Erina menutup lemari. Dia kembali mengingat, jika mempunyai banyak pertanyaan di hati mengenai Boneka itu. Pertanyaan yang belum sempat mendapatkan jawaban sampai detik ini. Meskipun boneka itu miliknya, Erina tidak dapat mengingat boneka itu didapatkan dari mana.
Erina tidak tahu apa apa, yang dia tahu hanyalah, jika keluarga Handoyo sudah membesarkannya.
Dia adalah anak pembawa sial! Hanya itu yang sering dia dengar dari umpatan Ibu padanya. Handoyo harus kehilangan banyak uang demi kesembuhan Erina saat Koma. Handoyo duduk di kursi roda sekarang dan Erina yang disalahkan.
Ibu, Alika dan Lena membencinya. Dia dianggap anak pembawa sial.
Erina hanya bisa memegang dadanya, merasakan nyeri di hatinya mengingat betapa banyak kesulitan yang harus dijalani. Bahkan sampai detik ini, sepertinya kesulitan akan terus berlanjut.
Pintu dibuka seseorang membuat Erina terkejut. Fic melangkah masuk dengan wajah yang datar.
"Mana Cincinnya, boleh aku melihat?"
Erina mengangguk, menarik laci dan mengeluarkan. Fic menerima, membuka dihadapan Erina. Dia mengambil satu Cincin dengan ukuran yang lebih besar dan menyematkan di Jari manis sebelah kiri.
"Aku tidak tahu seleramu seperti apa. Jadi.. Maaf."
Fic tersenyum menatap cincin di jarinya.
"Ini sangat indah."
Erina tahu, itu hanyalah pujian sekedar untuk menghiburnya saja.
Fic mengambil cincin yang yang satu lagi. Tidak disangka dia meraih pergelangan tangan Erina. Menyelipkan Cincin itu dijari manis Erina.
"Aku menyukainya. Tapi jika kamu tidak menyukainya, kapan waktu, kita bisa menggantinya bersama. Biar aku yang memilih."
"Tidak perlu." Erina menarik tangan yang masih di genggaman Fic.
"Maksud ku, ini sudah cukup kok. Kalau kamu menyukainya tidak perlu mengganti."
Fic hanya mengangguk. Lalu membalikkan badannya untuk pergi ke Sofa.
"Kenapa kamu menikahiku?" Tiba tiba Erina bertanya membuat Fic menoleh sebentar. Fic belum menjawab pertanyaan Erina, dia melangkah untuk duduk. Erina mengikuti dari belakang dan berdiri disisi Sofa.
"Kau adalah orang hebat. Kenapa memilih ku? Kau bahkan belum tau bagaimana masa laluku yang buruk."
"Aku sudah tahu semuanya."
Erina terbelalak. Lalu dengan cepat duduk dihadapan Fic.
"Kamu tahu?"
Fic hanya mengangguk, kemudian berdiri. Erina hanya bisa mengikuti langkah Fic yang menuju sebuah laci. Fic mengeluarkan sesuatu dari sana dan kembali pada Erina. Menjatuhkan beberapa foto di atas meja. Wajah Erina memerah menatap itu. Tangannya gemetaran untuk meraih semua foto foto itu. Dia meremasnya. Buliran air mata menetes dari ujung mata jernihnya.
"Aku sendiri tidak tahu, apa ini benar atau tidak. Tapi aku tidak pernah merasa melakukannya."
Fic menarik nafas kemudian kembali duduk.
"Jika kamu tidak merasa, kenapa harus bersedih."
"Justru karena aku tidak merasa, makanya aku bersedih!" Erina mengencangkan suaranya.
"Beristirahatlah. Aku masih ada kerjaan. Kau bisa membakar semua ini. Dan tidak perlu khawatir, kebenaran pasti akan segera terungkap."Fic kembali bangun dan menuju pintu.
Erina mengangguk.
"Tapi, Kau belum menjawab pertanyaan ku." Erina ikut berdiri.
Fic kembali menahan langkahnya dan menoleh. Kali ini dia tersenyum, dan itu begitu manis bagi Erina.
"Tentu saja karena aku menyukaimu."
"Menyukaiku?" Erina menunjuk batang hidungnya sendiri, ingin bertanya lebih lanjut tapi Fic sudah menutup pintu.
Erina hanya bisa menarik nafas, kembali ke Sofa. Tapi hatinya penuh pertanyaan. Membuat dia tidak tenang dan berjalan mondar mandir. Dia ingin menyusul Fic, tapi tidak tahu harus kemana.
Mungkin karena telah lelah berjalan mondar mandir, Erina memilih merangkak ke atas Ranjang. Tapi Erina tidak dapat tidur. Pikirannya kembali pada foto foto tadi, Erina memutuskan untuk membakar semua foto foto itu.
Erina tidak heran mengapa Suaminya bisa mendapatkan foto itu, karena waktu itu memang foto aib dirinya sempat tersebar ke sosial media. Tapi yang membuat Erina heran, kenapa Fic tetap memilih dirinya dengan masa lalu buruknya, sementara pria lain menghindarinya.
"Dia kemana?" Erina melirik jam. Ini sudah malam. Tapi Fic belum juga masuk kamar. Mungkin saja Fic tidur di kamar lain, atau dia punya wanita diluar sana. Pikiran Erina sudah kemana mana.
"Aku tidak tahu pasti apa alasan dia menikahiku, jadi untuk apa memikirkan itu." Alasan Fic menyukainya, itu sungguh tidak masuk akal dan Erina merasa itu hanyanya bohong.
Erina kembali duduk. Itu tapi tidak lantas membuat Erina tenang. Dia kemudian memutuskan keluar.
Dia melihat Jefri berjalan dengan membawa secangkir kopi. Jefri berhenti saat melihat Erina menghampirinya.
"Nona Erina, kenapa belum tidur?"
"Kopi untuk siapa?" Erina malah bertanya.
"Untuk Tuan Fic."
"Biar aku yang mengantar. Tunjukkan saja kemana aku harus mengantar."
"Tapi Nona," Erina sudah mengambil Cangkir kopi dari tangan Jefri.
"Tuan Fic ada di ruangan kerja." Jefri melangkah mendahului.
"Pergilah tidur." Erina menyuruh Jefri untuk pergi, dan dia memasuki ruangan itu.
"Letakkan di meja saja." Suara Fic terdengar tanpa menoleh, pria itu fokus di depan Laptop di atas meja kerjanya.
Erina membawa kopi mendekat, meletakkan tepat di hadapan Fic.
"Ini sudah larut malam."
Fic mendongak. "Kenapa kemari? Kemana Jefri?"
"Aku mengambil kopi ini dari Jefri. Dan memutuskan untuk mengantar padamu."
Fic hanya tersenyum tipis. "Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan malam ini juga. Maafkan aku, seharusnya aku menemanimu."
Eh, bukan seperti itu! Erina bukan ingin ditemani, hanya saja dia masih penasaran dengan pertanyaannya tadi.
"Ayo kembali ke kamar." Fic menutup laptop. Menyeruput kopi dan hanya menyisakan sedikit.
"Aku akan menunggumu menyelesaikan pekerjaan."
"Tidak perlu. Biar Jefri yang menyelesaikannya besok." Fic sudah mendahului.
Erina kembali mengikuti Fic sampai ke kamar lagi.
"Fic. Aku ingin,"
"Tunggu sebentar." Fic memotong perkataan Erina, melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka. Erina masih setia menunggu di sisi Ranjang.
Melihat Fic keluar dengan wajah yang masih meneteskan air. Erina menunduk saat pergerakan tangan Fic yang membuka baju di hadapan Erina tanpa canggung.
Astaga! Apa yang dia lakukan? Pikiran Erina langsung bleng.
Fic hanya tersenyum melihat wajah Erina yang memerah. Meskipun menunduk tapi itu terlihat.
Fic melempar baju kotor dan mengambil kaos pendek dari lemari untuk di kenakan. Kaos tipis yang memperlihatkan jelas lekuk dada bidang dan perut kotaknya.
"Ayo tidur."
Erina terperangah, tidak disangka jika Fic tiba tiba meraih tubuhnya dan menaikkan ke atas Ranjang. Membaringkan tubuh Erina terlentang. Erina sangat gugup saat wajah Fic sudah ada di atasnya, menatap Erina dengan begitu dalam.
"Maafkan aku, tidak mempersiapkan malam pertama yang baik."
"Aku, aku…" Erina merasa belum siap jika malam ini menjadi malam pertama mereka. Tetapi dia sudah menjadi istri pria itu. Walau bagaimanapun juga, dia tidak mungkin bisa menolak jika Fic meminta haknya.
Fic menyentuh kepala Erina dengan tangannya, beberapa saat menatap wajah Erina yang gugup. Fic tersenyum. Dan lagi lagi, itu terlihat sangat manis di Mata Erina.
Bruk!
Fic menghempaskan tubuhnya di samping Erina dan meraih selimut.
" Tidurlah. Aku harus bangun pagi pagi. Ada pertemuan penting besok."
Grep!
Fic memeluk tubuh Erina dari samping. Menaikkan satu kakinya ke paha Erina.
Tubuh Erina kaku, seperti tidak bisa bergerak sedikitpun. Hingga beberapa saat Erina menoleh, mengintip wajah Fic.
"Dia sudah tidur?" Terdengar suara dengkuran halus.
Erina mencoba melepaskan tubuhnya, tapi tangan Fic begitu kuat memeluk. Erina pasrah sampai akhirnya dia terlelap.
Fic bergerak, mengangkat kakinya. Lalu mengangkat wajahnya untuk menatap gadis di dalam pelukannya itu.
Fic membelai wajah Erina. "Maafkan Aku. Terlalu lama menemukanmu. Kau pasti sangat menderita." Satu kecupan panjang mendarat di kening Erina. Erina menggeliat. Tapi dia masih terlelap.
Mata Fic berkaca kaca. Satu kecupan lagi dia lakukan.
"Aku akan menjagamu kali ini. Berbahagia lah mulai sekarang."
Lalu menyusul Erina ke alam mimpi. Mendekap erat tubuh Erina. Ingin melepaskan begitu banyak kerinduan yang menumpuk dihatinya.