Hari ini, Senin pukul 15:20, gue memakirkan mobil di area parkir Kampus Amela, bersiap untuk menjemputnya selepas kuliah hari itu. Mengirimnya pesan yang memberitahunya bahwa dia telah tiba dan duduk menunggu di dalam mobil. Sekitar lima menit kemudian, gue melihat seorang wanita berjalan ke arahnya lalu mengetuk kaca mobil.
Gue mengerutkan kening, merasa bingung karena Amela tidak seperti biasanya yang langsung masuk ke dalam mobil. Membuka kaca, gue bertanya. "Kenapa Mel? kamu masih ada acara?"
Amela yang berdiri di luar, menggeleng. "Nanti dulu pulangnya, kita jalan-jalan dulu yuk." Mendengar ajakan Amela, gue bertanya. "Jalan-jalan? maksudnya di sekitaran Kampus?"
Amela mengangguk. "Iya, sekalian nostalgia gitu," jawabnya tersenyum.
Gue mengangkat bahu, dengan santai menerimanya, membuka pintu mobil dan keluar. "Nggak biasanya kamu ngajak jalan di Kampus kayak gini," tanya gue, penasaran dengan permintaannya.
Amela melirik. "Emang kenapa? Lagian tempat ini punya banyak kenangan buat kita tahu." Melihat senyumnya, gue menyadari bahwa Amela mungkin ingin mengingat kembali kenangan lama mereka. Gue juga adalah lulusan dari Kampus ini, Kampus yang mempertemukan dia dengan Amela.
Mungkin karena insiden kemarin, Amela ingin mengajak gue bernostalgia, menikmati sensasi manis melankolis dari peristiwa yang pernah mereka lalui bersama. Gue tersenyum di dalam hati, memikirkan bahwa ini mungkin cara Amela untuk memperkuat hubungan mereka.
"Ya udah, boleh deh ayo," kata gue menawarkan tangan. Namun, Amela tak meraihnya.
"Mel?" tanya gue dengan bingung saat melihatnya tampak fokus untuk menatap hal lain. Berbalik, gue melihat apa yang menarik perhatian Amela dan agak terkejut saat menemukan apa itu.
Tak terlalu jauh dari mereka, sekelompok pengendara motor tampak berkumpul. Total ada tujuh dari mereka, masing-masing mengenakan jaket hitam, dengan perawakan khas Bad-boy.
Gue mengenal mereka, terutama dengan siapa yang memimpin kelompok tersebut, itu adalah Rama, beserta anggota gengnya yang pernah mampir ke Outlet.
'Apa maksudnya ini?' Gue mengerutkan kening saat melihat mereka yang menatap kesini. Ada perasaan yang tak nyaman, seolah sedang dipantau dan diteror. Gue ingin berpikir bagaimana mengatasi para bajingan ini, namun...
"Beb, ayo jalan," kata Amela, meraih tangan gue, dan menariknya berjalan.
"Mel, kamu nggak lihat mereka?" tanya gue saat kita berjalan menjauh.
"Lihat kok, emang kenapa?" kata Amela, mengangkat bahu.
Melihat reaksi santainya, gue menggeleng. "Mereka kayaknya punya niat buruk deh, kenapa nggak aku antar kamu pulang aja sekarang."
Gue nggak keberatan kalo mereka mau cari masalah sama gue, tapi beda cerita kalo Amela juga terlibat.
Amela berhenti berjalan, berbalik untuk menghadap gue sebelum akhirnya berjinjit. Detik berikutnya, adalah kejadian yang membuat otak gue membeku. Sensasi lembut bisa dirasakan dari pipi sebelah kiri saat Amela memberinya kecupan ringan.
Tangan gue bergerak dengan kaku seperti robot, menyenyuh bekas kecupan itu sebelum menatap Amela, menemukannya sedang menatapnya dengan malu-malu ditemani rona merah di pipinya.
"Udah yuk, kita jalan," katanya, meraih tangan gue dan berjalan.
Dengan itu, kami berjalan pergi bertautan tangan. Ada keheningan canggung di antara keduanya. Sementara Amela menatap ke lain sisi untuk menghindar, gue sendiri sedang menatap awan sambil bergumam di dalam hati, terus menerus selayaknya kaset rusak. 'Tadi itu apa ya? tadi itu apa ya? tadi itu apa ya?'
***
Rama merasakan hatinya seperti dipukul kuat oleh benda tumpul. Melihat bagaimana cinta masa kecilnya pergi bertautan tangan dengan pria lain, membuatnya merasakan rasa sakit yang menyengat.
Dan apa yang barusan terjadi? apakah Amela mencium pria itu? Dia tak bisa melihatnya dengan jelas, tapi Amela pasti berjinjit untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang begitu intim.
Rama meletakan tangannya di dadanya, bertanya-tanya apa obat dari rasa sakit yang dirasakannya. Dia memiliki banyak pemikiran untuk merebut Amela dengan cara yang lebih ekstrim, hanya untuk diredam oleh harga dirinya. Dia mungkin seorang bajingan, tapi dia bukan seorang kriminal.
Tapi apa lagi caranya? Dengan pemandangan yang dia lihat barusan, meski enggan menerima, dia mau tak mau merasa bahwa semuanya memang telah berakhir, Amela telah terlalu jauh dari genggamannya. Apakah dia hanya bisa menerimanya dan membiarkan waktu untuk menyembuhkan lukanya?
Bicara soal waktu, jika ada kesempatan untuk memilih, dia berharap untuk memutar kembali waktu, untuk memperbaiki dirinya yang dulu, yang pernah menyakiti wanita itu. Rama merasakan penyesalan yang kuat saat dia mengingat gaya hidupnya saat berkuliah di luar negri dahulu.
Bebas dari jangkauan orang tua mereka, Rama sering kali mengajak Amela, yang saat itu masih berstatus sebagai pacarnya untuk tidur bersama. Namun, dia selalu ditolak olehnya, mengatakan bahwa dia hanya mau melakukannya setelah mereka menikah.
Dia yang menikmati hidup dengan pergaulan bebas, tak bisa menerimanya dan melampiaskan hasrat itu kepada wanita lain. Amela terkadang sering memergokinya berjalan dengan wanita lain. Tentu, dia hanya perlu berdalih, yang seiring waktu membuatnya semakin berani, sampai dia bahkan tidak terlalu peduli jika Amela memergokinya.
Puncaknya terjadi ketika Amela menangkap basah saat dia tidur dengan wanita lain di Apartemennya yang kebetulan bertetangga dengan Apartemen Amela. Namun bodohnya, dia tidak terlalu memperdulikan wanita itu yang marah dan menangis sambil meneriakinya. Waktu itu dia hanya melihat keberadaan Amela begitu mengganggu dan berisik.
Terlalu sering dimaafkan, dan terlalu sering ditolak, membuatnya merasa dibenarkan atas segala tindakannya. 'Lo nggak mau having fun sama gue, maka gue akan having fun sama yang lain.' Itulah yang dia pikirkan.
Ditambah dengan Amela yang waktu itu hanya memiliki dirinya, membuatnya mengembangkan mentalitas kepemilikan, melihat Amela semacam objek yang secara resmi dimiliki olehnya. Sebuah pemikiran yang secara signifikan menurunkan rasa hormatnya kepada wanita itu, kepada cinta masa kecilnya.
'Memang, penyesalan selalu datang di akhir,' pikir Rama sambil menghela napas berat. Dia membuka ponselnya dan mengerutkan kening.
Masalahnya bukan hanya soal Amela. Akhir-akhir ini, Jeni mengambil porsi besar atas gangguan yang menghantui pikirannya. Menatap ke layar ponsel, dia menemukan bahwa pesan Whatsapp yang dikirimkannya, belum mendapatkan balasan apapun. Sejak insiden itu, Jeni agak berubah, dia hampir mengabaikan semua kontak dengannya. Chat, voice note, panggilan, semuanya jarang ada yang dibalas.
'Mungkinkah kejadian semalam menjadi momen traumatis baginya?' Sejenak pikiran itu menimbulkan rasa khawatir di hatinya.
Menutup ponsel dan memberi tatapan terakhir kepada pasangan yang berjalan bertautan tangan, Rama lanjut berkendara, diikuti oleh anak buahnya. Dia ingin mengunjungi Jeni, untuk melihat sendiri keadaanya.
***
Saat ini, kami berjalan di area taman Kampus, melihat suasana sore hari di waktu jam pulang ini. Beberapa mahasiswa berjalan lalu-lalang, baik berkelompok, sendiri atau berpasangan. Di sudut tempat tertentu, di area tempat duduk di bawah pohon rindang juga masih ada beberapa mahasiswa yang berkesibukan.
Gue menatap sekitaran taman dengan perasaan nostalgia, dia akrab dengan tempat ini. Meski sudah beberapa tahun berlalu sejak kelulusannya, rasanya seperti baru kemarin dia masih disini, beraktifitas selayaknya para mahasiswa lainnya. Entah waktu yang berjalan begitu cepat, atau hanya gue saja yang tidak merasakan berlalunya waktu.
"Lihat deh itu." Pikiran gue digubris oleh ucapan Amela, saat dia menunjuk kesuatu tempat. Melihatnya, gue menemukan sebuah area tangga setinggi dua lusin tapak dan lebar lima meter. Seketika, jantung gue berdetak lebih cepat, itu bukan karena tangganya, bagaimanapun, itu hanya tangga biasa. Apa yang menjadikannya spesial adalah peristiwa yang pernah terjadi disana, itu adalah tempat dimana dia menembak Amela, menyatakan perasaan dan mengajaknya untuk berkencan.
Melihat tempat itu, kilasan kenangan diputar dibenaknya. Saat itu, sekitaran pukul lima sore, menjelang hari kelulusannya. Dimasa itu, hubungan kita hanya sebatas Junior dan Senior. Namun, dengan sekarangkaian kegiatan yang dilakukan bersama, sebuah kedekatan terbentuk di antara kami. Sayangnya, meski memiliki perasaan tertentu satu sama lain, tak ada dari kami yang berani menerobos batasan dan mencoba untuk membawa hubungan ini ke arah yang lebih pasti, hanya sekedar kesepahaman diam.
Tak aneh, lagi pula, waktu itu adalah titik terendah gue setelah keluarganya hancur, setelah kematian adiknya Haikal. Sementara Amela, baru saja putus dari Rama. Masing-masing dari kita khawatir dengan kedatangan orang baru. Karenanya lebih cenderung keras kepala dan menutup hati.
Namun di hari itu, di sore itu. Gue yang berada di ujung waktu kelulusan merasa khawatir bahwa dia akan kehilangan Amela. Gue merasa bahwa tenggat waktu menuju kelulusan adalah sisa waktu yang dia miliki dengan wanita itu, setelahnya hanya akan menjadi kenangan, kenangan yang pahit. Merasa bahwa kehilangan Amela akan menjadi penyesalan besar lainnya, gue memberanikan diri untuk menerobos batas. Menyatakan perasaannya, mencurahkan isi hatinya pada wanita itu.
"Ayo kesana," kata Amela, membuyarkan isi pikiran gue saat dia menarik untuk mengikuti. Tiba di depan tangga, Amela menatap gue dan berkata dengan senyum nakal. "Aku inget, dulu di atas tangga situ ada orang nggak tahu malu yang nembak cewek pake kata-kata memalukan, hihi..."
Amela terkikik, sementara wajah gue berkedut dan dengan malu-malu menatap ke lain tempat. 'Bukankah semua kata-kata yang menyatakan perasaan akan selalu memalukan? jadi wajar aja bukan?' gerutu gue dengan rasa malu, berharap menemukan lubang untuk mengubur diri.
"Ayo, kamu naik ke atas," kata Amela. Melihatnya, gue paham apa yang diinginkan wanita itu, dia ingin mencoba memposisikan diri mereka di waktu kejadian. Gue berjalan naik dan berhenti di atas tangga, berbalik dan melihat kepada Amela yang tengah tersenyum menatap balik. Ini adalah posisi dimana dia menembak Amela dahulu. Gue di atas tangga, sementara Amela di bawah. Mirip seperti adegan ending dari anime romansa terkenal dengan salah satu lagunya yang berjudul Sparkle.
Gue menatapnya, tersenyum tipis. Cahaya kuning lembut sore hari menemani kami dalam kontes menatap mata ini. Sebelum beberapa menit kemudian, pipi Amela merona dan dia dengan paksa menoleh ke arah lain, menunjukkan siapa pemenanganya. 'Heh, lihat itu, saya lebih kuat ketimbang anda Nona,' kata gue didalam hati dengan seringai kemenangan.
"Ih... kamu itu, harusnya kamu ngalah aja," kata Amela, cemberut karena pacarnya tidak memberinya kemudahan. Gue menjawab "Maaf Amela sayang, tapi aku menjunjung tinggi keadilan dan mendukung konsep kesetaraan gender."
Wajah Amela berkedut mendengarnya, dia merasa alasan pacarnya dapat diterima, tapi di saat yang sama juga tidak dapat diterima. Mengesampingkan pikiran itu, mereka kembali berjalan, melanjutkan kencan dadakan yang dilakukan di Kampus mereka, mengenang masa-masa itu.
Kali ini, kami berhenti di sebuah bangunan besar, ini adalah perpustakaan Kampus, juga merupakan tempat dimana gue dan Amela, pertama kali bertemu.
Berjalan masuk, kita di sambut dengan aula yang luas. Ada deretan rak buku di sisi ruangan, semantara terdapat meja dan kursi yang tersusun rapi di area tengah. Gue melihat beberapa orang juga masih ada disana. Mengabaikan mereka, kami naik ke lantai dua, berjalan menyusuri rak-rak buku, sampai tiba di ujung sisi ruangan.
"Kamu inget nggak tempat ini," tanya Amela, menatap pada rak buku di depan mereka. Gue tersenyum pahit, bagaimana dia bisa tidak ingat, ini adalah tempat dimana dia pertama kali melihat Amela. "Aku inget, dulu ada cewek pendek yang nggak nyampe ngambil buku disini."
Wajah Amela berkedut mendengar ledekan pacarnya, dia melirik dengan cemberut. "Dan apa yang terjadi berikutnya?"
Wajah gue sedikit membeku mendengarnya, kilasan akan masa itu kembali diputar. Waktu itu gue sedang ada di perpustakaan, mencari sebuah buku, sebelum menemukannya di rak tertentu. Gue ingin mengambilnya, namun di saat yang sama juga ada seorang wanita yang berjinjit di rak tersebut, mencoba meraih sesuatu, namun terlalu tinggi baginya. Gue mengabaikan wanita itu, mengambil buku yang gue cari dan berbalik pergi.
Namun, wanita itu memanggilnya, menegurnya, mengatakan bahwa seharusnya dia membantunya, tak pergi begitu saja. Sialnya, gue hanya berbalik, menatap wanita itu dengan dingin sebelum kembali berjalan pergi, meninggalkannya ditemani oleh makiannya dibelakang. Dan tentu, siapa lagi wanita itu jika bukan Amela.
"M-Mel itu..." Gue melatakkan tangan di wajah, dengan malu menghindari tatapan Amela. Itu terjadi belum lama setelah kematian adiknya Haikal, karenanya gue bersikap sangat dingin. Tentu itu bukan cuma kepada Amela, tapi gue melakukannya ke hampir semua orang yang gue temui waku itu.
Amela merasakan sedikit kepuasan saat melihat pacarnya yang tertunduk malu. Meski sudah lama berlalu, jika diingat kembali, dia terkadang masih merasa kesal.
Amela mengingat dengan jelas hari itu. Setelah menghabiskan satu tahun penuh untuk berdiam diri di kamarnya, Ayahnya mendaftarkan dirinya ke Universitas yang tak begitu jauh dari rumah. Dia datang kemari sebagai mahasiswi baru, belum mengenal tempat ini dan tak punya teman. Hari itu, dia mencari sebuah buku di perpustakaan, namun rak tersebut terlalu tinggi untuk digapainya. Dia sudah cukup kesal karena tak mampu meraihnya, tak peduli seberapa keras dia berjinjit.
Namun, ditengah kekalutannya, seorang pria datang, tangannya bergerak ke rak buku. Amela berpikir bahwa orang ini bermaksud untuk membantunya, hanya untuk terkejut saat dia meraih buku lain, buku yang terletak tepat di samping buku yang di incarnya. Setelahnya, tanpa merasakan beban sosial apapun, dia berbalik dan pergi.
Diberi harapan palsu dan di abaikan begitu saja, membuat dirinya yang sudah kesal menjadi semakin kesal. Dia menegurnya, memakinya, mempertanyakan apa dia buta karena tidak melihat orang yang kesusahan tepat didepan matanya.
Namun yang mengejutkan, pria itu hanya berbalik dan menatapnya dengan mata yang dingin, sesuatu yang membuat Amela semakin kesal. Melihat pria itu berbalik dan pergi, Amela memaki keras, hingga membuat dirinya di usir dari perpustakaan, membuatnya menyimpan dendam pada pria itu dan terobsesi untuk membalas dendam.
Itu adalah langkah awal dalam hubungan mereka, sebuah pertemuan yang memicu konflik dan berakhir dengan menjadi sepasang kekasih.
'Stranger to lover? Enemies to lover?' pikir Amela saat dia menyadari bahwa kisah hidupnya ternyata mirip dengan cerita novel.
"Ehem," gue berdehem dengan canggung. "Kayaknya kita mendingan ke tempat lain aja nggak sih," kata gue, ingin segera pergi. Tempat ini menyimpan aibnya, jadi lebih baik segera meninggalkannya sedini mungkin.
Amela yang mendengarnya memutar bola mata, jelas mengerti akan maksudnya, tapi dia tidak menolak karena tak ada lagi yang bisa mereka lakukan disini. Karenanya, kami berjalan pergi, turun ke lantai bawah dan berjalan keluar perpustakaan, melanjutkan kencan kami.
Kami mengunjungi beberapa tempat yang memiliki kenangan tertentu. Lorong kampus dimana mereka pernah saling mengejar satu sama lain. Kantin dimana mereka pernah makan bersama, dan sudut Kampus lainnya yang menyimpan cerita mereka di masa lalu.
Kencan ini berlanjut selama hampir dua jam penuh, saat matahari sudah hampir terbenam. Kami memutuskan untuk berhenti dan kembali ke area parkir dimana mobil gue berada. Berjalan berdua, bertautan tangan, melewati jalan dengan deretan pohon rindang di masih-masing sisi jalan. Cahaya kuning lembut sore hari menyelinap masuk di antara deretan pohon. Keheningan yang damai menyelimuti langkah kami dengan semilir angin segar.
Amela secara rahasia, menolehkan matanya untuk melirik kepada pacarnya, Devin. Ada perasaan bahagia yang sulit di jelaskan memenuhi hatinya saat ini. Dia senang dan bersyukur bisa bertemu dengannya. Kampus ini adalah tempat pertemuan mereka, dan dia sedang dalam masa akhir kuliahnya, sebentar lagi dia akan lulus dan meninggalkan tempat ini.
Sejenak Amela merasakan perasaan haru, Kampus ini adalah tempat yang berharga baginya. Beberapa kali, ketika sedang beraktifitas dan tak sengaja tiba di tempat-tempat tertentu, dia akan otomatis tersenyum sendiri tanpa alasan, mengingat kembali kenangan asam manis di tempat tersebut. Kini, hanya menghitung bulan, dia akan meninggalkan semua itu.
Tangannya secara tak sadar mengeras. Merasakan cengkraman Amela yang tiba-tiba menguat, gue meliriknya, menemukan wanita itu sedang melamun menatapnya. "Mel?"
Amela terbangun dari transnya, dia tersenyum sebelum melepaskan tautan tangan, berjalan beberapa langkah ke depan dan berhenti memunggungi gue. Amela berdiri di celah deretan pohon, sehingga menghujani sosoknya dengan kilauan cahaya sore hari. Melihat itu, secara spontan gue juga berhenti, tepat di sebelah pohon, tertutupi oleh bayangannya.
Menatap punggungnya dengan bingung, gue bertanya "Mel?"
Tanpa menjawab, Amela berdiri dalam diam, matanya terpejam saat dia menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya, menggoyangkan rambutnya. Kilasan masa lalu diputar di benaknya. Mulai dari kenangan masa kecilnya, dia dengan gembira bermain bersama seorang anak laki-laki tertentu. Kami bersekolah dasar di tempat yang sama, hingga memasuki masa SMP, kami resmi berpacaran. Masa SMA juga tak kalah menyenangkannya, kami hampir selalu bersama sepanjang waktu.
Hanya saja, di akhir masa itu, kekasihnya berniat melanjutkan studinya ke luar negeri, membuat mereka akan berpisah, sesuatu yang tak ingin dirinya terima. Pada akhirnya, dia memilih untuk ikut dengannya, berharap akan selalu bersamanya. Lagi pula, itulah yang telah mereka janjikan sejak mereka masih kecil.
Sayangnya, kenyataan tak selalu seindah cerita di negri dongeng. Kekasihnya tumbuh menjadi pria yang terlalu menyukai kehidupan dengan penuh kebebasan. Terbiasa hidup di atas awan, membuatnya mengembangkan ego bahwa dirinya bisa melakukan apapun yang diinginkannya, tanpa ada yang bisa menolak. Amela mengingat, masa kuliahnya selalu penuh dilema dan rasa sakit. Kekasihnya sering meminta sesuatu yang sangat berharga baginya, sesuatu yang hanya ingin dia berikan setelah janji suci diucapkan.
Penolakannya ini berbuah pada ketidaksukaan pria itu. Dia menjadi lebih kasar dan acuh tak acuh padanya. Itu adalah suatu tindakan yang melukai hatinya, terutama ketika dia beberapa kali melihatnya berjalan dan tampak mesra dengan beberapa wanita yang berbeda. Seringkali dia berpikir untuk menyerahkan diri, menganggap bahwa tak ada masalah dengan melakukan itu, lagi pula, mereka akan menikah pada akhirnya.
Namun, meski dia telah membuat keputusan, jauh di dalam, hati kecilnya selalu berteriak untuk tak melakukannya, membuatnya mengalami dilema hampir sepanjang malam.
Permasalahan akan hubungannya ini berbuah pada menurunnya produktifitasnya, membuat kuliahnya menjadi berantakan. Kondisi mentalnya yang turun juga membuatnya kekurangan jam tidur dan pola makan yang tak teratur, sebuah kombinasi sempurna untuk secara signifikan menurunkan kesehatannya, hingga dia harus di rawat di rumah sakit.
Dan disinilah puncak rasa sakitnya. Dia meminta kekasihnya itu untuk menemaninya, tapi sayangnya, dia menolaknya. Pria itu hanya berkunjung sesekali menjenguknya, sebelum pergi lagi, sibuk dengan dunianya. Selama masa perawatan ini, dia hanya bisa menatap langit-langit ruangan dalam kesepian, dengan air mata yang mengalir. Dirinya mencoba untuk tegar dan tetap kuat. Syukurnya, kondisinya mampu membaik, cukup untuk baginya diperbolehkan kembali ke kediamannya.
Amela mengingat hari itu, hari ketika dia kembali ke Apartemennya. Dia ingin memberitahukan kekasihnya atas kesembuhannya. Dia pergi ke Apartemen pria itu yang kebetulan bersebelahan dengannya. Sebagai pacarnya, Amela tahu sandi masuk pintunya, dia segera membuka dan masuk kedalam, hanya untuk dikejutkan dengan pemandangan yang membuat dirinya merasa dunia telah sepenuhnya runtuh.
Kekasihnya sedang tertidur, bersama seorang wanita bule lokal, dan mereka tertidur berpelukan tanpa busana apapun. Amela tak bisa mengendalikan diri saat dia meledak dalam emosi. Hatinya sakit, sangat sakit. Dia berteriak sekeras mungkin, menjerit untuk meluapkan rasa sakitnya. Namun pria itu, hanya menatapkan dengan ekspresi jengkel, tak memperdulikan dirinya yang begitu kacau karena penghianatannya.
Saat itu, dirinya tahu, bahwa hubungan mereka telah berakhir. Semua kenangan masa lalu manis mereka, berputar 180 derajat, menjadi sebuah tragedi yang terlalu pilu untuk diingat. Dengan perasaan hampa, dia secara resmi memutuskan hubungan mereka. Kembali ke Apartemennya dan menghubungi Ayahnya, memintanya untuk menjemputnya pulang.
Amela membuka mata, menyudahi kilasan akan masa lalu pahitnya. Dia merasakan sesuatu menetes ke pipinya, tangannya bergerak, menyentuh air mata yang turun. Meski kejadiannya sudah cukup lama berlalu, mengingatnya kembali masih memberinya sensasi sengatan tertentu.
"Mel? kamu kenapa?" Mendengar nada suara yang familiar di belakangnya, Amela tersenyum, menemukan suara pria itu cukup untuk menghilangkan rasa sakitnya. Dia membuka mulut dan berkata. "Beb, kamu tahu nggak... aku agak berat untuk ninggalin tempat ini."
Gue memiringkan kepala dengan bingung, sejenak gue ingin berceloteh: 'Kalo gitu jangan lulus.' Tapi gue manahannya, suara Amela tampak serak dan mendayu, dia tengah serius saat ini.
Juga dia paham betul bahwa Amela belum selesai bicara, dan benar saja, karena wanita itu segera melanjutkan. "Tempat ini punya banyak kenangan berharga buat aku... dan aku juga agak khawatir sama masa depan setelah aku lulus..."
"Tapi aku yakin..." Amela meletakan kedua tangannya di belakang punggungnya, mengambil napas dalam-dalam, sebelum berbalik menghadap kekasihnya dengan senyum bahagia. "Semuanya akan baik-baik aja kalo aku sama kamu."
Mata gue melebar saat menatap pemandangan di depannya. Amela tersenyum cerah dengan tetesan air mata. Sosoknya diselimuti cahaya kuning lembut sore hari, membuat air matanya tampak seperti kilauan kristal yang cantik, rambut hitam kecoklatannya juga tampak berwarna pirang karena paparan cahaya, berkibar akibat hembusan angin.
Buk! Gue merasakan sentakan kuat di dalam hati, menemukan bahwa jantungnya berdetak cepat, itu adalah pemandangan terindah yang pernah dilihatnya. Gue selalu tahu, bahwa gue sangat beruntung karena berhasil mendapatkan keindahan yang bernama Amela Asadel ini. Tapi sekali lagi, pemandangan di depannya, mengingatkan gue kembali akan betapa beruntungnya dia.
Perasaan bahagia, ingin melindungi, ingin memiliki, ingin selamanya bersama, membuncah di kedalaman hatinya. Gue menarik napas dalam-dalam sebelum tersenyum dengan tatapan hangat. "Aku juga yakin Mel, semua akan baik-baik aja kalo aku sama kamu."
Senyum Amela semakin melebar saat mendengar ucapaan kekasihnya, air matanya kembali turun, bukan karena rasa sakit, tapi karena betapa manis dan bahagianya dia.
Melihat air mata bahagia Amela, gue memiliki keinginan kuat untuk memeluknya, merasakan wanita itu dalam dekapannya, namun... tiba-tiba ponselnya bergetar, seseorang tengah menghubunginya.
Gue mengerutkan kening, tak senang dengan gangguan tersebut. Mengambil ponsel, bersiap untuk mematikan panggilan dan menyalakan mode jangan ganggu. Namun, tangan gue berhenti saat melihat nama penelponnya, itu adalah Mbak Fina, pembantu paruh waktu yang dia pekerjakan untuk merawat Ayahnya.
Mbak Fina jarang menelponnya, hanya di setiap hari Minggu, atau ketika ada hal mendesak yang perlu diketahuinya. Dengan perasaan tak nyaman, gue mengangkatnya.
"M-Mas Devin..." Suara Mbak Fina tampak terbata, penuh dengan kekhawatiran dan keterkejutan. "I-Itu... A-Ayah Mas Devin..."
Mata gue perlahan melebar saat mendengar apa yang disampaikannya. Ponsel yang dipegangnya jatuh kebawah, menyentuh jalan dan retak.