Kosong dan hampa, hanya itu yang saat ini aku rasakan. Terbaring lemah diranjang rumah sakit, bersama dengan berbagai alat bantu kehidupan yang menempel pada tubuhku. Entah berapa lama aku menatap plafon ruangan dengan mata kosong. Di tengah lamunanku yang monoton, pintu kamar terbuka, langkah kaki yang lembut terdengar dan berhenti tepat di sebelahku.Meski mendengarnya, aku tetap tidak berpaling, seolah tak menyadari segala bentuk perubahan, atau lebih tepatnya, aku sudah tidak peduli lagi. Hati dan pikiranku sudah terlalu kosong untuk peduli pada apapun."Nak."Sapaan lembut bergema di ruangan kamar rumah sakit yang sepi. Suara itu milik seorang pria paruh baya yang saat ini sedang berdiri, menatap putrinya yang berada dalam kondisi kritis."A-Ayah, minta... maaf Nak." Suaranya terbata-bata, terdengar sedih dan penuh dengan rasa bersalah. "Ayah menyesal Nak, kalo seandainya aja Ayah dengerin kamu, kalo seandainya aja Ayah lebih perhatiin kamu, ini semua nggak akan..."Dia tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya, melihat keadaan putrinya yang merupakan akibat dari kesalahannya. Air mata mulai mengalir dari matanya, memikirkan penderitaan apa saja yang dialami putrinya sejak dia menikah lagi.Istrinya, Mika, yang merupakan ibu kandung putrinya, telah meninggal dua tahun yang lalu. Di tengah kesedihannya, teman lama istrinya, Ayunda, yang merupakan seorang Janda dengan dua anak mulai mendekatinya. Dia tidak terlalu memikirkannya saat itu. Namun, seiring waktu, dia mulai menaruh perhatian padanya. Memikirkan bahwa dirinya membutuhkan seorang wanita dalam hidupnya untuk mengisi kekosongannya, serta putrinya yang juga membutuhkan figur seorang ibu, dia akhirnya memutuskan untuk menikahinya dan memperlakukan anak-anaknya sebagai anaknya sendiri.Tapi, sesuatu yang dia pikir akan menjadi awal yang baru untuk kehidupan bahagia, ternyata adalah awal dari kesengsaraan putrinya.Tanpa dia sadari, Ayunda ternyata selama ini menyimpan dendam kepada mendiang istrinya, Mika. Dia memang ingat ketika di masa kuliah dulu, mereka bertiga pernah terlibat dalam cinta segitiga. Tapi masalah itu telah lama usai, dan bahkan setelahnya, hubungan ketiganya masih baik dengan pasangan masing-masing. Tidak pernah dia menyangka bahwa jauh didalam, Ayunda ternyata menyimpan dendam dan dia melampiaskannya kepada putrinya yang tidak bersalah, bahkan kedua anaknya pun ikut merundung putrinya!Dia tidak pernah tahu akan hal ini karena Ayunda selalu pandai menutupinya, dan membatasi interaksinya dengan putri kandungnya dengan berbagai macam alasan.Dia juga terlalu sibuk dengan pekerjaan dan terlena atas kehidupan manis dengan istri barunya, tanpa tahu bahwa dibelakang, putrinya sedang menangis kesakitan atas segala perundungan yang diterimanya.Waktu tidak bisa diubah, apa yang telah terjadi tidak bisa ditarik kembali, tidak peduli meski dia sudah mengetahui kebenarannya dan telah mengatur proses percerainnya, penderitaan yang dialami putrinya akan tetap ada.Melihat kembali kondisi kritisnya yang hanya menatap kosong ke atas, membuat hatinya sakit, dia tak pernah merasakan sakit yang begitu menyengat seperti ini, bahkan tidak saat kematian istrinya, Mika. Dia hanya bisa tentunduk lemah dan meratapi kesalahannya dengan segala campuran emosi: marah, sedih, menyesal, tidak peduli apa itu, hanya akan menghasilkan ketidakberdayaan.Mendengar isak tangis dan ratapan yang tidak jelas, aku yang sedari tadi hanya menatap kosong ke plafon, memiringkan kepala untuk melihat seseorang yang dulu aku panggil sebagai Ayah.Meski cukup sulit melakukannya, mengingat segala macam alat bantu kehidupan yang terpasang ditubuhku, aku masih bisa menatapnya dengan baik.Saat melihatnya, aku merasakan hatiku menjerit akan rasa sakit. Tidak tahu berapa kali aku mencoba untuk mencari penghibur lara padanya, hanya untuk berakhir diabaikan. Tidak peduli apa yang aku katakan, dia akan lebih memilih untuk percaya pada istri barunya dan bahkan dia lebih banyak memberikan perhatian kepada anak tirinya dengan alasan demi memperkuat hubungan keluarga atau semacamnya.Di tengah semua badai keterpurukan itu, aku selalu merindukan Ibuku. Aku selalu merindukan kehangatannya, aku ingin kembali bermain dengannya, mengunjungi tempat hiburan, dan makan makanan enak dengannya. Setelah Ayah menikah lagi, sulit bagiku untuk mendapatkan semua itu, bahkan aku tidak bisa mengunjungi makam Ibu. Namun, sekarang aku seharusnya bisa bertemu dengannya lagi bukan?Menatap Ayahku yang sedang menangis di samping, penglihatanku menjadi buram karena genangan air mata, aku ingat bagaimana ketika Ibu terbaring di ranjang kematiannya, dia berpesan agar aku selalu menjadi kuat dan merawat Ayah dengan baik.Tapi...'Maaf Ibu, aku tidak sekuat itu, aku telah berusaha sebisaku untuk menanggung semua rasa sakit, tapi... ini adalah batasanku. Aku sangat lelah, aku sangat rindu Ibu, tolong maafkan aku karena mengecewakanmu, karena tidak menjadi anak yang kuat, tolong terima aku Ibu, aku hanya ingin bersamamu.'Pandanganku semakin buram saat kegelapan mulai menyelimutiku. Rasanya dingin, tapi disaat yang sama juga menenangkan.Ayah tersentak kaget saat melihat mesin pendeteksi impuls jantung mulai menjukkan grafik yang turun, bersamaan dengan suara bip yang menggangu. Wajahnya pucat ketakutan saat dia berteriak. "Tidak! tidak! tolong jangan!"Dia menjadi linglung, emosinya terlalu hiruk-pikuk untuk berpikir normal. Pada akhirnya, dia dengan panik keluar ruangan dan memanggil dokter.Dengan setiap waktu yang berlalu, aku merasa tubuhku menjadi lebih ringan, kegelapan semakin pekat menyelimutiku, dan perasaan tenang yang membebaskan, mulai mendamaikan jiwaku yang dipenuhi luka. Kilasan masa lalu diputar di benakku, sebuah kenangan termanis dalam hidupku dimunculkan kembali. Saat itu musim panas, aku berumur sepuluh tahun, bersama Ayah dan Ibu, kami berkemah di pinggir danau, kami memancing disana, memanggang ikan yang kami tangkap dan mendengarkan Ayah bercerita tentang hantu saat malam tiba. Aku duduk di pangkuan Ibuku, dengan takut-takut mendengarkan cerita, sementara kedua tangan hangat Ibuku memelukku erat, tidak peduli seseram apa ceritanya, aku selalu merasa aman disana, dipelukan Ibu.Tanpa sadar, rasa kantuk mulai menyelimutiku, aku mulai tertidur sementara ruangan kamar rumah sakit terbuka, Ayah dan beberapa orang berseragam putih datang terburu-buru.Pandangan Ayah yang dengan panik membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, bercampur, tumpang tindih dengan pandangan Ayah yang sedang bercerita saat kami berkemah.Hingga akhirnya, rasa kantuk terlalu kuat untukku tahan. Aku sepenuhnya memejamkan mata, kedamaian sepenuhnya menyelimuti jiwaku saat aku tertidur dalam keabadian di pangkuan Ibuku, dalam pelukannya yang hangat.Tamat."Hiks... hiks..."Suara isak tangis terdengar di sebuah kamar dengan dekorasi bernuansa feminitas. Beberapa poster idol k-pop juga dipajang disana-sini.Amela duduk di ranjang berwarna pink dengan banyak boneka dari berbagai ukuran di sekitarnya. Dia sedang memegang sebuah buku, dengan air matanya yang menetes kelembar halaman."Ahhh... bego! bego! makannya jadi orang tua jangan kebanyakan kawin, nikah aja mulu, pikirin anak lo, bego banget sih!!" Dia menggerutu dengan kesal, dan memaki tokoh Ayah dalam buku novel yang dia baca. "Makan tuh! nyeselkan lo setelah ditinggal pergi, nangis sono lo! nangis aja sampai mati sono lo!!"Meski kata-katanya di arahkan pada karakter di buku, Amela sendiri juga sedang menangis gila-gilaan. Mungkin dia sedang membicarakan dirinya sendiri, entahlah.Amela sangat kesal, saking kesalnya, dia bahkan hampir merobek buku tersebut sebelum berhenti ditengah jalan. Namun, dia masih membutuhkan sesuatu untuk meredakan emosinya. Dia mengusap matanya yang berair dan melirik ke sekitar, mencari sesuatu sebelum akhirnya menemukan ponselnya yang agak jauh darinya diatas tempat tidur.Mengambil ponselnya, dia segera mencari kontak tertentu dan menuliskan pesan.Amela: "Beb!! Masa ada orang yang sebegitu begonya sampai anak sendiri..."Dan seperti biasa, Amela akan mengadukan hampir segala macam hal kepada pacarnya yang malang, Devin. Dia telah mengetik panjang lebar, merangkum cerita dari novel Angst yang dia baca sebelumnya, tentu tidak lupa dengan segala macam keluhan di dalamnya. Alhasil, chat yang dia ketik menggunung sampai terasa seperti koran.Mengirim pesan, Amela menunggu balasan.10 detik...20 detik...30 detik...Amela mengerutkan kening, dia bisa melihat status Devin yang sedang online, tapi sampai sekarang, pihak lawan masih belum memberi balasan. Berada dalam kekalutan setelah membaca cerita Angst, Amela tidak memikirkan betapa panjang chatnya, dan menyadari bahwasannya butuh lebih dari 30 detik untuk sekedar membaca pesannya. Tapi, mengingat dia memiliki kesabaran setipis tisu, baginya itu sangat lama!"Ihh... lama banget sih balesnya!" Menggerutu kesal, Amela siap untuk mengirim pesan lanjutan, sebelum...Devin: "Ok"Wajah Amela berkedut kesal, dia telah panjang lebar menuangkan seluruh keluh kesahnya selama sepuluh menit lebih untuk mengetik, dan hanya mendapat balasan 'Ok', betapa kejamnya itu hey!Amela: "Masa cuma Ok doang! kamu nggak niat banget ya balesnya!"Kali ini Devin tidak memutuhkan waktu lama untuk membalas.Devin: "Terus kamu maunya aku bales apa?"Amela: "Atuh apa kek, coba tunjukan ketulusan kamu, tuangkan isi hati kamu, betapa kamu bersedih sama endingnya yang mengharukan."Devin: "Tapi aku nggak sedih Mel, lagian itu cuma cerita fiksi."Amela tergagap dengan jawaban pacarnya, nggak sedih? mustahil! mana mungkin ada manusia berhati sedingin itu. Dan apa itu tadi, cuma cerita fiksi? Helloo... nggak penting itu nyata atau tidak, selama kita berbagi kesedihan yang sama, mereka itu nyata! aku ulangi, mereka nyata! hal-hal penting harus diucapkan dua kali!Amela: "Kamu jahat banget gila! masa kamu nggak merasa kasihan sih sama dia, hidupnya itu penuh derita Beb! masa kamu nggak punya empati buat dia, jahat banget kamu!"Devin: "Kamu terlalu halu Mel, ini aku kirim sesuatu."Amela menelan kekesalannya dan menunggu apapun yang pacarnya coba kirim padanya, semoga itu hal baik, atau... lihat saja nanti. Segera, Amela melihat Devin mengirim suatu link, dan saat Amela mengklik, dia diarahkan ke browser yang membuka sebuah artikel yang berjudul: 12 Cara Lepas Dari Kehaluan Karakter Fiksi, Nomor 9 Bikin Melongo!Wajah Amela menjadi jelek, dahinya berkedut kesal.Amela: "BEB!! kamu itu yah..."Dengan itu, sepuluh menit berikutnya, Amela mengetik geram atas kejenakaan pacarnya, sampai akhirnya Devin bersikap sedikit kooperatif.Devin: "Yaudah ok, aku sedih deh."Amela: "Nadanya nggak tulus banget yah kamu."Devin: "Aku ngetik sayang, bukan voice note, gimana kamu bisa denger nadanya sih."Amela: "Kerasa kok! biar aku tebak ya, kamu ngetik itu dengan wajah datarkan?"Devin: "Mel, aku ngetik ini sambil packing pesanan, jadi udah dulu yah."Antusiasme Amela meredup saat melihat jawaban terakhir pacarnya. Devin sepertinya sedang sibuk dengan pekerjaannya, dan dia mungkin mengganggunya. Menghela napas, Amela meminta maaf atas gangguan yang dibuatnya. Meski masih ingin bercakap dengan pacarnya, dia dengan pengertian mengesampingkannya, ada waktu untuk hal-hal semacam itu. Pada akhirnya, dia dan Devin sepakat untuk bertemu di sore hari.Amela bangkit dari tempat tidur, meletakkan bukunya di rak buku yang penuh dengan deretan novel Angst berjejeran disana. Keluar dari kamarnya, dia turun ke lantai satu rumah. Dibawah, dia menemukan Ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu, menggenggam sebuah gadget tablet dan fokus dengan itu. Ada cangkir kopi juga di depannya, diatas meja.Karena ruangan lantai satu bersifat open-space, Amela juga bisa melihat Ibunya di dapur yang agak jauh dari ruang tamu. Menyadari putrinya berjalan mendekat kearahnya, Ayah Amela mengalihkan padangan dan bertanya. "Kenapa Mel? uang lagi?""Nggak kok," jawab Amela. "Aku cuma minta dibeliin rak buku lagi aja."'Apa bedanya itu?' Ayah Amela, Yuda, menggerutu didalam hati. "Yang sekarang kenapa? udah penuh?""Iya, udah penuh, aku mau beli buku lagi, tapi rak penyimpanannya nggak ada, jadi mau beli itu juga sekalian."Menghela napas, Yuda menjawab. "Yaudah pesen aja, nanti Ayah yang bayar.""Yey! sama beli buku juga ya sekalian."Yuda mengangguk mengiyakan, sebelum menyeruput kopinya, sementara Amela sibuk dengan ponselnya, mencari di online shop."Hmm... yang ini bagus nih, tapi lebih enak kalo lihat langsung sebelum beli," katanya sambil mengulir layar ponsel. "Ah minta Devin temenin aku aja deh.""Devin? pacar kamu itu?" Yuda bertanya saat mendengar nama yang familiar. Dia tahu putrinya sedang menjalin hubungan dengan seseorang, itu bukan rahasia di keluarga."Ya iya dong... Ayah nggak mungkin lupa kan?" jawab Amela memutar bola matanya."Heh, Ayah pikir kalian udah putus," Yuda mencibir. "Terakhir kali dia main ke rumah, sekitar enam bulan yang lalu kan? kemana dia sekarang?""Dia sibuk sama kerjaannya," jawab Amela, sebelum melanjutkan dengan nada lesu. "Hahh... bulan-bulan terakhir ini, dia lebih sibuk dari biasanya, bahkan kita nggak bisa ketemu di hari minggu, hahh...""Haha... itu tanda-tanda," Yuda tertawa sinis. "Dia pasti punya yang lain di belak-aduh!" Sebelum Yuda bisa menyelesaikan kata-katanya, putrinya, Amela, mencubit pahanya. "Kamu kenapa sih?""Itu Salah Ayah, bilang yang nggak-nggak," jawab Amela dengan cemberut kesal. "Devin itu orang baik, aku tahu banget, dia nggak mungkin begitu."Melihat kepercayaan putrinya, Yuda mencibir. "Heh, yakin banget yah.""Iyalah, aku yakin seratus- nggak, seribu-ribu-ribu persen aku yakin itu!"Amela mengangkat kepalanya dengan bangga, sedangkan Ayahnya, Yuda, hanya menggeleng dengan senyum pahit seraya berpikir: 'Anak ini sudah jatuh terlalu dalam, tingkat kebucinannya sudah sampai stadium akhir, hahh...'Menghela napas, Yuda hanya bisa pasrah. Dia sebenarnya tidak terlalu khawatir akan hal ini, karena pada dasarnya dia juga tahu bahwa Devin memanglah anak yang baik. Dia juga sedikit berbeda dari kebanyakan anak muda pada umumnya. Sulit untuk menggambarkannya dengan kata-kata, tapi dia tahu bahwa orang itu tidak memiliki niat buruk kepada putrinya dan bisa dipercaya. Ditambah lagi, dia berhutang padanya atas apa yang terjadi pada putrinya dimasa lalu, jika bukan karena dia, putrinya mungkin tidak akan menjadi seperti yang sekarang. Berpikir demikian, Yuda menyeruput kopinya.Sementara itu, Amela kembali sibuk dengan ponselnya. "Rak buku nanti, sekarang tinggal checkout wishlist aku, totalnya ada 40 buku.""Uhuk..." Yuda sedikit tersendat saat dia tengah meminum kopi setelah mendengar perkataan putrinya. "Mel, apa maksudnya itu, kamu mau beli 40 buku sekaligus?""Eh iya, kenapa Ayah?"Yuda menggeleng. "Kamu boros banget tahu, masa langsung 40 buku. Beli tiga atau empat aja dulu. Kalo sekaligus nanti banyak yang kamu nggak sempat baca, jadinya boros. Kamu nggak boleh gitu ah."Mendengar teguran Ayahnya, Amela cemberut. "Nggak apa-apa Ayah, Amelakan selalu suka baca buku, jadi semuanya pasti bakal aku baca."Yuda tersenyum masam, dia tahu bahwa putrinya memang suka membaca. Hanya saja, masalahnya dia hanya membaca buku novel dan tidak yang lain!Dia sering melihat putrinya begadang semalaman hanya untuk membaca novel. Sedangkan ketika dia memberinya buku pengembangan diri, tidak sampai satu jam dia sudah tertidur!Menghela napas, Yuda berkata. "Nggak bisa, belinya sedikit-sedikit aja, kalo nanti memang mau lagi, saat butuh itulah kamu pesen, jangan sampai kamu beli sekaligus begitu yah."Amela terus memprotes, tapi Ayahnya juga cukup kesar kepala dengan itu."Ih pelit banget sih! Ayah nggak sayang Amela lagi ya?"Mendengar deklarasi tidak masuk akal putrinya, dahi Yuda berkedut. "Nggak sayang gimana, kamu satu-satunya anak Ayah lho, gimana bisa nggak sayang sih.""Lagian, masa aku cuma-" Amela yang ingin menjawab, seketika membeku, dia teringat dengan novel Angst yang sebelumnya dia baca. "Jadi begitu," gummanya lembut. "Sekarang Amela tahu kebenarannya."Yuda menatap bingung putrinya yang tiba-tiba membeku dan tampak sedang berpikir keras, seolah baru mengingat sesuatu yang penting, bahkan matanya tampak berbinar karenanya. "Mel? kamu kena-""Ayah!" potong Amela. "Sekarang Amela tahu kenapa Ayah nggak mau beliin Amela."'Nggak mau beliin? siapa yang bilang begitu? saya cuma bilang untuk belinya seperlunya aja, supaya nggak boros.' bergumam dalam hati, Yuda bingung dengan ledakan mendadak putrinya."Amela tahu kenapa Ayah begitu." Amela berdiri dengan tegap, menunjuk Ayahnya dan berkata dengan lantang. "Sebenarnya Ayah nikah lagi kan?!""..."Seketika keheningan menyapu seluruh rumah. Mata Yuda terbuka sangat lebar dengan mulutnya yang menganga, sementara putrinya berdiri dengan senyum bangga, seolah-olah telah memecahkan sebuah misteri. Dia tidak tahu apakah omong kosong yang baru saja dimuntahkan putrinya adalah bentuk balasan karena sebelumnya dia mencibir pacarnya, atau apa? dia tidak tahu. "K-Kamu ngomong apa-"Tak!Sebelum Yuda menyelesaikan kata-katanya, suara hentakan kayu terdengar. Dia menoleh untuk menemukan Istrinya di dapur yang sedang memotong sayuran. Hatinya merasa tegang saat keringat dingin mulai bermunculan di dahinya. "Nggak mungkin Ayah nikah lagi Amela!""Eh tapi, Ayah bilang nggak mau beliin Amela buku, artinya Ayah nggak sayang lagi sama Amela, berarti Ayah nikah lagi kan?" kata Amela skeptis."Ayah nggak pernah bilang untuk nggak mau beliin kamu, Ayah cuma bilang kamu belinya seperlunya aja, jadi-"Tak!Suara hentakan kayu terdengar lagi, kali ini Yuda bahkan tidak berani menoleh ke sumber suara."Jadi apa?" tanya Amela."Oke beli aja semuanya! berapa itu tadi? 40? 50? beli aja semuanya, nanti Ayah yang bayar!" jawab Yuda tergesa-gesa."Yey! sayang Ayah!" Amela berjalan dan memeluk Ayahnya sebelum pergi kembali ke kamarnya di lantai dua.Setelah dia pergi, keheningan yang tegang mengalir di lantai satu rumah. Yuda kembali fokus kepada tabletnya, ditemani oleh suara hentakan kayu yang sesekali terdengar dari Istrinya yang sedang memasak di dapur. Membuatnya merasa tegang dengan keringat dingin. Dia tak bisa tidak berpikir: 'Anak itu suatu hari mungkin akan menghancurkan keluarganya sendiri!'***Aroma kopi yang nikmat, memenuhi udara di dalam Cafe kecil minimalis bergaya industrial. Sepasang wanita dan pria duduk bersebelahan menghadap jendela, menampilkan pemandangan diluar, yakni sebuah jalan yang ramai akan pejalan kaki lalu-lalang. Cuacanya tidak terlalu baik dengan adanya sedikit gerimis kecil. Namun, entah mengapa, kilauan dari matahari sore, membuat pemandangan diluar begitu mempesona.Suasana harmonis ini seharusnya menjadi momen yang baik bagi sepasang kekasih untuk menghabiskan waktu. Jika mereka adalah sepasang kekasih normal tentunya. Bagaimanapun, jika kamu memiliki pacar seorang pecinta akut cerita Angst, semuanya mungkin akan sedikit berbeda."Lihat kan Beb, Si Ayah itu tululnya udah nggak bisa ketolong lagi. Ibarat penyakit, ini udah sampai stadium akhir."Gue dengan tenang mendengarkan cerita Amela sambil sesekali menyeruput kopi, atau membuka ponsel, membaca sebuah artikel. Sudah hampir dua jam kita disini, dan Amela baru saja selesai menceritakan kembali novel Angst yang baru dia baca hari ini. Hal seperti itu mungkin sudah yang ke seratus kalinya terjadi sejak mereka mulai pacaran. Terkadang, gue bertanya-tanya apakah pacar gue ini adalah Gramedia berjalan atau semacamnya? entahlah."Iya, kamu bener." Gue mengangguk monoton sebagai respon."Si Ayah itu cuma bisa menangis, menyesali hidupnya, lagian anaknya sudah meninggal." Amela dengan sedih berkata sambil mengatupkan kedua tangannya. "Aku harap anak itu mendapatkan tempat yang baik di alam sana."Melihat bagaimana Amela yang sedang berdoa, gue merasakan dorongan untuk berkata: 'Maaf Nona, dia hanya karakter fiksi, alam apa yang anda bicarakan? alam kehaluan?'Tentu gue nggak berani mengucapkannya, karena tahu dia akan kesal dan menggunakan berbagai macam pernyataan tidak masuk akal untuk membenarkan bahwa karakter fiksinya itu nyata.Amela berhenti sejenak, teringat akan sesuatu dan berkata. "Oh bener, rak buku aku udah penuh. Tadinya aku mau beli secara online, tapi aku maunya lihat langsung barangnya dulu sebelum beli. Jadi nanti tolong temenin aku ke toko ya?"Melihat ekspresi berharap Amela, gue hanya mengangguk mengiyakan."Yey! oh juga, Ayah nanyain kamu tuh, yang udah lama nggak main kerumah, dia bilang kita katanya udah putus, cih." Amela mencibir tidak senang, dan gue yang mendengar itu memiliki ekspresi rumit, sebelum akhirnya menghela napas. "Hahh... nanti aku bakal main kerumah.""Bener?" tanya Amela."Iya Mel.""Ok, aku pegang kata-kata kamu," katanya sambil mengaitkan kedua jari kelingkingnya, seolah menyegel omongan gue sebelum melanjutkan. "Kamu nggak perlu ragu untuk main kerumah, ini juga bukan yang pertama, apa lagi kamu harusnya tahu kalo orang tua aku tuh orangnya baik."Gue mengangguk mengakui, sambil menyeruput kopi. Memang, orang tua Amela adalah orang yang baik, mereka tidak terlalu kaku atau menakutkan seperti apa yang dibayangkan oleh para calon menantu kepada calon mertua mereka."Ayah bahkan akan beliin aku 40 buku novel cerita Angst.""Uhuk..." Kali ini gue tersedak dan hampir memuntahkan kopi yang gue minum. "A-Apa? 40 buku? sekaligus?""Iya dong, lihat, baguskan? Ayahku sayang banget sama anaknya, nggak kayak si Ayah di novel itu," jawabnya dengan senyum bangga, menatap gue sambil menyilangkan tangan dan membusungkan dadanya.'Bagus apanya! 40 buku sekaligus, bukannya itu berarti gue akan jadi media curhat dia untuk 40 buku sialan itu!'Entah mengapa, tubuh gue terasa lemas, seolah menjadi sepuluh tahun lebih tua. Sepertinya, gue akan memiliki hari yang panjang kedepannya.'Ugh... wahai calon Ayah Mertua, tidakkah anda terlalu kejam, tidakkah anda tahu bahwa ini membuat hidupku menjadi lebih sulit!' gue menggerutu kesal pada Ayah Amela karena terlalu memanjakannya. Seharusnya dia menjadi lebih bijaksana dengan membatasinya menjadi beberapa buku saja, tidak sekaligus. Entah kenapa, gue merasa ini adalah balasan dari 'calon mertuanya', karena dia sudah lama tidak berkunjung kerumah mereka.Jika senadainya Ayah Amela, Yuda, mendengar keluhan Devin, dia mungkin akan berteriak: 'Aku melakukan ini untuk menjaga keutuhan rumah tanggaku! Jadi terima saja nasib sialanmu itu berengsek!!'"Ih... kamu kenapa sih, kayaknya selalu nggak semangat gitu kalo aku cerita."Mendengar keluhan Amela, gue menatapnya, melihat wajah cemberutnya dan menjawab. "Aku nggak punya minat untuk baca cerita Angst Mel, jangankan itu, baca novelpun aku nggak minat.""Terus kamu bacanya apa?""Aku baca buku-buku yang semacem ini," kata gue sambil mengeluarkan buku bersampul kuning dari tas kerja."Ini? The... Power of... Habit?" kata Amela yang mencoba membaca judul buku."Iya, ini buku self-improvement, bacaan kayak gini yang biasanya aku baca, bukan cerita novel.""Heh, ini sih bukan hiburan," Amela mendengus. "Terus hiburan kamu apa kalo nggak baca novel? nonton film?""Yah itu salah-satunya, walaupun aku lebih suka olahraga, aku juga lumayan suka nonton film, apalagi tentang superhero," jawab gue mengangguk."Superhero? yang mana?"Gue menatap Amela dan tersenyum dengan sedikit seringai. "Coba kamu tebak, superhero mana yang jadi favoritku.""Hmm..." Amela sedikit memiringkan kepalanya dengan lucu saat dia berpikir, mencoba untuk menebak. "Superman?""Bukan," jawab gue, menggelengkan kepala."Batman?""Bukan.""Spider-man?""Bukan.""Oh! pasti Iron-man kan?""Yah, itu bagus, tapi aku punya superhero lain yang aku selalu pengen jadi itu.""Ih... nggak tahu, apa dong." Amela dengan frustasi menyerah.Seringai di bibir gue semakin lebar saat menjawab. "Superhero favoritku adalah..." Mencondongkan tubuh mendekat ke Amela dan melanjutkan dengan nada berbisik. "Menjadi Your-man."Amela berkedip bingung untuk sepersekian detik sebelum memahami apa yang pacarnya maksudkan. Pipinya merona saat matanya bergerak kesamping, menghindari mata Devin. Namun, karena posisi mereka yang berdekatan, Amela bisa mencium aroma maskulinnya yang hanya membuat wajahnya lebih memerah."Ihh... apaan sih kamu!" Amela yang tidak tahu harus melakukan apa, hanya bisa memperotes sambil memukul ringan pacarnya.Gue tertawa, melihat prilaku salah tingkah Amela dengan wajahnya yang semerah tomat. Gue menekan keinginan untuk meremas wajahnya yang menggemaskan dan hanya menggelengkan kepala sambil tertawa. Jarang gue bisa melakukan ini, kalo sendainya bukan karena artikel itu, ini mungkin nggak akan terjadi.Melihat kepada isi ponsel, disana gue sedang membuka sebuah laman situs dengan artikel yang berjudul: 7 Gombalan Maut Anti Gagal, Nomor 5 Bikin Klepek-klepek!'Yah, harus gue akui, itu sangat ampuh,' pikir gue dengan seringai di dalam hati. Butuh waktu 10 menit lebih bagi Amela untuk menenangkan dirinya setelah serangan dadakan yang gue lepaskan, meski masih ada sedikit rona merah di pipinya. Gue melihat keluar jendela, menemukan matahari sudah hampir sepenuhnya terbenam. "Kebetulan, waktu aku kosong malam ini, gimana kalo aku mampir ke rumah kamu.""Eh? kamu mau main ke rumah? sekarang?" Amela bertanya. Meski dia mencoba menyembunyikan rasa senangnya, matanya yang berbinar tidak bisa berbohong, dan hal itu dengan jelas gue sadari."Iya, aku udah lama nggak main kesana, sesekali aku juga harus ketemu sama orang tua kamu, jadi sekalian kita beli bahan makanan juga saat kita nyari rak buku baru kamu."Amela sangat senang, dia bahkan menjerit kegirangan yang membuat seluruh pengunjung Cafe menatap mereka, gue dengan malu-malu meminta maaf atas ganggung itu, sebelum menyeret Amela keluar.Kami pergi ke toko furniture untuk melihat rak buku. Amela telah memilih satu, dan akan siap dikirimkan oleh pihak toko esok hari. Selanjutnya kami pergi ke toko swalayan untuk membeli beberapa bahan makanan. Karena gue akan bertamu, lebih baik sekalian beli bahan makanan untuk makan malam nanti, kebetulan gue cukup bagus dalam memasak.Hari sudah malam saat gue dan Amela selesai mencari kebutuhan. Mengendarai mobil, kami berangkat ke rumah orang tua Amela yang cukup jauh sebenarnya, mengingat mereka tinggal jauh dari pusat kota. Itu juga asalan kenapa Amela sering menaiki Kereta dalam aktivitasnya, meski keluarganya cukup kaya untuk memiliki supir pribadi, dan pada faktanya Amela memang memiliki supir pribadi. Namun, gadis bodoh itu lebih suka menggunakan Kereta hanya karena drama korea yang dia sukai, banyak menampilkan adegan didalam Kereta. Benar-benar alasan yang bodoh, tapi ya sudah lah, lagi pula, masih ada banyak hal yang lebih bodoh lagi yang bisa dia lakukan.Butuh hampir 30 menit bagi mereka untuk sampai di rumah Amela. Itu adalah bangunan tiga lantai bergaya modern tropis dengan halaman yang luas, ada banyak dekorasi tumbuhan disana-sini, menimbulkan kesan asri dan tenang bagi penghuni rumah.Melihat bengunan itu lagi, meski ini bukan pertama kalinya gue kesini, bohong rasanya kalo gue nggak merasa gugup. Tapi, gue menelan semua keraguan itu dan bersiap masuk.Amela mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil, meminta penjaga membukakan gerbang. Gue masuk ke halaman rumah dan memarkirkannya di samping mobil yang membuat gue mengerutkan kening.Itu adalah mobil mewah Supercar warna hitam, dan gue tahu mobil apa itu, McLaren 720S. Gue merasa bingung kenapa mobil semacem itu ada disini, karena seinget gue, sebelumnya mobil ini nggak ada, dan gue juga tahu kalo Ayah Amela bukan pecinta otomotif, jadi seharusnya nggak mungkin dia beli barang mewah dari sesuatu yang dia nggak minati.Tapi gue mengalihkan pikiran. Bahkan jika tidak digunakan untuk keperluan pribadi, mobil mewah itu mungkin berguna sebagai aset investasi atau semacamnya, entahlah, gua nggak mau berpikir lebih soal itu. Gue melepas pikiran itu saat kita berjalan ke pintu utama rumah."Mamah! Ayah! Amela pulang!" Dengan antusias Amela membuka pintu rumah. "Nih lihat siapa yang aku bawa!"Gue merasa malu mendengarnya, gadis ini bertindak semaunya karena ini adalah rumahnya, dan entah kenapa, gue merasa seperti sebuah hadiah yang diikat dengan tali pita. Amela berjalan sampai di ruang tamu, dia menemukan tiga orang duduk disana, tunggu, tiga?"Oh Amela," sapa Ayahnya yang berdiri dari sofa. "Kebetulan juga, lihat ada siapa disini," katanya sambil menunjuk ke salah-satu orang. Amela melihat bahwa dua orang pertama adalah Ayah dan Ibunya, namun yang ketiga..."Kita ketemu lagi Mel," kata orang itu. "Aku mampir kesini untuk ketemu sama Tante dan Om," dia berhenti, menggaruk kepalanya dan berkata dengan ramah. "Lagian kita udah lama nggak kumpul kayak gini lagi. Kebetulan aku baru pulang ke Indonesia, jadi sempetin waktu deh untuk mampir."Sikap riangnya bertolak belakang dengan kejutan yang dialami Amela. Dengan lembut dan terbata, dia berkata "Ra-Rama?"Amela sangat terkejut dengan perkembangan ini, hingga sejenak otaknya berhenti bekerja selama sepersekian detik, sebelum kembali normal. Dia dengan ragu menoleh kebelakang, melihat pacarnya, Devin, yang berdiri dengan tenang, menatap orang ketiga di ruang tamu, yang juga melihat kepadanya.Orang Tua Amela melihat kedua pria ini saling bertatapan. Udara didalam rumah seketika menjadi tegang, seolah ada aliran listrik yang berderak di sekitar tatapan mereka.Amela juga ikut merasa tegang. Dia marah pada kehadiran Rama, dan takut bagaimana tanggapan Devin atas itu. Namun, yang terakhir dengan kepala dingin bergumam di dalam hatinya: 'Hahh... ini akan jadi malam yang panjang.'