Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 8 - Bab 8. Langit Jatuh

Chapter 8 - Bab 8. Langit Jatuh

Gue berkeringat deras, sementara otot di hampir seluruh tubuh terasa sakit. Dengan satu tarikan terakhir, gue menurunkan barbel tangan seberat lima kilo ke matras lantai."Hah... cukup kali ya," gumam gue terengah-engah, sebelum berjalan ke arah cermin.Saat ini, gue sedang melakukan workout di sebuah Gym. Ini adalah hal yang secara konsisten gue lakukan setiap tiga kali seminggu, yakni setiap hari Selasa, Kamis, dan hari ini, Sabtu.Sampai di depan cermin, gue menatap pantulan yang menampilkan diri sendiri, mengenakan kaos lekbong ketat warna hitam dan celana pendek. Wajah gue sedikit memerah karena latihan sebelumnya, sementara butiran keringat dapat terlihat diantaranya. Gue melihat hasil dari workout hari ini, otot lengan yang terbentuk jelas, otot dada yang terlihat dari dalam kaos, otot paha dan betis yang juga terbentuk dengan baik.Gue biasa menghabiskan waktu satu jam setiap sesi dan melakukan berbagai latihan untuk membentuk otot di masing-masing area tertentu. Semua ini dilakukan tentu demi memiliki tubuh yang bagus. Meski tidak seluar biasa para binaragawan, tubuh gue tetap terbentuk dengan baik dan cukup memberi kesan manly yang kuat. Yah... itu bagus, lagi pula gue sendiri nggak mau punya badan seberotot itu, selain malah bikin serem, pasti susah juga kalo mau garuk punggung. Mengesampingkan pikiran konyol itu, gue berjalan pergi, mengambil ponsel dan air mineral, sebelum duduk dan minum.Setelah memuaskan dahaga, gue melihat kepada ponsel yang menunjukkan pukul delapan pagi. Masih ada dua jam sebelum kencan gue sama Amela. Tak berlama-lama lagi di Gym, gue segera pergi ke Ruko tempat usaha Clothing gue.Memakirkan mobil di halaman bangunan tiga lantai yang familiar, gue masuk kedalam, menemukan isi Outlet dengan jejeran produk fashion."Pagi Mas Dev," sapa Nathan, sebagai orang pertama yang melihat kedatangan gue. Dilan juga ada disana, dia menyapa yang gue balas dengan anggukan singkat.Karena ini adalah weekend, Lintang dan Yuni tidak hadir, sebaliknya, dua siswa magang inilah yang datang. Seharusnya weekend akan menjadi hari libur untuk semua, namun semenjak Bagas tinggal disini, Outlet ini jadi buka setiap hari. Sungguh menyenangkan memiliki budak korporat yang rela bekerja setiap hari tanpa kenaikan gaji.Gue berbincang sebentar dengan Bagas sebelum bersiap pergi kelantai atas, namun..."Permisi," suara wanita terdengar, membuat gue dan yang lain, melihat ke pintu masuk Outlet, menatap kepada pengunjung baru.Dia adalah seorang wanita yang tampak berusia pertengahan 20, dengan rambut panjang hitam bergelombang dan mata hitam. Wajahnya cantik dengan bulu mata yang lebih lentik, alis tebal dan bibir merah menyala. Sayangnya, meski tampak natural, gue masih bisa mengidentifikasi bahwa itu merupakan hasil dari sedikit riasan wajah. Dia datang mengenakan pakaian gaun warna hitam yang indah.Kami berempat melihatnya masuk, berjalan sambil melirik kesekitar Outlet. Sementara yang lain masih menatap terpesona, gue dengan santai menjamu. "Halo Kakak, perlu apa ya?" sapa gue ramah.Dia berbalik, menatap kesini. Kepalanya agak dimiringkan saat dia melihat gue, menonjolkan kesan kelucuan tertentu. "Oh ya, aku lihat di Instagram bajunya bagus-bagus, jadi aku mau cek langsung ke tokonya, kebetulan deket," jawabnya."Ohh... boleh kok, nanti kasih tahu aja mau pilih yang mana. Juga kita ada promo untuk pembelian beberapa produk sekaligus," kata gue, tak lupa menawarkan promo harga bundle yang sebelumnya telah gue dan Lintang atur."Wihh... boleh banget!" katanya antusias.Gue meminta anak magang untuk mengurusnya. Tidak ada urusan lagi, gue berbalik untuk pergi ke lantai atas, namun..."Sebentar," katanya segera, ketika dia melihat gue bersiap pergi. Wanita itu mengambil ponselnya, dan berkata dengan manis. "Kebetulan aku Influencer, boleh Ngevlog disini juga nggak?"Senyum indah dari paras cantiknya, cukup untuk membuat para bujangan di toko ini merasakan pukulan telak di hati mereka. Tentu, gue adalah orang yang paling tidak terpengaruh. Gue bersiap untuk menjawab, namun..."Boleh banget Kak!" jawab Bagas penuh semangat, dia segera berjalan cepat mendekat sambil merapikan rambut gondrongnya.Bertolak belakang dengan antusiasme Bagas, wanita itu tampak agak muram, sebelum dengan cepat kembali ke sikap anggunnya. Tapi momen singkat barusan dengan jelas gue perhatikan. Melihatnya, gue berpikir: 'Pemain?'Ada semacam aura unik dari wanita ini. Meski menampilkan citra diri yang anggun dan manis, ada kesan kenakalan tertentu didalam sikap alaminya. Sebuah pesona yang menunjukkan kualitasnya sebagai wanita yang berpengalaman. Namun, masih agak aneh kenapa dia menampilkan citra yang bukan dirinya. Tapi gue nggak berpikir lebih jauh. Setiap orang punya rahasianya masing-masing, termasuk gue sendiri. Tak aneh melihat seseorang yang menampilkan sesuatu yang bukan dirinya di depan publik. Itu bukan urusan gue, dan gue nggak tertarik untuk tahu.Memberi anggukan kepada Bagas, gue bersiap untuk pergi, namun..."Bentar," Wanita itu memanggil. "Kalo bisa sih sama ownernya juga, karena sekalian mau tanya-tanya, boleh nggak?" katanya dengan sanyum malu-malu yang membuat Bagas tersenyum konyol.Gue agak bingung mendengarnya. 'Gimana dia tahu kalo gue ownernya?' Sebuah kecurigaan terbentuk di pikiran gue. Berpikir dengan hati-hati, gue akhirnya mengalah. 'Mari kita lihat kemana ini akan menjadi,' gumam gue dalam hati."Boleh kok," kata gue dengan senyum ramah."Ah ya, anyway... aku Jeni" katanya sambil menawarkan jabat tangan. Gue dengan sopan menjabat tangannya yang lembut. "Devin.""Ah ya, gue Bagas." Tepat setelah gue berjabat tangan, Bagas datang menawarkan diri, yang dijawab singkat oleh Jeni tanpa menerima jabat tangannya. "Jeni."Gue terkekeh didalam hati setelah melihat raut wajah kecewa Bagas. Selanjutnya Dilan dan Nathan juga mengenalkan diri. Mereka meski terpesona, tidak terlalu antusias seperti Bagas, karena selain perbedaan usia yang cukup jauh, mereka juga masing-masing memiliki pacar di sekolah. Hahh... anak zaman sekarang, sekolah bukannya belajar malah cinta-cintaan.Dengan itu, wanita bernama Jeni membuka kamera ponselnya dan melakukan vlog, memperlihatkan produk, suasana Outlet dan juga mereka yang bekerja didalamnya. Terkadang dia akan mengobrol dengan kami, lebih tepatnya gue. Dan meski seringkali Bagas mencoba untuk mendapatkan lebih banyak perhatian, wanita ini hampir selalu mengabaikannya sebelum kembali bicara dengan gue. Sungguh bajingan malang.Gue nggak terlalu peduli dengan sikap pilih kasihnya, hanya berharap agar wanita ini akan membayar barang yang ingin dibelinya, tidak menukarnya dengan jasa influencenya. Persetan dengan jumlah followers anda! kalo mau beli ya bayar!Setelah setengah jam, Jeni akhirnya mengakhiri vlognya, dia berkata dengan manis ke gue. "Makasih, ini bisa jadi bahan konten yang bagus.""Oke, nggak apa-apa," jawab gue, sebelum bertanya dengan senyum menggoda. "Nggak sekalian beli juga nih?""Oh iya," jawabnya, memukul ringan kepalanya dengan imut, sebelum memilih beberapa barang. Bagas dengan senang hati mengurus pesanannya, dengan rapi membungkusnya."Eh kita foto dulu yuk." Jeni menawarkan kami untuk berfoto. Karena tidak ada yang memprotes, akhirnya kami berlima melakukan selfie."Ah, aku mau selfie juga sama ownernya," katanya menatap gue, yang dengan ringan gue terima.Jeni mengangkat tangan yang memegang ponselnya tinggi-tingi, sementara gue berdiri di sampingnya, tersenyum tipis. Sedetik sebelum dia menekan tombol, dengan cepat Jeni melingkari tangannya ke tangan gue, mendekatkan tubuhnya ke gue seraya tersenyum manis.Wajah gue agak berkerut karenanya, tapi kamera telah memotret momen disaat gue masih tersenyum tipis, sementara Jeni dengan mesra mendekap kepadanya. Itu adalah tindakan yang kurang sopan menurutnya, tapi gue tidak menunjukkan ketidaksenangan itu diluar, lagi pula orang ini akan segera pergi.Jeni agak linglung sejenak. Saat dia mendekap Devin, hidungnya mencium aroma maskulin yang kuat. Jantungnya sedikit berdetak kencang karenanya. Feromon pria ini benar-banar sesuatu. Meski begitu, dia tak menunjukkan anomalinya diluar."Fotonya bagus, makasih ya!" katanya dengan gembira. "Ini nanti aku publish dan tag di Instagram ya." Mengatakan itu, Jeni pergi keluar dengan barang belanjaannya.Ada perasaan senang yang aneh saat gue melihatnya pergi. Berbalik, gue bersiap pergi ke lantai atas, untuk mandi dan bersiap atas kencannya, hanya untuk terkejut melihat Bagas yang berdiri membeku, menundukan kepalanya sambil mengulang-ulang gumaman selayaknya kaset rusak. "Gue juga mau foto bareng."***Jeni berjalan pergi menjauh dari Ruko dimana toko Devin dibuka. Dia memesan Gocar. Didalam mobil, dia memeriksa kembali galeri ponselnya, dan menghapus beberapa foto dan video, terutama yang berkaitan dengan Bagas. Jika seandainya Bagas tahu akan hal ini, dia mungkin akan mulai mempertanyakan arti keberadaaanya.Setelah perjalanan selama 15 menit, Jeni turun dari mobil yang dipesannya, berjalan ke bangunan besar Showroom tempat Rama berada. Masuk kedalam, dia segera menemukan Rama bersama yang lain sedang berkumpul di salah-satu mobil sport. Dia mendekat ke mereka dan berkata. "Ram, ayo."Rama menatap sejenak, sebelum beranjak pergi, berjalan lebih dalam ke bangunan Showroom. Mengesampingkan bagaimana yang lain menatapnya dengan senyum penuh makna, Jeni pergi mengikuti Rama. Sesampainya di tempat yang agak terpencil, Rama bertanya. "Gimana?"Jeni mengeluarkan ponselnya, "Gue dapet footage yang bagus," katanya, menunjukkan foto dirinya yang sedang selfie mesra dengan Devin. "Lo bisa pake ini, atau lo mau edit dulu biar lebih sesuai yang lo mau juga bisa, terserah lo."Rama mengambil ponsel Jeni, menatap baik-baik foto. "Oke, lo bisa kirim ini," katanya sebelum menyerahkan kembali ponselnya.Mengambilnya, Jeni langsung mengirim foto tersebut. Sejenak ada keheningan canggung di antara mereka setelahnya, sebelum dipotong oleh Rama. "Lo tahu ini belum selesaikan?"Jeni mengangguk. "Iya, gue tahu ini masih kurang, gue bakal coba cari cara untuk deketin dia."Meski mengatakan demikian, ada perasaan ragu di benak Jeni. Bagaimanapun, sebagai seorang wanita yang berpengalaman, dia telah banyak bertemu berbagai macam pria. Dan dari situ Jeni tahu bahwa Devin bukanlah pria yang mudah di taklukan. Dia bukan pria yang berpikir menggunakan selangkangannya.Tapi godaan uang sepuluh milyar terlalu besar untuk diabaikan, dia akan tetap berusaha, lagi pula tujuannya adalah untuk merusak hubungannya dengan pacarnya bukan benar-benar menggantikannya. Menggantikan? Sejenak kata itu membuatnya mengingat aroma maskulin Devin, yang seketika detak jantungnya kembali meningkat. Jeni dengan cepat menggeleng untuk menjernihkan pikirannya.Rama mengangguk, sebelum pergi tanpa mengatakan apapun. Dia bersiap untuk menjalankan rencananya. Sementara itu, Jeni yang ditinggal sendiri, menatap punggung Rama dengan perasaan campur aduk, sebelum beranjak pergi ke arah yang berlawanan.Di jalan, Rama membuka ponselnya dan melihat foto yang baru saja dikirim. Rama tersenyum dingin, tapi detik berikutnya dia mengerutkan kening, entah mengapa, melihat keduanya berfoto mesra membuatnya agak tak nyaman. Dia berhenti dan berbalik, hanya untuk melihat Jeni yang berjalan menjauh. Dia menatap sejenak wanita itu, sampai sepenuhnya menghilang dari pandangan, sebelum berbalik dan pergi.***Menghabiskan beberapa waktu di tempat kerja, gue akhirnya bersiap untuk menjemput Amela. Seperti biasa, kami akan menonton, makan dan jalan-jalan di sekitaran kota. Dan selama itu, seperti biasa pula, Amela tidak akan berhenti membicarakan cerita Angstnya.Saat ini, sudah sore, sekitaran pukul 14:30. Kami tengah duduk di area Cafe yang menyediakan area outdoor. Duduk di kursi kayu, meja bulat kecil di antara kami dengan beberapa minuman dan camilan di atasnya serta ada payung besar sebagai atap kami. Gue fokus kepada isi ponsel sampai..."Beb! denger nggak sih kamu, lihatnya hp terus ah," Amela memprotes, pacarnya ini lebih banyak memperhatikan ponselnya lebih dari biasanya.Mendengar itu, gue tersenyum kecut. "Sorry Mel, ini ada sedikit urusan kerjaan," jawab gue.Setelah memasang iklan di platform Tiktok, gue jadi lebih sering melihat dashboard yang menampilkan data statistik iklan dan penjualan toko online dari usaha Clothing gue. Lagi pula, sulit untuk mengalihkan pandangan pada arus penjualan yang terus mengalir. Melihat semua uang yang masuk, memberi gue hiburan tersendiri."Hmph... katanya kamu nggak sibuk, gimana sih?" tanya Amela cemberut, yang gue jawab. "Nggak apa-apa, yang penting aku dengerin kamu kok.""Oh iya?" Amela mengangkat alisnya. "Coba, emangnya tadi aku ngomongin apa?""Kamu barusan cerita tentang novel Angst yang kemarin kamu baca," jawab gue. "Katanya ini tentang perempuan yang nikah sama cowok, tapi cowoknya punya selingkuhan, dan si perempuan ini mencoba tetap bertahan..."Sementara gue memberikan penjelasan singkat, Amela akan mengangguk-anguk dari waktu ke waktu, seolah sedang menilai kebenarannya. Cerita ini sederhananya tentang permasalahan kehidupan pengantin baru. Menceritakan pria bajingan idiot, yang berselingkuh terang-terangan di depan istrinya, dan si istri yang tak kalah idiotnya, karena masih mencoba bertahan. Ini mungkin terdengar kasar, tapi ayolah... siapa orang waras yang akan melakukan itu semua?!Ada juga momen dimana si istri mengalami kecelakaan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk menyudahi hubungan yang hanya memberinya rasa sakit, keputusan bagus yang gue setujui. Tapi pada saat yang sama, si suami tampaknya mulai menaruh hati pada istrinya sejak insiden kecelakaan itu. Alhasil situasinya jadi terbalik! antara si istri yang ingin pergi, dan si suami yang ingin bertahan. Sungguh kehidupan penuh drama yang menjengkelkan!Selesai menjelaskan, gue berkata. "Lihat kan? aku udah bilang, aku denger semua cerita kamu.""Kamu bener," Amela mengangguk setuju. "Menurut kamu gimana ceritanya Beb? sedih kan?"'Tentu tidak,' sejenak secara spontan gue ingin menjawab seperti itu. Tapi, mengetahui wanita di depannya tidak menginginkan kebenaran, melainkan pembenaran, gue menjawab. "Iya, sedih banget, siapapun yang denger cerita itu pasti bakal terharu, termasuk Maboy."Wajah Amela sedikit muram, dia merasa pacarnya sedang mengolok-olok. "Sejak kapan kucing ngerti cerita Angst?!" Amela mendengus.Gue terkekeh. "Jangan salah lho, Maboy itu kucing yang pinter, tapi yah ceritanya emang sedih sih," kata gue, berharap meredakan kekesalannya."Iya sedih, tapi kurang," kata Amela menghela napas kecewa. "Kalo seandainya aja dia mati waktu kecelakaan, si suami pasti bakal lebih menyesal, coba aja begitu, ceritanya pasti jadi Angst parah."Dahi gue berkedut saat melihat kekecewaan di raut wajahnya. 'Apa dia ingin karakter utama wanita tewas demi kepuasannya atas cerita Angst? Dasar psikopat!!' jerit gue dalam hati, merasakan hawa dingin di punggung."Yah... aku akan kasih rate 4.5/5 aja untuk novel ini." Mengatakan itu, Amela mengeluarkan buku novelnya, meletakkannya di atas meja, dan mengambil beberapa gambar sebelum mempublishnya di Instagram.Melihat ini, gue baru teringat, bahwasannya Amela juga adalah sesuatu yang disebut Bookstagram, sebutan bagi mereka para book lovers yang suka memposting review buku bacaan mereka. Cuma bedanya cewek gue ini hanya membahas genre Angst saja dan tidak yang lain."Kamunya nggak ikut foto juga?" tanya gue, tersenyum menggoda. Amela yang mendengarnya cemberut sebal. "Kenapa kamu nanya? kamu juga tahu alasannya."Gue terkekeh, memang benar, sekitar setahun yang lalu, Amela masih memposting foto selfie dirinya dengan buku-buku favotirnya. Namun seiring waktu, followersnya meningkat pesat. Kedengarannya bagus bukan? tapi itu belum semua, karena bagaimanapun, sejak itu mulai banyak bermunculan komentar-komentar vulgar yang membicarakan kecantikannya. Hah... dasar Netizen Negara Konoha, SDM anda dipertanyakan disini.Sejak itulah Amela tidak pernah memposting dirinya lagi, hanya buku yang direviewnya. Tentu dia memiliki akun personalnya, namun itu di atur menjadi private, sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya.Sementara Amela sibuk membuat postingan review bukunya, gue sibuk melihat arus penjualan. Gue begitu fokus sampai tersentak kaget ketika Amela tiba-tiba mengambil ponsel gue."Apa sih yang kamu lihat dari tadi, kok serius banget," katanya dengan penasaran saat dia melihat isi ponsel, hanya untuk bingung ketika dia melihat sekumpulan grafik dengan angka-angka. "Beb, ini apa?""Ini data statistik penjualan toko online aku," kata gue, mengambil kembali ponsel. "Baru-baru ini aku pasang iklan untuk nambah penjualan, terutama buat nanti event 11:11."Amela mengangguk, tapi masih bingung. "Terus kenapa dilihat melulu? emang kalo dipelototin hasilnya jadi nambah?"Wajah gue sedikit berkedut mendengarnya, gue dengan jelas tahu kalo apa yang gue lakukan agak bodoh. Lagian mau di pantau atau nggak, tidak akan ada pengaruh apapun. "Nggak sih, tapi enak aja lihat semua orderan yang masuk."Amela sedikit memiringkan kepalanya, tampak berpikir, sebelum matanya berbinar senang. "Aku tahu gimana caranya biar orderan kamu makin banyak."Dengan tertarik gue bertanya. "Oh, gimana tuh?""Buat cerita Angst!!" katanya dengan gembira, sambil menghempaskan tinju ke udara.Melihat itu, antisipasi gue seketika lenyap, 'Seharusnya aku tahu itu!' pikir gue. Ini bukan salah Amela, ini salah gue karena memiliki ekspetasi berlebih.Melihat wajah pacarnya yang seperti balon kempes, Amela berkata. "Aku serius tahu, kamu bikin konten Angst aja."Mengela napas, gue menjawab. "Amela sayang, kamu tahu nggak bisnis pacarmu ini apa?""Eh, Industri Garmenkan?" katanya dengan senyum lucu. Gue yang mendengar itu, merasa seperti di tampar keras, gue hampir memuntahkan seteguk darah, tentu itu hanya ilusi, tapi rasanya seperti nyata!Melihat ekspresi pacarnya yang seolah baru saja menelan kotoran, Amela tak bisa menahan tawanya. Gue menatap cemberut kepada wanita yang sedang mengolok-oloknya. Gue mengambil minum, menatap jauh ke lain tempat dengan perasaan kesal.Melihat wajah cemberut pacarnya, Amela berkata untuk meredakan kekesalannya. "Ih aku serius tahu, kamu buat aja konten Angst, pasti rame deh.""Bisnis aku itu Clothing Mel, bikin baju, bukan cetak buku," kata gue dengan perasaan yang masih kesal."Kalo gitu kamu bikin baju Angst aja.""Baju Angst gimana? mana ada orang nangis cuma karena baju.""Ya buat aja baju yang ada cerita Angstnya, siapa tahu itu relate sama banyak orang, terus mereka beli deh."Gue awalnya ingin langsung membantah, sebelum merasa tertarik dengan konsep itu. Gue berpikir sejenak, menyadari bahwasannya memang orang cenderung tertarik pada sesuatu yang relate dengan mereka, sesuatu yang menjadi ciri identitas mereka. Contohnya para pelaku Startup atau komunitas yang membuat t-shirt mereka sendiri, guna meningkatkan rasa kepemilikan pada setiap anggota. Atau dalam kasus Amela, sebuah kaos yang bertuliskan quotes sedih tertentu membuat orang yang pernah mengalaminya merasa relate dengan itu. 'Bukankah ini mirip dengan politik identitas?!' Mata gue berbinar saat sebuah ide terbesit di kepala gue."Beb? kamu kenapa," tanya Amela bingung. Pacarnya seketika terdiam dan tampak berpikir keras sebelum raut wajahnya menunjukkan emosi antisipasi yang kuat, seolah baru saja mendapatkan wahyu dari langit."Amela sayang," kata gue dengan seringai lebar. Amela yang melihat itu tampak khawatir. "I-Iya?""Karena kamu telah membuat Mas Devin yang tampan ini kesel," kata gue sebelum mencondongkan tubuh mendekat dan melanjutkan. "Kamu harus tanggung jawab ya, hehe..."Amela merasa merinding setelah melihat seringai iblis pacarnya, dia mulai menyesal karena mengolok-olok pacarnya sebelumnya. Memang, selalu ada akibat dari setiap tindakan.***Rangkaian Kereta tiba di sebuah Stasiun, beberapa penumpangnya keluar, termasuk seorang wanita cantik yang tampak sedang berjalan kesal sambil ngedumel. "Apa-apaan sih! nanti kamu dateng untuk photoshoot ya? kamu jadi modelnya ya? kamu nanti joget-joget juga ya?"Amela baru saja selesai dalam kencannya Sabtu itu, dan seperti biasa, dia akan minta diturunkan di Stasiun, sehingga dia bisa pulang dengan Kereta. Dia tak bisa tidak mengingat momen terakhir kencan mereka.Pacarnya, Devin, memintanya untuk menjadi model dari sebuah produk yang akan dia buat. Dan lebih dari itu, bajingan kesayangannya itu bahkan telah berjanji akan membuatnya berjoget Tiktok guna meningkatkan popularitas bisnisnya. Memanfaatkan pacarnya sendiri untuk melakukan itu, dasar bajingan!Melangkah dengan kesal, Amela akhirnya keluar dari Stasiun, disana sudah ada orang yang menunggunya, itu adalah supir pribadinya. Amela berjalan dan langsung masuk ke mobil. Sementara mobil berjalan ke kediamannya, Amela membuka ponselnya untuk melihat like dan komen dari postingan review novel Angst yang belum lama ini dia publish.Bermain sosial media sebentar, hingga sebuah notifikasi Whatsapp muncul. Berpikir bahwa itu datang dari Devin, Amela dengan sigap langsung membukanya. Namun, setelah aplikasi terbuka, apa yang dilihat membuatnya membeku.Itu dikirim dari akun yang tidak dikenal, dan apa yang dikirim membuat Amela merasa langit telah jatuh. Itu adalah sebuah foto selfie antara pria dan wanita yang tampak mesra. Amela familiar dengan si pria serta lokasi berfotonya. Itu adalah pacarnya Devin, dan berlokasi di Outlet dari usaha Clothingnya.