompok itu berhenti di depan Showroom, sementara anak-anak geng Rama turun dari motor dan melepas helm, ada seorang wanita familiar yang turun dari mobil, itu adalah Amela!

Jeni menyipit, bertanya-tanya apa yang mungkin bisa membawa Amela datang kesini, terlebih lagi, dia datang bersama anak gengnya Rama. Sementara Jeni berpikir, Rama juga melihat turunnya Amela, segera, jantungnya berdetak cepat. 

'Amela? ngapain dia disini? nyari mobil? atau nyari gue?' pikirnya saat rasa keinginan tertentu terbangun dari kedalaman hatinya. Dia dengan tergesa-gesa turun ke bawah, bersiap untuk menyambut wanita itu. 

Disisi lain, Jeni yang melihat antusiasme Rama, merasa pahit didalam hatinya. Menekan rasa tidak nyamannya, dia menyusul, berjalan ke lantai bawah.

Amela yang baru turun dari mobil, menatap bangunan Showroom besar di depannya. Ada perasaan jijik yang sulit dijelaskan muncul dari dalam hatinya saat tiba di tempat ini. 

Insting kewanitaannya merasa bahwa tempat ini sama menjijikkannya dengan tempat sampah. Meski didalam ada banyak deretan mobil mewah, Amela tetap merasa jijik.

Seolah datang untuk menyempurnakan rasa jijiknya, seorang pria keluar dari gedung, berjalan dengan senyum khasnya dan berkata. "Amela, wah tumben banget kamu dateng kesini."

Merasa mual saat melihat wajah dan mendengar suaranya, Amela berjalan mendekat. Senyum di bibir Rama melebar, melihat mendekatnya Amela, dia berkata dengan senyum manis. "Ini pertama kalinya kamu kesini, ayo, biar aku tunjukin-"

Pak!

Rama membeku di tempat, kepalanya tersentak kesamping saat sebuah sengatan panas bisa dirasa dari sisi wajahnnya. Bukan hanya Rama yang terkejut, anak geng lainnya dan Jeni yang baru saja tiba juga terkejut dengan bagaimana Amela melayangkan tamparan keras.

Menyentuh pipi yang ditampar, Rama menoleh bertanya dengan kaku. "A-Amela... apa yang-"

Pak!

Sekali lagi, suara tamparan keras lainnya bergema, membuat wajah pria itu kembali tersentak. Mendapatkan dua kali tamparan keras membuat sisi wajah pria itu memerah dengan cetakan tangan. Rama menoleh, kali ini tak berbicara, hanya menatap Amela dengan terkejut dan terluka.

Mengabaikan ekspresi menyedihkan Rama, Amela berkata. "Gue tahu kalo lo itu bajingan! tapi gue nggak nyangka kalo lo bahkan bisa lebih buruk dari itu!"

Mendengar kalimat tajam dengan nada penuh kebencian itu, membuat Rama bingung, dia tak mengerti apa yang Amela maksudnya, dia ingin bertanya, namun wanita itu lebih dulu melanjutkan. "Gue kasih tahu lo ya, gue perjelas lagi semuanya disini ya."

Amela melotot, menunjuk Rama, kemudian kepada dirinya sendiri. "Lo sama gue udah selesai! kita nggak punya hubungan apa-apa lagi, dan sekali lagi lo ngelukain Devin, gue bakal anggap ini sebagai masalah serius! kita bakal selesain ini di pengadilan! jadi jangan pernah lo usik hidup gue lagi!!"

Pak!

Sekali lagi, Amela menampar keras Rama, sebelum berbalik, dan masuk kedalam mobil. Dia sudah tidak memiliki urusan lagi disini. 

Amela sangat yakin bahwa Rama adalah pelaku utama dari kejadian semalam, lagi pula hanya dia yang memiliki konflik dengan pacarnya dan siapa lagi yang di untungkan atas terlukanya Devin jika bukan bajingan itu. Rama pasti menyuruh anak gengnya untuk memukuli pacarnya, itulah yang Amela yakini.

Dia segera meminta supir pribadinya untuk kembali ke rumah sakit. Setelah memastikan kekasihnya tidur terlelap, dia pergi menemui anak geng berengsek yang telah memukuli pacarnya, meminta mereka untuk menunjukkan dimana Rama berada. 

Dia ingin mengkonfrontasi pria itu, menunjukkan bahwa dirinya tidak mentoleri aksi semalam dan membuatanya sepenuhnya mengerti bahwa mereka telah sepenuhnya usai, jadi jangan mengusik kehidupan satu sama lain lagi. 

Setelah menyelesaikan urusannya dengan Rama, Amela ingin kembali, dia harus kembali ke sisi kekasihnya, memastikan saat dia membuka mata, dirinya akan ada disana untuk menyambutnya.

Rama memegang pipinya yang memerah, ada rasa sakit, disana, tapi yang paling menyiksanya adalah rasa sakit di kedalaman hatinya. Sesuatu yang tajam seperti mengiris hatinya, membuatnya berdarah akan rasa sakit. 

Menatap mobil hitam yang menjauh, dia menoleh kepada anak gengnya, dan bertanya dengan nada kosong yang gelap. "Jelasin apa yang sebenernya terjadi?"

Javiko dan yang lainnya, tampak gemetar saat di tatap Rama dengan mata yang kosong, terutama Reza yang bahunya sudah gemetar. Rama berjalan mendekat, setiap langkahnya meningkatkan detak jantung mereka, berdiri di depan Reza, dia bertanya. "Jelasin, apa yang terjadi."

"I-Itu... k-kita..."

"JELASIN!!" Rama berteriak keras, membuat keenamnya tersentak kaget dan takut.

"R-Ram, sebenarnya itu..." Javiko, yang lebih tenang daripada yang lain, berinisiatif untuk menjelaskan. Dia menceritakan apa yang terjadi semalam, mulai dari bagaimana mereka mengeroyok Devin, sampai pada mereka yang justru di hajar habis, sebelum akhirnya dirawat di rumah sakit.

Rama menggeretakkan giginya dengan marah, dia mengepalkan tinjunya. "Anjing!"

Buk!

Rama melayangkan tinjunya ke wajah Reza. Yang terakhir tersentak kebelakang, jatuh ke jalan, lukanya kembali berdarah. 

Sementara Reza meringis kesakitan, Rama berjalan mendekat, menjambak rambutnya dan berteriak. "Siapa yang nyuruh lo untuk nyerang dia anjing!! sekarang lihat siapa yang kena getahnya bangsat!!"

Buk!

Rama kembali memukul wajah Reza, membuatnya tersungkur di jalan. Javiko dan yang lainnya sudah sangat ketakutan, sementar Jeni juga tampak khawatir dan terkejut. 

Dia tidak menyangka bahwa Reza berinisiatif untuk mengeroyok Devin. Hal ini sepertinya membuat Amela salah paham, berpikir bahwa Rama adalah dalang di balik insiden penyerangan tersebut. 

Jeni menghela napas, melihat bagaimana meski Rama tidak terlibat dan bahkan tidak tahu menahu akan hal itu, dia akan tetap terkena imbasnya hanya karena dirinya hidup di sekitar circle yang toxic itu.

Mengabaikan Reza yang meringis kesakitan, Rama melirik anak geng yang lain, dia berteriak. "Lo semua pergi dari sini sekarang!! gue nggak mau ngelihat muka lo lagi mulai sekarang!! muncul lagi di kehidupan gue, bakal gue matiin lo semua!! CABUT LO SEMUA ANJING!!"

Dengan raungan terakhir, mereka berlarian, mengambil motor masing-masing dan berkendara pergi. Reza adalah yang terakhir, dengan kesakitan dan ketakutan, memaksa diri untuk bangkit dan pergi dengan motornya.

Dibiarkan sendiri, Rama mencengkram rambutnya dengan kuat. "Arg!! sial! sial! sial! anjing!! kenapa harus kayak begini sih! FUCK!!"

Menendang udara, Rama berjalan masuk kedalam gedung dengan frustasi. Jeni yang melihat Rama masuk kedalam, bertanya-tanya apakah harus menyusulnya atau tidak. 

Namun, pada akhirnya dia memutuskan untuk membiarkannya sendiri, pria itu membutuhkan waktu untuk menenangkan emosinya, dan waktu untuk menyendiri adalah apa yang dia butuhkan saat ini.

Rama naik ke lantai atas, dia masuk kedalam kamarnya, menghancurkan segala macam barang sambil meneriakkan serangakaian kutukan. 

Berjam-jam berlalu dalam kekalutan sampai dirinya lelah dan terduduk di pojokan dengan menyembunyikan wajahnya di balik lututnya.

Jeni, berjalan masuk ruangan, melihat kekacauan yang disebabkan Rama. Tempat tidur, lemari, dan perabotan lainnya rusak, hancur, berserakan dimana-mana. Dia berjalan dengan langkah lembut. Semakin dekat dengan Rama, Jeni bisa dengan jelas mendengar isakan tertahan darinya. 

Merasakan langkah kaki seseorang, pria itu menoleh, menemukan Jeni yang menatapnya dengan khwatir. "Lo ngapain disini."

Mengabaikan pertanyaan Rama yang tercampur dengan isak tangis, Jeni menyerahkan botol minuman. 

Rama melirik sejenak sebelum mencibir. "Heh, sejak kapan lo jadi perhatian kayak gini hah?"

Mengabaikan cibirannya, Jeni menjawab dengan ringan. "Ini cuma bentuk kesopanan dasar."

Rama menatap sejenak, sebelum meraih botol minum itu, menenggaknya, menikmati sensasi dingin dan manis di tenggorokannya. Dirinya jadi lebih tenang saat cairan tubuhnya kembali terisi. 

Sejenak, ada keheningan di antara mereka sampai Jeni bertanya. "Ini cuma kesalahpahaman, gue bisa kasih tahu dia apa yang sebenernya-"

"Nggak perlu." Rama memotong, sebelum terkekeh mencela diri. "Kayak bakal ada yang berubah aja. Gue udah bangung sekarang, semuanya emang udah selesai."

Rama menggertakkan giginya, itu bukan kalimat yang mudah dia ucapkan, bahkan air matanya kembali menetes. Dia memeluk lututnya, isak tangis tertahannya kembali terdengar.

Jeni menatap dengan iba, dia akhirnya duduk disamping pria itu, menjaga jarak sekitar dua meter darinya, menemaninya dalam menangisi kepergian cinta masa kecilnya.

Waktu berlalu dan mereka tetap terduduk satu sama lain. Isak tangis Rama mulai berhenti dan sejenak ada keheningan di antara mereka. Meski begitu, ada semacam kenyamanan tertentu yang mengisi keheningan tersebut dan keduanya tampak menikmati momen itu dalam diam.