Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 9 - Bab 9. Angst Clothing

Chapter 9 - Bab 9. Angst Clothing

"Kita buat versi warna baru lagi aja kali ya," kata gue, Berdiri di samping Bagas, melihat kepada t-shirt baru yang akan dijualnya.

"Boleh, nanti desainnya di update lagi," kata Bagas, sebelum bertanya. "Tulisan yang di belakang nggak di kasih tagar juga?"Gue berpikir sejenak sebelum menggeleng. "Nggak perlu, didepan aja udah cukup." Bagas mengangguk, melihat lebih baik kepada produk baru yang mereka hasilkan.Itu adalah kaos t-shirt dengan bagian depan bertuliskan: #brokenhome, disertai quote di belakang bajunya bertuliskan: Rumahku, Kapal Pecahku. Tentu ada beberapa versi lain seperti: #gen-Z atau #myangstlife dan sebagainya dengan quote yang berbeda pula seperti: No Healing No Life, No Angst No Life dan sejenisnya. Tak lupa kami juga membuat beberapa variasi warna berbeda.Gue mengangguk puas dengan hasilnya dan berjalan turun kebawah, meski agak sulit, bagaimanapun, ada banyak paket di letakkan di lantai tiga ini. Mengapa? itu karena lantai dua, untuk sementara telah dikosongkan, tempat itu sedang dirombak oleh Lintang untuk menjadi studio sementara.***Amela turun dari mobil Gocar yang di pesannya, membawa sekotak besar makanan dan menatap bangunan tiga lantai yang familiar. Dia baru saja menyelesaikan kuliahnya hari itu, dan datang kemari untuk memenuhi keinginan pacarnya yang ingin menjadikannya model promosi untuk produk barunya.Meski ini bukan pertama kalinya dia mampir kesini, pikirannya agak terganggu dengan pemikiran tertentu. Menghela napas, Amela berjalan mendekat."Permisi," sapa Amela saat dia berjalan masuk kedalam, melihat pemandangan isi Outlet yang familiar. Sejenak, dia menatap sudut area tertentu, itu adalah backround dari foto mencurigakan yang beberapa hari lalu diterimanya."Selamat data-eh, Mbak Amela?" Yuni yang awalnya bersiap menyapa pengunjung, terkejut saat melihat wajah yang familiar."Halo Yuni," sapa Amela ramah, yang di jawab senang oleh Yuni. Amela cukup sering mampir kesini, dan semua tahu bahwa wanita cantik ini adalah pacar bos mereka Devin. Kedatangannya selalu disambut baik, bagaimanapun, tidak seperti bos mereka yang pelit, pacarnya ini akan selalu membawakan mereka makanan setiap kali mampir."Bawa apalagi nih Mbak?" tanya Yuni tersenyum saat dia melihat kotak besar di tangan Amela."Biasa, ini bagiin buat yang lain ya," kata Amela, menyerahkan kotak itu. Yuni dengan senang menerimanya, dia membukanya dan menemukan Pizza lezat berukuran besar. Mengabaikan Yuni yang menatap penuh keinginan pada makanan yang dibawanya, Amela berjalan masuk, dia ingin langsung naik ke lantai atas, hanya untuk berhenti saat melihat mahluk berkaki empat, berbulu putih dan hitam, itu adalah Maboy.Seolah merasakan tatapan tajam yang di arahkan padanya, Maboy berdiri, menatap sekitar dengan waspada, hanya untuk menemukan seekor betina dari ras manusia menatap padanya. Maboy menatap pada manusia yang familiar itu, dia dengan jelas mengenalnya, dia adalah betina manusia yang suka meremasnya dengan kejam, sederhananya, dia adalah musuhnya!Maboy mengambil ancang-ancang, dia bersiap untuk berlari, tapi sayangnya, jalan untuk keluar adalah dengan melewati manusia betina yang kejam ini, karenanya, dia memberi kekuatan ekstra pada kakinya, bersiap melesat cepat untuk melewati mahluk berbahaya ini.Sementara itu, Amela yang melihat gelagat Maboy yang akan melarikan diri, mengambil sesuatu dari tasnya. Ketika kucing itu melesat melewatinya, Amela segera merobek kemasannya.Maboy yang baru saja berhasil melewati Amela, membeku di tengah jalan saat dia mencium aroma yang sangat lezat. Berbalik, dia menemukan betina manusia menatap padanya dengan seringai di bibirnya. Maboy mengalihkan pandangan pada sumber aroma lezat, itu adalah makanan kucing extra premium yang tak pernah babunya(Devin), belikan untuknya."Meong!""Kesini dulu, baru aku kasih," kata Amela, melambaikan makanan kucing yang dipegangnya."Meong! meong...""Nggak boleh, kamunya harus aku remas dulu.""MEONG!!""Kalo nggak mau ya udah.""Meong! meong!""Tiga jam.""Meong...""Dua jam.""Meong...""Satu jam setengah atau nggak sama sekali.""Meong..." Dengan lesu, Maboy berjalan mendekat. Amela dengan senang memeluknya, sambil memberi makan kucing malang itu.Tanpa diketahui siapapun, ada orang lain yang melihat kejadian aneh barusan, orang itu adalah gue! Melihat kejadian itu, gue tak bisa tidak berpikir. 'Tadi apaan yang gue lihat? percakapan antar spesies? konflik dan kesepakatan antar spesies?' Gue menggeleng dan berjalan mendekat. "Mel, udah dateng?"Amela berbalik dan menjawab dengan canda "Belum, aku masih dijalan.""..."'Apa maksudnya itu, terus siapa yang ada disini? Jin Qorin?' gerutu gue dalam hati. Tentu gue tahu Amela hanya mengolok-olok atas basa-basi barusan. "Aku udah bilang kan, nanti kabarin aja kalo udah selesai dari kampus, biar aku jemput."Amela menggeleng. "Nggak apa-apa, lagian nggak jauh juga dari kampus." Mengatakan itu, Amela menatap Devin. Sudah tiga hari berlalu sejak dia mendapatkan kiriman foto skandal pacarnya, tapi Amela masih belum membicarakannya dengan Devin. Dia merasa bahwa itu terlalu aneh dan mencurigakan. Yang mengirimnya adalah akun tidak dikenal, meski terlihat nyata, bisa saja itu hasil editan. Intinya, terlalu banyak hal yang mencurigakan."Mel? halo?" kata gue, melambai padanya saat melihat wanita ini tampak melamun menatap padanya. "Apa aku seganteng itu Mel?"Amela berkedip, kembali dari transnya. "Heh, ganteng apa? kodok masih lebih ganteng dari kamu," dengus Amela. Wajah gue berkedut mendengarnya, gue berniat membalas namun..."Permisi." Suara lembut wanita terdengar, membuat kami menatap kepada pengunjung baru."Halo, selamat datang Kakak," Yuni menyambutnya dengan ramah. Dia berniat menanyakan apa kebutuhannya hanya untuk terkejut mendengar suara keras dari belakang."D-Dia!" Amela dengan terkejut berseru keras, dia menunjuk kepada wanita yang baru saja masuk kedalam Outlet, itu adalah wanita yang sama didalam foto itu."Mel? kamu kenal?" tanya gue bingung dengan keterkejutannya."Eh? kamu nggak tahu dia siapa?" tanya Amela, menatap pacarnya. Gue menjawab. "Baru kenal sih, dia semacem influencer gitu, weekend kemarin dia mampir kesini untuk buat vlog."Mendengarnya, otak detektif Amela mulai bekerja: Sebelumnya Devin ingin dirinya menjadi model atas produk barunya. Lalu akun tidak dikenal mengirim foto Devin dengan wanita lain. Dan sekarang wanita itu yang ternyata adalah seorang influencer, datang kemari tepat saat mereka akan melakukan photoshoot.Dengan itu, Amela bisa mengambil kesimpulan: Devin membawa tenaga profesional untuk menjadi model juga, yang akan memicu rasa persaingan dalam dirinya, memaksanya tampil dengan serius. Jika benar, maka foto yang sebelumnya itu adalah cara Devin melukai egonya, meski caranya berlebihan, Amela tak bisa tidak mengakui bahwa metodenya benar-benar efektif dalam meningkatkan motivasinya.Merasa bahwa apa yang dipikirkannya adalah sebuah kebenaran, Amela menatap wanita baru itu dengan rasa persaingan, dia berseru didalam hati: 'Aku tidak akan kalah! akan aku tunjukkan model sejati itu seperti apa!!'Sementara Amela sibuk dengan pikirannya, Jeni yang baru masuk kedalam Outlet, terkejut, melihat wanita cantik didekat Devin. Meski ini adalah pertama kalinya dia bertemu langsung dengan wanita itu, dia dengan jelas tahu bahwa dia adalah pacar Devin yang ingin direbut oleh Rama. Lagi pula, dia telah melihat fotonya dari Rama.Jeni menjadi bingung, dia awalnya berniat untuk kembali mendekati Devin, namun sekarang, dengan keberadaan Amela, dia mau tak mau harus mengesampingkan rencananya. Jeni menyapa mereka, sebelum membeli beberapa barang selayaknya pembeli pada umumnya. Dia berniat pergi setelahnya, lagi pula tidak ada yang bisa dia lakukan disini.Setelah dengan singkat menyapa Jeni, gue pergi ke lantai dua bersama Amela. Disana kami bertemu dengan Lintang yang telah mengatur ruangan menjadi studio sederhana. "Gimana? udah oke kan?" tanya gue.Lintang menatap gue, sebelum beralih kepada Amela, dia menyapa sopan sebelum menjawab. "Udah Dev, kita bisa mulai kapan aja."Menganguk senang, gue melirik Amela. "Bajunya ada disana, kamu ganti dulu aja," kata gue, menunjuk rak baju di sisi ruangan. Amela tak memprotes, dia berganti di ruang ganti sederhana yang telah dibuat. Keluar, dia menunjukkan hasilnya. "Gimana?"Membelai dagu, gue tersenyum puas, melihat Amela yang tampak cocok dengan t-shirt Angst yang dibuatnya. "Bagus, kamu cocok pake itu.""Heh, kamu ngomong begitu karena ini produk kamu aja," katanya meledek. Gue mengangkat bahu. "Terserah, emang cocok kok.""Cocokan mana nanti sama cewek yang tadi?" tanya Amela yang membuat gue bingung. "Cewek apa?""Yang tadi, influencer yang kamu undang itu," jawab Amela. Gue mengerutkan kening, tak mengerti apa maksudnya. "Kenapa dia harus pakai kaos itu?""Lho? kamu ngundang dia untuk jadi model juga kan?" kata Amela. "Supaya aku jadi lebih punya motivasi karena ada pesaingnya?"Gue yang mendengarnya malah semakin bingung. "Kenapa kamu pikir dia aku undang untuk jadi model?""Lah? foto yang kemarin itu, kamu yang kirim kan?" kata Amela bingung. "Supaya aku lebih termotivasi."'Foto apa lagi ini?' pikir gue. "Aku nggak inget pernah ngirim foto apapun ke kamu.""Ih yang ini lho," kata Amela saat dia mengambil ponselnya, membuka galeri dan menunjukkannya pada pacarnya.Gue melihat kepada isi ponsel Amela dan terkejut melihatnya. Itu adalah fotonya dengan Jeni beberapa hari yang lalu, ketika dia mampir kesini. Yang membuatnya lebih terkejut adalah kedekatan mereka yang tampak mesra di dalam foto. Siapapun yang melihatnya pasti akan berasumsi bahwa keduanya pasti memiliki hubungan spesial.Segera, otak gue berpikir dengan cepat. Sejak awal gue sudah curiga dengan wanita bernama Jeni itu, dan foto ini jelas adalah bukti bahwasannya memang ada yang salah dengannya. Bagaimana foto ini dibuat serta dikirimkan, jelas bahwa itu ditunjukan untuk membuat Amela salah paham. Dan siapa yang akan diuntungan dalam skandal ini. Mata gue berkilat dingin saat memikirkan satu nama: 'Rama.'"Beb? halo..." Amela memanggil pacarnya yang tampak berpikir keras sambil menatap foto itu. Dahinya berkerut, tampaknya Devin bukan orang yang bertanggung jawab atas pengiriman foto ini. "Ini yang ngirim bukan kamu ya?""Yah bukan dong, aku nggak mung-" Gue yang ingin membantah, berhenti di tengah jalan saat suatu rencana terbesit di otak gue. "Oh iya, ini aku yang ngirim," kata gue.Amela menatap bingung, dia dengan jelas mendengar pacarnya akan membantah sebelum dengan cepat mengakuinya. "Itu yang ngirim kamu atau bukan sih?" tanya Amela dengan cemberut."Iya, ini aku yang ngirim," kata gue tersenyum. "Ini emang supaya kamu lebih semangat aja, lagian makin banyak makin baguskan?"Wajah Amela menjadi muram. "Nggak usah sampe begitu juga kali, aku jadi mikir yang nggak-nggak lho."Gue tersenyum pahit. "Iya iya, maaf ya, aku janji nggak akan ada yang kayak gini lagi," kata gue sebelum melanjutkan. "Ya udah, kamu tunggu disini dulu, aku mau ajak yang dibawah untuk kesini." Mengatakan demikian, gue berjalan meninggalkan Amela, berjalan dengan kilatan dingin di mata.***Jeni berdiri di depan meja kasir, menunggu barangnya di kemas oleh Yuni. Dia sudah membeli beberapa barang dan berniat untuk pergi setelahnya."Jeni," Suara pria memanggil, dan Jeni berbalik untuk menemukan Devin berjalan ke arahnya sambil tersenyum."Iya Dev?" kata Jeni dengan manis. Gue berdiri di depannya, sejenak ada keheningan canggung di antara mereka saat gue hanya diam menatap."Ehem," Yuni berdehem, tampak tak nyaman dengan suasana yang terbangun. Gue terkekeh sebelum berkata kepada Jeni. "Lo ada waktu nggak?"Jeni sedikit memiringkan kepalanya dengan lucu. "Waktu? untuk apa?""Yah... gue lagi mau buat konten untuk promosi produk baru gue, gimana?""Buat konten? maksudnya?" Jeni bertanya bingung. Gue menjawab. "Iya, bikin photoshoot dan joget ala Tiktok gitu sambil pakai produk gue, gimana? gue bayar kok."Jeni terkikik manis sambil menutup mulutnya dengan tangan lembutnya. "Nggak usah dibayar juga kali, anggep aja ini balesan buat yang kemarin." Gue mengangguk. "Makasih ya, kalo gitu ayo ke atas, semuanya udah siap disana."Jeni merasa bahwa ini bisa menjadi kesempatannya untuk menarik perhatian pria itu. Meski Amela ada disana, yang membuatnya tak bisa secara terang-terangan menggoda Devin, Jeni cukup percaya diri dengan pengalaman dalam memberikan godaan secara halus. Berpikir demikian, dia berjalan mengikuti Devin, tak menyadari bahwa pria di depannya sedang menyeringai licik dengan pemikiran: 'Iya, anggep aja ini balesan buat yang kemarin, hehe...'Mereka berjalan ke lantai dua yang sudah dirombak menjadi studio sederhana. Jeni bertemu dengan Amela, mereka berkenalan dengan ramah. Namun, dia merasa agak tak nyaman setelah melihat tatapan persaingan dari wanita itu. Juga, dia sendiri memiliki kecemburuan terhadapnya. Ini adalah wanita yang sedang dikejar oleh Rama, sementara dirinya, yang sudah memiliki hubungan tertentu dengannya tak pernah diperhatikan sebegitu dalam olehnya. Sebagai seorang wanita, mau tak mau perasaan ini membuatnya juga menatap Amela dengan permusuhan. Tentu dia menekan banyak emosinya, bagaimanapun, dia masih harus berpenampilan sebagai wanita sempurna di hadapan Devin.Gue merasa bingung dengan suhu ruangan yang tiba-tiba menjadi lebih panas. Menggelengkan kepala, gue meminta Jeni untuk berganti pakaian menjadi kaos t-shirt Angst. Keluar dari ruangan, kami akhirnya siap memulai photoshoot.Gue meminta mereka untuk berpose di salah satu sisi ruangan dengan latar belakang blue screen, sementara lighting di arahkan guna menambah penerangan. Gue nggak begitu paham soal kamera, karenanya, Bagas turun untuk mengambil alih. Dia dengan antusias mengkoordinir kedua wanita itu untuk berganti-ganti pose. Gue terkekeh saat melihat ekspresi jengkel Jeni saat diatur oleh Bagas, sementara yang terakhir dengan senyum konyol menikmati kekuasaannya.Adegan beralih saat kami mulai membuat video pendek. Keduanya melakukan beberapa tarian yang sedang trend di Tiktok. Disaat inilah gue sangat yakin bahwa promosi ini akan sangat meledak, kenapa? karena gue sendiri cukup terhipnotis dengan adegan dua wanita cantik, menari dengan menggemaskan. Tentu, gue hanya peduli dengan pacar gue Amela, sepenuhnya mengabaikan Jeni, yang secara halus juga menggodanya di beberapa kesempatan, seperti tak sengaja melirik dan berkedip padanya, atau menonjolkan aset tertentunya. Yuni ada dibawah, gue dan Lintang lebih dewasa dalam menyingkapi pemandangan ini, hanya Bagas yang tampak seperti seorang idiot, menatap keindahan di depannya sambil menelan ludah dari waktu ke waktu.Hampir satu jam kemudian, kami akhirnya selesai. Keduanya beristirahat, sementara gue datang dan menyerahkan minuman kaleng dan tisu, mengingat mereka sedikit berkeringat."Makasih," kata Jeni, menerimanya. Gue tersenyum ringan. "Tentu, ini cuma bentuk kesopanan dasar."Jeni meminumnya dengan anggun, sebaliknya Amela minum dengan barbar, dia menenggak dan hanya butuh beberapa detik untuk menghabiskannya. "Ahh... puas banget," katanya dengan lega yang membuat gue terkekeh. "Mau lagi?"Amela mengangguk, dan gue memberikan minuman punya gue yang sudah sisa setengah. Amela tanpa ragu atau jijik mengambilnya, langsung menghabiskannya saat itu juga.Jeni menatap Amela. Dia mengingat momen disaat mereka membuat konten Tiktok barusan. Untuk mendapatkan perhatian Devin, dia berniat tampil lebih menonjol ketimbang Amela. Namun, sayangnya entah mengapa, wanita ini selalu meningkatkan permainannya setiap kali dia akan menjadi lebih unggul, seolah dia mengatakan 'Aku tidak akan kalah!' Alhasil, ini membuat keduanya, menari dengan serius, membuat konten yang mereka hasilkan semakin luar biasa.Sikap energiknya itu adalah sesuatu yang cukup mengejutkan baginya, karena meski Amela cantik, dia ternyata tidak sesempurna yang dipikirkannya. Dia awalnya mengira wanita ini adalah tipikal tuan putri lemah lembut yang dicintai oleh para pangeran, itu juga alasan mengapa Jeni membuat citra diri sebagai wanita yang anggun. Tapi sepertinya tidak begitu. 'Mungkin kuncinya adalah menjadi diri sendiri?' pikir Jeni dengan perasaan melankolis. Melihat bagaimana Amela dan pacarnya Devin tampak begitu akrab dia mau tak mau merasa iri. Menghela napas, Jeni bangkit dan bersiap untuk berganti pakaian, namun..."Ambi aja," kata gue. Mendengarnya, Jeni berbalik. "Ambil... kaos ini?"Gue mengangguk. "Iya, ambil aja, nggak apa-apa, lo juga agak keringetan, jadi sayang kalo ganti ke baju sebelumnya, juga..." gue berjalan, mengambil kantung belanja dan menyerahkannya. "Ini ada beberapa t-shirt Angst juga, total ada enam variasi."Jeni menatap sejenak sebelum berkata. "Nggak apa-apa, aku cuma pengen bantu aja kok, nggak perlu-""Udah ambil aja, anggap aja ini oleh-oleh," kata gue sebelum melanjutkan dengan canda. "Atau anggap aja ini semacam penglaris, karena besok kita mulai launching produknya, hehe..."Di saat Jeni tampak ragu, Amela berkata. "Udah ambil aja, jarang banget lho, Devin yang pelit mau kasih barang gratis"Dahi gue berkedut mendengarnya. "Amela sayang, pacarmu ini sangat loyal, tipikal pacar yang sangat Act of Money." Amela yang mendengarnya terkikik. "Oh iya? kalo gitu tolong ajak aku liburan ke Korea dong."Gue mendengus. "Heh, liat aja nanti, pas Angst Clothing ini sukses, kita bakal otw ke Korea, semua sisi Korea kita kunjungi, sampai Korea Utara kalo perlu."Amela tertawa riang dan bertanya. "Ngapain ke Korea Utara?" Gue menjawab ringan mengangkat bahu. "Ngapain kek, nonton rudal nuklir juga boleh.""Hahaha..." Sementara Amela tertawa, gue berbalik menatap Jeni. "Udah ini ambil aja."Mendengarnya, Jeni menatap kepada kantung belanja dan menghela napas. "Oke deh, aku terima, makasih ya."Dengan itu, dia pamit dan berjalan pergi. Baru turun tangga, Jeni bisa kembali mendengar gelak tawa Amela, mereka sepertinya kembali bercanda satu sama lain. Menatap kepada kantung belanja dan mendengar tawa riang Amela, Jeni bergumam dengan nada rendah, "Seandainya Rama juga bisa sebaik itu." Setelahnya, dia berjalan pergi, keluar dari Outlet.Di lantai dua, setelah sebentar bercanda dengan Amela, gue berkata. "Udah sore nih, kamu mau aku anter?""Tapi makan dulu ya?" tanyanya, yang gue jawab dengan anggukan singkat. Dengan itu, gue mengajak Amela makan, sebagai bentuk kompensasi dari usahanya hari ini yang membuat wanita itu senang, sebelum seperti biasa gue mengantarkannya ke Stasiun.