Chereads / Pacarku Pecinta Angst / Chapter 5 - Bab 5. Cahaya Mentari

Chapter 5 - Bab 5. Cahaya Mentari

Hari ini, Sabtu pagi pukul 9:15, gue berada di kamar, berdiri didepan cermin, menatap kepada pantulan. Yakni, seorang pria dengan setelan rapi kemeja batik, yang dibalut oleh blazer tanpa kancing warna navy, celana bahan panjang dengan warna yang sama dan sepatu pantofel hitam."Hmm..." Mengusap dagu sembari mencondongkan tubuh lebih dekat kepada cermin, gue bergumam. "Harus diakui... gue memang tampan."Bukan bermaksud menjadi narsis. Tapi, gue memang memiliki penampilan di atas rata-rata. Kulit putih terawat, rambut hitam pendek ala protagonis anime, mata hitam cerah yang hidup dan bibir merah muda yang sehat sebagai ciri pria non-perokok. Wajah gue memancarkan pesona soft-boy dengan tempramen tenang yang dewasa. Namun, masih cukup menyenangkan dengan humor yang baik. Tinggi gue juga ideal, di 175 cm dengan tubuh yang cukup atletis, khas mereka yang rutin workout. Jika ada parameter pengukur ketampanan, maka gue pasti akan dapat setidaknya 8/10."Hmm... sekarang sentuhan terakhir." Gue melirik ke tempat tidur dan mengambil sebuah jam tangan yang sebelumnya sudah gue persiapkan. Memasangnya di pergelangan tangan kiri, gue kembali melihat kepada cermin, seraya melakukan beberapa gaya. "Oke... lumayan."Puas dengan apa yang dilihat, gue berjalan keluar kamar. Namun, langkah kaki gue berhenti saat tiba di kamar tertentu. Tangan gue menyentuh gagang pintu, dan dengan ragu membukanya. Tidak ada sesuatu yang spesial di dalam, itu hanya kamar sederhana yang rapi dan terawat. Terdapat tempat tidur, lemari baju dan meja belajar. Juga, ada beberapa benda seperti gitar, bola basket dan pernak-pernik lainnya yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah laki-laki.Gue melangkah kedalam, menatap sekitar dengan tatapan melankolis. Berjalan ke meja belajar, ada beberapa benda hiasan disana. Gue mengulurkan tangan, mengambil gantungan kunci yang bertuliskan: Always Be Safe. Gantungan itu masih terpasang ke sebuah kunci motor, dan mata gue tampak agak linglung saat melihatnya. Gejolak batin mulai terasa sebelum gue dengan paksa menekannya kembali. Mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, gue mencabut gantungan itu dan memasukkannya kedalam saku kemeja, sebelum kembali keluar, menutup pintu kamar dengan lembut.  Melewati ruang tamu dan berjalan keluar rumah, sebelum akhirnya masuk kedalam mobil. Disana, gue memeriksa diri. "Dompet ada, hp ada, kunci juga aman, oke... udah siap."Menyalakan mobil, gue bersiap untuk berangkat. Namun, tiba-tiba ponsel gue berdering. Melihat adanya panggilan video dari Amela, gue secara batin tahu alasan atas pemanggilannya. Tapi tetap saja, gue masih memutuskan untuk menerima panggilan. "Halo Mel-""Lama banget sih kamu!" Amela menyela dengan kesal."Jam 10 kan?" tanya gue."Iya... tapi resepsinya kan jam 10:30, kita harus udah disana lebih cepet! bukan jam 10 baru berangkat!"Meski wajahnya sedang kesal, namun dengan balutan kosmetik yang dikenakannya, dia tampak lebih cantik dari biasanya. Gue agak gagal fokus disana. Dan ini baru dari video call, gimana kalo melihat secara langsung nanti."Beb! kamu denger gak sih!!"Seruan Amela kembali menarik gue ke kenyataan. "Iya, denger Mel, kamu tunggu aja, bentar lagi sampai kok.""Cepet ya, Mamah sama Ayah udah duluan, aku sendirian di rumah, emang kamu udah sampai mana?""Ini aku lagi di jalan," jawab gue bohong, gue masih di halaman rumah."Iya kamu udah sampai mana?""Aku lagi dijalan sayang.""...""Beb, ini aku nanya, kamu udah sampai mana?" Amela mempertegas pertanyaannya saat matanya menyipit curiga. Tahu kebohongannya akan segera terungkap, gue berkata dengan senyum manis. "Tunggu aku, bentar lagi kok, love you.""Beb-" Mengakhiri panggilan, gue terkekeh saat meletakkan ponsel di kursi samping. Entah mengapa, gue bisa membayangkan Amela saat ini sedang menjerit kesal. Dan tak lama, ponselnya kembali berdering, tapi gue hanya tertawa, mengabaikan panggilan, dan segera mulai mengemudi ke kediaman Amela, sambil memutar musik playlistnya.***Di rumahnya, Amela yang sedang duduk di sofa ruang tamu, menggeram kesal sambil meremas ponselnya. "Serius!! Nggak di angkat?!"Dia baru saja menangkap basah bajingan kesayangannya itu berbohong. Dari video call, Devin terlihat sudah berada di dalam mobil. Tapi, dia pasti baru akan berangkat dan belum ada dijalan sama sekali!Amela berusaha kembali menghubunginya, yang hanya berakhir diabaikan oleh pihak lawan. Urat di kapalanya menonjol saat napasnya terengah-engah."Tenang Amela, tenang, kamu nggak boleh marah-marah, nanti riasan kamu jadi berantakkan, yang tenang oke." Amela mempraktekan metode menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam. Dia terus mengulanginya, sampai di titik emosinya sudah banyak mereda. Dan tiba-tiba, ponselnya berdering.Dia dengan sigap meraihnya, bersiap untuk berteriak sesaat setelah dia menerima penggilan. Namun, dahinya berkerut bingung saat Amela menemukan pemanggilnya adalah nomor yang tidak dikenal, itu bukan dari pacarnya Devin.'Siapa ini?' gumamnya, berpikir sejenak, Amela segera menerima panggilan."Halo, ini Amela kan?" Suara yang familiar terdengar dari sana. Namun, wajah Amela malah berkerut kesal mendengarnya, itu adalah suara Rama.Rama berbicara lagi, tapi Amela tidak merespon. Pikirannya sudah di luar. Dia tidak menjawab, seolah dia tak mendengar apapun, seolah telinganya tersumpal hanya mendengar suaranya. Dia sudah cukup lama menunggu pacarnya untuk menjemputnya, hanya untuk menangkap basah bajingan itu yang baru saja akan berangkat. Setelahnya, dia bahkan diabaikan, tidak peduli berapa kali dia menghubunginya lagi. Dan kini, dia mendengar suara dari Rama. Kekesalan yang sebelumnya ditekan, kini muncul kembali, tidak, itu bertambah sepuluh kali lipat!"Amela? kok nggak ada jawaba-""BACOT!! ANJING!!" Amela berteriak keras. "Dasar siput sialan!! ganjen!! narsis!! dandannya kayak cewek!! tukang ngaret berengsek!!"Amela segera mengakhiri panggilan setelah meluapkan emosinya. Hal-hal kasar yang ingin dia katakan, dimuntahkan saat itu juga. Tentu, jika itu adalah pacarnya Devin, Amela tidak akan sekasar ini. Tapi, ini adalah Rama, orang yang tidak dia pedulikan, atau justru dia benci. Jadi, tidak ada keraguan dalam dirinya untuk tidak melepaskan semua lahar panas yang terkandung di kedalaman hatinya. Dan tak sampai disana, dia bahkan memblokir nomor Rama. Kejam! sungguh wanita yang sangat kejam! hal-hal penting harus di ucapkan dua kali!***Jauh di tempat lain, di dalam mobil mewah Audi A7 warna hitam. Rama meringis saat merasakan kupingnya berdengung ketika dia mendengar Amela yang tiba-tiba berteriak keras. Dia menatap bingung pada ponselnya, memikirkan bagaimana dia bisa mendapatkan tanggapan yang begitu signifikan."Apa Amela sebenci ini?" gumamnya saat perasaan sakit di hatinya meluap. Dia telah mendapatkan nomor Amela dari salah-satu teman SMAnya, dan berniat menghubunginya untuk tahu apakah dia punya kesempatan untuk mengajak wanita itu datang bersama. Tentu, dia tahu bahwa peluangnya sangat kecil, terutama dengan keberadaan pacar barunya, Devin. Tapi, dia tetap mencoba. Namun, hasilnya bahkan jauh melebihi ekspektasi terburuknya. Dia berpikir bahwa akhirnya dia hanya akan diabaikan, tak menyangka bahwa dia akan diteriaki seperti itu.Dengan emosi gusar, Rama mencoba kembali menghubungi Amela. Namun, jangankan berdering, dia bahkan mendapatkan jawaban monoton provider yang mengatakan bahwa nomor yang dia tuju tidak dapat di hubungi."Serius? Nomor gue diblokir?" Rama menatap tak percaya. Amela sepertinya benar-benar ingin memutuskan hubungan apapun darinya. Dia hanya duduk termenung, sejenak mengingat momen kebersamaan mereka dahulu. Jika dilihat dari betapa dekatnya mereka, tidak ada yang akan menyangka, hubungan mereka akan sampai ke titik beku seperti ini. Pada akhirnya, Rama hanya bisa menatap kosong pada ponselnya dengan segudang badai emosi di hatinya.Jika seandainya dia tahu jika dirinya baru saja menjadi pelampiasan Amela karena kekesalannya pada Devin, dia mungkin akan menangis darah. Sebaliknya, jika Devin tahu akan hal ini, dia mungkin akan tertawa histeris.***Gue tiba di depan gerbang rumah Amela, berniat mengambil ponsel untuk menghubunginya, memberitahunya bahwa dia telah tiba. Namun, dari sini gue bisa melihat siluet seorang wanita yang berdiri di depan pintu rumah. Dan ketika wanita itu melihat kepada mobil gue, dia berjalan cepat kemari. Itu adalah Amela.Gue keluar dari mobil, bersiap untuk menyambutnya dengan senyum semanis yang gue bisa. Bagaimanapun, kedamaian perjalanan ini akan tergantung pada suasana hati wanita itu."Hey Cantik," sapa gue dengan ramah.Amela tak segera menjawab. Dengan ekspresi kesal, dia membuka dan menutup mulutnya, tampak bingung ingin memarahi pacarnya atau tidak. Namun, pada akhirnya, dia terlalu lelah untuk itu. Ditambah lagi, make-upnya mungkin akan luntur karenanya. Menarik napas dalam-dalam, Amela berkata. "Kamu lama banget sih? tahu nggak ini udah jam berapa?""Hmm... 9:30?" jawab gue asal-asalan."9:45 Beb! emang kamu nggak ada jam atau apa gitu?""O,h aku ada." Menunjukkan jam tangan yang gue kenakan "Tapi mati.""Eh... apa?""Aku bilang... jamnya mati sayang."Amela membuka mulutnya terkejut. "Mati? kamu pakai jam mati? Buat apa?!"Sementara Amela mengomel, mata gue meliriknya dari atas ke bawah. Saat ini, dia sedang mengenakan gaun warna navy yang cukup menonjolkan tubuhnya yang anggun dan cukup berisi. Sambil membawa tas wanita warna putih yang tampak mahal. Ada riasan tipis di wajahnya yang semakin menonjolkan kecantikannya. Dan gue juga melihat sesuatu yang baru, yakni ada anting kecil warna perak di kedua telinganya. Amela sudah sangat cantik dari settingan defaultnya. Dan dengan semua ini, gue nggak tahu lagi apakah ada wanita yang lebih cantik dari dia. Pemikiran ini mungkin agak berlebihan, tapi buat gue, jawabannya adalah tidak ada!Sejenak gue ingat, sebelumnya, Amela mengatakan bahwa dia sendirian dirumah. Secara otomatis, sebuah pikiran kotor terlintas di otak gue, sebelum gue dengan tegas menggelengkan kepala untuk membuyarkan pikiran itu. 'Ugh... bahaya, situasi yang kayak gini nih, yang jadi pintu jalan menuju kebobrokan.'Menggunakan kecerdasan emosionalnya yang baik, gue menekan hasrat biologis yang tiba-tiba muncul dan menjawab pertanyaan Amela. "Yah buat fashion lah," kata gue memutar bola mata.Amela menatap bingung, dia membuka mulutnya untuk bicara. Tapi, gue menyelanya lebih dulu. "Kenapa? bingung?"Amela mengangguk dan gue melanjutkan. "Gini ya Mel, zaman sekarang itu, orang pakai jam untuk fashion, untuk gaya, bukan untuk ngelihat waktu. Tugas itu udah di ambil alih sama smartphone. Jadi nggak penting itu jam hidup atau mati.""Tapi kan tetep aja-""Udah udah, kita dikejar waktu nih, kamu jangan malah bikin lambat, nanti kita telat lagi," kata gue dengan santai saat berjalan mengitari mobil.Dahi Amela berkedut kesal. "Siapa yang bikin terlambat hah?! itu kamu!!" serunya."Iya iya, udah yuk, sini... silahkan masuk tuan putri," kata gue dengan manis sambil membuka pintu kursi penumpang untuk Amela. Yang terakhir berjalan mendekat, berharap tak ada seorang pun yang akan menemukan pacarnya mengenakan jam mati. Jika tidak, dia pasti akan merasakan dorongan untuk mengubur dirinya sendiri hidup-hidup!Saat akan masuk, Amela menatap kekasihnya dan berkata. "Kalo bukan karena aku nggak mau ngerusak riasan aku, kamu pasti akan aku gibeng."Gue mengangguk setuju. "Kamu bener, lagian kalo semisal riasan kamu berantakan, orang mungkin mikirnya pasangan aku adalah Badut," kata gue dengan seringai lucu. "Kita nggak mau itu sampai kejadian kan?""..."Wajah Amela membeku mendengarnya. Namun, sebelum dia bisa membalas, gue segera menutup pintu. Berjalan memutari mobil dan masuk ke kursi kemudi. Gue menoleh kesamping, kepada wanita yang sedang melotot dengan marah. Gue terkekeh. 'Astaga, perempuan ini bener-bener lucu! gue nggak pernah bosen ngeledek dia.'Pada akhirnya, dengan perasaan gembira, hanya gue tentunya, mengemudikan mobil ke gedung tempat resepsi pernikahan teman Amela dilangsungkan. Dan syukurlah, lokasinya tidak terlalu jauh dari kediaman Amela. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit perjalanan untuk sampai. Gue memarkirkan mobil di parkiran gedung acara dan berjalan masuk. Di sepanjang jalan, ada banyak deretan papan karangan bunga dengan ucapan selamat. Beberapa bahkan ada yang berisi tulisan konyol seperti: Selamat Menempuh Hidup Baru, Dari Mantanmu Yang Masih Menempuh Hidup Lamanya.Gue yang melihat itu, terkekeh dan merasa sedikit simpati dengan geli: 'Bajingan malang, semoga Tuhan segera memberimu jodoh.' Menggelengkan kepala, gue melirik, menemukan para tamu lain yang baru datang, serta beberapa orang dengan kemeja batik yang seragam lalu-lalang. Jelas mereka adalah staf atau panitia acara.Berjalan ke depan pintu masuk gedung, Amela menyerahkan undangannya kepada salah-satu staf resepsionis wanita yang berjaga dan mendapatkan sebuah kotak souvenir. Seolah itu adalah hal yang paling normal di dunia, dia tanpa beban menyerahkan kotak itu ke gue."...""Apa?" tanya Amela."Hmm... Mel, kamu kan bawa tas, kenapa nggak-""Nggak apa?" Amela menyela, melotot dengan sebal. Melihatnya, gue menghela napas dan dengan pasrah mengambilnya. Ini adalah ganjaran atas tindakan sebelumnya. Memang, akan selalu ada akibat dari setiap tindakan.Masuk kedalam gedung, kita berdua disambut oleh pemandangan luas pesta pernikahan. Dekorasi indah panduan tali pita, bunga, dan elemen keindahan lainnya, ada di hampir setiap sudut tempat. Dinding, meja, plafon, semuanya. Meski secara keseluruhan tampak bergaya eropa, ada juga sentuhan lokal, seperti beberapa corak pada elemen grafis yang kental dengan kesenian Jawa. Disamping dekorasi acara, para pengunjung juga tidak kalah semaraknya. Jumlahnya banyak, tidak sampai terasa sumpek tentunya, namun, mengingat betapa luasnya gedung pernikahan, pasti tak kurang dari sekitar seribu tamu undangan yang hadir."Amela!" Suara wanita terdengar memanggil, membuat kita mengalihkan pandangan ke sumber suara. Disana, gue melihat dua orang wanita dengan gaun indah datang mendekat."Bella! Cindy!" Amela dengan senang menyapa balik dan berjalan cepat kesana, sementara gue mengikuti dengan langkah yang lebih santai. Gue berdiri, mengambil jarak dua langkah dari ketiga sahabat yang sedang cipika-cipiki, sampai ketika salah-satu dari kedua wanita itu, Bella, melirik kesini dan berbisik pelan kepada Amela. "Itu pacar lo Mel?"Cindy yang mendengar itu juga menatap kepada pria yang masuk bersama Amela. Mereka bertiga adalah teman dekat di SMA, jadi mereka cukup tahu perkembangan kehidupan pribadi satu-sama lain, termasuk dengan siapa mereka sedang menjalin kasih. Keduanya tahu, jika Amela sudah cukup lama menjalin hubungan dengan seseorang, meski ini pertama kalinya mereka bertemu langsung dengan pria itu. Keduanya menatap Devin dari atas ke bawah, sebelum saling melirik dan mengangguk ringan sebagai bentuk pengakuan.Gue merasakan sensasi geli di sekujur tubuh saat kedua wanita itu meliriknya dari atas ke bawah. Entah mengapa, gue punya imajinasi bahwasannya kedua mata mereka memancarkan sinar dan melakukan scanning ke seluruh tubuh gue, untuk mengetahui apakah orang ini adalah produk berkualitas atau tidak."Gimana? oke kan?" Amela berkata dengan senyum tipis di bibirnya. Dia juga tahu jika kedua temannya sedang menilai pacarnya. Bagi perempuan, menilai kelayakan pasangan teman mereka adalah hal wajib dilakukan!"Wajah tampan, badan tegap dan tinggi, outfit oke..." Bella bergumam pelan sambil mengusap dagunya, memberi penilaian singkatnya. "Sipp... lumayan Mel."Senyum Amela semakin lebar saat dia mendengar pengakuan temannya."Eits, sebentar," potong Cindy. "Masih ada satu penilaian lagi," katanya, sebelum bergerak mendekat kepada Devin. "Halo, gue Cindy, temennya Amela."Melihat tangan yang di ulurkan padanya, gue dengan sopan menjabat. "Halo, Devin, pacarnya Amela."Cindy mengangguk, melepaskan jabat tangan. "Ini pertama kalinya kita ketemu, hubungan kalian udah lumayan lama kan?" katanya, melirik gue dan Amela. "Tapi gue, sebagai temennya kok jarang banget ya ngelihat lo?""Yah... gue agak sibuk," jawab gue ramah dengan sedikit bohong. Meski memang gue sibuk, tapi jelas nggak sampai sesibuk itu. Alasan utamanya adalah karena gue nggak pernah ikut ajakan Amela setiap kali dia mau hangout sama teman-temannya. Lagian buat apa? pamer pasangan? gue lebih memilih untuk dikubur hidup-hidup dari pada dipamerin selayaknya binatang ragunan!"Sibuk? karena apa?" tanya Cindy."Biasa, kerjaan." mengangkat bahu, gue menjawab dengan santai. Namun, yang aneh adalah mata Cindy seketika berbinar senang saat dia lanjut bertanya. "Kerjaan? emang kerjaannya apa?"Mendengar itu, wajah Amela sedikit berkerut sebelum dengan cepat kembali normal. Sedangkan Bella, menunjukkan ekspresi sedikit terkejut, sebelum matanya ikut bersinar tertarik, menantikan jawaban. Dia sudah bisa memahami tujuan temannya Cindy dalam pembicaraan ini.'Heh, ular licik,' gue terkekeh pahit di dalam hati, menyadari bahwasannya wanita ini dengan sengaja menggiring pembicaraan sehingga gue terlihat berinisiatif untuk membicarakan prihal pekerjaan. Topik itu mungkin bukan hal yang sopan diungkit bagi mereka yang baru bertemu. Namun, jika yang mengungkitnya lebih dulu adalah 'korban', maka 'tersangka' akan terlihat tidak bersalah, dan memperlakukan tindakannya sebagai tanggapan normal atas inisiatif korban.Memang, itulah yang diinginkan Cindy. Bukan bermaksud buruk, tetapi dia selalu diberitahu oleh ibunya untuk menerapkan prinsip 'bibit, bebet, bobot' dalam mencari pasangan. Dan sebagai teman dekat Amela, dia ingin mengetahui latar belakang Devin. Mengingat kepolosan temannya itu, dia khawatir Amela di manfaatkan karena latar belakang keluarganya yang kaya. Lagi pula, sebagai masyarakat golongan ekonomi atas, mereka tidak kekurangan lintah yang mencoba menjadi benalu. Sudah banyak kasus yang seperti itu.Gue yang juga menahami hal ini menjawab tanpa perasaan tersinggung. "Cuma bisnis kecil aja.""Bisnis? bisnis apa?" tanya Cindy dengan penuh minat.Sudut bibir gue sedikit terangkat, sebuah pemikiran licik terbesit di otak gue. "Ini bisnis di industri garmen."Meski terdengar santai, ketiganya bisa merasakan dengan jelas kesan kepercayaan diri yang kuat dari kata-katanya. Sebuah pesona yang hanya dimiliki oleh pengusaha sejati!Mata Cindy dan Bella berbinar, mereka jelas tidak kekurangan pengetahuan atau ilmu perihal bisnis dan ekonomi. Jadi, mereka tahu bahwasannya industri garmen adalah sebuah bisnis skala besar!Melihat ekspresi kagum keduanya, gue menahan diri untuk tertawa. Secara, bisnis Clothing memang masih memiliki keterhubungan dengan industri garmen. Keduanya serupa tapi tak sama, terutama dalam hal skala. Gue bisa menebak apa yang dibayangkan kedua wanita itu saat mendengar kata industri garmen. Sebuah pabrik besar dengan ratusan pekerja, memproduksi begitu banyak produk, dan mendapatkan omset miliaran. Tanpa mereka sadari, bahwasannya industri garmen yang gue maksud hanyalah Clothing kecil di sebuah Ruko pinggir jalan. Tentu, mereka tak perlu tahu akan hal itu. Berniat menambahkan bensin ke dalam api, gue melanjutkan. "Sebelumnya, gue juga pernah bangun bisnis kuliner, tapi omsetnya terlalu kecil untuk level gue, jadi gue tutup aja saat itu juga."Kali ini, keduanya tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Banyak teman-teman mereka yang suskes sebagai pengusaha di bidang kuliner. Dan disini, ada orang yang bisa mengatakan dengan nada bosan, bahwasannya bisnis seperti itu tidak menarik dan beromset kecil!Sekali lagi, apa yang gue katakan bukanlah kebohongan. Gue memang pernah membangun sebuah Cafe Shop. Tapi, tempat itu sepi pengunjung dan omsetnya bukan kecil lagi, tapi tidak ada sama sekali! Karenanya, gue gulung tikar saat itu juga. Tapi ya... mereka tidak perlu tahu akan hal itu, hehe. Gue menggigit bibir, menahan diri agar tidak tertawa. Sayangnya, ada satu orang yang tak mampu melakukannya.Cindy dan Bella melirik kesamping, menatap Amela yang terkikik menahan tawa. Tangan kanannya menutup mulutnya, sementara tangannya yang lain menekan perutnya yang sakit karena tertawa. Wajah keduanya berkedut kesal."Heh, seneng banget ya sama pacarnya," cibir Cindy, sambil dengan ringan menyikut bahu Amela."Iya, bangga bangetkan pasti sama Bebebnya," sahut Bella yang juga agak cemburu, karena Amela mendapatkan pria berkualitas tinggi."Hahaha..." Amela tertawa agak keras, ini terlalu lucu. Hanya dia yang tahu akan kebenarannya. Mendengar omong kosong Devin, dia mau tak mau bertanya-tanya, apakah pacarnya ini adalah lulusan S3 jurusan berbohong? atau pemegang sabuk hitam silat lidah? Bagaimana dia bisa begitu licin dengan ucapannya. Dia bisa berbohong menggunakan kebenaran! Menggelengkan kepala, Amela berkata dengan sombong. "Iya dong! Bebeb siapa dulu, Bebeb aku!!"Gue yang melihat tingkah Amela seperti itu, tersenyum dengan tatapan hangat. Tidak seperti yang lain, gadis ini mau menerimanya apa adanya, tanpa ada rasa segan sedikitpun. Dan dengan waktu lebih dari dua tahun menjalin hubungan, gue bisa dengan yakin mengatakan, bahwa perasaan ini bukan sekedar ketertarikan singkat yang suatu hari akan bosan karenanya. Masing-masing telah mengisi kekosongan dan menjadi pilar satu-sama lain.Sayangnya, momen hangat ini tidak berlangsung lama saat gue melihat ekspresi Amela berubah. Dia cemberut dengan tak senang saat menatap sesuatu yang ada di belakang gue. Berbalik, disana gue melihat sumber ketidaksenangan Amela.Seorang pemuda tampan dan gagah dengan pakaian setelan formal warna hitam, datang dari pintu utama. Pandangannya langsung menatap kepada empat orang yang tak begitu jauh di depannya. Itu adalah Rama.Kedatangan orang ini juga tak luput dari perhatian Cindy dan Bella. Mereka juga tahu permasalahan antara Amela dan Rama. Bahkan faktanya, mereka sangat terkejut setelah mengetahui putusnya hubungan keduanya. Bagaimanapun, mereka adalah saksi hidup yang dengan jelas mengetahui betapa dekatnya hubungan antara Amela dan Rama. Tak pernah menyangka bahwasannya kelak, suatu hari mereka akan berpisah dengan cara yang begitu buruk. Dan tentu, ini membuat mereka memiliki rasa ketidaksukaan sampai batas tertentu kepada Rama, karena perbuatannya pada teman mereka. Tapi saat ini, mereka tak bisa tidak mengantisipasi skenario yang mungkin terjadi. Mata mereka berbinar dengan penuh minat, sayangnya..."Wah... bentar lagi acara utamanya bakal dimulai," kata gue sambil melihat kepada jam yang gue kenakan. "Kita duluan ya." Berkata dengan ramah, gue meraih tangan Amela, bertautan, dan berjalan pergi.Keduanya, Cindy dan Bella, menatap tak berdaya. Drama yang mereka nantikan sepertinya tidak akan terwujud. Tapi mereka tidak terlalu kecewa, mereka bisa mengerti bahwa Devin tak ingin bertemu Rama. Ketidaksenangan seorang pria kepada mantan dari kekasihnya bukanlah hal yang aneh, mereka memakluminya. Karenanya, keduanya juga berjalan pergi. Lagi pula, mereka tidak berminat menyambut Rama, yang juga adalah mantan teman sekolah mereka. Bagaimanapun, bagi para wanita, musuh teman mereka adalah musuh mereka juga!Sementara itu, Rama, yang sedang berjalan ke arah mereka, mengerutkan keningnya saat dia melihat keempatnya pergi. Mereka dengan jelas melihatnya sebelumnya, dan di detik berikutnya, pergi begitu saja, Rama merasa tersinggung karenanya. Dia menatap tajam kepada Amela dan Devin yang berjalan bertautan tangan. Aksi seperti itu di tambah pakaian mereka yang senada, membuat siapapun yang melihatnya, akan berkesimpulan bahwa mereka adalah pasangan serasi. Sesuatu yang membuat Rama tak senang mendengarnya. Namun, tidak ada yang bisa dia lakukan. Pada akhirnya, dengan suasana hati yang muram, dia berjalan pergi.Gue dan Amela duduk di meja, dimana keluarga Amela, ayahnya, Yuda, dan ibunya, Amaya, juga ada disana. Kami berbicara ringan, dan di beberapa kesempatan akan menyambut teman atau kenalan dari pihak keluarga Amela yang gue nggak tahu siapa mereka. Agak canggung, tapi secara keseluruhan semuanya oke. Dan tak lama, kami melihat prosesi resepsi pernikahan dilangsungkan. Kedatangan para mempelai, sambutan mereka dan dari pihak keluarga, kejutan untuk satu sama lain, penampilan khusus dan sesi foto. Di waktu ini, orang tua Amela sudah pergi bertemu dengan keluarga mempelai dan kenalan mereka lainnya. Gue dan Amela juga ikut untuk itu, tapi tak lama, gue memutuskan untuk kembali ke meja. Sedangkan untuk Amela, dia sudah menghilang entah kemana, mungkin berbaur dengan teman-temannya. Tentu, dia mengajak gue, yang dengan licik gue tolak.Sendirian di meja, gue hanya menatap sekitar sambil sesekali minum atau ngemil hidangan yang tersedia di atas meja. Kecuali fakta bahwa gue harus terus menggenggam kotak souvenir sialan itu, suasana keseluruhan cukup bagus, sampai... gue merasa kedatangan seseorang."Lo nggak pantes ada disini." Suara dingin yang tak menyembunyikan kebenciannya, masuk ke telinga gue. Meski suara itu bercampur dengan riuhnya acara, gue masih bisa mendengarnya dengan jelas. Tanpa melirik kepada orang yang tengah berdiri sejauh dua langkah darinya, gue menjawab dengan senyum tipis. "Wah... kok bisa gitu sih? mohon pencerahannya dong, puh... sepuh..."Melihat lawan bicaranya menanggapinya dengan canda, amarah Rama mulai terpancing. Tangannya sudah mengepal kuat. Dia memiliki keinginan untuk menghajar habis orang ini. Tapi, mengingat dimana dia berada, dia dengan paksa menahannya."Lo nggak tahu kan." Rama tersenyum mengejek. "Semua tamu yang diundang disini adalah masyarakat kelas atas, jadi lo nggak pantas buat ada disini.""Hmm... iya iya, gue ngaku deh... gue adalah si paling nggak pantes disini." kata gue dengan ringan, sambil mengambil gelas minuman dan menyeruputnya sebelum melanjutkan dengan canda. "Gimana? puaskan? keluhan anda sudah didengar. Bahkan pejabat belum tentu lho, mau dengerin keluhan rakyatnya. Disini, gue dengan lapang dada, menerima keluhan lo, lihat? kurang baik apa coba gue." Di akhir, gue bahkan memberinya kedipan mata.Emosi Rama semakin terpancing, dia menatap Devin dengan mata yang melotot benci. Dia ingin main tangan, tapi kewarasannya masih mencoba yang terbaik untuk menahan diri. "Lo nggak tahu apa-apa, Amela nggak cocok sama udik kayak lo. Biar gue kasih tahu-""Oke, cukup," potong gue dengan suasana hati yang agak gusar. Bajingan ini benar-benar menyebalkan. "Denger anak Papi, biar gue yang kasih tahu lo," gue berbalik menghadap Rama dan melanjutkan. "Lo itu masa lalunya dia, dan masa lalu, nggak akan pernah bisa kembali. Lo nggak bisa putar ulang waktu, karenanya, berhenti jadi pecundang dan terima kenyataan. Amela udah milik orang lain, dan hubungan mereka baik. Persetan dengan konsep 'nggak pantes' lo itu, hubungan kita bukan materi, tapi hati. Jadi... shut the f*ck off!"Gue mengalihkan pandangan, mengabaikan orang yang gejolak emosinya sudah di ujung tanduk. "Cuih... dari hati?" cibir Rama dengan kebencian yang kuat. "Lo sama Amela itu hidup di dunia yang beda. Emangnya apa yang bisa lo kasih ke dia hah?! mobil rongsokan sialan lo itu?!" Dia menatap sekitar dan menunjuk pada area para pengantin yang tengah menjadi pusat perhatian dalam acara dan melanjutkan. "Untuk bikin pernikahan kayak gini aja, butuh budget sekitar lima miliar! dan apa yang bisa lo kasih hah?!"Gue tanpa peduli mengabaikannya, menyeruput minuman dan menatap jauh ke lain tempat, meski jauh didalam, kejengkelan yang gue rasa semakin kuat. Sementara itu, beberapa tamu undangan yang tak begitu jauh dari kami, tampak melirik kesini. Sepertinya Rama tidak sebaik gue dalam menahan emosi."Ah, bener juga... lo pernah gagal bikin Cafe Shop kan? sebelum akhirnya lo bangun bisnis lain," katanya dengan seringai licik yang jahat. "Biar gue tebak, Amela yang modalin lo kan? lo morotin dia untuk kepentingan lo kan?!"Perkataannya kali ini benar-benar memancing emosi. Gue meliriknya dengan kemarahan yang serius, tangan gue yang memegang gelas minuman, mengepal kuat. Tapi, Rama sepertinya masih tak puas dengan serangan lisannya saat dia melanjutkan. "Lo yang harusnya terima kenyataan. Lo hidup di dunia kelas bawah yang nggak penting. Lo, circle lo, dan keluarga miskin lo itu, nggak seharusnya jadi bagian dari kehidupan dia!"Seketika, suara dengungan yang pengang, menyelimuti seluruh indra pendengaran gue, memblokir semua suara sekitar. Dan di saat yang sama, entah mengapa, indra peraba gue juga menghilang gitu aja, gue merasa hampa dan tidak merasakan apapun. Namun, jauh didalam, ada gelombang badai emosi yang bergejolak dengan sangat kuat. Rasanya aneh. Di satu sisi, gue nggak bisa merasakan apapun, dan di saat yang sama, gue merasakan badai emosi yang dashyat.Rama terdiam sejenak, menatap Devin yang entah bagaimana mengalami perubahan yang aneh. Sebelumnya, pria ini menatapnya dengan amarah yang jelas. Dan dia merasa cukup senang karenanya, mengingat bagaimana dia selalu membalasnya dengan canda, egonya merasa seperti diberi makan, dan Rama cukup puas karenanya. Namun, setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, orang ini seketika berubah. Tak ada jejak kemarahan lagi di wajahnya, ekspresinya berubah menjadi kaku dan hampa, seolah tak ada emosi didalamnya. Detik berikutnya, pria ini berdiri perlahan. Dan meski mereka memiliki ketinggian yang sama, entah mengapa, Rama merasa terintimidasi dengannya.'Ini orang kenapa? kok serem gitu,' gumamnya dalam hati, saat dia merasa tertekan dengan suasana mengerikan di sekitar Devin. Terutama mata hitamnya yang tampak kusam dan kosong, seolah-olah ada badai besar di balik ketenangan mata yang tanpa emosi itu. Suasana semakin mengkhawatirkan sampai..."Dev." Suara pria dewasa memanggil. Rama melirik dan menemukan Ayah Amela, Yuda."Devin?" Yuda kembali memanggil pria yang kini berdiri dengan wajah kosong. Dia mendekat dan menggoyang sedikit bahunya. "Halo Dev?"Gue mengedipkan mata beberapa kali, sebelum terbangun dari trans. "I-Iya, Om Yuda?""Kamu kenapa linglung begitu?""Nggak, ini... sedikit pusing aja, nggak masalah kok," jawab gue sambil mengusap wajah, mencoba mendapatkan kejernihan pikiran, sebelum bertanya balik. "Ada apa ya Om?"Yuda tak langsung menjawab, dia menatap sejenak, sebelum bertanya. "Itu... Istri Om, pengen ambil kotak souvenirnya, nggak apa-apa kan?"Melirik ke meja, kepada kotak souvenir, gue menjawab. "Oh boleh kok Om," kata gue, sambil mengambil kotak itu dan menyerahkannya."Oke makasih ya," Yuda dengan ramah menerimanya, sebelum melirik kepada Rama yang masih berdiri di tempatnya. "Kamu juga nggak apa-apa Ram? jangan-jangan ikut linglung juga lagi," katanya dengan sedikit humor."O-Oh... nggak Om, Rama nggak apa-apa," katanya dengan nada ragu, sebelum melirik kepada Devin yang kini kembali normal. Suasana mengerikan sebelumnya menghilang seolah tak pernah ada. "Yaudah Om, Rama pamit dulu ya." Mendapatkan anggukan dari Yuda, Rama segera berjalan pergi, dia tidak memiliki urusan apapun lagi disana. Juga, dia masih merasa bingung dengan apa yang terjadi sebelumnya.Menatap Rama yang pergi, Yuda berkata. "Yaudah, ini Om bawa ya.""Oh, iya Om," jawab gue sopan.Yuda tak berlama-lama, dia segera berjalan pergi sambil menatap kepada kotak souvenir yang dibawanya. Meski dia datang untuk mengambil ini, alasan utama kedatangannya adalah jelas untuk melerai kedua pemuda itu. Yuda melihat kedepan, agak jauh darinya, Istrinya, Amaya, berdiri dalam diam menatap kepadanya. Istrinyalah yang pertama kali melihat keduanya. Mungkin karena insting wanita atau semacamnya, Istrinya, memintanya untuk mengecek, dan memisahkan keduanya. Karena menurutnya, mereka mungkin akan berkonflik dan membuat masalah bagi pihak yang memiliki acara pernikahan ini. Mengambil souvenir hanyalah sekedar alibi.Menatap punggung Ayah Amela yang berjalan jauh, gue kembali duduk. Merebahkan diri, mengambil minuman untuk menenangkan gejolak hati. Namun, melihat kepada gelas, gue menemukan ada retakan kecil disana. Gue menghela napas, menyadari bahwa gue cukup hilang kendali atas emosi. Mengambil gelas baru, gue minum dengan tegukan besar. Mood gue sudah turun drastis karena bajingan itu. Gue menatap sekitar dengan pandangan bosan yang monoton, sampai akhirnya gue menemukan sesuatu yang menarik.Sekumpulan besar wanita sedang berkerumun. Gue melihat sepertinya sang mempelai wanita akan melakukan lempar bunga. Beberapa kali dia akan bermain-main dengan tak jadi melemparkannya, hal ini memancing para wanita dibelakangnya untuk menyerukan protes. Pada akhirnya, dia melemparkan bunga itu, sementara para wanita dibelakangnya dengan heboh bersiap mengambilnya. Bunganya terbang cukup tinggi di atas, sebelum turun kebawah ke arah kerumunan para wanita. Gue nggak bisa melihat siapa yang dapat, karena itu jatuh di tengah kerumunan. Gue bahkan mencerca dalam hati, mengatakan bahwa mungkin bunganya sudah hancur tercabik-cabik oleh para wanita yang penuh semangat itu.Namun, tak lama para wanita perlahan bubar, menandakan sudah ada pemenang yang mendapatkannya. Dan dari bubarnya mereka, sedikit demi sedikit gue bisa melihat kepada siapa bunga itu jatuh. Itu adalah seseorang yang sangat familiar. Seorang wanita cantik dengan dress warna navy. Dia menggengam bunga, bersamaan dengan senyum manis dan tawa riangnya. Detik berikutnya, dia melirik ke sekitar sebelum melihat kesini, ke gue. Senyumnya semakin lebar saat dia berjalan kemari sambil melambaikan bunga yang didapatnya. Tanpa sadar, senyum merekah di wajah gue. Matahari sedang berjalan untuk menerangi dunianya yang dipenuhi kegelapan.