Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 7 - Bab 7. Skema Rama

Chapter 7 - Bab 7. Skema Rama

"Jadi, kita bakal tembak Tiktok Ads untuk dua minggu kedepan?" Lintang, yang berdiri disamping gue, bertanya sambil melihat kepada slide presentasi di laptop.

"Begitulah, ditambah sama spesial promo 11:11, ini seharusnya bisa cukup mendongkrak penjualan," jawab gue yang tengah duduk di tempat kerja yang biasa.Saat ini, gue dan Lintang sedang berdiskusi, membuat rencana untuk penjualan kita di bulan ini. Dan seperti biasa, dalam bisnis E-commerce, akan ada event bulanan di tanggal cantik. Misalnya di bulan November ini, akan ada event yang namanya 11:11, dimana banyak platform E-commerce menawarkan promo menarik untuk para konsumen. Memang, umumnya arus penjualan akan berada dalam puncaknya di masa-masa event seperti ini, dan gue jelas tidak ingin ketinggalan momentum itu."Gue yakin, rencana ini bukan cuma kita doang yang kepikiran," kata Lintang dengan ekspresi berpikir. "Kita mungkin butuh value lebih untuk menonjol dari semua kompetitor lain."Gue mengangguk setuju. "Memang, kita harus pikir apa yang bisa bikin kita jadi beda dari yang lain, terutama tanpa harus perang harga."Salah-satu rencana paling sederhana namun efektif adalah dengan menekan harga jual semurah-murahnya. Gue ingin menghidari hal itu. Meski tetap memberikan harga promo, gue ingin itu tidak akan membuat harga jual terlalu anjlok ke bawah. Bagaimanapun, event ini diharapkan akan mendatangkan keuntungan besar. Akan terlalu sia-sia jika banyak produk yang terjual, namun secara keseluruhan keuntungan yang diproleh tak begitu signifikan."Mungkin kita bisa kasih harga bundle?" tanya Lintang. "Kita kasih potongan promo yang cukup gede, tapi cuma berlaku untuk pembelian beberapa produk sekaligus."Mendengar itu, gue berpikir sejenak, sebelum mengangguk. "Boleh tuh, sekarang kita buat rencana aja mau aturnya kayak gimana."Dengan itu, gue dan Lintang menghabiskan waktu untuk membahas promo apa yang akan kita buat, produk mana yang akan kita bundle dan berapa nilai harga beserta promonya. Tak hanya itu, kita juga membahas settingan Ads yang akan kami pasang di platform Tiktok. Semuanya dilakukan sampai tak terasa sudah tengah hari. Di jam ini, Lintang turun kebawah, memberitahukan Bagas untuk membeli makan siang.Sendirian di lantai tiga, gue memeriksa ponsel, dan mengerutkan kening melihat kepada banyaknya notifikasi WhatsApp yang memenuhi top bar ponsel. Gue tentu tahu siapa pelakunya. Dengan helaan napas, gue membuka aplikasi, dan melihat sudah ada puluhan chat dan voice note dari Amela.Mengabaikan chat panjang yang sudah seperti koran itu, gue hanya membuka voice note yang dia kirim."Ugh... Beb! aku bingung mau baca novel Angst tentang anak yang ditindas keluarganya atau istri yang ditindas suaminya, menurut kamu bagusan yang mana dulu?"'Menurutku, lebih baik untuk nggak baca satupun.' sahut gue secara spontan didalam hati. Menggulir layar dan membuka voice note yang lain."Ih gila! anak itu padahal udah berusaha sebisa mungkin lho, seengaknya keluarganya hargai perjuangannya kek!! Lagian emang salah ya punya kekurangan dan nggak sempurna kayak saudaranya yang lain. Bikin sebel deh!!"'Kalo nggak mau sebel, jangan dibaca dong.' Berpikir demikian, gue terus memeriksa voice note lain."Eh eh... apaan nih! setelah si anak kecelakaan dan koma, keluarganya baru sadar atas kesalahan mereka dan menyesal. Mampus!! nyesel sono lo semua, dasar bego!"'Amela, tolong bahasanya dijaga sayang.'"Kurang puas sama endingnya, aku mau baca novel lain aja. Yang ini tentang istri yang ditindas suaminya, kata temen Bookstagram aku, ini sih Angst parah.""Eh, aku baru ngeh lho kalo sekarang udah tengah malem, Ayah negur aku barusan untuk tidur, jadi aku matiin lampu biar dikira tidur, padahal diem-diem aku lanjut baca pakai senter hp, hehe... pinter kan aku Beb?"'Tidak nona, anda durhaka kepada orang tua. terus lanjutkan dan suatu hari anda mungkin akan menjadi batu.'Gue tersenyum, merasakan dorongan untuk mengirim voice note barusan ke Ayah Amela, itu akan jadi pemandangan yang layak dilihat. Terkekeh, gue lanjut mendengarkan voice note lain yang dikirim oleh Amela sejak kemarin.Setelah mendapatkan 40 buku Angst yang dipesannya, tidak ada hari tanpa serangan rentetan pesan yang datang ke WhatsApp gue. Dan keseluruhan pesan itu nggak jauh dari rangkuman cerita + keluhan Amela didalamnya. Chat bertumpuk bagai koran, lusinan voice note, bahkan ada yang sampai berdurasi satu jam! Berbagai hal gila memenuhi WhatsApp gue.Jika ada satu hal yang disyukuri, maka itu adalah fakta bahwa Amela, cukup mengerti untuk tidak menelpon gue di waktu kerja. Umumnya dia hanya akan mengirim chat dan voice notenya. Sementara mereka akan video call di waktu malam, setelah gue selesai dengan urusan pekerjaan. Juga sering kali di saat kita jalan di luar, pembicaraan tak akan jauh dari curhatan novel Angstnya.Meski tampak merepotkan, jauh didalam, gue menemukan penghiburan diri dengan mendengarkan rentetan voice note yang konyol ini. Bahkan ketika kita diluar dan Amela masuk kedalam mode Gramedia Berjalannya, bercerita tanpa rem. Walau tidak menunjukkannya diluar, didalam gue senang melihat dan mendengarkannya. Segala keluhannya, wajah cemberutnya, kata-kata kutukan yang dilontarkannya, sudah seperti percikan api yang menghasilkan dopamin, membuat gue lebih bahagia.Sambil menghabiskan makan siang, gue mendengarkan sisa voice note Amela. Terkadang Lintang akan menegur gue, bertanya kenapa gue tiba-tiba senyam-senyum nggak jelas. Tentu, gue hanya menjawab bahwa gue sedang mendengarkan podcast bergenre komedi. Yaps... curhatan Amela, buat gue setara dengan konten komedi.Tak lama, gue menghabiskan makan siang dan bersiap untuk lanjut kerja. Namun, Yuni, karyawan gue, datang dengan ekspresi khawatir, dia berkata. "Bos Dev, itu... di depan."Merasa sesuatu yang tidak beres, gue bertanya dengan serius. "Di depan kenapa?""Itu... ada sekolompok orang bawa motor, kayak geng gitu didepan." jawabnya.Mendengar itu, gue mengerutkan kening. 'Geng motor?' Tanpa pikir panjang, gue berjalan turun kelantai bawah yang diikuti oleh Yuni. Sampai dibawah, gue menemukan sekelompok pemuda, mengenakan jaket kulit hitam, bergerak di sekitar outlet, melihat dan menyentuh barang-barang. Beberapa dari mereka ada yang memakai bandana di kepala, kalung rantai besi, dan pernak-pernik lain yang tampak menekankan kesan bad-boy mereka, bahkan ada satu orang yang membawa tongkat baseball. Sungguh pemandangan yang mengintimidasi.Gue melihat Lintang dan Bagas yang berdiri mengawasi mereka. Memastikan untuk menunjukkan bahwa mereka tidak terintimidasi dengan kedatangan para berandalan ini. Sayangnya, karena ini adalah hari rabu, karyawan magang gue, Dilan dan Nathan lagi nggak ada disini."Jav, lihat nih, yang ini jelek banget desainnya," kata salah satu dari mereka, kepada temannya yang menjawab. "Yang mana... anjir! sampah banget! coretan di dinding yang gue buat kemarin aja masih lebih bagus hahaha..."Gelak tawa mereka, berhasil membuat gue dan yang lain mengerutkan kening, terutama Bagas. Bagaimanapun, dialah yang mendesainnya."Eh, eh... lo liat deh raknya, keliatannya rapuh banget," kata berandalan yang memegang tongkat baseball. "Menurut lo pada, ini kalo gue pukul langsung patah ga?" Mengatakan itu, dia mengarahkan tongkatnya ke rak dimana banyak baju-baju digantung."Hahaha... gila lo Za, jangankan itu, seluruh toko ini aja bisa ancur cuma sekali tendang, hahaha..."Total ada enam orang dari mereka, mengejek dan menertawai apapun yang mereka lihat disini, persis seperti bajingan klise di novel-novel yang sering Amela ceritakan. Tanpa perasaan takut, gue berjalan mendekat."Permisi bro semua, lagi mau cari apa ya?" kata gue dengan ramah, selayaknya penjual pada umumnya.Mereka sejenak terdiam, menatap kepada seseorang yang tampaknya pemilik tempat ini. Tentu, di awal mereka telah melihat dua orang pria sebelumnya, tapi mereka mengabaikannya. Dan sekarang, ada orang baru yang muncul, dan berani menginterupsi mereka.Si pembawa tongkat baseball yang sebelumnya di sapa Za, berjalan mendekat, berhenti tepat di depan gue. Sejenak ada keheningan mencekam saat dia hanya berdiri menatap tanpa mengatakan apapun.Gue tanpa merasa terintimidasi sedikitpun, berdiri tenang dengan senyum tipis. Gue nggak terlalu khawatir, bagaimanapun, gue nggak sendirian. Dan selayaknya bangunan Ruko pada umunya, tempat ini bukanlah satu-satunya, ada Ruko lain di kiri-kanan yang juga menjalankan usaha masing-masing. Jika seandainya ada keributan, mereka akan menjadi saksi. Ditambah lagi, ada CCTV disini, yang sudah merekam kejadian sejak awal.Senyum Reza melebar, dia mengangkat tongkat baseball ke bahunya. Tentu dalam prosesnya, dia melakukan gaya berlebih, sehingga tampak seperti akan memukul. Sepertinya ini cukup berhasil, mengingat Lintang dan Bagas, tampak akan melesat kedepan, membantu Devin, adapun Yuni, dia sudah menutup wajahnya dengan ngeri. Namun, anehnya untuk Devin sendiri, dia masih tenang, tetap berdiri dengan senyum tipisnya, sesuatu yang membuat Reza agak tak senang."Lo pasti Devin kan?" tanya Reza."Begitulah, gue pemilik toko kecil ini... butuh apa ya bro?" jawab gue dengan ramah, meski di dalam gue berpikir 'Orang ini tahu gue?'.Gue nggak kenal siapa orang ini, dan jika dia langsung menanyakan identitas gue, maka mereka jelas datang secara khusus untuk gue. Dan dari bagaimana etika mereka yang tak ramah, gue bisa mengambil kesimpulan: 'Ada orang yang kenal gue, dan orang itu punya masalah sama gue, dialah yang ngirim sekumpulan idiot ini.' Mengingat akhir-akhir ini gue hanya memiliki masalah dengan satu orang, tak sulit untuk menebak siapa pelakunya."Gue lagi pengen beli baju," kata Reza, melirik ke sekitar outlet, sebelum melanjut dengan cibiran. "Tapi baju yang lo jual jelek banget, keset di rumah gue aja masih lebih bagus.""Hahaha...""Anjir! gila lo Za!""Parah! sumpah! hahaha..."Segera, gelak tawa memenuhi outlet. Bagas sudah melangkah kedepan dengan ekspresi marah, hanya untuk di tahan oleh Lintang, yang meski diluar tampak tenang, matanya tidak menyembunyikan emosinya.Gue yang mengetahui bahwa mereka memang datang untuk memprovokasi, hanya berdiri tenang. Di situasi seperti ini, menjadi marah akan membuat situasi berjalan ke arah yang mereka mau. Gue membuka mulut, bersiap untuk bicara, namun..."Bercanda... ber-canda... hahaha..." sahut Reza, ditemani gelak tawa darinya dan komplotanya."Hahaha... gila! bisa aja lo Za...""Aduh! perut sakit nih cuy! hahaha...""Hahaha..."Meski diluar tampak tenang dan tak terpengaruh, bohong jika mengatakan bahwa gue tidak kesal. Memikirkan bagaimana cara berurusan dengan para bajingan ini, sebuah ide tiba-tiba terbesit di kepala gue. Sudut bibir gue melengkung, dan detik berikutnya, tawa yang bahkan lebih keras dari sebelumnya bergema."HAHAHA!! Anjir!! Lucu banget!! HAHAHA!!" Gue tertawa seperti orang gila, bahkan sampai tersungkur ke bawah, memukul-mukul lantai sambil memegang perut. "Gila!! kok ada sih jokes selucu ini!! HAHAHA!! anjir perut gue sakit banget!! HAHAHA!!...""...""..."Baik pihak Reza ataupun Devin, semuanya menatap kepada pria yang tertawa histeris itu. Dia tampak seperti orang yang kehilangan kewarasannya, tertawa seolah-olah ini adalah hari terakhirnya untuk tertawa. Mereka memiliki satu pemikiran yang sama: 'Apa sekrup di kepala orang ini lepas?'"HAHAHA!! Aduh! kalo bisa selucu ini, kenapa nggak ikut Stand-Up Comedy aja? lucu banget anjir!! auto menang tuh!! Hahaha...""..."Dahi Reza berkedut kesal. Entah kenapa, momentum intimidasi yang sebelumnya terbangun, hancur begitu saja. Lintang yang merasakan intensitas suasana mencekam sebelumnya telah berkurang, tersenyum tipis atas inisiatif teman, sekaligus rekan kerjanya itu."Aduh... aduh, sorry, lucu banget tadi, nggak kuat gue," kata gue, terengah-engah akibat terlalu banyak tertawa, tawa yang dipaksakan tentunya. "Jadi, gimana? apa yang lo butuh bro?"Reza yang menatap tak senang, membuka mulut untuk berbicara, hanya untuk dipotong oleh seseorang."Gue butuh privasi."Mendengar itu, semuanya mengalihkan pandangan ke sumber suara, melihat kepada seorang pria berjaket kulit hitam seperti berandalan lainnya, masuk ke dalam outlet. Gue yang melihat kepada pengunjung baru tersebut, mengerutkan kening. Dia familiar dengan orang ini, jelas, bagaimanapun, bajingan ini mencoba untuk mencuri kekasihnya, dia adalah Rama.Rama berjalan santai, berhenti didepan gue, disamping Reza. Dia tak bicara, hanya menatap. Bosan dengan adegan tatap-tatapan yang mencekam, gue berinisiatif memulai. "Lo mau ngapain disini?"Rama hanya menjawab setelah hening beberapa saat. "Kayak yang gue bilang sebelumnya, gue pengen privasi.""Privasi? maksudnya?" tanya gue."Gue punya urusan sama lo, ada yang harus lo dan gue omongin secara empat mata," jawabnya.Gue menatap Rama dengan curiga, tidak ada hal baik yang akan keluar dari bajingan ini. Karenanya, tidak ada alasan untuk percaya apalagi menerima ajakannya. Gue tersenyum mengejek. "Oh ya? rahasia banget nih? kenapa nggak omongin disini aja langsung?"Rama anehnya tetap tenang. "Lo yakin?" katanya, sebelum mendekat untuk berbisik. "Ini ada hubunganya sama Amela, lo mau hal pribadi ini dibahas disini?"Mendengar itu, gue mengerutkan kening. Jelas, gue tahu bahwa dia membuat keonaran ini karena hubungannya dengan Amela. Apapun rencananya, tujuan utamanya pastilah demi merusak hubungan mereka. Jadi, pada dasarnya apapun yang akan orang ini bicarakan, nggak ada gunanya gue denger, tapi, nggak ada salah juga kalo hanya sedekar bicara. Mengangguk, gue berkata. "Oke, kita bisa omongin ini di kantor gue diatas."Rama mengangguk setuju, dan dengan itu, gue mengatakan kepada Lintang untuk mengurus yang dibawah. Dia mengiyakan dan berbisik ke gue. "Kalo ada apa-apa, lo tinggal ketawa histeris lagi aja kayak barusan," katanya sambil terkekeh.Sudut bibir gue berkedut mendengarnya. Mengabaikan olok-olok Lintang, gue membawa Rama ke lantai tiga, ke kantor gue. Sepanjang jalan, Rama akan melirik kesana-kemari, menatap lantai dua sebagai area gudang dengan banyak paket pesanan, dan lantai tiga sebagai ruang kantor sederhana. Saat berjalan ke meja kerja, Rama berkata. "Gue tahu lo miskin, tapi gue nggak nyangka lo semiskin ini."Wajah gue berkedut kesal, gue membalas "Gue tahu lo bajingan, tapi gue nggak tahu lo sebajingan ini."Kali ini, wajah Rama yang berkedut kesal. Pada akhirnya, gue duduk di kursi kerja yang biasa, sementara Rama duduk didepan, kami dipisahkan oleh meja."Jadi, pembahasan super rahasia apa ini?" kata gue, sebelum melanjutkan dengan nada bosan. "Juga tolong jangan kasih gue omong kosong soal lo nggak pantes buat dia atau semacamnya, gue udah cepek dengernya oke."Rama menatap sejenak, dan tanpa mengatakan apapun, dia mengeluarkan sesuatu dari balik saku jaketnya. Gue agak was-was melihatnya, mungkinkah dia ingin mengeluarkan benda berbahaya untuk mengancamnya? Namun, itu hanya secarik kertas. Rama meletakkannya di atas meja dan berkata. "Ini bisa jadi milik lo."Gue melirik kepada kertas di atas. Sekilas tampak seperti uang, namun itu bukan, itu adalah sebuah cek, cek bank. Dan yang mengejutkan adalah nominal di atas tertulis sebesar sepuluh milyar rupiah!"Maksudnya?" gue bertanya dengan tak senang, gue bisa memahami kemana ini akan menjadi."Kayak yang lo lihat, ini bakal jadi milik lo, uang sepuluh milyar, dan sebagai gantinya," Rama mencondongkan tubuhnya mendekat. "Lo putus dari Amela.""..."Sejenak ada keheningan menyelimuti di lantai tiga bangunan Ruko ini, sebelum digantikan oleh gelak tawa."Hahaha..."Gue tertawa, tidak menyangka perkembangan seperti ini. 'Serius, apa dia bener-bener pikir uang adalah segalanya? segalanya bisa pakai uang?' gue berkata dalam hati."Hahh... lo bener-bener ya..." kata gue, merasa geli pada tawaran Rama. "Gue sebelumnya pernah bilang kan, hubungan gue sama Amela itu bukan materi, apa gue harus buat papan didepan supaya lo nggak lupa?"Anehnya, Rama masih tenang, meski ketidaksukaan dengan jelas terpancar dari matanya. "Semuanya ada harganya, lo tinggal sebutin berapa-""Oke, oke... cukup sampe disini ya," potong gue dengan gusar. "Denger, kenapa lo nggak jadi dewasa aja dan terima kenyataan?""Lo harusnya udah lihat gimana reaksi Amela ke lo, jadi kenapa lo nggak move on aja? percaya deh, ini juga demi kebaikan lo," kata gue.Wajah Rama tampak muram mendengarnya, dia tidak senang dengan nasehat bodoh itu. "Kenapa nggak lo aja yang nyerah? gue nggak tahu berapa lama lo mulai ada hubungan sama Amela. Tapi gue udah bertahun-tahun punya hubungan-""Cukup," potong gue. "Itu cuma masa lalu, yang sekarang ya sekarang. Kenapa nggak lo jadi pria yang gentle aja? lo bisa lepasin dia, relain dia sama yang lain. Lo tahu? katanya puncak tertinggi dalam mencintai seseorang adalah ketika dia bisa merelakan orang tersebut bahagia dengan orang lain. Kenapa lo nggak begitu aja," kata gue dengan senyum kemenangan.Melihat itu, mata Rama berkobar marah, dia mencibir. "Omong kosong! cuma idiot yang bakal percaya itu."Sudut bibir gue sedikit melengkung mendengarnya. Untuk pertama kalinya, gue setuju dengan bajingan ini. Memang benar, buat gue sendiri, kata-kata filsuf mengenai puncak tertinggi dalam mencintai seseorang dengan merelakannya bahagia bersama yang lain adalah omong kosong! Itu hanya pembenaran bagi para pecundang yang kalah dalam perjuangan cintanya."Terserah lo mau terima nasihat gue apa nggak, satu hal yang pasti, lanjutkan ini dan lo cuma akan nyakitin diri lo sendiri," kata gue dengan ringan.Melihat penolakan ini, Rama menatap sejenak, ada keheningan yang tak nyaman karenanya sebelum dia menenangkan dirinya sendiri, sesuatu yang cukup mengejutkan untuk gue yang berpikir bahwa dia akan meledak karena emosi."Oke, itu aja." Mengatakan demikian, Rama mengambil kembali ceknya, berdiri dan berjalan pergi, kelantai bawah. Gue hanya bisa duduk, menatap bingung, sebelum berdiri juga dan turun kebawah.Disana, syukurnya barang-barang masih aman. Meski udara disekitar kental akan permusuhan, tidak ada konflik nyata, kecuali saling melotot satu-sama lain."Gimana Ram, udah kelar?" tanya Reza, memainkan tongkat baseballnya.Rama mengangguk. "Udah, kita bisa cabut sekarang.""Oh bentar, gue mau beli beberapa baju sekalian," katanya sebelum mengambil beberapa barang dan membawanya ke meja kasir. Setelah dibungkus rapi oleh Yuni, gue mengambil paket itu, memastikan orang ini membayar lebih dulu."Totalnya tiga ratus ribu" kata gue, menagih harga.Melihat kehati-hatian gue, Reza mencibir. "Gue pasti bayar, barang murahan lo ini cuma cocok untuk jadi keset gue."Dengan itu, dia membuka dompet, dan mengeluarkan uang kertas pecahan Rp 100.000. Gue memberikan paketnya, namun disaat gue akan mengambil uangnya, Reza melepaskan uang tersebut sebelum gue sempat memegangnya, alhasil, uang itu jatuh ke lantai."Ops... maaf, hahaha..." katanya dengan gelak tawa, yang dilanjutkan dengan ledakan tawa dari teman-temannya, bahkan Rama yang melihatnya, tersenyum mengejek."Hahaha... gila lo Za!""Waduh waduh... sopan sekali kaka, hahaha...""Hahaha"Bagas yang sedari tadi menahan emosi, berjalan dengan gusar. "Bangsat bangsat ini, gue tonjokin juga satu-satu-"Sebelum dia mengambil langkah lebih, gue mengangkat tangan, menghentikan Bagas. Dan dengan santai memungut kembali uang tersebut, sebelum bangkit dan berkata dengan senyum ramah. "Terima kasih atas pembeliannya!"Reza agak tidak senang dengan reaksi sabar itu, tapi dia tidak melanjutkan, bagaimanapun, Rama sudah berjalan keluar, diikuti yang lain. Sebagai tuan rumah yang baik, gue ikut mengantarkan mereka keluar. Disana gue melihat mereka naik ke motor sport masing-masing. Pamandangan ini entah mengapa mengingatkan gue pada kenangan berdarah masa lalu, sebelum dengan cepat gue menyingkirkannya.Melihat kepada gerombolan geng motor ini, mata gue terfokus ke salah-satu orang yang belum pernah gue lihat. Dia adalah seorang wanita, atau begitulah kelihatannya, bagaimanapun wajahnya tertutup oleh helm. Tapi, dari rambut panjang dan tubuh rampingnya, jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita. Namun, dari pakaiannya yang menggunakan jaket kulit hitam yang sama seperti yang lain, jelas, dia adalah bagian dari komplotan Rama.Wanita itu sebelumnya sedang berjongkok, tampak bermain-main dengan seekor kucing, dan yaps, itu adalah kucing gue Maboy. Dia hanya berdiri ketika Rama dan yang lainnya keluar sebelum duduk di kursi penumpang dari motor yang dibawa Rama.'Bajingan ini udah punya cewek?' gue mengerutkan kening melihatnya. Rama mencoba untuk mengambil Amela, dan disaat yang sama dia jalan dengan cewek lain? Bajingan total! Nggak heran Amela sampai putus sama dia.***Sekelompok kendaraan bermotor, meraung dijalanan, melalui jalan-jalan besar kota sebelum berkendara ke sebuah bangunan besar.Total ada tujuh kendaraan. Mereka memakirkan motor di depan bangunan tersebut, sebelum berjalan masuk. Di dalam, mereka disambut dengan pemandangan area luas dan bersih, dengan banyak deretan mobil mewah terparkir disana-sini. Ini adalah bangunan Showroom yang dikelola oleh Rama."Gue nggak ke club dulu malem ini, lo pada duluan aja nanti," kata Rama."Wahh... nggak asik lo Ram...""Iya, sayang banget, DJ Rimex mau dateng nanti.""Cewek-cewek pasti bakal nanyain lo juga nanti..."Rama melihat kepada teman-tidak, enteknya. Komplotannya ini adalah sekumpulan orang-orang yang telah menjadi pengikutnya semasa SMA dulu, dan sekarang. Rama tak mempedulikan protes mereka, hanya berjalan pergi. Namun, ada satu langkah yang masih mengikutinya. Berhenti di lorong, Rama berbalik, melihat kepada perempuan cantik yang mengenakan jaket kulit hitam yang sama dengannya."Lo udah liat dia kan Jen?" tanyanya.Jeni mengangguk, sebelumnya dia juga ikut bersama dengan rombongan Rama, tapi tidak ikut masuk kedalam."Jadi apa yang lo mau gue lakuin?" tanya Jeni.Rama mengambil kertas cek bank sebelumnya dari saku jaketnya. "Ini..." katanya menyerahkan cek itu. "Ini bakal jadi milik lo kalo lo bisa goda dia, dan buat dia jadi selingkuh sama lo."Jeni, mengambil cek tersebut, melihat nominalnya yang membuat matanya membulat terkejut. "Se-sepuluh milyar?!"Rama mengangguk. "Gue mau, gimanapun caranya, lo harus buat dia kepincut sama lo," katanya dengan tegas sebelum berjalan pergi.Ini adalah rencananya yang sebenarnya, untuk membuat skandal antara Devin dengan wanita lain. Dia akan menangkap momen mereka dan mengirimnya ke Amela, untuk membuat hubungan mereka kacau. Mata Rama berkilat dingin saat dia memikirkan rencananya.Jeni menatap kertas cek di tangannya, sebelum melirik kepada punggung Rama yang berjalan menjauh. Ada perasaan kecewa dihatinya. Hubungannya dengan Rama tidak terlalu spesial, mereka hanya sebatas friend with benefit. Meski mereka telah melakukan banyak hal, tapi hubungan mereka tak pernah jelas.Walaupun dia sadar hubungannya dengan Rama hanya karena soal keuntungan, tetap saja, diminta untuk dekat dengan pria lain oleh orang yang sejauh ini dia memiliki perasaan terpendam untuknya, bukanlah pill yang mudah untuk ditelan. Menghela napas, Jeni berjalan pergi, keluar dari Showroom.