Canggung. Itu adalah kata paling tepat dalam menggambarkan suasana yang terjadi di ruang tamu kediaman Amela.Disana ada sofa yang disusun rapi membentuk huruf L. Ayah Amela duduk di sofa yang lebih pendek. Dan kami bertiga duduk di sofa yang lebih panjang, dimana Amela duduk di tengah antara gue dan Rama. Untuk lebih jelasnya, posisi Rama lebih dekat dengan orang tua Amela, sementara gue ada di ujung satunya."Ayo, ini di minum dulu." Ibu Amela, yang bernama Amaya, datang membawa nampan berisi beberapa gelas minuman dan meletakkannya di atas meja. Dengan ramah mengundang mereka mengambilnya, sebelum duduk di samping Suaminya.Amela adalah yang pertama mengambil, berikutnya adalah gue, begitulah seharusnya, namun..."Hmm?" Tangan gue berhenti di udara saat ingin mengambil gelas minuman, kenapa? karena ada tangan lain disana yang juga berniat untuk mengambilnya. Gue melirik dan melihat kepada Rama yang mencondongkan tubuhnya untuk mengambil gelas, tangannya juga berhenti dan melirik ke arah gue."Sorry, ambil aja, gue bakal ambil yang ini," kata gue dengan senyum ramah, sebelum mengambil gelas yang lain."Oh iya," jawab Rama dengan senyum ramah juga. Namun, di akhir dia bergumam pelan. "Lagian... orang pertamalah yang pasti akan dapat."Gue mengerutkan kening. Meski terkesan sedang berbicara sendiri, gumamnya masih cukup keras untuk di dengar oleh semua orang. Namun, kecuali Amela yang memiliki wajah bingung tak nyaman. Sisanya memiliki ekspresi netral, seolah-olah tidak mendengar apapun. Begitu pula gue yang dengan cermat menata ulang ekspresi. Tapi di dalam, gue merasa kata-kata orang itu memiliki makna yang lebih dalam, dan yah... tidak sulit untuk menebak apa itu.Saat menyeruput minuman, gue melirik Rama dari balik gelas dan berpikir: 'Jadi ini mantannya Amela.'Amela pernah bercerita tentang masa lalunya, terutama tentang mantannya, Rama. Meski tidak terlalu terperinci, gue tahu bahwa orang ini adalah teman masa kecil Amela dan mereka sudah berpacaran sejak lama. Bahkan Amela sampai rela untuk ikut berkuliah keluar negri bersama Rama hanya agar mereka bisa tetap bersama. Namun, hubungan mereka sepertinya berakhir dengan sangat buruk, yang menyebabkan Amela memutuskan kuliahnya dan kembali ke Indonesia.Dan faktanya, keterbukaan Amela pada masa lalunya, telah menjadi langkah besar dalam hubungan mereka. Karena beberapa hari setelahnya, mereka resmi berpacaran. Tapi itu bertahun-tahun yang lalu. Sejak itu, baik Amela atau gue, kita nggak pernah mengungkit masalah itu lagi. Lagian nggak ada gunanya mengungkit masa lalu yang pahit, mending dibuang jauh-jauh dan fokus memulai lembaran baru. Sejenak, gue jadi ingat atas kejadian beberapa hari yang lalu, ketika gue bertemu Amela di Cafe Kucing. 'Apa Amela waktu itu ketemu sama bajingan ini?,' tanya gue dalam hati.Dan ya... sekarang, untuk pertama kalinya, gue secara langsung bertemu dengan dia juga. Orang yang pernah menyakiti perempuan yang paling gue sayang saat ini. Dan lebih buruk lagi, dia sepertinya mencoba untuk kembali mengambil Amela. Ada kilatan dingin yang terbesit dimata gue atas pemikiran itu, sebelum dengan cepat menghilang."Ehem... ini pertama kalinya kita ketemu, kenalan dulu dong Bro," kata gue, mengambil inisiatif, menawarkan jabat tangan. "Gue Devin, Pacarnya Amela yang cantik, tapi juga rada belo'on ini."Seketika, ada keheningan yang timbul atas deklarasi berani itu. Bagaimanapun, gue dengan lugas dan santai mengklaim diri sebagai kekasih dari gadis yang orang tuanya duduk tepat di depan mata! Terlebih lagi, gelar tambahan sebagai cantik dan belo'on, terdengar bertolak belakang dan agak kasar. Namun, di satu sisi, ini juga menunjukkan tingkat keakraban tertentu. Bagusnya, ini ditanggapi oleh Amela."Apaan si ih! siapa juga yang belo'on hah?!" Amela menyikut ringan pacarnya, dan meski terdengar marah, bibirnya terangkat membentuk senyum, jelas terhibur dengan gurauan barusan."Siapa? yah kamu lah," jawab gue dengan seringai sambil menusuk pipi lembut Amela dengan jari telunjuk. "Siapa juga orang, di dunia ini yang mau revisi skripsinya yang ujung-ujungnya bakal di hapus juga? cuma kamu doang wahai Amela Asadel!""Ih! Aku nggak ngeh waktu itu, jadi bukan salah aku!" protes Amela dengan cemberut, dia bahkan mencoba untuk menggigit jari pacarnya, yang dengan sigap ditarik kembali sebelum kena."Kamu ih, main gigit aja, kamu Zombie atau apasih."Melihat pacarnya kembali menggodanya, Amela merasa ingin ikut bermain. "Iya, aku Zombie, aku mau makan kamu, arghh..."Pada akhirnya, gue cuma bisa mencoba bertahan dengan menahan Amela di tempatnya yang berakting selayaknya zombie kelaparan.Melihat kejenakaan mereka, orang tua Amela hanya terkekeh. Beban suasana yang canggung sebelumnya terangkat, menjadi lebih hidup. Sayangnya, ada satu orang yang tidak menyambut situasi ini dengan baik."Ehem..." Rama berdehem sambil menawarkan jabat tangan, menghentikan gue dan Amela. Dia tak senang melihat betapa akrab dan dekatnya mereka, itu membuatnya risih."Nama gue Rama, dan gue..." Dia berhenti sejenak dengan ekspresi berpikir, bingung untuk mengatakan dia siapanya Amela. "Gue... temen masa kecilnya Amela, kita... hampir selalu bersama sepanjang waktu."Pada akhirnya, dia memilih status sebagai teman masa kecil, menghindari statusnya sebagai mantan, mungkin karena itu akan merusak citranya atau semacamnya. Juga, penambahan kata 'bersama sepanjang waktu', sepertinya dia gunakan untuk menekankan kedekatan mereka.Amela yang mendengar itu mengerutkan keningnya dengan tak senang. Dia ingin memprotes tapi tidak jadi, karena pada dasarnya apa yang dikatakan Rama adalah kebenaran.Gue nggak ambil pusing soal itu dan berjabat tangan dengan Rama. Namun, saat tangan kita bertautan, gue merasakan tangannya dikepal kuat. Melirik, gue menemukan sudut bibir orang itu sedikit terangkat dan mata hitamnya tidak menutupi emosinya yang tak senang dengan keberadaan gue.Meski diluar tampak tenang dengan senyum ramah, didalam gue tertawa getir. 'Haha, dasar bajingan puber, anda pasti berpikir dunia berputar disekitar anda bukan?'Gue menatap Rama untuk melihat lebih jelas penampilannya. Dia memiliki rambut hitam pendek sedikit acak-acakkan, wajah tampan khas bad-boy, dengan pakaian kemeja hitam yang rapi. Gue yakin ini bukan pakaiannya yang biasa, karena ada semacam kontras yang tidak cocok antara nuansa pakaiaanya dan aura liar arogan dari wataknya yang tidak bisa disembunyikan. Gue yakin dia berpenampilan rapi seperti ini hanya karena berkunjung menemui orang tua Amela. Jika ini diluar, bajingan ini pasti akan memakai sesuatu yang seolah mengatakan: 'Akulah si paling Bad-boy!'"Ehem!" Batuk Ayah Amela, Yuda, menyudahi jabat tangan yang penuh permusuhan ini. "Ini pertama kalinya kalian berdua ketemu satu sama lain," katanya melirik kami. "Tapi saya sudah kenal kalian, walau udah cukup lama juga nggak ketemu."Melirik kepada Rama, Yuda berkata. "Terakhir kali Om lihat kamu, waktu itu kamu bersiap ke luar negri untuk lanjut kuliah disana. Itu udah sekitar empat tahun lalu, dan-""Iya, lumayan lama juga yah Om haha." Rama memotong dengan riang dan melanjutkan. "Waktu itu agak bingung juga sih ya mau lanjut ke luar atau disini aja. Tapi demi mencari ilmu, Rama akhirnya beranikan diri untuk ambil di luar aja. Syukurlah sekarang udah lulus dengan nilai tinggi dari Universitas ternama."Tidak ada rasa iri dalam hati gue, saat mendengar bajingan ini memuntahkan jenjang pendidikannya yang glamor. Gue mencibir didalam hati. 'Idiot, seharusnya saat orang tua bicara, jangan dipotong seenaknya. Lo adalah lulusan Universitas? Dengan etika kayak gitu, gue bahkan ragu kalo lo lulus sekolah dasar.'Ayah Amela tidak menunjukan ketidaknyamanan di wajahnya. Dia mengalihkan pandangan ke Devin dan berkata. "Kamu juga Dev, Om terakhir ketemu kamu waktu kamu main ke rumah, mungkin sekitar enam bulan lalu. Sekarang kamu baru muncul lagi, Om kira kalian udah putus." Diakhir dia melirik putrinya, Amela."Putus putus... aku udah bilang sebelumnya kan Ayah, Hmph..." Dengan cemberut Amela mendengus."Yah... akhir-akhir ini Devin sibuk Om," jawab gue dengan ramah. "Kerjaan lagi sibuk-sibuknya waktu itu. Baru bisa sempetin waktunya sekarang ini.""Kerjaan? Cafe shop itu?" tanya Yuda."Oh udah nggak Om. Yang itu udah gulung tikar. Devin switch untuk bangun bisnis Clothing sekarang, syukurlah, progressnya bagus, nggak kayak yang sebelumnya," jawab gue tertunduk malu."Ohh... begitu." Yuda bergumam pelan, kini memahami alasan kesibukkannya. Memang, tidak mudah untuk membangun sebuah bisnis dari nol. Apalagi jika yang sebelumnya telah gagal."Pftt..." Tawa tertahan yang disengaja bergema, membuat yang lain mengalihkan perhatian ke sumber suara.Diperhatikan, Rama mengkondisikan kembali dirinya. Dia tersenyum, sekilas menatap gue dengan tatapan merendahkan. "Kalo Rama Om, setelah pulang ke Indonesia, Rama bantu bisnis Ayah disini. Dia punya banyak Showroom Mobil. Rama sekarang handle cabang yang khusus jual mobil mewah."Tak ada satupun yang tidak memahami kepada siapa kata-katanya ditunjukkan. Meski dia berbicara kepada Ayah Amela, targetnya jelas adalah gue.Amela siap meledak saat dia juga ikut merasa tersinggung. Lagi pula, siapa yang senang melihat orang yang disayanginya direndahkan, bahkan tepat didepan orang tuanya sendiri! Namun, sebuah tangan lebih dulu menahan bahunya. Melirik kesamping, Amela bisa melihat pacarnya yang masih dengan tenang duduk menatapnya. Tangannya beralih dari bahunya ke atas kepalanya, dan dengan ringan mengacak-acak rambutnya, sebelum mengalihkan pandangan ke Rama yang tampak tak senang dengan aksi kecil itu."Gila! keren banget!" kata gue dengan semangat yang agak lebay. "Masih muda udah sukses. Gue aja cuma bisa sewa Ruko kecil di pinggir jalan. Showroom mobil mewah, harusnya mewah juga kan? Tempat gue mah sumpek, kadang ACnya suka mati, juga kalo Gudangnya penuh, paketnya suka disimpan ke ruang Kantor. Yah lumayanlah, aroma baju baru bagus juga, jadi kadang nggak perlu beli pengharum ruangan lagi hahaha..."Rama menatap bingung atas antusiasme gue. Bagaimana bisa ada orang yang tampak bersemangat menceritakan betapa kurangnya dia dibandingkan orang lain? apalagi itu dilakukan tepat didepan orang-orang yang seharunya dia buat terkesan. Amela juga memiliki kebingungan yang sama.Sayangnya, mereka tidak tahu apa yang gue pikirkan. Gue dengan jelas tahu bahwa orang ini ingin membuat gue merasa insecure atas betapa kurangnya gue dibanding dia. Membuat seolah gue dan Amela hidup di dunia yang berbeda karena kesenjangan ekonomi yang jelas.Tapi, ada cara mudah untuk menutup mulut bajingan seperti itu. Yakni dengan berinisiatif menunduk lebih rendah lagi. Ini seperti berkata: 'Kau ingin aku membungkuk? Tidak! aku akan berlutut!' Meski terdengar konyol, tapi kalian bisa menyebut ini sebagai bentuk berdamai dengan diri sendiri atas segala kekurangan. Kenapa harus merasa insecure? Persetan dengan pandangan orang lain, ini tidak seperti sedang melakukan kejahatan atau semacamnya bukan?"Omset lo berapa bro? gede banget dong," tanya gue."Iya... jelas lah," jawab Rama agak ragu sesaat, sebelum kepercayaan dirinya kembali. "Walaupun itu tergantung tingkat penjualan. Tapi rata-rata, gue bisa dapet ratusan juta sebulan.""Anjir! iri banget gue." Tanpa merasa peduli atas pencapaiannya, gue melanjutkan. "Bisnis Clothing gue cuma bisa dapet Omset puluhan juta sebulan. Itupun masih dipake buat nutup uang operasional dan gaji karyawan. gue paling cuma bisa ambil sisanya. Nggak banyak, sekitar belasan juta aja."Sebenarnya, omset segitu untuk usaha yang baru dirintis, tidak terlalu buruk. Tapi memang, tidak seberapa jika dibanding dengan omset hasil bisnis warisan Papa. Meski gue sendiri merasa cukup dengan penghasilan gue. Memang ada beberapa hal yang masih belum cukup untuk didapat. Contohnya mobil gue saat ini. Di awal mulai bisnis Clothing, gue tahu kita butuh kendaraan pribadi untuk hal-hal tertentu agar lebih nyaman. Karenanya, gue dan Lintang sepakat untuk nggak ambil gaji sama sekali, dan fokus ditabung demi mendukung usaha mereka. Ini juga yang membuat gue, kadang merasa agak nggak enak pakai mobil ini untuk urusan pribadi. Tapi syukurnya, temen gue Lintang, sama-sekali nggak keberatan soal itu, selama nggak ganggu kerjaan. Meski sesekali gue agak sulit untuk mengimbangi antara kerjaan dan kehidupan pribadi. Bagaimanapun, gue punya pacar pecinta angst yang super ribet."Terus terus, apa lagi? gimana kalo mobil? Orang yang jualan mobil mewah pasti punya mobil mewah juga dong...""Beb, kamu kenapa sih!" Amela menggeram malu saat dia berbisik di telinga pacarnya. Dia bingung dengan karakternya yang tidak biasa. Juga meski Devin bersikap seolah merendah, Amela bisa melihat dengan jelas bahwa orang ini sedang bermain-main. Dan meski si pelaku tidak malu melakukannya, Amela tidak demikian. Dia merasa sangat malu! Bagaimana bisa dia menjadi satu-satunya korban disini? Itu tidak adil!Gue sejenak melirik ke Amela, sebelum kambali mengalihkan pandangan ke Rama yang membuat wajah wanita itu berkedut kesal karena diabaikan.Rama agak bingung atas pertayaan itu. Orang ini seharusnya bisa melihat satu-satunya supercar yang terparkir di depan. Tapi tentu, dia dengan sukarela menjawab. Lagi pula, dia tidak keberatan atau justru senang untuk mendapatkan kesempatan memamerkan kekayaannya di depan Amela dan orang tuanya. "Itu mobil Mclaren edisi terbatas, cuma-""Mclaren?!" seru gue memotong Rama. "Kalo gitu, Mclaren lo warna apa Bos? hahaha..." Gue tertawa diakhir setelah memuntahkan guyonan yang akhir-akhir ini ramai di internet.Ekspresi Rama menjadi agak jelek. Dia juga tahu akan guyonan itu. Dia kini tahu jika orang ini sedang bermain-main dengannya. Dia ingin membalas namun..."Ok Boys, kalian berantemnya lain waktu aja ya?" Ibu Amela, Amaya, yang sedari tadi hanya melihat, memotong pembicaraan, tak senang dengan perkembangan yang tidak harmonis ini. "Sebentar lagi masuk jam makan malam, Tante mau siapin makanan dulu, kalian bisa ngobrol baik-baik sama Om, ingat ya, baik-baik." Dia menekankan kata terakhirnya sebelum beranjak."Oh, kebetulan Tante," sahut gue. "Devin juga sebelum kesini sempet belanja bahan makanan dulu sama Amela."Gue menawarkan diri untuk membantu memasak, karenanya, gue izin keluar untuk kembali ke mobil, mengambil bahan makanan dan membawanya ke dapur. Seperti halnya rumah orang kaya pada umumnya, dapur kediaman Amela juga luas, itu membentuk huruf U dengan satu sisi sebagai kabinet utama atau dapur basah dan yang lainnya sebagai dapur keringnya.Gue menempatkan semua bahan makanan di meja dapur, terdiri dari mie, telur, beberapa topping dan penyedap rasa. Ibu Amela, Amaya, juga ada disana bersama dengan putrinya Amela yang jelas lebih memilih untuk ikut memasak demi menghindari Rama. Dan apakah Amela bisa memasak? Tentu saja tidak! dia hanya ikut-ikutan."Kamu buat apa Dev?" Ibu Amela bertanya penasaran melihat semua bahan ini."Yah... Devin mau buat Ramen Special ala-""Ramyeon Jjigae!"Amela memotong dengan antusias. Bagaimanapun, pilihan makanan ini adalah hasil dari buah pilihannya. Tidak mungkin dia melewati makanan popular dari drakor yang sering ditontonnya. Mustahil!"Begitulah, ini ramen ala Korea," jawab gue sebelum melirik Amela. "Kesukaannya Amela."Amela mengangguk penuh semangat, mengakuinya dengan bangga. Setelahnya, gue dibantu Ibu Amela mulai membuat makanan sesuai dengan resep. Dan hanya sekitar lima belas menit kemudian, aroma sedap menyebar di udara.Gue mengecilkan api, dan menambahkan bubuk cabai, menambah cita rasa pedas, begitu pula dengan aroma sekitar yang semakin menggugah selera. Amela yang berdiri di samping, menatap wajan dengan mata predator. Sesekali dia akan menelan ludahnya sendiri, sementara hidungnya mengendus-endus aroma sambil memejamkan mata."Kamu jago juga Dev masaknya," kata Ibu Amela."Nggak juga Tante, keseringan bikin dirumah aja," jawab gue, tersenyum ramah."Iya Mah! Devin jago buangett masaknya," kata Amela. "Kita bisa makan ini setiap hari lho Mah, kalo aja Mamah kasih kita restu-ugh..."Gue menyikutnya sebelum dia menyelesaikan kata-katanya. 'Apa wanita ini nggak punya malu?! gimana dia bisa ngomongin hal itu dengan begitu santai?' gue menggerutu di dalam hati, tanpa menyadari bahwa gue sendiri juga sama tidak tahu malunya."Ih... apaan sih Beb! sakit tahu!" Dengan cemberut, Amela memprotes."Hihi... kalian deket banget kayaknya." Ibu Amela terkekeh melihat tingkah mereka.Gue menggeleng tak berdaya. "Devin nggak jago masak, biasa aja, cuma ngikutin resep di internet doang kok, nggak ada hebat-hebatnya," kata gue, sebelum berbalik, melihat kepada Rama yang sedang mengobrol dengan Ayah Amela. Gue tersenyum licik dan melanjutkan. "Jauh kalah hebat dibanding sama si paling sukses yang disana."Keduanya, Amela dan Ibunya, Amaya, melirik kearah yang gue lihat."Cih hebat apanya," Amela mendesis. "Dia cuma ngomongin harta bokapnya terus. Kalo aku belum kenal dia, aku pasti akan mikir kalo dia itu autis.""Pftt..." Gue menahan tawa. Terkadang celotehan wanita ini cukup menyenangkan untuk didengar."Amela, nggak boleh begitu, nggak baik," kata gue menegurnya, namun tetap dengan seringai jahat saat melanjutkan. "Dia itu bukan autis, tapi emm... cuma lagi dalam masa puber aja.""Pftt..." Kini Amela yang harus menahan tawanya. Sementara Ibu Amela hanya menggeleng dengan masam. Bagaimana bisa kedua orang ini begitu mirip dalam melakukan kejahatan?"Kamu ihh... nggak lebih baik dari aku," kata Amela, tersenyum licik, mencubit pelan bahu pacarnya."Yah... aku cukup setuju sama statement kamu," jawab gue, sebelum melirik kepada Rama sejenak dan kembali menatap Amela, lalu berkata dengan nada berbisik yang nakal "Aku jadi kepirikan deh. Kalo seandainya itu cara dia untuk PDKT. Aku khawatir ceweknya akan lebih kenal sama ayahnya ketimbang dia sendiri.""Hahaha..." Kali ini, Amela tidak mampu menahan tawanya, saat sejenak, area lantai satu rumah dipenuhi oleh tawanya. Sementara itu, Ibu Amela juga sepertinya cukup terhibur dengan lelucon gue. Dia menutup mulutnya menahan diri untuk tertawa.Kegaduhan di dapur cukup menarik perhatian mereka yang ada di ruang tamu. Rama melirik ke arah sana. Dia tak senang dengan apa yang dilihatnya. Mereka tampak begitu akrab satu sama lain. Sementara itu, disini dia harus mengobrol dengan Om Yuda, membahas hal-hal formal seputar bisnis Ayahnya, tipikal topik yang sebenarnya bukan topik."Udah udah, fokus aja ke masakan, nanti kematengan lagi," tegur Ibu Amela. Gue kembali fokus, dan mulai menyiapkan fase terakhir dengan membagikannya ke beberapa mangkuk dan memberikan beberapa topping. Meletakkan kuning telur, lembar nori, jamur enoki, Tteobokki, dan sosis dengan rapi."Punyaku yang ini, yang paling banyak ya," sahut Amela saat dia menunjuk salah satu mangkuk. Dia juga menambahkan sendiri toppingnya. Bahkan dia menambahkan bubuk cabai agar lebih pedas. Wanita ini benar-benar suka pedas, tak aneh jika mulutnya juga sama pedasnya.Dan yaps, makanan telah jadi. Ibu Amela membawakan nampan, beserta air es sebagai minumannya. Kita meletakkan semua itu di meja makan yang lebar, meja makan berbahan marmer khas rumah orang kaya pastinya.Ibu Amela, Amaya, mengundang dua orang di ruang tamu untuk makan malam. Kami mengambil tempat duduk dengan keluarga Amela di satu sisi meja makan. Gue dan Rama di sisi meja makan satunya, menghadap ketiganya."Baunya enak," sahut Ayah Amela, Yuda, yang menghirup aroma sedap masakan."Umm... enak banget Ayah! cobain deh." Amela tidak menunggu yang lain untuk makan. Dia sudah berjuang untuk menahan keinginannya, dan sekarang waktunya untuk pembalasan! Dia melahap dengan senang, lidahnya serasa bergoyang dengan rasa asam gurih yang pedas, mie lembut dan toppingnya yang enak.Yuda melihat putrinya yang tampak seperti zombie kelaparan, mendesah dan menggeleng tak berdaya. Pada akhirnya, dia juga turun untuk mencicipi masakan Devin dan cukup mengejutkan, menemukan rasanya yang nikmat. Dia melirik kepada pemuda itu sebelum beralih ke putrinya. Dia tak bisa tidak berpikir: 'Apa ini cara dia menjinakkan Amela?'Makan malam berjalan dengan baik. Mereka cukup puas dengan itu, termasuk Rama yang tidak banyak bicara di tempat."Uhh... aku mau lagi," kata Amela terengah-engah kepedasan. Bibirnya dan wajahnya memerah dengan balutan keringat."Punya kamu terlalu pedes, minum larutan dulu sana," kata Amaya, menegur putrinya."Ihh... males gerak, begah perut aku."Amaya menggeleng dan beranjak dari tempatnya, sebelum tak lama kemudian kembali, menyerahkan minuman larutan untuk Amela dan berkata. "Kamu jangan sakit perut, hari Sabtu inget lho kamu ada acara.""Hmm... acara? acara apa?" tanya Amela bingung."Kok kamu bisa lupa? ya acara nikahan pastinya dong." Amaya terdengar sedikit frustasi.Sementara itu, gue yang duduk di depan mereka sedikit tersentak kaget. 'Pernikahan? nikahan siapa? Jantung gue berdetak lebih cepat saat memikirkan beberapa skenario. Ini pastinya nggak mungkin Rama dong. Tapi kalo itu gue, kok bisa mendadak gitu sih!!'"Oh iya! nikahan Kania! Aku hampir lupa astaga," seru Amela sambil menepuk jidatnya."Hah... kamu, masa nikahan temen sendiri lupa," Ibu Amela terdengar tak berdaya.Disisi lain, gue yang sebelumnya hatinya tegang, segera menyusut kembali. 'Bjirr! pede banget gue! merasa kalo itu tentang gue dan Amela, lagian ngapain kepiran kesana sih! untung kagak ada yang tahu, fiuh...' Sementara batin gue bergejolak, diluar gue tetap mempertahankan wajah poker.Ibu Amela melirik kepada pemuda di depannya dan berkata. "Kamu juga ikut ya Dev.""Hmm? ikut kemana?" tanya gue pura-pura bodoh. Gue dengan jelas tahu apa maksudnya."Ikut kita ke nikahan temennya Amela hari Sabtu besok.""Oh, boleh kok," jawab gue tersenyum ringan, bersikap seolah itu hal kecil yang biasa. Namun didalam, gue merasa senang karena diajak.Sementara itu, Rama mengerutkan keningnya, namun tidak mengatakan apapun. Dia juga akan hadir disana, karena bagaimanapun, Kania ini bisa disebut temannya juga, karena dia, Kania dan Amela bersekolah di SMA yang sama. Dan dia juga telah mendapat undangan soal itu.Gue tidak berlama-lama lagi disana. Karena waktu juga semakin larut, gue meminta izin untuk pulang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Rama. Amela dan orang tuanya, mengantarkan kita sampai kedepan pintu rumah. Saat di halaman, gue dan Rama saling melirik saat melihat kendaraaan satu sama lain. Mobil gue hanya City Car Honda Brio warna putih yang umum dipasaran. Sedangkan milik Rama adalah Supercar Mclaren warna hitam.Rama melirik ke arah gue dan mencibir. "Mclaren lo warna apa Bos?" Mengatakan itu, dia berjalan ke mobilnya dan pergi. Sudut mulut gue berkedut saat mendengarnya. Bajingan ini melemparkan kembali kotoran yang gue kasih! Mengabaikannya, gue juga masuk kedalam mobil dan pergi dari kediaman Amela.Melihat kedua pemuda itu telah pergi, ketiganya kembali masuk kedalam. Amela segera berjalan ke lantai dua, ke kamarnya. Sementara itu, Ayah Amela, Yuda, kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa."Kamu mau teh Mas?" tanya Amaya kepada Suaminya."Boleh, tambahin madu sama daun mint ya," jawab Yuda.Lima menit kemudian, Amaya kembali dengan dua cangkir teh saat dia meletakkannya di atas meja, dan duduk di sofa. Yuda mengambil salah satu cangkir dan meniupkannya beberapa kali, sebelum menyeruputnya."Jadi gimana?"Mendengar pertanyaan Istrinya, Yuda menghela napas hangat, bertanya balik. "Gimana apanya?""Kamu tahu yang aku maksud Mas." Amaya tersenyum tipis sebelum menyeruput tehnya."Hahh... dia belum berubah," kata Yuda dengan lesu, sebelum berubah menjadi nada yang dingin. "Bajingan itu masih kayak dulu."Amaya melirik kepada Suaminya yang saat ini memiliki ekspresi keras. "Kamu masih marah ya?"Yuda menatap Istrinya, matanya tidak menyembunyikan kemarahannya. "Anak itu bahkan nggak minta maaf. Kelakukannya kayak nggak pernah ngelakuin salah. Kalo bukan karena dia anak temen Mas, udah Mas usir saat itu juga."Ayama melihat Suaminya yang menahan gejolak emosinya dan menghela napas. Memang benar, Yuda menyimpan dendam pada Rama. Bagaimanapun, putri mereka mengalami pengalaman pahit selama kuliah di luar negri saat bersama orang itu. Dia masih ingat, beberapa tahun lalu, ketika Suaminya mendapat telpon dari putrinya. Dia menjadi sangat marah. Tak pernah Amaya melihat Yuda semarah itu sampai membanting beberapa barang, sebelum berangkat ke luar negri menjemput Amela disaat itu juga.Dia juga ingat, sepulangnya mereka, Amaya menemukan putrinya telah berubah total. Dia tak seperti anak lincah periang yang dia besarkan. Anak itu menjadi tertutup dan hampir tak pernah meninggalkan kamarnya. Hanya setelah satu tahun kemudian dia menjadi sedikit lebih baik. Suaminya, Yuda, mendaftarkan Amela untuk lanjut berkuliah di Universitas yang tak jauh dari rumah mereka. Berharap dia bisa memulai hidupnya kembali. Dan syukurlah, sedikit demi sedikit, Amela yang mereka kenal, kini kembali. Dan saat itu juga mereka mulai mengetahui putri mereka menjalin hubungan dengan pemuda yang bernama Devin."Tapi kamu lihat sendirikan Mas, Amela kayaknya nggak begitu peduli lagi," tanya Amaya.Yuda menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan sarafnya. Dia mengingat kembali reaksi Amela saat bertemu lagi dengan Rama. Itu tidak seburuk yang dia kira. Dia berpikir Amela akan meledak dalam amarah total. Dia bahkan awalnya berniat untuk mengusir orang itu agar tidak bertemu dengan putrinya. Namun, Istrinya mengatakan untuk mencoba mengetesnya, dengan membiarkan Rama bertemu dengan Amela. Jika reaksi Amela tidak begitu signifikan, maka Amela bisa dibilang telah sepenuhnya melepaskan diri dari masa lalunya. Dan itu terbukti benar. Kecuali ketidaksukaannya yang dengan jelas terlihat, anak itu hanya memiliki ketidakpedulian pada kekasih masa lalunya. Itu bagus, karena dia tidak terjebak ke dalam emosi yang berlebih. Tidak benci, apalagi cinta, hanya ketidakpedulian."Yahh... kamu bener, untungnya dia sepenuhnya lepas dari bajingan itu," kata Yuda sebelum menyeruput tehnya.Amaya tersenyum dan berbicara dengan nada menggoda. "Berarti udah dipastikan dong siapa yang sama Amela.""Uhuk..." Yuda tersedak. Dia menatap Istrinya dan berbicara dengan cemberut. "Masih terlalu cepet. nanti aja bahas itu."Amaya terkikik melihat reaksi Suaminya. Pembahasan mengenai pasangan untuk anak perempuannya, selalu menjadi topik sensitif bagi semua Ayah. Tidak terkecuali Yuda. Jika seandainya Suaminya ini bisa memilih, dia pasti berharap putrinya akan tetap menjadi anak berumur sepuluh tahun dan tak pernah tumbuh! Terdengar gila? Percayalah, ini adalah hal yang di inginkan oleh semua Ayah!