[Pov Nanase Hanamitsuji]
Namaku Nanase Hanamitsu, aku berasal dari keluarga terpandang. Tetapi, hanya itu saja. Kehidupanku sendiri benar-benar hampa.
Suatu hari sebelum pertengahan semester.
Kelasku saat ini sedang berisik karena wali kelas kami, Yurika-sensei belum datang, tetapi tiba-tiba.
"Selamat pagi, anak-anak. Segera kembali ke tempat duduk kalian masing-masing," ucapnya.
Yah, dia baru saja kembali.
Tetapi, kenapa dia memasang ekspresi serius begitu?
"Anak-anak, hari ini kelas kita kedatangan murid baru," ucapnya.
Oh murid baru, eh tunggu? Murid baru? Serius? Ini bahkan belum pertengahan semester, bukankah ujian perpindahannya sangat sulit?
Itulah pikirku. Memang rumor di sekolah ini menyebutkan bahwa ujian perpindahan yang diberikan pihak sekolah itu tidak masuk akal bahkan terkesan sengaja diberi susah. Aku dengar sih soalnya setara tingkat universitas.
"Silahkan masuk," ucap Yurika-sensei.
Lalu, dia masuk. Seorang anak laki-laki dengan rambut putihnya yang indah serta mata ungu yang tampak bersinar.
Tunggu? Bukankah rambutnya mirip seperti aku? Aku tidak tahu kalau ada keluargaku yang masuk ke sekolah ini, apakah dia dari keluarga cabang yang jauh? Tidak, tidak! Aku sudah tau keluarga cabang terjauh sekalipun, jadi itu tidak mungkin. Lalu, apakah dia hanya sekedar mirip denganku? Atau ini sebuah pertanda? Bisakah jika dengan dia?
Sementara aku telah berpikir yang macam-macam, anak itu memperkenalkan dirinya.
"Selamat pagi, perkenalkan nama saya Ren Kaito, saya berasal dari Indonesia, saya harap kita dapat berteman baik," ucapnya lalu membungkukan badannya sedikit.
Seisi kelas langsung menjadi heboh, apakah karena dia tampan? Seorang ikemen ? Tidak, bukan itu. Mereka menjadi berisik karena asalnya dari Indonesia.
Menurut yang aku tahu, negara itu terletak di benua Asia bagian Tenggara, mereka baru saja mengakhiri perang saudara yang telah terjadi selama sepuluh tahun. Menurut informasi yang beredar, banyak pihak yang terlibat dalam perang ini, salah satunya adalah Jepang.
Aku dengar bahwa mereka berhasil mengalahkan Amerika dan sekutunya, dimana salah satunya Jepang dalam perang tersebut. Dan dalam satu momen, kali ini mereka benar-benar menjadi penguasa.
Banyak yang bilang mereka itu penentu masa depan dunia saat ini karena mereka tidak mengendalikan negara-negara yang kalah secara langsung, tetapi mereka mengendalikannya dari balik bayang-bayang. Aku sendiri tidak begitu mengerti, tapi aku pikir itu rumit.
Jadi, kenapa negara yang baru saja selesai berperang bisa mengirim warganya sekolah ke luar negeri? Mungkin itulah yang dipikirkan orang-orang di kelasku. Tetapi, aku sendiri tidak terlalu memikirkan itu, keluargaku terutama ayah dan kakekku menyuruhku untuk tidak memikirkan peperangan sejak awal.
"Tolong tenang semuanya!" ucap Yurika-sensei.
Lalu, seisi kelas langsung diam.
"Sensei mengerti kebingungan kalian, tetapi itu semua tidak penting saat ini. Sensei harap kalian dapat berteman dengan baik tanpa memandang latar belakang apapun," ucapnya.
Seisi kelas pun mengangguk. Lalu, anak itu pun duduk, tepatnya duduk disebelahku, baris ketiga dari empat baris yang ada, sementara aku di baris ke empat.
Pelajaran pun dimulai seperti biasanya. Lalu, beberapa jam kemudian, waktunya telah menunjukkan saatnya istirahat makan siang.
Disaat anak-anak yang lain keluar kelas dan menuju ke kantin atau pun membawa bekal untuk di makan bersama dengan teman sambil mengobrol, dia tetap diam di kursinya.
Aku refleks mendekat padanya,
"Permisi? Apa kamu tidak makan?"
Aku mencoba bertanya padanya, sepertinya dia yang tadi diam saja lalu mendengar perkataanku membuatnya merespon.
"Tidak, aku tidak bawa bekal," jawabnya dengan sopan.
Oh dia anak yang sopan, aku pikir tidak masalah jika aku mengajaknya?
"Um, apa kamu tidak membeli makan siang dikantin?" tanyaku.
"Aku belum melihat kantin, tidak tepatnya aku tidak tahu lokasinya," jawabnya.
Oh begitu, dia tidak tahu lokasi kantin. Eh, itu berarti benar-benar tidak masalah kan jika aku mengajaknya?
"Bagaimana jika aku memandumu kesana? Mungkin kita bisa sekalian makan bareng jika kamu mau tentu saja," tawarku.
Dia sempat tidak menjawab sejenak, lalu dia berkata.
"Itu tawaran yang bagus, tolong pandu aku"
Oh, dia mau! Itu bagus, akhirnya setelah sekian lama aku punya teman, mungkin?
"Aku mengerti, tolong ikuti aku," ucapku, lalu aku bersama-sama dengannya menuju ke kantin.
Di kantin.
"Inilah kantin sekolah ini, Kaito-san," ucapku saat selesai memandunya ke kantin.
"Oh ini bagus, kurasa. Cukup berbeda dengan kantin militer," ucapnya.
Dia terlihat senang, tapi tunggu dulu, kantin militer?
"Maaf, Kaito-san, apa maksudmu dengan "kantin militer"?" tanyaku.
Dia yang mendengar ini segera tertegun lalu dia terlihat cukup panik.
"Tidak, tidak, mungkin kamu salah dengar? Oh ngomong-ngomong kamu bisa memanggilku Rei," balasnya.
Dia mengalihkan pembicaraan kan? Ya sudahlah. Kalau dia memang tidak mau mengatakannya ya sudah aku lupakan saja, tetapi dia itu..menyuruhku memanggil nama depannya? Bukankah itu hanya dilakukan mereka yang sudah akrab?
"Anu, maaf Kaito-san, tetapi di Jepang memanggil nama depan itu tidak sopan, kami terbiasa memanggil dengan nama keluarga atau nama belakang, memanggil dengan nama depan hanya dilakukan oleh mereka yang sudah akrab satu sama lain," ucapku, aku berniat menjelaskan padanya, mungkin saja dia tidak tahu tentang itu.
Akan tetapi, responnya tidak sesuai harapanku. Dia malah menghela nafas berat.
"A-ada apa, Kaito-san? Apa aku menyinggungmu atau sesuatu?" tanyaku takut-takut, mungkin aku menyinggung perasaannya disuatu tempat.
"Tidak, tidak apa-apa. Jujur saja Kaito itu bukan nama belakangku, negara asalku secara umum tidak memakai nama keluarga di nama mereka, kecuali beberapa suku tertentu. Jadi, silahkan panggil aku Ren," jawabnya.
Ah, begitu rupanya. Jadi, Kaito itu bukan nama keluarganya, aku mengerti, aku akan panggil dia "Ren-san".
"Begitu, ya. Jadi Ren-san, kan?" tanyaku mengonfirmasi.
"Benar, terima kasih. Jadi, kita lanjut?" balasnya.
Ah iya, aku lupa! Aku ke kantin untuk memandunya sekalian kita makan bareng, mungkin aku terlalu senang karena bisa mengobrol normal dengan orang sebayaku. Aku harap ini tidak akan berakhir begitu saja!
"Ah maaf, Ren-san! Mari kita lanjut," ucapku.
Lalu, aku memandu Ren-san di kantin tersebut dan menjelaskannya cara memesan di kantin dan beragam menu yang ada. Dia tampaknya adalah orang yang dapat mengerti dengan mudah, dia mencerna informasi yang aku berikan dengan baik. Pasti dia anak yang cerdas, mungkin itulah kenapa dia sangat fokus dalam mendengarkan pelajaran tadi, aku semakin bersemangat untuk kedepannya!
Di awal hari itu, seorang gadis yang sangat senang karena dia pikir dia sekarang mempunyai teman akan kecewa sekali lagi, dia lagi-lagi akan mengutuk dirinya sendiri. Tetapi, apakah masa depan telah bergerak? Apakah dia akan selamat dari kesengsaraannya?