Di dalam bangunan Ruko tiga lantai, gue duduk di kursi kerja, fokus ke depan, mengetik data baru atau mengedit data lama di laptop gue, ditemani dengan alunan musik playlistnya yang biasa."Dev, barangnya udah dateng."Mendengar panggilan, gue mempause musik, berbalik dan melihat temannya, Lintang. "Kayak biasa, bawa ke Gudang aja langsung," kata gue. "Juga, minta anak-anak di bawah buat bantu."Lintang mengiyakan dan segera pergi turun ke bawah. Gue kembali sejenak ke laptop, sebelum menutupnya dan berdiri. Merebahkan tubuh karena pegal kelamaan duduk, gue melihat ke jendela luar dari lantai tiga. Karena tepat di depan Ruko adalah jalan utama, gue bisa melihat ada banyak kendaraan yang lalu-lalang. Dan tepat di bawah, ada mobil box yang terparkir di depan. Itu adalah kendaraan yang membawa pesanan gue.Bersiap untuk turun kebawah, ponsel gue tiba-tiba berdering dari atas meja kerja yang berantakkan. Bahkan ada kucing yang tidur disana.Mengambil ponsel, menemukan panggilan video call. Dan saat gue melihat nama si penelpon, gue tersenyum kecut, tahu bahwa ini akan merepotkan. Namun di dalam hati, ada sedikit perasaan senang yang timbul."Halo, Ame-""Beb! skripsiku banyak yang dicoret, huuu..."Dan seperti biasa, Amela akan selalu menyerobot bahkan sebelum gue selesai bicara. Dari dalam ponsel, gue bisa melihat Amela sedang berjalan di lorong kampus dengan ekspresi kesal dan sedih. Amela saat ini sedang dalam masa akhir kuliahnya, dia sedang mengerjakan skripsinya."Oke, cerita Angst apa lagi ini?" tanya gue."Ih... ini bukan cerita Angst, aku baru keluar dari ruang pembimbing, ada banyak banget skripsiku yang dicoret, ada banyak banget yang harus direvisi, waaa..." Di akhir, dia bahkan menangis, dan gue bisa melihat Amela menjadi pusat perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Terkekeh, gue menjawab dengan canda. "Berarti, kali ini hidup kamu sendiri yang Angst?""..."Sejenak, Amela membeku dengan wajah jelek, seolah-olah dia baru saja menelan kotoran. "Siapa yang hidupnya Angst hah!" jawabnya menggeraman kesal. " Aku cuma sebel sama Dosen pembimbing itu, enak banget main corat-coret, padahal aku..."Sepuluh menit berikutnya, gue hanya berdiri, mendengarkan keluh kesah Amela. Dia menjadi sedikit lebih tenang setelah meluapkan emosinya. Gue menghela napas dan bicara. "Oke, gini aja deh, nanti aku bantu kamu ngerjain revisinya, nanti kita bisa ketemu di Cafe.""Hiks... oke Beb, kita ketemu di Cafe yang biasa ya," katanya dengan nada sedikit terisak. Wajahnya terlihat sedih, tapi itu tidak berlangsung lama, karena segera matanya berbinar senang. "Beb! awas kepala kamu.""Hah? kenapa kepalaku?" tanya gue, bingung dengan perubahan 180 derajatnya ini."Ih, udah geser aja kepala kamu."Gue nggak tahu apa yang dia mau, tapi dengan pasrah gue menggeser kepala ke samping."Ah! Maboy! bawa Maboy juga!"Mendengar antusiamenya, gue menoleh ke belakang, ke arah kucing dengan bulu campuran hitam dan putih yang tertidur pulas di atas meja. Itu kucing gue, namanya Maboy, dan Amela sangat suka bermain dengannya, walau hal yang sama tidak berlaku untuk kucing gue.Pernah suatu kali Amela membawa Maboy ke rumahnya, tapi setelah banyak membuat kekacauan disana, orang tua Amela melarang dia membawa Maboy ke rumah.Gue sendiri agak bingung, karena disini, semenjak gue pelihara, dia nggak pernah bikin ulah apa-apa. Pub di tempat yang sudah disediakan, makan dengan rapi. Yah... mengesampingkan hobinya yang suka nyakar barang-barang dan tidur di sembarang tempat, Maboy adalah kucing yang cukup kooperatif. Gue curiga bahwa kucing sialan itu memang sengaja bikin ulah supaya bisa jauh dari Amela."Oke, kalo mau bawa Maboy, berarti kita pilih Cafe Kucing yang deket kampus kamu itu ya," kata gue."Ok, nanti kita ketemu disana ya," jawabnya.Menutup panggilan, gue menghela napas dan berjalan turun, tentu tidak lupa untuk menepuk ringan kucing yang tertidur itu. Dan sebagai respon, Maboy merebahkan keempat kakinya sambil menguap sebelum tertidur kembali. Gue cuma bisa tersenyum dan menggeleng sebelum meninggalkan kucing yang tertidur seolah dunia milik sendiri.Turun kelantai dua, gue melihat Lintang dan yang lain sedang membereskan ribuan paket pesanan. "Jumlahnya pas?" tanya gue.Lintang melirik dan menjawab. "5.000 pcs kan? itu lo tandanganin dulu tuh paketnya.""Lo juga bisa Tang.""Tapi Officialy Ownernya kan lo," jawabnya tersenyum.Gue menggeleng, mengambil pena dan menandatangani bukti penyerehan paket, sebelum mengembalikannya kepada kedua kurir mobil box, dan mengantar mereka turun kelantai satu, keluar Ruko.Setelah mobil box pergi, gue berjalan kembali, menemukan banyak jejeran pakaian yang disusun rapi dan tambahan ornamen desain yang menambah kesan modis. Ini adalah bisnis gue, bisnis Clothing."Bos Dev, ada orderan masuk lagi dari Tokped."Suara wanita muda terdengar dan gue menoleh, melihat kepada Yuni, salah satu karyawan yang berperan sebagai Admin Sosmed dan Kasir di sini."Minta Bagas untuk bantu Packing ya.""Oke Bos."Dengan itu, Yuni pergi ke lantai atas. Bagas juga salah satu karyawan disini, dia adalah seorang Graphic Designer yang bertanggung jawab atas semua desain produk dan sosial media mereka.Gue melirik ke sekitar, ke jejeran baju yang diatur rapi. Ada gejolak bangga dalam diri gue melihat semua ini. Gue bukan dari kalangan berada. Saat kuliah, gue mengajak teman gue Lintang, dan kita sepakat untuk bangun suatu usaha.Clothing bukanlah pilihan utama kita saat itu, karena sebelumnya kita pernah mencoba bisnis kuliner, tapi sayangnya, tidak sampai enam bulan sudah tutup, bangkrut, sepi pembeli. Hanya ketika kita pindah dan membangun bisnis Clothing ini, semuanya berjalan lebih baik, pertumbuhannya juga bagus. Kita yang awalnya nggak punya tempat dan cuma bisa jualan secara online, kini bisa menyewa Ruko tiga lantai, dengan lantai pertama sebagai Outlet, lantai kedua sebagai Gudang dan lantai ketiga sebagai Kantor, kadang juga jadi Gudang kalo yang di lantai dua kepenuhan.Prestasi ini mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan mereka diluar sana yang dalam waktu singkat menjadi jutawan bahkan milyarder dari Crypto atau sejenisnya di usia muda. Tapi untuk gue, ini adalah kebanggaan tersendiri. Merintis sesuatu dengan tangan dan keringat sendiri, itu benar-benar memuaskan.Naik ke lantai dua, gue membantu yang lain untuk packing pesanan hari itu, sebelum pamit pergi, membawa Maboy yang mengantuk ke mobil gue yang terparkir di depan.Ini sebenarnya adalah mobil yang didedikasikan untuk kerjaan, tapi karena usaha ini juga milik gue, jadi nggak ada masalah, meski kadang gue merasa kurang etis menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi.'Ugh... apa ini rasanya menyalahgunakan kekuasaan? harus gue akui, ini cukup menyenangkan.' Berpikir demikian, gue pergi ke Cafe Kucing di dekat Kampus Amela. Ini bukan pertama kalinya gue dan Amela kesana, jadi bahkan tanpa melihat Maps sekalipun, gue tahu arah jalannya.Tidak sampai 10 menit, gue sudah sampai di Cafe. Memarkirkan mobil, gue keluar dengan menggendong Maboy dan tas kerja. Karena gue disini untuk bantu Amela mengerjakan revisi skripsinya, gue sudah membawa beberapa gadget pendukung.Masuk kedalam, gue melihat isi Cafe dengan beberapa kucing yang berjalan disana-sini dan beberapa pengunjung bermain dan mengobrol. Di beberapa tempat tertentu di area sudut Cafe, bahkan didedikasikan untuk tempat bermain kucing. Tempat ini benar-benar layak disebut Cafe Kucing.Gue melirik mencari Amela, dan menemukannya duduk di pojok, dengan kepala bersandar ke satu tangan, dan pandagannya yang tampak melamun menatap keluar. Berjalan mendekat dan duduk disampingnya, gue berkata. "Mel, kamu lagi ngeliatin apa?"Tanpa menoleh, Amela menjawab. "Bukan urusan lo."Nada suaranya dingin, seolah berbicara dengan orang asing yang tidak menyenangkan. Gue sedikit terkejut. "Mel?"Amela masih dengan kepala bersandar di tangan, menatap kosong ke luar."Mel!""E-Eh apa?"Hanya ketika gue memanggilnya dengan keras seraya mengguncang sedikit tubuhnya, barulah Amela terbangun dari transnya. Dia terkejut dan menatap gue dengan bingung. "Beb?"Gue yang melihat itu mengerutkan kening. "Kamu tadi kenapa? kok di panggil diem aja?""Eh masa sih? aku nggak ngeh kamu udah disini," katanya dengan bingung, sebelum matanya beralih ke mahluk kecil yang gue bawa. "Ihh Maboy!"Dia dengan antusias mengambil Maboy, dan memeluknya sangat erat. Maboy yang sebelumnya mengantuk kini melotot dan mengeong saat tubuhnya diremas kedalam pelukan Amela. Sementara itu, gue menatap Amela dengan curiga dan khawatir.Apa yang terjadi sebelumnya? nada dingin suara Amela entah kenapa mengingatkannya akan sesuatu. Sesuatu yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, ketika gue pertama kali bertemu dengannya.***25 menit yang lalu.Tepat setelah mengakhiri panggilan dengan Devin, Amela berjalan dengan kesal. "Hah, Dosen nyebelin itu, kamu ganti aja semua yang ini, kamu juga salah disini, coret, kamu salah disana, coret, corat-coret aja terus!"Mengabaikan orang-orang disekitarnya, Amela tidak berhenti mengeluhkan atas apa yang dia alami dalam sesi bimbingan yang baru saja selesai. Meski tidak sekesal sebelumnya setelah berbicara dengan pacar kesayangannya, Devin. Amela masih menyimpan keluhan didalam hatinya.Dengan langkah kesal, Amela berjalan menyusuri lorong kampus dan sampai pada tikungan. Namun, di jalan dia menambrak seseorang."Aduh, sorry banget," kata Amela saat dia jatuh ke lantai. Dan ketika dia bersiap berdiri, sebuah tangan ditawarkan padanya. Amela ingin menerimanya. Dia mengulurkan tangannya sambil menoleh ke atas, ke orang yang dia tabrak sebelumnya. Seketika, tangan Amela membeku di udara ketika dia melihat wajah orang itu, dia familiar dengannya, sangat familiar bahkan.Melihat wanita dibawahnya membeku seperti patung, pria itu meraih tangan Amela. "Kamu nggak apa-apa? sini aku bantu."Kata-katanya dan rangsangan di tangannya membuat Amela terbangun dari transnya. Dia segera menarik tangannya, berdiri, dan mundur beberapa langkah ke belakang. "Rama," katanya pelan melihat ke si pria."Eh? Amela ya, astaga, kebetulan banget, kamu kuliah disini?" kata Rama dengan ramah, seolah-olah mereka adalah teman lama.Amela menatap tajam ke Rama, dia tidak menjawab, hanya berdiri diam."Amela, udah lama banget ya, seneng deh bisa ketemu lagi."Amela tetap diam."Sumpah aku nggak nyangka banget kita bisa ketemu disini, ini takdir atau apa ya, haha..." Dengan riang, Rama terus berbicara, namun Amela hanya berdiri diam.Karena tidak tahan dengan kurangnya respon dari Amela, Rama mengerutkan kening. "Amela? kamu kenapa? ini aku Rama," katanya dengan lembut. "Kita udah kenal lama, sejak kita masih kecil bahkan, kamu nggak mungkin lupa dong."Amela yang sedari tadi diam, akhirnya membuka mulut. "Ya, gue inget, Rama, teman masa kecil gue, kita sering main bareng waktu itu."Mendengarnya, hati Rama merasa senang, dia membuka mulutnya untuk berbicara, tapi dipotong lebih dulu oleh Amela. "Rama, pacar gue saat SMP, SMA bahkan saat kita kuliah bareng di luar negri sekalipun pun, kita masih pacaran."Rama, meski tetap diam, matanya berbinar senang atas fakta bahwa Amela mengingat dan bahkan mengakui hubungan dekat mereka."Rama, pacar gue yang punya janji akan selalu setia dan tetap bersama, tapi akhirnya melanggar janji itu, berkali-kali." Nada suara Amela semakin dingin, terutama saat dia menekankan pada bagian akhir kalimatnya. Hati Rama menegang saat Amela mengungkit masa lalu mereka. "Amela itu-""Rama!" potong Amela. "Pacar gue yang berkali-kali, ketahuan jalan sama cewek lain.""Amela, waktu itu-""Rama! pacar gue yang berkali-kali, ketahuan tidur sama cewek lain!" Amela tidak memberikan Rama kesempatan berbicara, dia selalu menekankan kata-katanya pada bagian 'berkali-kali', jelas sangat terluka dengan itu."A-Amela, dengerin gue dulu, waktu itu gue-""Bacot!!" bentaknya, menarik perhatian orang disekitar. "Denger ya, gue pulang ke Indonesia buat jauh-jauh dari lo!""Oh dan apa itu yang tadi, 'astaga kebetulan banget', 'nggak nyangka bisa ketemu', 'ini mungkin takdir', blablabla omong kosong sialan!" Amela mencibir dan mengejek. "Lo bahkan bukan anak kampus sini, lo seharusnya udah lulus di luar negri, makanya lo bisa pulang kesini.""Denger ya, gue nggak peduli gimana caranya lo bisa ada disini, tapi kalo lo mau caper, mending lo cari cara yang lebih bagus dari pada sekedar 'nggak sengaja' sialan lo ini. Basi tahu!" Dengan ekspresi jijik, Amela melangkah melewati Rama. Namun, dia terpaksa berhenti saat pergelangan tangannya dicengkram kuat olehnya. "Amela, dengerin gue dulu, gue bisa jelas-""Lepas!" bentak Amela, tidak memberi kesempatan. Dia mencoba untuk menarik kembali tangannya. Namun karena perbedaan kekuatan yang signifikan, Amela hanya bisa meronta, yang membuat mereka semakin menarik perhatian orang disekitar, beberapa bahkan mengarahkan ponselnya untuk merekam."Amela, please, kasih gue kesempatan untuk-"Pak!Sebuah suara tamparan keras bergema di lorong kampus. Kepala Rama tersentak kesamping, merasakan sengatan kuat di sisi wajahnya. Dia terlalu terkejut sehingga tanpa sadar melonggarkan cengkramannya. Amela segera menarik diri, dan berjalan pergi dengan langkah cepat.Butuh waktu satu menit penuh bagi Rama untuk menyadari apa yang baru saja terjadi. Dia mengelus sisi wajahnya. Rasa sakit sebelumnya telah menghilang, namun tamparan itu tidak hanya menyakiti wajahnya, karena jauh di dalam, ada rasa sakit yang terlahir dan sepertinya tidak akan hilang dalam waktu dekat.Rama melirik ke arah dimana Amela pergi. Wajah ramahnya telah sepenuhnya berubah menjadi sesuatu yang bahkan orang-orang disekitar tidak nyaman untuk melihatnya dan memutuskan pergi. Meski Amela sudah jauh menghilang, Rama tetap menatap ke arah itu dengan tangannya yang mengepal kuat.***Sudah lebih dari satu jam kita disini, di Cafe Kucing, sementara Maboy bermain dengan kucing lain, Amela dan gue sibuk untuk mengurus skripsinya yang banyak revisi."Astaga, cuma salah satu huruf doang loh ini," kata Amela dengan cemberut. "Typo dikit nggak ngaruh harusnya.""Ini lagi, cuma nggak di kasih batas spasi doang dicoret.""Apaan sih itu Dosen, sensitif banget deh, cuma untuk masalah sepele kayak gini aja."Dan dalam setiap bagian yang direvisi, Amela tidak akan absen dalam memuntahkan keluhannya. Di sisi lain, gue dengan sabar membantu merapikan skripsinya, meski pemikiran tertentu kadang mengganggunya. "Ini nggak aneh, memang harus begini, Dosen harus teliti saat periksa skripsi siswanya.""Heh, harus seteliti itu ya, nggak aneh kalo kepalanya botak." Amela mencibir saat dia mengetik laptopnya, merevisi skripsinya. Mendengarnya gue cuma tersenyum kecut, dan satu jam berikutnya, akhirnya Amela menyelesaikan revisinya."Huaa... akhirnya selesai juga.""Udah semuakan? mau langsung pulang atau cari makan dulu?" tanya gue sambil melirik keluar jendela, melihat hari sudah sore."Iya, udah semua, cuma tinggal ganti materi aja untuk bab tiga," jawabnya. "Nanti kita makan dulu ya, di resto Korea yang kemarin itu hehe...""Oke, kalo gitu-eh?" Gue yang akan berdiri, membeku di tempat saat mendengar sesuatu yang salah. "Mel, apa maksudnya ganti materi untuk bab tiga?""Eh, ya... kata Dosennya, bab tiga nggak perlu, karena nggak cocok untuk topik utama, jadi mendingan di hapus aja, ganti sama yang lain, gitu katanya.""..."'Serius! terus dari tadi gue ngapain aja!' gerutu gue dalam hati. Gue ingat bahwasannya ada lebih dari setengah revisi berasal dari bab tiga, dan jika itu pada akhirnya akan dihapus, maka dua jam terakhir tadi untuk apa?! Namun, melihat wajah bodoh dan polos Amela, gue menelan semua emosi dan berbicara. "Amela sayang.""I-Iya Beb." Amela dengan ragu menjawab, entah kenapa, meski melihat pacarnya berbicara dengan nada lembut dan wajah ramah, dia merasakan sensasi merinding di belakang punggungnya."Tadi kamu bilang apa? hapus bab tiga?""Eh, i-iya. itu... soalnya waktu pas sesi bimbingan sama Dosen botak itu, aku banyak dapet omelan soal bab tiga, dia coret ini, coret itu, sampai akhirnya dia bilang: 'ganti materi aja, yang sekarang dihapus aja'. Gitu katanya Beb.""Huu... Ahh..." Menarik napas dalam-dalam, gue bicara. "Amela sayangku, yang pintar, jenius dan cantik tak terkira."Dipuji oleh pacarnya, Amela tersenyum malu-malu saat dia mengalihkan pandangannya, membuat wajah gue berkedut kesal. 'Saya tidak memuji anda otak udang!' jerit gue dalam hati."Menurut kamu, dimana aja konten yang kita revisi barusan?" tanya gue.Mendengarnya, Amela menjadi bingung dan dengan ragu menjawab. "Eh, itu... sebentar." Dia membuka makalah skripsinya dan melanjutkan. "Nih, ada dua di bab satu, terus..."Membalik halaman, Amela menghitung berapa banyak konten yang barusan mereka revisi. "Ada lima di bab dua, terus ada enam belas di bab tiga- eh."Seolah menyadari dimana letak masalahnya, Amela menoleh ke gue dengan kaku seperti robot. Menelan ludahnya sendiri, dia berbicara. "B-Beb, ini kan... seharusnya bakal di... hapus, kok kita revisi ya..."Nada suaranya semakin kecil saat dia bicara, wajahnya tersenyum canggung dengan keringat dingin di dahinya, matanya bergerak kesana-sini, menghindari mata gue."Huu... Ahh..." Kembali menarik napas dalam-dalam, gue mencoba menalan semua kekesalan dan bicara. "Yaudah, yang bab tiga buat lain waktu aja, sekarang udah sore, kita pulang aja yuk."Amela mengangguk patuh. "Tapi nanti mampir makan dulukan hehe..." katanya dengan seringai canggung. Kembali melihat wajah bodohnya, gue tersenyum dan menggeleng. "Iya nanti mampir dulu.""Yey!" Dengan riang, Amela membereskan barang-barangnya. Sementara itu, gue melirik kesana-sini, mencari kucing gue, Maboy. Tapi tiba-tiba, ada keributan di sisi lain Cafe, mereka tertawa sambil menunjuk suatu arah.Mengikuti arah yang mereka tunjuk, seketika tubuh gue tersentak kaget saat melihat kucing gue, si Maboy.Dia saat ini sedang menggit kucing lain, lebih tepatnya di area tengkuk, sementara Maboy menempatkan tubuhnya di atas tubuh kucing itu sambil menggoyangkan pinggulnya sementara kucing dibawahnya menggeram pelan. Mereka sedang kawin!Kucing gue ini berjenis kelamin jantan, dan dia tidak di sterilkan, karena meski katanya itu untuk kebaikan kucing, menghindari stres atau semacamnya, gue selalu merasa tidak pantas untuk melakukan itu. Tapi sekarang, gue merasa ingin memutar kembali waktu!Melirik ke samping, gue melihat di dekat dua sejoli itu. Ada pengunjung wanita yang sepertinya adalah pemilik kucing betina yang sedang dikawini Maboy, dia menggelengkan kepalanya dengan senyum kecut, dan dari wajahnya, terlihat dia tidak nyaman, namun tetap tidak menginterupsi mereka, seolah pasrah pada hukum alam.Gue tidak menyangka jenis perkembangan ini, karena ketika gue sibuk dengan Amela, gue hanya berasumsi bahwa Maboy sedang bermain dengan kucing lain. Tidak menyangka bahwa dia akan 'benar-benar' bermain dengan kucing lain.Gue merasa bingung dan malu dengan situasi ini, mengalihkan pandangan ke Amela, berniat meminta dia untuk mengambil Maboy. "Ehem... Amela sayan-""Nggak!" jawabnya tegas sebelum berbalik dengan wajah memerah, membelakangi kedua sejoli disana, seolah tahu apa yang akan gue minta. Amela juga pasti melihat aksi keduanya yang sedang melakukan pementasan publik, dan merasa malu karenanya."Oh ayolah, ini Maboy loh, kesukaan kamu.""Nggak! aku nggak kenal mahluk yang namanya Maboy!" Dengan tegas dia menolak, bahkan sampai menggeleng sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya.Menghela napas, untuk pertama kalinya, gue memiliki keinginan yang sama dengan Amela. Untuk pergi dan pura-pura tidak mengenal kucing sialan yang tidak tahu malu itu.