Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 6 - Bab 6. Hari Yang Cerah

Chapter 6 - Bab 6. Hari Yang Cerah

Gue sedang duduk di area kerja, di lantai tiga dari Ruko dimana gue menjalankan bisnis clothing, melihat kepada laptop yang sedang memuat laporan keuangan bulan ini.

Besok, sudah mulai memasuki bulan November, masuk kedalam pertengahan kuartal empat di tahun ini. Gue melihat, bahwasannya terdapat sekitar 3.200 penjualan selama satu bulan terakhir. Terdiri dari penjualan produk t-shirt, long sleeve, celana chino, dan beberapa produk tambahan fashion lainnya. Secara keseluruhan, total pendapatannya adalah Rp 336.000.000.Tentu, itu hanya pendapatan keseluruhan, jika kita bicara soal keuntungan, maka itu hanya 30% dari nominal di atas, yakni sebesar Rp 100.800.000. Karena dalam setiap produk yang kami jual, kita sudah atur margin keuntungan di sekitar 30%. Dan angka itu juga bukan pendapatan bersih gue. Bagaimanapun, masih ada biaya operasional, dan gaji karyawan yang harus dibayar.Letak Ruko ini sangat strategis. Berada di pusat kota dan dekat dengan area Mall, serta kampus dan sekolah. Karenanya, gue harus merogoh kocek lebih besar dalam membayar sewa. Umumnya, harga sewa Ruko tiga lantai berada di kisaran 8-12 juta per bulan. Tapi disini, gue harus membayar 25 juta untuk setiap bulannya! Meski hasilnya cukup sepadan, tetap saja Mahal!Tak hanya itu, gue juga harus membayar dua karyawan dengan masing-masing memiliki gaji dua kali lipatnya UMK Jakarta. Ditambah dengan biaya lainnya seperti listrik, air, internet, makan siang, pajak, langganan premium tools-tools software tertentu seperti Adobe, Figma, Mekari Jurnal dan sebagainya, membuat sisa pemasukan menjadi di kisaran 40 jutaan. Nominal inilah yang nanti akan dibagi dua antara gue dan Lintang, yang juga selaku Co-Founder.Jadi, apakah gaji gue untuk bulan ini adalah 20 juta? belum tentu. Meski memang benar, bahwa itu adalah pendapatan bersih gue. Tapi, seringkali gue memasukkan hampir setengahnya ke dalam kas bisnis. Maksudnya apa? Jadi, gue dan Lintang sepakat untuk hanya mengambil gaji seperlunya, dan sisanya kita kumpulkan ke dalam wadah yang akan menjadi dana darurat. Jika entah suatu hari bisnis ini dalam masalah, atau kita mau ekspansi yang lebih besar dan membutuhkan suntikan dana tanpa mengambil pinjaman, kita bisa ambil dari dana darurat itu. Misalnya mobil yang biasa gue bawa, itu dibeli melalui uang kas yang terkumpul.Tidak ada nominal pastinya, antara gue dan Lintang yang di haruskan untuk mengisi kas. Yang jelas, setelah bagi hasil, terserah kita mau taruh berapa. Meski tentu gue dan Lintang cukup solid dengan menggelontorkan sebagian besar gaji kita ke dalam sana. Lagi pula, bukan berarti uang kita tercampur dan menjadi bias kepada siapa kepemilikan uang itu menjadi. Karena meski di satukan, pencatatannya jelas dibedakan, sehingga masing-masing bisa tahu seberapa besar kontribusi satu sama lain.Juga, sebenarnya kami bisa saja menarik kembali uang itu kapan saja selama ada komunikasi yang jelas. Karena pada akhirnya, itu masihlah uang pribadi masing-masing, dan tak salah untuk menariknya kembali jika perlu. Karenanya, uang kas ini juga bisa bersifat tabungan pribadi. Dan untuk menghindari inflasi, kita sudah meletakkan dana ini kedalam sebuah instrumen investasi dengan resiko yang relatif rendah.Gue menatap kepada nominal uang kas yang telah gue kumpulan, dan menemukan bahwasannya itu sudah terkumpul sekitar setengah milyar! angka yang cukup besar, tapi tidak ada ekspresi senang di wajah gue saat menatapnya. Sebaliknya, gue menghela napas dengan kecewa. "Ini terlalu sedikit."Nominal di atas adalah hasil jerit payahnya selama ini, jatuh bangunnya dalam membangun bisnis selama dua tahun terakhir. Ini merupakan hal yang harus di apresiasi, dan faktanya gue sendiri cukup bangga karenanya. Tapi, ada satu kenangan dari kejadian kemarin yang masih membekas dan menjadi pill pahit.'Semua tamu yang di undang disini adalah masyarakat kelas atas, jadi lo nggak pantas buat ada disini.''Lo sama Amela itu hidup di dunia yang beda. Emangnya apa yang bisa lo kasih ke dia hah?! mobil rongsokan sialan lo itu?!''Untuk bikin pernikahan kayak gini aja, butuh budget sekitar lima milyar! dan apa yang bisa lo kasih hah?!'Itu adalah perkataan Rama. Hari ini adalah hari minggu, dan meski sudah sehari berlalu, gue masih nggak bisa melupakan kata-kata itu. Jika ditanya apakah gue merasa tersinggung, maka jawabannya sudah pasti iya. Tapi tentu, itu bukan karena Rama. Lagi pula, bajingan yang hanya menikmati warisan keluarganya, tak pantas dari mulutnya mengeluarkan kata-kata seperti itu, itu tidak apple to apple. Alasan gue nggak bisa melupakannya adalah karena itu merupakan fakta.Gue bukan orang yang mudah tersinggung. Jadi gue nggak terlalu peduli apa yang orang itu katakan. Namun, meski yang mengatakannya adalah seorang bajingan, apa yang dikatakannya tetaplah sebuah realita.Dengan kemampuan finansial gue saat ini, gue nggak akan mampu untuk melaksanakan pesta pernikahan sebesar itu. Dan kenapa gue begitu peduli? Sejujurnya gue sendiri nggak tertarik untuk membuat pernikahan yang glamor. Tapi, bagaimana dengan Amela? Meski gue percaya bahwa dia nggak keberatan dengan pesta pernikahan yang lebih sederhana, bagaimana dengan teman-temannya? Dia tentu akan mengundang mereka, jadi bagaimana tanggapan mereka atas itu? Dari kejadian kemarin antara gue dengan teman-teman Amela, serta interaksi dan pengamatan gue kepada tamu undangan lainnya, ada semacam aturan tidak tertulis yang menyatakan bahwa lo harus memiliki standar tertentu untuk berada di kelompok masyarakat ekonomi atas. Sebuah standar yang belum bisa gue penuhi."Apa yang bisa gue kasih ke dia ya?" gumam gue lemah, memikirkan masa depannya dengan Amela. Bertanya-tanya hal baik apa saja yang bisa gue berikan. Dan tolong jangan romantisasi kemiskinan gue ini. Mengatakan bahwa cinta dan kasih sayang cukup untuk membangun masa depan yang indah. Oh ayolah... kami tidak kekurangan fenomena dimana ada pasangan yang sudah berpacaran selama bertahun-tahun, tiba-tiba putus karena sang wanita telah menemukan pria yang lebih mapan dari pacarnya saat ini. Kami bisa menemukan banyak kasus seperti itu di internet. Tentu, gue yakin Amela bukan termasuk orang-orang itu. Tapi tetap saja, gue masih harus menemukan solusi nyata, bukan solusi sentimental guna mengangkat semangat hidup yang sudah menyedihkan ini. Juga tak perlu untuk menyalahkan kaum wanita, itu adalah insting dasar bertahan hidup, untuk memilih pasangan yang paling bisa menjaga dan memberikan kestabilan hidup.Gue merebahkan diri ke kursi kerja, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiran. Karena gue belum menemukan solusinya, selain untuk berkerja lebih keras tentunya, gue segera mengalihkan perhatian dan mulai fokus pada pekerjaan, menyiapkan dana untuk pengeluaran bulan ini.Dengan itu, gue membayar segala macam layanan bulanan, termasuk mentransfer gaji ke para karyawan. Mengingat gue menggunakan layanan software pengelolaan perusahaan. Hanya butuh beberapa menit saja untuk menyelesaikan segala urusan, termasuk pencatatan keuangan.Selesai dengan itu, ponsel gue yang berada tak jauh dari laptop berdering. Gue tak langsung menjawab, menatap sejenak, sebelum dengan helaan napas, gue mengangkatnya. Ini adalah panggilan rutin yang selalu gue terima setiap hari minggu, dan sayangnya, itu bukan berasal dari Amela."Oke, kayak biasa, nanti saya kesana, makasih Mbak." mengatakan itu, gue segera mengakhiri penggilan. pembicaraannya tak lama memang, karena tidak banyak yang perlu dibahas.Merapikan meja kerja, gue turun kelantai bawah, bertemu dengan pemuda usia awal 20 an dengan rambut hitam panjang gondrong, sedang duduk di kursi dengan laptop di depannya. Dia adalah Bagas, seorang graphic designer, karyawan gue. "Gas, bulan ini udah di transfer ya," kata gue.Mendengar itu, Bagas, menatap gue dan menyeringai konyol seraya memberi salam hormat bendera. "Tararengkyu Bosque!"Gue menggeleng saat melihat antusiasmenya, dan mengalihkan pandangan, menatap dua remaja laki-laki yang sedang merapikan barang-barang di outlet."Dilan, Nathan," panggil gue, membuat keduanya menatap kesini, "Saya mau keluar, nanti buat makan siang, minta sama Bagas aja ya.""Oke Mas Dev," Dilan menjawab sopan."Boleh request makanannya kan Mas Dev, hehe..." Nathan menyeringai.Sebelum gue sempat menjawab, Dilan segera membalas. "Nggak usah cicuh deh, makan aja yang ada."Nathan mengerutkan keningnya dengan tak senang. "Emang kenapa? lagian gue nggak nanya ke lo.""Eh, kita itu cuma magang disini, jadi nggak usah macem-macem deh," jawab Dilan memelototi Nathan."Oh begitu, lo ngajak ribut gue ya," katanya sebelum mengangkat kepalan tangannya dan melanjutkan. "Lo mau ngerasain tinjunya anak broken home hah?"Melihat provokasi seperti itu, Dilan tak tingal diam, dia mengeluarkan jargonnya. "Oh iya? kamu nanya? kamu bertanya-tanya?"Gue menghela napas, melihat pertengkaran keduanya. Mereka adalah siswa SMK yang sedang magang, dan akan datang setiap hari kamis sampai minggu. Mengingat Yuni libur di waktu weekend seperti ini, mereka akan menjadi tenaga bantuan. Dan yang terbaik dari semua ini adalah fakta bahwa mereka tidak perlu digaji!Karena mereka adalah anak sekolah yang sedang melaksanakan kegiatan Prakerin atau Praktek Kerja. Gue hanya perlu memberikan makan siang dan menandatangani agenda buku prakerin mereka. Mungkin beberapa orang akan mencibir gue karena menjadi licik dan pelit. Yah... untuk orang-orang yang seperti itu, gue cuma bisa bilang: kalian tidak salah!!Siapa orang waras yang akan mengabaikan tenaga kerja gratis? Tolong jangan sebut ini licik oke, memanfaatkan segala sumber daya dengan sebaik-baiknya adalah kehormatan para pebisnis! gue ulangin, ini adalah kehormatan pebisnis! hal-hal penting harus di ucapkan dua kali!"Oke... berhenti kalian," tegur gue, menghentikan kegaduhan mereka dan melanjutkan. "Kalian bisa minta ke Bagas mau makan siang apa oke?"Nathan mengangguk tersenyum, senang dengan keputusan ini. Sementara Dilan, tak mengatakan apa-apa, hanya menatap Nathan dengan ekspresi kesal. Melihat ini, gue menghela napas, jika seandainya mereka bisa lebih akur, mereka akan menjadi pekerja gratis-uhuk, maksud gue, pekerja magang yang sempurna.Menggelengkan kepala, gue keluar dari Ruko, memberikan tanggung jawab kepada Bagas untuk mengurusi sisanya. Lintang jarang datang ketika weekend, namun Bagas, karena alasan ingin menghemat biaya hidup, dia tidak ngekos, melainkan tinggal di Ruko. Yah... tidak buruk, setidaknya Ruko itu memiliki penunggunya-uhuk, maksud gue, penghuninya. Tentu dia tidak tinggal sendiri, bagaimanapun, kucing gue Maboy, juga tinggal disana. Sekarang, kucing sialan itu sedang tidak ada, entah apa yang dia lakukan diluar sana?Masuk ke mobil, dan mengemudi selama beberapa menit sampai tiba di sebuah gedung rumah sakit. Gue memakirkan mobil dan masuk kedalam gedung, segera berjalan menuju salah-satu ruangan ICU. Sampai di lorong, seorang wanita di usia awal 30 an melihat kepadanya dan berjalan mendekat."Mas Devin," sapanya ramah, yang gue balas dengan anggukan singkat sebelum bertanya. "Jadi gimana Mbak?""Makin parah Mas," jawabnya dengan khawatir. "Dokter Arhan ada didalam, nanti Mas Devin tanya langsung aja dia, saya takut salah informasi."Gue yang mendengar itu, mengangguk dengan ekspresi tenang. "Ya udah, nanti biar Devin yang urus sisanya, Mbak Fina bisa pulang aja, sama ini..." Gue menyerahkan amplop warna coklat kepadanya. "Ini untuk bulan ini."Mbak Fina mengambilnya dan berkata sambil sedikit membungkuk. "Makasih Mas Devin.""Iya, makasih juga Mbak," jawab gue. Dengan itu, Mbak Fina berbalik dan berjalan pergi. Wanita sebelumnya adalah pembantu paruh waktu yang gue pekerjakan untuk secara rutin mengecek seseorang di balik ruang ICU ini. Menatap kepada pintu tersebut, gue mengambil waktu sejenak sebelum membukanya dan berjalan masuk.Di dalam, gue di hadapkan dengan pemandangan ruangan bersih yang tak terlalu luas, namun juga tidak sempit. Ada sebuah ranjang dengan banyak alat medis di sekitarnya. Seorang pria paruh baya dengan balutan jas putih khas dokter, berdiri di samping tempat tidur, membolak-balikan beberapa lembar kertas. Menyadari adanya pengunjung, pria itu berbalik dan berkata. "Devin kan?"Gue mengangguk setuju. "Iya Pak, saya anaknya pasien ini," kata gue sambil menatap kepada seorang pria paruh baya lain yang tengah tak sadarkan diri di atas ranjang. Beberapa peralatan medis juga terpasang padanya, ventilator, infus dan lainnya."Jadi begini... saya baru cek, dan hasilnya... agak mengkhawatirkan," kata sang dokter, terdengar agak ragu namun tetap berusaha se-profesional mungkin. Lagi pula, bukan hal yang mudah memberi kabar buruk kepada anggota keluarga pasien. Namun, yang mengejutkan dokter Arhan adalah pemuda di depannya tampak tidak terganggu. Dia masih berdiri dengan ekspresi tenangnya, sepertinya dia memiliki pengendalian diri yang luar biasa. Mengesampingkan pikiran tersebut, Dokter Arhan melanjutkan. "Ada pembekakan jaringan otak, dan ada dua faktor utama yang jadi penyebabnya. Pertama, karena kurangnya oksigen, kedua, karena adanya indikasi trauma pada kondisi pasien, ini menyebabkan gangguan dalam hormon."Gue masih dengan ekspresi tenang, mendengarkan penjelasan kondisi terkini yang dialami oleh bokap gue."Juga ada gejala kenaikan gula darah disini," kata dokter Arhan. "Kalo saya ingat, sebelumnya Mas Devin pernah bilang kalo... Ayahnya-""Ayah saya kecanduan alkohol Pak," jawab gue memotongnya dengan sopan.Dokter Arhan tardiam sejenak sebelum melanjutkan. "Dan karena ini, kadar gula darahnya naik tinggi, dan itu menyebabkan kerusakan otak... permanen dan koma berkepanjangan, itu juga alasan kenapa dia masih belum sadar sampai sekarang."Gue menghela napas mendengarkan penjelasan dari dokter yang merawat bokap gue. Sekitar beberapa bulan yang lalu, bokap gue yang sudah cukup lama kecanduan alkohol dan judi, ditemukan hilang kesadaran sebelum akhirnya dilarikan ke rumah sakit, dan sampai sekarang, dia belum sadarkan diri."Oke, ada lagi Pak?" tanya gue dengan wajah tenang.Dokter Arhan agak bingung melihat ekpresi wajah pemuda di depannya yang selalu tampak tenang, seolah kabar buruk mengenai kesehatan Ayahnya tak lebih dari sekedar berita cuaca biasa. Dengan penasaran, dia bertanya. "Seperti yang saya bilang sebelumnya, ada gejala trauma disini. Kalo boleh saya tahu, kira-kira ada kejadian apa ya yang mungkin jadi sumber trauma ini?"Mendengar pertanyaan itu, untuk pertama kalinya, ekspresi tenang gue tampak rusak, saat tanpa sadar wajah gue berkerut muram, sebuah kilasan akan ingatan tertentu muncul yang dengan cepat gue hilangkan. Sedikit menggelengkan kepala, gue menjawab. "Secara memang ada masalah keluarga Pak, tapi... apa ini ada hubungannya sama upaya penyembuhan Ayah saya?"Dokter Arhan, yang sedari tadi memperhatikan detail ekspresi pemuda di depannya, tak melewatkan pemandangan wajah muram itu, meski dengan cepat pemuda itu kembali ke ekspresi tenangnya yang biasa. Juga, dia bisa merasakan sedikit ketidaksenangan pada pertanyaan yang dia ajukan, tampaknya ini adalah masalah pribadi yang sensitif. Berpikir bahwa mengetahui hal itu tidak memberi manfaat nyata dalam upaya penyembuhan pasien, dokter Arhan tidak menggali lebih dalam. "Nggak juga... kalo gitu, ini laporan data medisnya saya bawa dulu, nanti saya kasih salinannya untuk Mas Devin bisa periksa lebih lengkap lagi." Mengatakan itu, dokter Arhan segera pergi meninggalkan ruangan.Ada keheningan dingin yang mengalir di ruangan ICU setelahnya, dimana pasangan Ayah-Anak berada. Gue masih berdiri di tempat, menatap kepada Ayahnya yang terbaring tak sadarkan diri dengan segala jalinan peralatan medis terpasang di tubuhnya. Menit-menit berlalu dalam keheningan sebelum mulutnya terbuka, bergumam pelan dengan nada yang hampa. "Kenapa nggak sekalian mati aja sih."Wajahnya yang sebelumnya tenang, berubah menjadi kosong dan tampak melamun, gue menundukkan kepala. "Hidup nyusahin dan sekarat pun nyusahin... nanti kalo mati juga pasti nyusahin kan?"Meski nada suaranya rendah, itu bergema di seluruh ruangan, membuat suasana yang sudah dingin tampak menjadi lebih dingin lagi."Jangan salahin orang lain... ini sepenuhnya salah Ayah... kalo seandainya Ayah nggak kecanduan judi dan alkohol... Ibu nggak akan ninggalin kita semua, dan Haikal..."Gue tak mampu bicara lagi, mencengkram dada dengan kuat, seolah ada sesuatu yang meremas hati, memberinya rasa sakit yang begitu menyengat. Dengan napas terengah-engah dan wajah kesakitan, gue bergumam terisak. "Jadi tolong... Ayah... tolong mati aja."Setelah mengatakannya, tanpa sadar setetes air mata turun. Butuh waktu hampir sepuluh menit untuk gue kembali dengan paksa menenangkan diri. Mengusap wajah, gue berbalik dan pergi dari ruang ICU dengan wajah tanpa ekspresi, tidak menyadari bahwa ada kedutan kecil di jari Ayahnya yang terbaring.Gue nggak berlama-lama di rumah sakit, setelah kembali berbicara sebentar dengan dokter Arhan, gue segera pergi. Mengambil mobil dan mengemudi ke suatu tempat. Kali ini butuh waktu sekitar 20 menit, mengingat jaraknya yang lebih jauh. Ketika sudah dekat dengan lokasi, gue memarkirkan mobil di bahu jalan, ada beberapa kendaraan juga yang terparkir di sana, bersama dengan aneka pedagang dan orang-orang lalu-lalang.Gue berjalan dan berhenti di salah-satu pedagang, dia menjual aneka bunga tabur, bunga yang biasa di tabur di atas makam. Membeli satu buket, gue pergi dan masuk kedalam area pemakaman umum. Berjalan menyusuri jalan-jalan di antara makam, hingga akhirnya gue menemukan satu, yakni makam dengan batu nisan bernamakan Haikal Angkara.Tidak peduli berapa kali gue datang kesini, badai emosi selalu saja timbul setiap kali menatap kepada makam ini, makam adik laki-lakinya Haikal.Meski sudah hampir tiga tahun sejak kematiannya, gue masih nggak bisa melupakan momen hari itu, momen dimana gue mendengar berita kematiannya, momen dimana gue melihat keadaannya. Sekali lagi, sengatan kuat yang familiar menyelimuti hati gue.Gue mengambil napas dalam-dalam untuk menekan emosi. Membersihkan makam dari beberapa rumput liar, dan menaburkan bunga di atasnya. Ini adalah kegiatan rutin yang akan gue lakukan setiap hari minggu. Mengunjungi Ayahnya yang sakit, dan pergi ke makam adik laki-lakinya yang sudah tiada. Lalu kemana Ibu? sederhana, dia sibuk dengan keluarga barunya.Ayah gue dulunya adalah orang yang baik, tipikal Ayah dan suami yang ideal. Namun, sejak dia di PHK dari kantornya karena wabah Covid, dia mulai terlibat dengan judi, terobsesi untuk mendapatkan uang dengan cepat dan mudah. Tanpa menyadari bahwa dirinya telah kecanduan akan itu. Terperangkap dengan circle yang toxic, Ayah semakin rusak ketika dia mulai kecanduan alkohol. Dua hal ini adalah kombinasi maut untuk membalikkan sebuah keluarga cemara nan harmonis menjadi jurang keputusasaan.Meski Ayah sudah tidak bekerja, kami masih bisa hidup dalam keadaan yang baik dengan mengandalkan uang tabungan yang cukup banyak waktu itu. Tapi, sejak Ayah kecanduan judi, uang tabungan terkuras dalam waktu singkat. Membuat Ibu mau tak mau harus bekerja. Waktu itu gue masih SMA, dan meski ada keinginan untuk membantu, Ibu selalu berpesan agar fokus untuk menyelesaikan sekolah. Dan beruntungnya, Ibu ternyata di terima bekerja di sebuah perusahaan berkat bantuan temannya.Tapi sayangnya, kondisi keluarga ini tidak membaik, justru malah menjadi semakin buruk. Ayah yang setiap kali pulang dalam keadaan mabuk, sering kali memukuli Ibu yang baru saja pulang bekerja. Hampir tak pernah ada malam dimana gue dan adik gue Haikal, tidak mendengar pertengkaran mereka, suara benda yang hancur, makian Ayah, dan tangisan serta keluhan Ibu. Sampai pada akhirnya, Ibu mulai semakin jarang pulang. Dia hanya pulang ketika dia akan memberikan kami uang untuk kebutuhan mingguan. Dan tak lama, gue menyadari kebenarannya, Ibu memiliki pria lain diluar sana.Waktu itu, gue sudah masuk tahun awal kuliah, dan karena jarak antara kampus dan rumah cukup jauh, gue memutuskan untuk ngekos. Waktu berlalu sampai ketika Ibu mengajaknya untuk makan di sebuah tempat. Di saat itulah, gue diperkenalkan dengan seorang pria paruh baya yang merupakan temannya yang dulu pernah membantunya mendapatkan pekerjaan. Ternyata, mereka bersiap untuk menikah. Pria itu adalah duda dengan satu anak, sementara Ibu sudah berencana untuk bercerai dari Ayah. Dia mengatakan ini dan itu sebagai alasan untuk bercerai dan menikah lagi. Tapi buat gue, pengungkapan atas kebenaran gelap ini cukup untuk membuat gue tampak seperti boneka yang kehilangan talinya. Gue tak bisa lagi mendengar alasan apapun yang dibuatnya. Hanya bisa meledak dalam amarah dan pergi begitu saja sambil mengutuk mereka berdua.Gue membenci Ayah karena betapa bobroknya dia menjadi. Gue membenci Ibu karena perselingkuhan yang dilakukannya. Terlepas fakta bahwa gue bisa mengerti akan hal itu, dan dia memang memiliki alasan yang bagus atas keputusannya, gue tetap membencinya!Sejak hari itu, meski Ibu selalu mencoba untuk menemuinya, gue selalu mengabaikannya, menampilkan citra diri yang acuh tak acuh, sebuah pesona yang menunjukkan ketidakpedulian yang kuat.Dari keluarga bobrok ini, hanya adik gue Haikal, yang masih gue sebut sebagai keluarga. Sampai... ketika suatu malam, gue mendapatkan kabar atas kematiannya.Hidup terpisah, gue tidak menyadari bahwasannya dia juga terjerumus kepada pergaulan yang toxic. Dia tergabung kedalam komplotan geng motor di sekolahnya, dan tewas ketika terlibat dalam konflik tawuran antar geng. Dikatakan, sebuah pukulan kuat di belakang kepala, menyebabkan pendarahan hebat di dalam otak, yang membuatnya meregang nyama.Gue masih ingat malam ketika gue berlari ke rumah sakit, melihatnya tak bernapas dalam lumuran noda merah. Di malam itu, sikap acuh tak acuh dan ketidakpedulian yang sebelumnya hanya sekedar pesona, kini berubah menjadi karakternya yang sebenarnya.Meraih buket bunga, gue baru menyadari bahwa bunga taburnya sudah habis, sepertinya, gue tampak melamun saat memikirkan masa lalu. Gue menatap kembali ke batu nisan, hanya untuk mengerutkan kening dengan bingung. Pandangan gue tampak buram, seolah ada kaca berembun yang menutupinya. Tangan gue yang bersiap untuk mengucek mata, berhenti saat merasakan sensasi basah di pipi. Gue memeriksanya dan menemukan ada aliran deras air mata."Haha..." tertawa pahit, gue menyeka air mata, mengambil sesuatu dari balik saku celana, itu adalah gantungan kunci yang bertuliskan: Always Be Safe. Sebelumnya, ini terpasang di kunci motor yang setelah gue ngekos, motor itu di pakai oleh Haikal. Motor itu juga telah menjadi saksi bisu atas kematian adiknya.Gue mengambil waktu untuk menenangkan diri. Mengangkat kepala dan menatap ke atas, kepada langit biru yang indah, kepada awan putih yang bergerak perlahan menutupi matahari, yang tanpa ragu menurunkan cahaya serta kehangatannya ke bumi. Pemandangan ini membuatnya mengingat salah-satu judul lagu dari band favoritnya. Gue berkata dengan senyum mencela diri. "Sungguh hari yang cerah untuk jiwa yang sepi."