Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 11 - Bab 11. Amela Yang Ugal-ugalan

Chapter 11 - Bab 11. Amela Yang Ugal-ugalan

"Devin nggak ada?" tanya Jeni bingung. Mengetahui Outlet Devin buka setiap hari, dia berencana untuk mampir weekend ini. Dan setelah melihat tidak adanya Amela, dia berinisiatif bertanya keberadaan Devin. Sayangnya, orang itu sedang tidak ada disini."Bos Dev, kalo hari minggu kayak gini, biasanya datengnya agak siangan," jawab Bagas dengan senyum konyol, "Tunggu disini aja dulu, nanti juga dia bakal dateng, hehe..."Wajah Jeni berkedut, mendengar tawaran pria gondrong itu, niatnya jelas, ingin dekat dengannya, sesuatu yang membuatnya merinding tak nyaman. "Nggak deh, aku dateng lain waktu aja," katanya menolak, sebelum berjalan pergi."Eh, nggak apa-apa, tunggu aja disini," jawab Bagas tergesa-gesa. Jeni menggeleng. "Nggak usah, nanti malah ngerepotin.""Nggak kok! gue siap direpotin, nanti gue buatin teh, es kelapa, atau bahkan es mambo juga bisa." Mendengarnya, Jeni menjadi kesal, terutama saat pria itu berjalan menyusulnya, dia menjawab. "Nggak usah, aku baru inget ada urusan lain diluar." Mengatakan demikian, Jeni berjalan lebih cepat. Bagas berhenti di depan Ruko, melihat kepada Jeni yang berjalan menjauh, dia menghela napas dengan ekspresi patah hati.Sementara itu, Dilan dan Nathan, dua siswa magang yang melihat semua adegan barusan, mau tak mau berkomentar. "Mas Bagas yang malang."Nathan mengangguk mendengar komentar Dilan. "Lo ganteng, lo aman." Mendengar kalimat filsuf Nathan, Dilan mengangguk setuju. "Untung muka gue mirip Iqbal Ramadhan." Nathan menoleh sejenak, sebelum bergumam pelan. "Untung juga muka gue mirip Jefri Nichol."Keduanya mengangguk setuju, bersyukur mereka memiliki wajah yang mirip seperti para selebriti terkenal. Mereka hanya dua siswa SMK biasa yang kebetulan memiliki nama yang mirip dengan tokoh tertentu, ingat, kebetulan! hal-hal penting harus diucapkan dua kali!Bagas berjalan kembali ke Outlet, melihat kedua anak magang yang entah mengapa tampak akur. Jarang melihat mereka seperti ini, biasanya ada saja hal yang mereka ributkan, sesuatu yang kadang membuatnya jengkel. 'Ini bagus, coba aja mereka bisa kayak gini setiap hari.' pikir Bagas, sebelum berjalan masuk, tanpa tahu bahwa keharmonisan keduanya berkat nasibnya yang malang.***Jeni, yang telah berjalan cukup jauh dari Outlet Devin, membuka ponsel, dia sudah tak punya urusan lagi disini, karenanya, dia bersiap untuk memesan Gocar, namun..."Jen.. Jeni..." Suara bisik memanggil, Jeni dengan bingung menatap sekitar, mencari sumber suara. "Hey, disini."Jeni berbalik, melihat mobil hitam yang tak jauh darinya, dia ragu untuk mendekat, bagaimana jika itu adalah mobil penculik, meski bukan mobil jip, tetap tidak merubah rasa khawatirnya. Jeni berjalan mundur perlahan, sampai ketika jendela mobil terbuka dan seorang wanita menjulur. "Jeni! ayo kesini."Jeni terkejut, melihat wanita cantik familiar yang melambai mengundang padanya, itu adalah Amela, pacar Devin. Berpikir sejenak, dia akhirnya memutuskan mendekat. Sampai disana, Amela membukakan pintu mobil. "Ayo masuk."Jeni menatap. "Mau ngapain?" tanyanya bingung. Amela menjawab. "Udah masuk aja dulu."Jeni merasa ragu sejenak, namun mengetahui Amela bukan tipe wanita berkepribadian buruk, dia akhirnya mengalah, masuk kedalam mobil. Didalam, selain Amela, ada juga pria paruh baya yang duduk di kursi kemudi, mengenakan kemeja hitam."Lo ngapain disini?" tanya Amela. Jeni membeku, sedikit terkejut dengan pertanyaanya, dia segera menjawab. "Yah... itu, selepas video kita kemarin, banyak temen-temen aku yang nanyain bajunya, mereka mau beli tapi stoknya udah habis, mereka sering nanya nya ke aku, jadi aku coba dateng sendiri ke toko untuk tanya langsung ketersediaan barangnya."Alasan yang bodoh sebenarnya, jika dia hanya ingin bertanya seperti itu, dia bisa melakukannya melalui medsos atau Whatsapp bisnis brand Clothing tersebut, tak perlu datang langsung. Namun, sepertinya Amela tak menaruh curiga, karena dia hanya mengangguk. "Devin nggak ada ya?""Eh, nggak tahu tuh?" jawab Jeni, seolah kedatangan dirinya tak dimaksudkan mencari Devin. Amela tersenyum. "Hehe... gue tahu dong, dia masih belum dateng, gue udah nunggu dia lebih dari dua jam disini."Jeni menatap bingung. 'Ngapain dia nunggu disini? sampe dua jam lebih bahkan?' pikirnya, tak mengerti arti tindakan Amela. Sebagai pacarnya, dia bisa datang kapan saja, bahkan jika dia memang ingin bertemu, dia bisa langsung menghubunginya saat itu juga, mengingat kepribadian Devin yang ramah, tak sulit melakukannya, hal itu membuatnya bertanya. "Kamu ngapain disini? kenapa nggak dateng aja kedalam?"Amela menggeleng. "Khusus hari ini nggak bisa, kita harus selidiki sesuatu." Melihat itu, Jeni semakin bingung, dan apa maskudnya 'kita', sejak kapan dia tergabung atas sesuatu yang merepotkan ini. Jeni menghela napas, jika bukan karena uang sepuluh milyar, dia mungkin akan memilih turun sekarang. Memikirkannya, dia melirik kesamping, kepada wanita cantik periang itu. Dia merasa sedikit tak enak, karena dirinya, secara diam-diam mencoba untuk merusak hubungan harmonis mereka. Jeni menelan rasa bersalah yang timbul dan terduduk diam.Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil warna putih datang, dan parkir di depan Ruko. Keduanya melihat Devin keluar dari mobil dan berjalan masuk Outlet. Jeni menatap Amela, yang hanya diam menonton, dia bertanya bingung. "Itu Devin, nggak kesana?" Amela melirik, sebelum menggeleng. "Nggak, kita disini aja dulu, harusnya nggak lama dia bakal keluar lagi."Jeni mengerutkan kening, wanita ini sepertinya sedang merencanakan sesuatu, dan apa maksudnya 'kita', kenapa dia jadi ikut-ikutan terseret. Menggeleng, Jeni dengan pasrah duduk menunggu. Dan memang, tak lama Devin keluar kembali, masuk ke mobil dan pergi. "Pak Jamal, ikutin mobil putih itu ya," kata Amela, menunjuk mobil Devin. "Oke Mbak Amel," jawab Pak Jamal, selaku supir pribadi Amela.Mobil hitam mereka berjalan, mengikuti Devin dari belakang. Setelah beberapa menit, mereka melihat mobil di depan mereka, masuk kedalam komplek Rumah Sakit. Pak Jamal mengikuti, berhenti di parkiran Rumah Sakit, tak jauh dari mobil Devin.Amela dan Jeni melihat Devin keluar setelah memakirkan mobil dan berjalan masuk ke gedung Rumah Sakit. Jeni menatap Amela, terkejut menemukannya sedang dalam raut wajah yang tampak sedih dan tertekan. Jeni berpikir dengan ekspresi serius. 'Sebenarnya ada apa ini?'Semantara itu, Amela sedang dalam kekalutannya sendiri. Dia bingung apakah harus keluar dan mengikuti Devin masuk atau menunggu disini. Dia dengan jelas tahu urusan kedatangan Devin ke sini, yakni untuk mengunjungi Ayahnya yang koma, sesuatu yang baru dia ketahui baru-baru ini. Memikirkannya, Amela mau tak mau mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu, ketika dia melabrak teman pacarnya, Lintang, yang tampak mengetahui sesuatu. Dia telah memaksa orang itu bicara, dari sana, dia mengetahui latar belakang masalah pacarnya.Memikirkannya kembali, Amela tak menyangka, orang yang dicintainya, memiliki masa lalu yang begitu kelam. Bagaimana bisa orang yang diluar tampak begitu tenang, dewasa dan penuh canda, sebenarnya menyimpan luka di kedalaman hatinya. Pacarnya terlalu pandai menutupi luka itu dengan segala humor yang sering dilontarkannya, membuatnya tak pernah berpikir bahwa sebenarnya ada kegelapan yang tersembunyi didalam. Perasaan bersalah timbul di hatinya, memikirkan bahwa dia tampaknya kurang peduli padanya, kurang mengenal dirinya.Keraguannya ini pada akhirnya membuatnya memilih untuk tetap diam. Dia ingin mengikuti untuk melihat Ayah Devin, tapi bingung bagaimana dia akan berpapasan dengan Devin. Keputusannya untuk diam-diam menyelidik hari ini tak lebih dari buah tindakan impulsifnya. Sekarang, di tengah aksi, dia bingung bagaimana melanjutkannya."Amela? hey Amela!" Jeni berseru, sedikit menggoyang tubuh wanita itu. Dia telah memanggil-manggilnya hanya untuk diabaikan. Amela sedikit tersentak, bangun dari transnya. "Y-Ya?""Itu... Devin udah masuk kedalam, apa lagi yang mau lo lakuin? diem aja disini?" tanya Jeni. Wajah Amela berkerut bingung, perasaan ragu dengan jelas terlihat. Melihat itu, Jeni menghela napas. "Amela, aku nggak tahu tujuan kamu apa? tapi itu pasti bukan diem kayak ginikan?"Amela menatap sejenak sebelum mengangguk. "Tapi... gue nggak tahu gimana-""Kalo gitu ayo balik lagi aja," potong Jeni. Amela menatap terkejut, dan sebelum dia bisa bicara, Jeni melanjutkan. "Kalo kamu ragu, mending nggak usah dilanjutin aja. Bahkan kalo tahu akhirnya kayak gini, seharusnya sejak awal nggak usah dilakuin, ngapain ngikutin orang kayak gini, nggak jelas."Amela menunduk malu, 'Jeni bener, kalo aku cuma diem kayak gini, apa yang akan berubah?' Berpikir demikian, Amela menarik napas dalam-dalam, sebelum melirik Jeni dengan senyum hangat. "Makasih Jen."Amela membuka pintu mobil, dan berjalan pergi dengan mata penuh tekad. Sementara didalam, Jeni masih terpaku diam, dia sejenak terkejut dengan pernyataan terima kasih yang begitu tulus barusan. Itu adalah pemandangan yang mengetuk hatinya, membuat rasa bersalahnya semakin besar. Pada akhirnya, dengan helaan napas, Jeni keluar dan menyusul.Amela berjalan masuk ke gedung Rumah Sakit, melirik sekitar untuk mencari sosok yang familiar, namun tak menemukannya dimanapun. "Ugh... harusnya dari awal aku ngikutin Devin," gumamnya kesal, Amela akhirnya berjalan ke meja Resepsionis dan bertanya tentang keberadaan Devin.Dia menjelaskan ciri Devin dan mendapatkan informasi yang meski tak pasti, dia memilih untuk percaya. Berjalan pergi, Amela menyusuri lorong demi lorong. Aksinya harus terhenti ketika dia berjalan melewati suatu tikungan, tak sengaja menabrak seseorang. "Aduh, sorry banget," katanya meringis saat dia jatuh ke lantai.Disaat dia ingin berdiri, suara terkejut bergema. "Amela?" Mendengar suara yang familiar itu, Amela mendongak, menatap pacarnya yang berdiri dengan ekspresi terkejut. "Kamu ngapain disini?" tanya Devin.***Seperti biasa, di hari Minggu, gue akan mengunjungi Ayahnya yang koma. Sampai di gedung Rumah Sakit, gue memutuskan untuk mampir ke toilet lebih dulu, sebelum berjalan ke ruangan ICU tempat Ayahnya dirawat. Saat berjalan melewati sebuah tikungan, dia ditabrak oleh seseorang yang tampak berjalan terburu-buru. Melihat wanita yang tersungkur itu, mata gue membelalak kaget. "Amela? kamu ngapain disini?"Sementara Amela tampak membeku terkejut, gue melihat orang lain yang dikenalnya, berjalan kemari. "Jeni?" kata gue bingung. 'Ada apa ini? kenapa dua orang ini ada disini?' pikir gue dengan ekspresi tak nyaman."Mel, aku tanya, kamu ngapain disini?" Amela tergagap, mendengar pertanyaan dengan nada introgasi seperti itu. "A-Aku.. itu...""Dia nggak sengaja ngelihat kamu, Devin," kata Jeni dengan nada lembut, mencoba membantu Amela, sambil menunjukkan citra diri yang anggun. Sayangnya, gue malah semakin risih saat melihat wajah palsunya. "Nggak sengaja gimana?""Yah... itu... Amela nemenin aku untuk jenguk kerabatku dan nggak sengaja ngelihat kamu disini," jawab Jeni dengan agak ragu. Gue yang mendengarnya meledek. "Omong kosong macam apa itu? siapa orang bego yang bakal percaya?"Jeni sejenak terkejut, sebelum dengan cepat menenangkan diri. Memang, tidak seperti Amela, Devin bukan orang yang mudah dibodohi. Alasan yang dibuatnya terlalu rapuh dan Devin bisa dengan mudah mengetahui kebohongannya."B-Beb, itu bukan salah Jeni," kata Amela, bangkit dan berdiri di depan Jeni. "Itu salah aku, aku ngikutin kamu dari belakang."'Ngikutin?' pikir gue dengan wajah muram. "Kenapa kamu ngikutin aku Mel?" Mendengar pertanyaan tak senang itu, Amela sedikit takut. Tapi dia mencoba untuk menguatkan diri. "I-Itu... aku... dikasih tahu kalo... A-Ayah kamu... itu..."Sebelum Amela menyelesaikan kalimatnya, gue dengan cepat meraih tangannya "Siapa yang ngasih tahu kamu?" Amela semakin takut saat dipelototi oleh pacarnya. "I-Itu... aku.. aww!!" Amela menjerit kesakitan saat dia merasa cengkraman Devin meremas kuat pergelangan tangannya.Gue sudah gelap mata. Tanpa perlu dijelaskan lebih jauh, gue sudah bisa mengerti bahwa Amela sudah tahu rahasianya, masa lalunya. Dan ini terjadi belum lama setelah kedatangan Ibunya. "Pasti itu Mamah kan! sial! gue tahu itu! dia cuma bisa ngancurin hidup gue doang! brengsek!!""Hey!! lo jangan kasar gitu dong!!" Jeni dengan marah melesat mendorong Devin dan menarik Amela. Sejenak citra anggunnya lenyap, menunjukkan sifat aslinya, tapi dia tidak peduli, dia sangat tak senang melihat kekerasan yang dilakukan pada wanita, pria yang melakukan itu benar-benar menjijikan!Gue tersentak mundur akibat dorongan Jeni. Terbangun dari trans, gue akhirnya menyadari bahwa gue kehilangan kendali atas emosi dan sudah bertindak berlebihan. Melihat Amela, gue menemukan matanya memerah dengan ekspresi ketakutan. Pemandangan itu membuatnya mengingat masa lalu, itu adalah hari ketika Ibunya bertengkar dengan Ayahnya. Hari dimana dia melihat Ibunya baru saja pulang bekerja dan dipukuli oleh Ayahnya. Hari dimana dia melihat Ibunya menatap Ayahnya dengan mata dan ekspresi yang sama seperti Amela saat ini menatapnya.Seketika, hati gue tenggelam, rasa bersalah yang kuat memenuhinya. "M-Mel... itu..." Gue menundukan kepala, tak berani menatapnya, hanya bisa bergumam pelan. "Maaf."Sejenak ada keheningan yang timbul, sebelum langkah kaki yang lembut bergema di lorong. Hal selanjutnya yang gue rasakan adalah sebuah pelukan. Sensasi tubuh hangat dan lembut, aroma parfum yang familiar, membuat sarafnya mengendur. Di tengah kenyamanan itu, bisikan halus terdengar. "Please jangan kayak gitu lagi... aku takut."Gue menghela napas, melebarkan tangan sebelum balas memeluknya. "Maaf... janji nggak akan gitu lagi." Sementara keduanya terjebak didunia mereka sendiri, Jeni berdiri menatap pemandangan di depan dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan iri, lega, bahagia dan sedih. Tanpa sadar, dia meletakkan tangannya di dadanya, menemukan jantungnya berdetak lebih cepat. 'Semuanya selesai disini,' pikir Jeni, Memahami skemanya telah berakhir.Pemandangan di depannya adalah bukti nyata betapa kuatnya hubungan mereka, tak ada kesempatan baginya. Perasaan bersalahnya juga menjadi poin tambah, serta rasa kesukaannya yang muncul pada Amela membuatnya tak ingin melanjutkan. Bahkan dia sendiri cukup terkejut karena mengembangkan emosi seperti itu pada wanita yang belum lama ini dia kenal. 'Takdir benar-benar lucu,' pikirnya getir.Hampir dua menit penuh kami berpelukan. Ketika emosi telah sepenuhnya terkendali, gue melepaskan pelukan, memegang bahu Amela dengan lembut. "Amela... kamu tahu dari mana itu? siapa yang ngasih tahu kamu?"Sejenak wajah Amela berkerut bingung dan takut. Gue dengan lembut menenangkan. "Nggak apa-apa, aku janji nggak akan marah kok, kamu bisa kasih tahu aku."Melihat senyum lembut Devin, kekhawatiran Amela menurun. "Janji?" tanyanya. Gue mengangguk. "Aku janji, nggak akan marah." Dengan helaan napas, Amela akhirnya menjawab. "Itu... itu dari Lintang."Mata gue sontak melebar. 'Lintang?' Mereka adalah teman sejak zaman kuliah, Lintang juga adalah orang yang banyak tahu prihal kehidupan masa lalunya, tak hanya tahu, tapi dia juga bagian darinya. Seperti ketika kematian adiknya Haikal, Lintang juga hadir membantu pemakamannya. Juga konfliknya dengan Ibunya ketika dia baru saja mengetahui prihal perselingkuhannya, Lintang ada disana. Dia adalah orang terdekatnya dan tahu banyak mengenai dirinya. Sejenak, gue merasakan rasa sakit pengkhianatan.Amela yang melihat wajah kesakitan Devin, mengangkat kedua tangannya, mengatupkan kedua pipinya. "Beb... kamu udah janji nggak akan marah lho." Merasakan tangan lembut Amela, gue menatapnya, melihat kepada mata hitam kecoklatan yang dengan intens balik menatapnya. Menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, gue menjawab dengan senyum pahit. "Maaf, aku terlalu kaget.""Jangan salahin dia," tegur Amela. "Lintang ngasih tahu aku, setelah aku paksa dia untuk ngomong, jadi jangan salahin dia." Gue menatapnya sebelum mengangguk. "Iya, aku ngerti."Sejenak ada keheningan diantara mereka, sebelum Amela bertanya. "Jadi... itu... Ayah kamu... aku boleh-""Boleh kok," potong gue tersenyum. Karena Amela sudah tahu, tidak ada alasan untuk melarangnya bertemu, atau bahkan mungkin lebih baik memang membiarkannya belajar lebih jauh mengenai masalahnya, bagaimanapun, komunikasi yang baik adalah elemen penting dalam keutuhan suatu hubungan. Itu adalah sesuatu yang gue percayai, namun sayangnya, dalam prakteknya, gue tampak melakukan kesalahan. Karena itu, gue ingin memperbaikinya kembali.Amela tersenyum senang. Melihat kembali sikap dewasa pacarnya, membuat hatinya menjadi lebih ringan. Dia melirik Jeni dan berkata dengan riang. "Kita berhasil Jen!""Eh? kita?" Jeni bingung, meski dia membatu di beberapa titik, dia masih menganggap dirinya adalah orang luar. Sementara itu, gue menatap Jeni, secara internal berterimakasih karena telah menyadarkannya, jika tidak, dia mungkin telah melakukan kekerasan yang lebih pada Amela."Ayo ikut," kata gue, pergi ke ruang ICU dimana bokap gue dirawat. Amela dan Jeni berjalan mengikuti, dan tak lama kami sampai di ruangan tersebut. Mbak Fina, pembantu paruh waktu yang gue pekerjakan juga ada disana. Setelah berbincang sebentar, gue dan Amela memutuskan untuk masuk kedalam. Sementara Jeni memilih untuk menunggu diluar. Lagipula dia tidak mau terlibat atau tahu lebih dalam mengenai masalah mereka. Meski Devin tak keberatan untuk membagikannya dengan Amela, Jeni berbeda, dia bukan siapa-siapanya Devin. Amela meski enggan, tak berkomentar saat Jeni menolak ikut masuk, sedangkan gue justru berterima kasih atas kepengertian Jeni.Masuk kedalam, keduanya menemukan ruang ICU yang bersih dengan ranjang pasien dan peralatan medis yang terpasang padanya. Amela berjalan mendekat, berdiri di samping pria paruh baya yang merupakan Ayah kekasihnya. "Walaupun aku udah denger ceritanya dari Lintang, tapi aku mau denger itu langsung dari kamu."Melihat tatapan memohonnya, gue menghela napas. "Oke, tapi ini mungkin agak lama, jangan ngeluh ya." Amela tersenyum, dengan itu gue mulai meceritakan masalah keluarganya, masa lalunya. Dia bercerita bagaimana dulunya mereka adalah keluarga bahagia, sampai ketika Ayahnya terkena dampak PHK dari wabah Covid, dan mulai kecanduan judi serta alkohol, masalah KDRT yang dialami Ibunya, perceraian mereka sampai kematian adiknya. Di akhir Amela bergerak untuk memeluknya, secara efektif menurunkan rasa sakitnya, pelukannya sudah seperti morfin."Pasti berat ya?" gumam Amela di pelukan kekasihnya. Gue tidak menjawab, hanya balas memeluknya. Amela mendongak, menatap Devin. "Aku tahu pasti nggak mudah buat kamu lewatin itu semua, dan kamu pasti punya banyak keluhan sama orang tua kamu, tapi... aku mau kamu maafin mereka."Badan gue begidik mendengarnya, mata gue memerah. "Mel, itu nggak mung-" Amela meletakkan jarinya di mulut Devin, membuatnya berhenti bicara. "Aku nggak bilang kamu untuk maafin mereka saat ini juga," Amela menggeleng dan melanjutkan. "Aku cuma mau kamu buka kesempatan untuk maafin mereka, dan secara perlahan menerimanya."Gue menatap Amela dengan ekspresi rumit. Dia sangat membenci orang tuanya, baik Ayah atau Ibunya. Hanya dengan melihat mereka saja membuat hatinya menjerit akan rasa sakit. "Mel...""Please..." Amela memohon dengan ekspresi serius. Gue menatapnya sejenak sebelum dengan berat hati mengangguk. "Aku nggak jamin aku bisa, tapi... aku bakal coba." Mendengarnya senyum Amela melebar, dia berkata dengan manis. "Itu baru Bebeb aku."Melihat senyumnya yang melelehkan itu, gue juga ikut tersenyum. Amela berbalik, menatap Ayah Devin sebelum kembali menatap kekasihnya. "Ayo, waktunya kamu untuk mulai langkah pertama," katanya, berjalan kesamping, seolah memberi jalan baginya untuk mendekat kepada Ayahnya.Gue menghela napas, dan berjalan, berhenti di depan ranjang Ayahnya. Berbalik untuk melirik Amela, hanya menemukan wanita itu tersenyum dan mengangguk. Kembali menatap Ayahnya, gue berkata. "Ayah... ini... emm...""Ayo dong, jangan amm, emm, aja," Amela berkata di belakang, membuat dahi gue berkedut. Dengan helaan napas, gue berkata. "Hah, Devin benci drama, jadi... Devin bakal to the point aja, Devin benci sama Ayah."Amela tetap berdiri, menatap pacarnya yang lanjut bicara. "Itu adalah fakta yang sekarang Devin rasain, Devin selalu mikir bahwa itu adalah hal yang Ayah pantas dapatkan. Tapi sekarang... Devin mungkin akan mencoba untuk membuka maaf. Tapi jangan salah paham, Devin begini cuma karena seseorang aja, kalo bukan karena dia... ini mungkin nggak akan pernah terjadi." Berhenti sejenak, gue menatap Ayahnya yang terbaring dengan berbagai peralatan medis di sekitarnya, sebuah pemandangan yang membuat hati gue berkonflik. "Semoga Ayah bisa sembuh dari koma ini, dan kembali sehat kayak dulu, sebelum Ayah kenal judi dan alkohol. Devin cuma berharap yang terbaik untuk semuanya." Mengatakan demikian, gue menghela napas sebelum berbalik. "Puas?" tanya gue.Senyum Amela semakin lebar, dia mengangguk. "Lumayan." Mengalihkan pandangan ke Ayah Devin, Amela berjalan mendekat dan berkata. "Maaf Ayah, Devin mungkin agak kepala batu, tapi tenang aja, Amela Asadel yang cantik dan imut ini akan membuat si kepala batu itu untuk maafin Ayah." Dahi gue berkedut mendengarnya. 'Siapa si kepala batu? dan kenapa di menyebut bokap gue Ayah? anda memiliki Ayah anda sendiri!' gerutu gue dalam hati.Dengan itu, kami tak berlama lagi, gue berjalan keluar ruangan, Amela mengikuti, dia memberi tatapan terkahir pada Ayah pacarnya, sebelum lanjut jalan. Namun, langkahnya kembali terhenti, berbalik, dia menatap lekat-lekat pasien koma tersebut dengan kerutan di dahinya."Mel?" tanya gue, saat melihat Amela hanya berdiri diam. Mendengar itu, Amela berbalik, dia melirik Ayah Devin lagi, sebelum menggeleng. "Iya tunggu." Mengatakan itu, Amela berjalan menyusul."Kamu kenapa?" tanya gue. Amela tampak berpikir sejenak sebelum menggeleng. "Nggak apa-apa, ayo jalan." Dengan itu, kami berjalan keluar ruangan ICU, sementara Amela merenung. 'Tadi itu salah lihat atau apa ya?' pikirnya. Sebelumnya dia merasa sejenak melihat jari Ayah Devin tampak berkedut. 'Kayaknya itu cuma halusinasi aku aja.' Dengan itu, Amela segera menyingkirkan pikiran barusan.Kami keluar, bertemu Jeni yang menunggu sendirian, tampaknya Mbak Fina telah pergi lebih dulu. Kami bertiga berjalan keluar Rumah Sakit. Tidak memiliki urusan lain, Jeni ingin pergi, namun dia dipaksa ikut oleh Amela. Gue yang melihat itu merasa bingung, mereka tampak seperti teman. 'Sejak kapan mereka jadi dekat?' pikir gue.Amela bicara pada supir pribadinya untuk kembali sendiri, sementara dia dan Jeni akan ikut dengan Devin. Gue mengendarai mobil ke pemakaman umum tempat adik gue di makamkan. Membeli bunga tabur, dan berjalan ke makam. Disana, dibantu Amela, kita membersihkan makam dan menaburkan bunga. Jeni di belakang tampak agak terkejut, dia hampir tak mengetahui apapun, namun dari aksi ini saja jelas bahwa ada seseorang yang penting bagi Devin dimakamkan disana.Sama seperti sebelumnya, gue sedikit bercerita tentang adik gue, tentang masa kecil kami, masa remaja, disaat kami hanya memiliki satu sama lain ketika Ayah mereka mulai berubah, dan Ibu mereka mulai jarang pulang, sampai pada kematiannya. Amela mendengarkan dengan ekspresi sedih, begitu pula Jeni, meski emosinya tak sekuat yang pertama. Mereka berdoa sebelum kembali ke mobil. Hari sudah sore dan gue mengantarkan Amela ke Stasiun seperti biasa."Dadah Beb! nanti besok ketemu ya." Amela melambai saat dia berjalan pergi, masuk ke Stasiun, meninggalkan gue dengan Jeni sendiri. Tentu Amela tak lupa meminta pacarnya untuk mengantar pulang Jeni, sesuatu yang membuat wajahnya berkedut. Kalo bukan karena gue tahu akan sifat ugal-ugalannya ini, gue mungkin akan berpikir bahwa Amela adalah Mak Comblang yang berencana membuat pacarnya sendiri untuk berselingkuh!Segera ada keheningan yang canggung antara keduanya. 'Huh... suasana creepy macam apa ini.' gerutu gue dalam hati. "Ehem..." Jeni berdehem, mengeluarkan ponsel dan berkata. "Aku pesen Gocar aja ya."Mendengar itu, gue menggeleng menghela napas. "Nggak usah, tanggung, gue anter aja." Mengatakan demikian gue masuk kedalam mobil. Jeni tampak agak bingung harus masuk atau tidak, tapi pada akhirnya dia memilih untuk masuk juga ke mobil.