Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 10 - Bab 10. Tamu Tak Diundang

Chapter 10 - Bab 10. Tamu Tak Diundang

Hari ini, Rabu tanggal 11 November. Sudah seminggu berlalu sejak launching produk Angst Clothing. Dan sesuai prediksi, produk baru itu meledak di pasaran. Konten promosi yang sebelumnya dibuat, masuk fyp dan telah mendapatkan lebih dari 30 juta views dengan lebih dari dua juta like dan ribuan komen. Lebih dari itu, banyak akun sosial media lain yang me-reupload video tersebut, membuat pamornya semakin meningkat. Semua akun sosial media brand gue mendapatkan kenaikan jumlah pengikut yang signifikan.Seperti biasa, gue duduk di ruang kerja, dengan ekspresi gila menatap laptop. Sudut bibir gue terangkat berlebih, membuatnya tampak konyol, tapi gue nggak peduli."Hahaha! Sold out!" Tertawa keras, gue memukul meja, terlalu senang dengan apa yang dilihat. Laptop didepan gue menunjukkan data penjualan hari ini, sudah 10.000 pcs produk terjual!Hari ini adalah puncaknya event 11:11, dan gue baru aja restock gudang kemarin, namun belum sampai 24 jam, semua produk habis terjual! Bahkan dengan potongan harga promo, masih ada lebih dari 800 juta rupiah keuntungan yang diperoleh!Tak jauh, Lintang yang sedang duduk di tempat kerjanya, menggeleng dengan senyum pahit melihat rekan kerjanya bertingkah gila. Pandangannya beralih ke ponsel di meja rekannya, itu berdering untuk yang kesekian kalinya, namun Devin mengabaikannya, seolah terisolasi dari dunia luar, hanya menatap laptopnya dengan intens. Jika dia tidak mengenalnya sebelumnya, dia pasti berpikir bahwa orang ini sedang kecanduan judi online. Menghela napas, Lintang memasang earphone ke telinganya, sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.***"Nggak di angkat lagi?!" Amela dengan kesal menatap dan meremas ponselnya. Dia ingin menghubungi pacarnya untuk menjemputnya selepas kuliah hari ini. Tapi tak peduli berapa kali dia menghubunginya, tidak ada satu pun yang di angkat!Amela melirik ke jendela luar, dia saat ini sedang berada di dalam mobil Gocar yang dipesannya, mengingat bajingan kesayangannya itu tak merespon, dia tidak memiliki pilihan lain. Sampai di tujuan dan melihat bagunan tiga lantai yang familiar, Amela dengan langkah kesal berjalan cepat, membawa tas belanjaan."Beb!" seru Amela saat dia memasuki Outlet, membuat Yuni sedikit terkejut karenanya, dia ingin menyapa Amela hanya untuk dipotong. "Dimana Devin?"Mendengar nada dingin dan tatapan tajam Amela, Yuni dengan ragu menjawab. "B-Bos Dev, ada di atas."Amela segera pergi meninggalkan Yuni, hanya untuk kembali setelah beberapa langkah, dia menyerahkan tas belanjanya. "Ini... bagiin sama yang lain," katanya sebelum kembali pergi.Yuni menatap bolak-balik antara tas belanja ditangannya dan wanita yang berjalan menjauh. Melihat kemarahan di raut wajah Amela, dia mau tak mau berpikir. 'Masalah rumah tangga benar-benar menakutkan.' Dia hanya berdoa semoga Bosnya bisa menyelesaikan masalah rumah tangganya, mengesampingkan pikirannya, Yuni menatap penasaran pada tas belanja ditangannya, dia dengan penuh minat memeriksanya.Sementara itu, Amela berjalan ke lantai atas, dia melewati lantai dua, mengabaikan Bagas yang menyapanya. Dia sangat kesal saat ini, dia telah menunggu di kampusnya selama lebih dari satu jam, berupaya menghubungi pacarnya, hanya untuk di abaikan!'Beb, kamu telah membuat Amela yang cantik ini kesel, kamu harus tanggung jawab! hehe...' pikirnya dengan senyum jahat, Amela berjalan naik ke lantai tiga, bersiap untuk memastikan bahwa dirinya akan membuat bajingan itu jera dan tak akan mengabaikan panggilannya lagi.Sampai di lantai tiga, dia melihat beberapa meja dan bangku di posisikan sedemikian rupa sehingga tampak seperti area kantor yang sederhana. Menatap kedepan, dahinya berkerut saat dia melihat pacarnya tertawa seperti orang gila, tapi dia tidak peduli! dia sendiri juga sedang tidak dalam pikiran yang benar, dia sedang kesal saat ini."Beb!" seru Amela. "Kamu itu ya, aku udah telpo-eh?" Amela yang awalnya ingin marah, terdiam setelah menemukan dirinya dipeluk oleh Devin. 'EH!!'***Gue tertawa dengan bebas, sampai melihat kedatangan Amela. Tanpa pikir panjang, gue melesat ke depan, segera memeluk bintang keberuntungan gue itu."Hahaha... Amelaku tersayang! Yang cantik! Yang manis! Yang imut! Yang gemes!..." Gue yang terjebak dalam euforia kebahagiaan, tak bisa mengontrol diri saat gue memeluk erat wanita ini, dan berputar sambil menyerukan kata-kata memalukan.Disisi lain, Amela yang terjebak dalam dekapan Devin, hanya bisa meronta. Dia ingin melepaskan diri, namun pacarnya memeluknya terlalu kuat, membuat tubuh mereka terjalin erat. Meski ada sensasi kenyamanan tertentu, dia tetap merasa malu, bagaimanapun, mereka tidak sendirian disini, teman pacarnya sedang duduk menatap mereka!Lebih dari itu, seruan Devin juga hanya menambah rasa malunya, wajahnya memerah. Di saat dia merasa sudah dalam puncak rasa malunya, Devin mengatupkan kedua pipinya, mengangkat wajahnya, membuatnya melihat wajah pacarnya yang hanya berjarak beberapa inci. Dia menatap mata hitam yang penuh binar pacarnya dan melihat mulutnya terbuka saat dia berbicara dengan gemas. "I love you so so so much..."Buk! Amela meski belum pernah mengalami serangan jantung, dia yakin bahwa yang dia rasakan saat ini tak berbeda dengan itu, bagaimanapun, jantungnya berdetak sangat cepat seolah akan meledak! Mendapatkan serangan kuat seperti ini, Amela hanya bisa menatap terpesona pacarnya dengan wajah semerah kepiting rebus. Namun, momen intim ini harus diakhiri karena..."Ehem." Lintang berdehem dengan canggung. "Tolong ya, ini bukan Hotel, dan saya juga bukan nyamuk, jadi tolong kondisikan diri kalian."Mendengar teguran Lintang, gue tanpa sadar melepas pelukan, membuat Amela mundur selangkah, gue meliriknya, melihatnya menatap ke arah lain, seolah menghindar untuk melihat kesini. "Kamu baru dateng Mel?"Amela spontan berbalik dan berseru. "Iya! aku udah telpon kamu dari tadi, tapi nggak di angkat." Detik berikutnya, pipinya merona, dengan cepat dia berbalik lagi, menghindari tatapan pacarnya."Haha... maaf ya, aku kurang fokus hari ini," kata gue dengan riang.Amela awalnya kesal saat dia mendengar permintaan maaf yang tidak niat itu, tapi mengingat momen barusan, emosinya menjadi kacau. 'Amela! kamu harus marahin dia! dia udah bikin kamu nunggu lama, ayo Amela Asadel! kamu pasti bisa!' Iblis hatinya berseru memberi saran. Disaat yang sama, hati Malaikatnya muncul dan berkata. 'Nggak Amela, maafin aja, pacar kamu udah nunjukin betapa cintanya dia sama kamu, coba kamu ingat lagi momen barusan.' pikiran itu membuat Amela kembali mengingat kejadian barusan, membuat hatinya mekar seolah dipenuhi taman bunga di musim semi, rona di pipinya semakin parah. Dia akhirnya membuat keputusan: Ayo kita maafin dia untuk kali ini, aku ulangi, cuma untuk kali ini! hal-hal penting harus diucapkan dua kali!"Oke, aku maafin, tapi cuma buat kali ini aja ya?" kata Amela, menjulurkan jari kelingking. Gue terkekeh melihatnya, tapi tetap menjulurkan jari kelingking gue, menautkan jari kelingking kami, seolah menyegel janji. Di saat situasi menjadi lebih baik, Yuni berjalan masuk dengan tatapan ragu. "Bos Dev," katanya.Gue yang melihat keraguan Yuni, mengerutkan kening. 'Rama lagi?' Terakhir kali Yuni datang seperti ini adalah ketika kedatangan Rama beserta geng berandalannya. Gue bertanya. "Geng motor yang kemarin itu lagi?"Yuni menggeleng. "Bukan Bos, itu... ada orang di depan, bilangnya mau ketemu Bos.""Siapa? Jeni?" tanya gue."Bukan Bos, itu..." dengan ragu, Yuni melanjutkan. "Orang itu ngakunya Ibu... Ibu Devin, Ibunya Bos."Gue membeku mendengarnya, menatap terkejut pada wahyu yang datang, sementara Amela menatap tertarik. Dia belum pernah bertemu dengan keluarga Devin sebelumnya, dia hanya tahu bahwa orang tuanya bercerai dan sibuk dengan keluarga masing-masing, sementara dirinya bisa hidup sendiri dan mulai memutuskan hubungan dengan keduanya, itulah yang Devin ceritakan padanya dulu. Amela tidak mengorek lebih dalam karena tahu bahwa itu adalah topik sensitif bagi pacarnya, namun sekarang dengan kehadiran Ibunya Devin, Amela merasa sedikit bersemangat, "Heh Beb, akhirnya aku bisa ketem-"Amela tak bisa menyelesaikan kata-katanya saat dia melihat raut wajah muram pacarnya, tampak jelas ketidaksenangannya atas wahyu itu. Mengabaikan yang lain, Devin berjalan pergi. Melihat itu, Amela berjalan untuk mengejarnya namun..."Kalian berdua mending tetep disini." Mendengarnya, Amela dan Yuni menatap Lintang yang sebelumnya berbicara. "Biarin aja dia sendiri.""Maksudnya?" Amela bertanya dengan tak senang, dia menatap curiga pada teman pacarnya yang tampak mengetahui sesuatu. Lintang menatap Amela dengan ekspresi tenang. "Ini masalah pribadi, biarin aja dia urus masalahnya sendiri."Jawaban itu justru hanya membuat wajah Amela semakin muram, dia berbalik. "Sorry ya, tapi masalah Devin juga adalah masalah gue." Mengatakan itu, Amela berjalan pergi.Lintang yang melihatnya pergi hanya bisa menghela napas, sebelum mengalihkan pandangan ke jendela, menatap ke luar dengan ekspresi melankolis, entah apa yang dipikirkannya.Yuni yang dari tadi hanya berdiri diam, tampak bingung harus melakukan apa, dia ingin turun kebawah, namun mengingat Lintang juga adalah Bosnya, dia memilih untuk patuh dan tetap disana. Dia tidak ingin dipecat, lagi pula mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah.***Berjalan ke bawah, gue menemukan seorang wanita paruh baya, berdiri melihat-lihat sekitaran Outlet. Hanya ketika kedatangannya, wanita itu menatap padanya dan tersenyum. "Devin, kamu sehat Nak?"Suaranya lembut dan ramah, namun buat gue, itu seperti berisi lusinan pisau tajam, mengiris hatinya dengan kejam. Segera, gue bisa merasakan sensasi rasa sakit yang familiar."Dari mana Mamah tahu Devin disini?" tanya gue muram, bingung karena gue nggak pernah ngasih tahu dia bahwa gue memiliki usaha Clothing, tidak, lebih dari itu, kita bahkan udah lama nggak ada komunikasi apapun.Melihat putranya bicara dengan tak ramah, Denita, Ibu Devin, tampak agak sedih. "Nak, udah lama lho kita nggak ketemu, kamu nggak kangen sama Mamah?""Kangen?" kata gue dengan senyum mengejek. "Kenapa harus kangen, Mamah bukannya lagi sibuk sama Om Arman?"Hati Denita tercekat, dia merasakan sesuatu menyengat hatinya. Tentu dia memahami sumber kebencian putra sulungnya ini. Dia masih berpikir bahwa pilihannya saat itu adalah pilihan terbaik, dia jelas tidak bisa melanjutkan pernikahan dengan mantan suaminya yang telah kecanduan judi dan alkohol, serta sering melayangkan kekerasan padanya. Lebih baik dia beralih kepada pria yang telah banyak membantu dan diam-diam menyimpan perasaan padanya, itulah alasan dia memilih untuk bercerai dan menikah lagi. Tapi sepertinya, ini bukanlah sesuatu yang bisa dimengerti atau setidaknya tidak ingin dimengerti oleh seorang anak. Sebuah kenyataan yang tidak ingin diterima bahwa keluarganya telah hancur."Nak, Mamah kangen kamu, Mamah lihat di Instagram kamu, kalo kamu baru aja sukses sama brand baju kamu itu," kata Denita lembut dengan senyum bangga.Gue yang mendengar itu mengerutkan kening, 'Instagram?' pikirnya. Gue dengan jelas tahu bahwa sama seperti Amela, akun Instagram gue juga dibuat private. Tapi akun itu dibuat sejak lama, sejak zaman sekolah, jauh sebelum gue bertemu Amela bahkan. Dimasa itu, sama seperti anak remaja pada umunya, gue juga ingin mendapatkan banyak followers, sehingga dulu gue membuat beberapa konten kreatif sebelum akhirnya berhenti. Makin dewasa gue mulai menyadari arti pentingnya privasi dan betapa merepotkannya dunia maya, karenanya gue mengubahnya menjadi private. Sejak itu gue selalu mengabaikan lamaran pertemanan dari akun yang gue nggak kenal. Fakta bahwa Ibunya bisa memantau postingan Instagramnya, menunjukkan bahwa dia telah memfollow akun itu sebelum gue jadikan private.Denita melihat putranya tampak sedang berpikir, dia ingin kembali berbicara, hanya untuk menatap ke lain sisi ketika seorang wanita cantik muncul, dia mengenal wanita itu. Berjalan mendekat dia berkata. "Amela ya kan?"Amela yang baru saja tiba, terkejut melihat seorang wanita paruh baya, menyapa dan berjalan mendekat padanya. Wanita itu berambut hitam panjang, dengan pakaian rapi warna pastel dan membawa tas wanita warna hitam. Meski jejak kerutan bisa terlihat yang menjelaskan usianya, masih ada jejak kecantikan pada dirinya. 'Dia Ibunya Devin?' pikir Amela saat dia tersenyum ramah. "Iya Ibu, aku Amela, salam kenal."Denita tersenyum senang, melihat keramahannya, juga fakta bahwa dia memanggilnya Ibu, membuatnya semakin menyukai wanita muda ini. Meski sudah tak pernah ada kontak dengan putranya untuk waktu yang lama. Denita seringkali melihat update status dan postingan di Instagram putranya, dia jelas mengenal wanita ini sebagai kekasih putranya. Terutama setelah videonya yang menari itu menjadi viral, dia tak bisa menahan diri untuk tidak berkunjung. Siapa sangka wanita ini juga akan ada disini, keberuntungan ini membuat Denita berpikir: 'Mungkinkah mereka tinggal bersama?'Pikirannya harus dipotong setelah dia melihat Amela ditarik menjauh darinya. Mengalihkan pandangan, dia melihat putranya menatapnya dengan tak senang sambil mengambil jarak. "Mamah nggak perlu peduliin Devin lagi, Devin bisa urus diri sendiri, jadi mendingan Mamah urus aja itu Om Arman."Amela melirik kesamping, kepada pacarnya yang sebelumnya manariknya menjauh. Dia bisa melihat bahwa ada masalah keluarga yang serius disini. "Beb, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, itu kan Mama-"Amela menghentikan kata-katanya saat dia membeku melihat bagaimana pacarnya menatapnya dengan mata yang dingin. Hanya ada satu momen ketika Devin menatapnya dengan mata itu, itu adalah waktu ketika mereka pertama kali bertemu, bertahun-tahun yang lalu."Nak, walaupun Mamah nikah lagi, kamu tetep anak Mamah, nggak mungkin Mamah nggak peduliin kamu," jawab Denita dengan perasaan tercekat. Putranya tampak benar-benar ingin pergi darinya, sesuatu yang membuat hatinya sakit."Nggak perlu," bantah gue. "Mamah mendingan balik aja ke Om Arman."Melihat betapa keras kepala putranya, Denita menelan kekecewaannya. "Ya udah, kalo kamu masih bisa belum terima Mamah, nggak apa-apa, tapi Mamah akan selalu terima kamu, juga tolong jangan panggil dia Om Arman, dia itu Ayah tiri kamu sekarang.""Cuih..." gue meludah marah saat mendengarnya. "Ayah? Pak Tua sialan licik yang cuma bisa ngehancurin keluarga orang?!" Gue tanpa sadar membentak keras. Membuat keduanya terkejut.Amela menjadi sedikit takut dan khawatir saat melihat bagaimana pacarnya yang biasanya tenang, dewasa, suka bercanda, kini tampak menjadi bringas.Denita juga, selain perasaan terkejut, ada juga rasa marah. "Devin! itu Ayah tiri kamu, kamu nggak boleh ngomong begitu!" Meski dia adalah putranya, Denita tak bisa begitu saja membiarkan suaminya dihina di depan matanya.Gue yang melihat ledakan Ibunya, menjadi geram "Persetan!! Devin lebih suka mati!! dari pada panggil dia Ayah!!" Berteriak keras, gue berjalan pergi keluar Outlet, meninggalkan mereka.Amela melihat kepergian pacarnya, bingung untuk mengejar atau tidak. Namun pada akhirnya, dia memilih untuk tidak mengejar. Devin sedang dalam suasana hati yang kacau, dia butuh waktu untuk sendiri.Disisi lain, Denita, menatap pintu keluar dimana putranya barusan pergi. Setelah menenangkan diri, dia berpikir bahwa dirinya mungkin agak berlebihan saat menegur putranya. Mereka sudah lama tidak bertemu dan pertemuan pertama mereka lagi justru berakhir dengan pertikaian. Denita menghela napas sedih. Berbalik, dia menemukan wanita muda itu berdiri dengan canggung. Denita tersenyum pahit. "Maaf ya, Tante malah jadi bikin masalah."Amela menggeleng. "Nggak Ibu, Ibu nggak salah, itu..." Amela bingung ingin melanjutkan apa, jika Ibunya Devin tidak salah, berarti yang salah Devin sendiri? Tentu dia tidak ingin menitikberatkan kesalahan pada pacarnya. Lagi pula dia tidak tahu apa-apa atas masalah yang terjadi. Denita yang melihat keraguan Amela, menjawab dengan seyum sedih. "Nggak apa-apa, ini emang salah Tante."Mendengar itu, Amela berinisiatif bertanya. "Maaf Ibu, kalo Amela boleh tahu... masalahnya apa ya?"Denita menatap sedikit terkejut. "Kamu nggak tahu?" Amela menggeleng. Melihatnya, Denita menghela napas. "itu..." Saat akan berbicara, Denita kembali terdiam dan berpikir keras, hingga akhirnya dia menggeleng. "Kalo Devin belum mau cerita, berarti dia nggak mau kamu tahu... Hubungan Tante sama dia udah cukup buruk, dia mungkin jadi makin benci sama Tante kalo Tante kasih tahu kamu," katanya dengan senyum sedih. "Nanti kamu tanya dia langsung aja ya, Tante lihat kamu deket sama dia, jadi harusnya dia bisa lebih terbuka sama kamu, juga terakhir..." Denita berjalan mendekat, memeluk Amela dan berbisik. "Tante nggak keberatan kalo kamu jadi sama anak Tante."Mendengarnya, wajah Amela memerah, dia tertunduk malu. Melihat itu, Denita terkikik, dia mencubit pipi wanita cantik itu. "Ya udah, segitu aja, Tante pulang dulu ya, Tante titip Devin sama kamu ya." Mengatakan itu, Denita berjalan keluar. Meski pertemuannya dengan putranya berakhir dengan buruk, tapi setelah melihat sendiri bagaimana kekasih putranya, dia tahu jika anaknya berada di tangan yang tepat.Berjalan keluar Outlet, Denita menatap langit cerah, berdoa agar putranya bisa memiliki kehidupan yang baik, terlepas putranya membencinya atau tidak, dia hanya ingin anaknya hidup bahagia. Berpikir demikian, Denita berjalan pergi.Amela berdiri diam, melihat Ibu Devin yang baru saja pergi. 'Aku harus tahu masalah keluarga Devin,' pikirnya dengan serius. Tidak ada jejak canda di raut wajah Amela saat ini, dia dengan jelas memahami bahwa masalah yang dialami pacarnya bukanlah hal yang sederhana, melihat bagaimana Devin yang biasanya tenang, dewasa dan penuh humor, kehilangan kendali atas emosinya, menunjukkan seberapa besar masalah yang dimilikinya.Sebelumnya, Ibu Devin berkata bahwa dia harus menunggu sampai Devin secara sukarela berinisiatif terbuka untuk menceritakan masalahnya. Namun Amela, tidak ingin menunggu selama itu, dia tidak tahan melihat orang yang dicintainya menyimpan luka di kedalaman hatinya, itu bukan sesuatu yang ingin dia lihat. Devin telah menyembuhkan luka masa lalunya bertahun-tahun yang lalu, kini waktunya dia untuk melakukan hal yang sama.Berpikir demikian, Amela menatap ke atas. Sepertinya ada satu orang lagi yang mengetahui masalah pacarnya. Dengan wajah serius, Amela berjalan ke lantai atas.