Itu terjadi sembilan tahun lalu.
Sembilan tahun lalu, Pusat Militer Bawah Tanah Jakarta.
Ren yang saat itu masih berusia enam tahun dipanggil oleh Gubernur Jenderal Gilbert ke kantornya.
"Selamat pagi, Gubernur Jenderal," ucap Ren saat memasuki kantor tersebut.
Disana ada beberapa orang selain Gilbert, Ren tidak tahu siapa mereka, hanya ada satu orang yang Ren tahu.
"Kenapa Anda disini, Tuan Sae?" tanya Ren.
Sementara itu, Gilbert menyuruhnya duduk terlebih dahulu.
"Duduklah dulu, Ren," ucap Gilbert memberi perintah.
Lalu, Ren pun menuruti perintah tersebut dan duduk di sofa yang berlawanan dengan orang-orang tersebut.
"Jadi, ada urusan apa Anda memanggil saya, Gubernur Jenderal?" tanya Ren tidak senang, tentu saja dia tidak senang karena dia dipanggil pagi-pagi padahal itu waktunya dia berlatih dan bersiap-siap jika ada pertempuran.
Gilbert yang melihat ekspresi tidak senang Ren hanya membalasnya dengan elahan nafas.
"Mereka mau bicara denganmu," jawab Gilbert.
"Begitu, jadi ada apa, Tuan Sae? Saya yakin urusan kita sudah selesai sepuluh bulan lalu saat Anda memutuskan untuk membiarkan saya tetap berada di Indonesia," ucap Ren sinis.
"Maaf soal itu, Ren, tetapi kami kesini untuk sesuatu yang penting," balas Sae.
Lalu, dia memerintahkan orang dibelakangnya dan orang tersebut meletakkan sebuah surat di meja.
"Apa ini?" tanya Ren.
"Tolong kamu baca dulu," balas Sae.
Lalu, Ren pun membaca surat tersebut dengan teliti. Dia mengerutkan keningnya atas isi surat tersebut, surat itu berisi ancaman.
"Apa maksudnya ini? Surat ancaman untukku?" tanya Ren, dia benar-benar kesal sekarang.
"Sabar dulu, Ren. Jangan pakai emosimu," balas Gilbert memotomg pembicaraan.
Tentu saja, yang dimaksud oleh Gilbert bukanlah emosi secara harfiah karena Ren sendiri telah kehilangan emosinya.
"Bisa tolong Anda jelaskan perihal ini, Tuan Sae?" tanya Gilbert tenang. Dia telah membaca isi surat tersebut sebelumnya dan dia sendiri yakin surat itu bukan untuk Ren, jadi dapat dipastikan ada sesuatu yang disembunyikan.
"Kalau begitu tolong izinkan saya yang menjelaskan," balas seorang laki-laki disamping Sae.
"Siapa Anda? Berani-beraninya memotong pembicaraan," ucap Ren kasar.
"Tolong maafkan dia. Dia ini putraku, Yuza Hanamitsuji," ucap Sae.
"Putra?"
Ren yang mendengar ini memiringkan kepalanya bingung.
"Begitu..dengan kata lain dia ini pamannya Ren?" tanya Gilbert, Gilbert sebagai orang dewasa tentu dapat mengerti dengan cepat.
"Benar, Tuan Gilbert. Saya adik dari ayahnya Ren, Kyouya Hanamitsuji," jawab lelaki itu memperkenalkan dirinya.
"Oho, Ren lihat pamanmu datang berkunjung," ucap Gilbert lalu tertawa terbahak-bahak.
"Tch, diamlah!" balas Ren kesal.
"Jadi bisa langsung ke intinya? Aku sibuk kalian tahu?" ucap Ren ke orang-orang tersebut.
Ngomong-ngomong Sae adalah kakek Ren dari keluarga ayahnya, nama lengkapnya Sae Hanamitsuji.
"Biar saya yang menjelaskan," ucap Yuza lalu dia menatap Ren,"seperti yang kamu sudah lihat, Ren. Surat ini berisi ancaman,tetapi bukan untukmu melainkan putriku," lanjutnya.
"Putri?"
"Ya, sepupu perempuanmu, Nanase Hanamitsuji," balasnya.
"Oho, begitu-begitu. Jadi ada surat ancaman pada putri keluarga Hanamitsuji, lalu untuk urusan apa kalian datang jauh-jauh kesini padahal perang sedang bergejolak?" tanya Gilbert.
"Kami..., tidak, saya terutama sebagai ayah dari Nanase ingin meminta bantuanmu, Ren," ucap Yuza dengan serius.
"Apa? Bantuan macam apa yang kamu maksud?" balas Ren tak senang.
"Bisakah kamu untuk sementara waktu pergi ke Jepang dan membantu kami dalam menyelidiki hal ini? Aku yakin kamu mempunyai kemampuan yang lebih dari cukup," ucap Yuza.
"Hah? Tidak! Untuk apa aku kesana segala? Apa kalian gila?!" balas Ren kesal.
"Tolonglah, ini demi sepupumu! Tidakkah kamu merasa kasihan dengannya?" ucap Yuza memohon.
"Sekali tidak tetap tidak! Argh, aku dipanggil pagi-pagi begini hanya untuk membicarakan omong kosong? Menjijikkan," balasnya lalu dia berdiri dan berjalan pergi.
"Tunggu, Ren! Kamu benar-benar tidak mau membantu sepupumu? Hidup dia akan hancur kalau begini!" ucap Yuza sambil menahan Ren yang akan pergi.
"Jangan bicara omong kosong, kalian lebih dari cukup untuk hal sepele macam ini, jangan libatkan aku!"
Lalu, Ren melepaskan tangannya yang tertahan dengan paksa dan pergi dari ruangan itu.
Tetapi, sebelum pergi dia berucap.
"Jangan salah paham, aku bukannya membenci kalian apalagi membenci sepupuku, aku tidak ada masalah apapun dengan kalian, tidak seperti dengan keluarga besar ibuku, tapi tolong kalian mengerti..," dia berhenti berucap lalu dengan berat hati dia melanjutkannya, "saat ini perang sedang berkecamuk dengan hebat, aku juga salah satu prajurit yang ikut dalam perang ini, apalagi Jepang telah secara terang-terangan melawan kami, tidak mungkin aku bisa pergi ke Jepang untuk membantu kalian, aku tidak mau mengkhianati rekan-rekanku. Jadi, semoga beruntung, aku berharap yang terbaik untuk Nanase," ucapnya lalu Ren benar-benar pergi.
Yah, dia tidak berbohong. Dia memang tidak membenci keluarga ayahnya tetapi kali ini berbeda, tidak mungkin dia akan pergi ke Jepang dan meninggalkan rekan-rekannya berperang sendirian. Walaupun rekan-rekannya tidak mungkin menganggap dia pengkhianat, tapi tetap saja dia tidak mau melakukannya. Baginya, rekan-rekan yang dia miliki sekarang adalah hal-hal yang harus dia pertahankan dan dia lindungi. Dia merasa bersalah dengan sepupunya, tetapi dia tidak punya pilihan. Dia hanya bisa berharap semuanya baik-baik saja.