Erina terbangun di pagi hari. Melirik kasur sebelahnya yang sudah kosong. Menatap dahulu bajunya. Ini masih lengkap. Lalu meraba tubuhnya.
" Semalam, tidak terjadi apa apa padaku kan?"
Erina terkejut saat mendengar pintu kamar mandi terbuka.
"Nyonya? Anda sudah bangun?" Melan keluar dari kamar mandi.
"Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Mari silahkan."
"Seharusnya tidak perlu serepot itu." Erina beranjak dari Ranjang.
"Itu sudah menjadi tugasku, atau aku akan kehilangan pekerjaan."
Erina menoleh. "Benarkah akan seperti itu?"
"Tentu saja. Maka biarkan aku melayanimu Nyonya."
Erina hanya menarik nafas, dan masuk ke kamar mandi. "Dasar orang kaya." Dia mengeluh sambil memulai mandi.
Usai mandi Erina masih melihat Melan berdiri disana. "Silahkan Nyonya."
Apalagi ini? Melan mengambilkan pakaian kerja Erina bahkan pakaian dalamnya.
"Biarkan aku sendiri!" Erina merasa tidak enak, saat Melan hendak membantu. Melan mengangguk, lalu mengambil sepatu.
Erina bertanya ketika sepatu yang diambil Melan bukan miliknya. "Sepatuku mana?" Dia mencari cari.
"Tuan Fic, sudah mengganti semua."
"Gila. Mengganti semua?" Erina menoleh pada tasnya. Bahkan sudah diganti dengan merek terkenal dan sangat mahal.
Erina tidak ingin mengambil pusing, dia kan seorang bos besar. Uangnya pasti banyak. Biarkan saja. Anggap ini keberuntungan!
Erina selesai berpakaian. Kemudian merias wajahnya sekedarnya saja. Namun karena semua makeup yang Erina pakai adalah kelas atas, jadi dia terlihat begitu cantik.
Erina meraih ponselnya. Hah! Dia kembali memekik, bahkan Ponselnya sudah diganti. Erina cepat memeriksa. Kartu SIM, dan semua kontak tidak ada yang berubah. Bahkan historis chat dan album fotonya masih utuh seperti semula.
"Kapan dia melakukan ini?" Belum selesai pertanyaan di otaknya, Melan sudah mengajaknya keluar.
"Tuan Fic sudah menunggu anda di meja makan."
Erina mengangguk, mengikuti langkah Melan.
Di Meja makan sudah ada Fic yang menunggunya. Kali ini Fic menoleh, terpaku sesaat melihat penampilan Erina. Lalu Fic kembali datar dan menarik kursi.
"Ayo sarapan."
Erina duduk. Dia melirik Fic sebentar.
"Kenapa mengganti sepatu dan tasku, lalu menyiapkan begitu banyak barang mewah untukku?"
"Kamu tidak suka?"
"Bukan begitu. Tapi aku tidak terbiasa. Teman temanku juga pasti akan salah paham padaku. Mereka hanya tahu jika suamiku orang biasa." Sahut Erina.
Fic menata piring, mengisi piring Erina dengan sarapan.
"Biar aku saja." Erina ingin mencegah.
"Duduklah." Fic menjawab sambil melanjutkan. Fic kembali duduk.
"Ayo makan. Nanti kita bisa terlambat."
Erina hanya mengangguk lalu menyantap sarapan.
"Apa kamu tidak punya rencana, untuk memperkenalkan aku kepada teman temanmu? Atau kepada keluargamu?"
Seketika Erina mendongak. "Aku hanya akan membuatmu malu."
Fic tersenyum tipis sambil mengunyah.
"Aku sudah mempunyai rencana, untuk mengenalkanmu kepada Publik. Tapi sebelumnya, aku ingin berkenalan lebih dulu dengan keluargamu."
"Aku tidak punya keluarga. Maksudnya, mereka tidak menganggapku. Kamu pasti sudah tahu hal itu. Jadi untuk apa?"
Fic bisa mengerti jika yang dikatakan Erina memang benar. Seberapa buruk seorang anak, tidak mungkin seorang Ibu tega untuk berniat memberikan anak gadisnya kepada Pria yang sudah beristri demi membayar hutang. Jadi tanpa dijelaskan pun Fic sudah paham.
"Lalu Ayahmu bagaimana?" Pertanyaan Fic kali ini membuat mata Erina berkaca kaca.
"Ayah. Aku tidak diperbolehkan lagi bertemu dengannya."
"Kita akan menemuinya, tunggu aku mendapatkan waktu yang tepat."
Erina hanya mengangguk, tapi dalam hatinya dia sangat berharap bisa bertemu dengan Ayahnya.
"Lalu tentang keluargamu sendiri bagaimana?" Erina bertanya.
Fic membuang nafas kasar. "Aku sama halnya dengan dirimu. Tapi disini, aku yang tidak menganggap mereka. Setelah kematian kedua orang tuaku, aku menganggap hidup sendiri saja."
Erina tidak ingin bertanya lebih lanjut mengenai keluarga Fic, sebab dengan perkataan Fic itu, dia bisa menyimpulkan jika Fic sedang ada masalah dalam keluarganya. Erina tidak ingin ikut campur urusan keluarga Fic yang menurutnya itu akan dianggap lancang. Erina tahu posisi, meskipun dia sudah sah menjadi istri pria di hadapannya itu, tapi dia belum tahu Alasan Fic menikahinya. Dan dia sangat ingin tahu tentang itu.
"Dan untuk teman-temanmu, seharusnya kamu memperkenalkan aku. Jika tidak mau mereka salah paham."
Itu memang ide bagus menurut Erina. Tetapi Erina harus berpikir dua kali, jika memperkenalkan Fic kepada teman-temannya lalu suatu saat Fic membuangnya, apakah itu tidak akan membuatnya hancur berkeping untuk yang kesekian kalinya? Erina sudah merasa lelah. Harus selalu menanggung malu. Apalagi pekerjaannya sebagai Reporter terancam. Beruntung saja dia memiliki bos yang baik dan terus mempertahankan dirinya dengan segala riwayat buruknya.
Fic mengerti tentang keraguan Erina. Mungkin bukan hanya sebuah Fakta atau omongan saja. Fic harus bisa membuktikan bagaimana dia begitu serius dengan hubungan mereka ini.
"Apa kamu lupa,jika pernikahan kita itu bukan main-main? Bukan sandiwara untuk saling mendapatkan untung? Lalu kalau kau berpikir demikian, coba beritahu aku apa untungnya aku menikahimu?"
Erina langsung mendongak, "Bukankah dari semalam aku ingin mengetahuinya? Kau belum menjawab pertanyaanku sampai sekarang." Erina menghentikan ucapannya sebelum akhirnya melanjutkan lagi.
"Seperti apapun mereka menganggapku, aku tetap wanita yang ingin bahagia." Nada ini terdengar penuh tekanan.
Fic tersenyum tipis. "Kamu kira aku tidak bisa membahagiakanmu? Katakan padaku kau mau apa?"
Mendengar pertanyaan dingin Fic, Erina menggeleng.
"Kamu ingin aku membalas semua rasa sakit hatimu? Aku akan melakukannya! Kau ingin melihat orang lain yang sudah menghancurkanmu jatuh? Kau akan segera melihat!"
"Bukan seperti itu!" Erina memotong.
"Lalu apa? Coba katakan Nona Erina. Kamu mau apa dariku? Pesta untuk pernikahan kita? Kamu ingin hadiah pernikahan sebuah Pulau dariku? Atau,"
Erina langsung berdiri. "Aku harus berangkat." Dia tidak ingin ada perdebatan, dia memilih untuk mengakhiri dengan berpamitan.
Namun saat Erina hendak melangkah, Fic menahan pergelangan tangannya. Erina menoleh, menatap mata pekat Fic yang menatapnya dengar serius.
"Aku akan melakukan apapun agar kamu bahagia. Dan yang aku butuhkan hanyalah, akui aku sebagai suamimu. Itu saja. Lalu belajar untuk menyukaiku, seperti aku menyukaimu."
Erina tertegun sesaat, "Tuan Fic,"
"Aku menyukaimu Erina. Dan itu jawabanku, kenapa aku bisa menikahimu."
Erina melepaskan tangannya, dia merasa bukan itu jawaban yang tepat.
"Menyukaiku? Bahkan kita tidak pernah bertemu sebelumnya? Itu bukan jawaban yang aku inginkan. Maaf Tuan Presdir, aku harus berangkat. Tidak usah khawatir, Aku tetap akan menjalani hidupku sebagai istrimu seperti kesepakatan kita, mungkin sampai batas waktu ketika kamu akan membuangku nantinya."
Fic tertawa kecil mendengar perkataan Erina.
"Itu hanya kekhawatiranmu saja. Ayo berangkat." Fic menarik tangan Erina dan membawanya melangkah.
"Masuklah, aku akan mengantarmu terlebih dahulu." Fic membuka pintu belakang mobil saat sudah berada di luar.
"Aku naik taksi saja!" Erina menarik tangannya.
Fic terdiam sebentar. "Aku berjanji tidak akan menampakkan wajahku sebelum kau siap. Jadi masuklah."
"Fic, aku.." Erina menolak. Tapi Fic sudah mendorong tubuhnya.
Grep! Fic menutup pintu mobil dan cepat menyusul masuk.
Erina hanya diam saja sekarang. Jantungnya berdegup saat menyadari jika ini pertama kalinya dia duduk berdua dengan suaminya, apalagi ini dalam mobil yang mewah.
___