Sekali lagi aku menatap dekorasi pelaminan yang cukup mewah. Para orang tua sengaja mengadakan acara pernikahan di sebuah hotel yang tidak jauh dari kediamanku. Alasannya tidak ingin repot lagi membersihkan pasca pernikahan. Sebab, di saat pernikahan Mbak Kinara, kami sekeluarga kewalahan membersihkan pekarangan yang cukup kotor akibat sampah dari para tamu. Toh, untuk apa mendirikan tenda di pekarangan rumah, yang nantinya membuat para tetangga terganggu. Terlebih sekarang, sudah jarang orang yang akan mengadakan resepsi di rumah sendiri, mengingat lahan yang semakin sempit dan tidak semua orang suka dengan keributan.
"Eh, calon pengantin kenapa di sini? Tidak boleh berkeliaran dulu," tegur salah satu crew wedding organizer lalu menuntunku kembali ke kamar yang sejak tadi kugunakan untuk make up dan berganti baju. Ruang pengantin masih terlihat sepi dikarenakan hari juga masih pagi, hanya ada beberapa orang yang kutahu adalah keluarga Rangga sedang asyik berfoto ria dan beberapa crew wedding organizer yang tampak merapikan kursi dan segala macam perlengkapan.
Aku kembali dengan wajah kecewa, padahal mata ini belum dimanjakan dengan pemandangan bunga-bunga yang tertata rapi. Setahuku, selain menggunakan artificial flower, ada beberapa dekorasi yang menggunakan bunga asli, yang terpasang di samping pelaminan misalnya. Mungkin pihak wedding organizer sengaja menyimpan bunga asli di sana, agar aku bisa tersenyum dan bernapas dengan leluasa. Seperti gadis-gadis lain, aku suka bunga, tetapi tidak berlaku jika bunga tersebut diberikan oleh kekasih atau laki-laki yang ingin mendekatiku. Entahlah, aku juga tak tahu mengapa diriku se-unik itu. Apa ini disebut gadis limited edition?
Suara ketukan pintu membuat perhatianku teralihkan. Daun pintu terbuka dan menampakkan ketiga sahabatku yang terlihat sangat cantik dengan gaun berwarna rosy hues. Seketika Dewi terlihat lebih anggun, Rara si gadis barbar tampak menawan, dan Mela selalu memukau dengan hijab yang senada dengan gaun yang ia kenakan, meski sikap petakilannya tak bisa dihilangkan.
"Woah, kalian siapa?" tanyaku berpura-pura tak mengenali mereka.
Ketiganya saling berpandangan lalu tertawa.
"Eii, jangan seperti itu, Nan. Kamu masih tetap yang menjadi nomor satu di antara kami." Mela memberikan sanggahan. Sekali lagi, tutur katanya dibuat lembut.
Meski hanya dia satu-satunya orang yang berhijab di antara kami, tetapi yakinlah bahwa sebenarnya gadis ini cukup petakilan dan tak ada salihahnya. Namun, kami tak pernah menegur, sebab kami juga tahu bahwa hijab dan akhlak tak berkesinambungan. Setidaknya dia sudah berhijab dan menjalani kewajiban, sedangkan kami ini masih terombang ambing dalam kesesatan yang masih memamerkan rambut dan aurat.
"Dih, nggak kerasa ya, Nan. Lo udah mau nikah aja." Dewi mendekat dan memelukku.
Suasana tiba-tiba menjadi sendu. Seakan ruangan ini diiringi dengan musik melow yang akan membuat kami meneteskan air mata.
"Jangan buat gue sedih. Takut make up gue luntur. Kalian nggak tahu perjuangan bangun jam empat subuh cuma buat make up doang, dan baru selesai di jam tujuh pagi, di mana masang baju dan sanggul cukup memakan waktu yang lama," akuku padanya.
Aku tak pernah membayangkan bahwa mempelai wanita akan bangun subuh hanya untuk didandani. Ternyata menjadi pengantin dan ratu sehari membutuhkan effort yang sangat luar biasa. Alhasil aku kerap tertidur saat orang-orang mendandaniku, membuat si tukang make up mengeluh sekaligus menertawai sikapku. Ya, mau bagaimana lagi, semalam aku sulit tertidur akibat memikirkan hari esok yang akan membuat jantungku dag dig dug ser.
"Foto dulu, guys." Dewi mengangkat ponsel, membuat kami seketika berpose.
"Wi, gue harap lo nggak up di sosial media manapun," pintaku setelah ia menurunkan ponselnya.
Ada raut kekecewaan yang terlihat di wajah ketiganya.
"Aish, kita nggak bisa pamer gaya dong, Nan." Rara manyun.
"Guys, kalian tahu gimana pernikahanku ini. Gue bener-bener berharap tak ada pihak kampus yang tahu."
Suara helaan napas mereka terdengar kecewa. Aku tahu apa yang mereka alami, tetapi aku benar-benar tak mau informasi tentang pernikahanku sampai di telinga banyak orang. Terlebih Devan, aku jelas ingin merahasiakan statusku padanya. Sudah jelas desas desus yang kurang menyenangkan akan menerpa jika aku mengungkapkan siapa yang menjadi suamiku.
***
Tubuhku terasa dipukuli, seharian duduk-berdiri di pelaminan membuat otot betisku seakan ingin pecah. Sekarang aku tahu, mengapa banyak orang yang tak mau mengulang hari pernikahan, meskipun akan diperlakukan layaknya ratu sekali pun.
"Baca dan tanda tangani." Rangga melemparkan kertas yang membuat keningku berkerut.
Malam ini kami akan tidur di kamar yang sama, tapi jangan berharap akan ada adegan dewasa yang memanjakan mata dan pendengaran. Big No! Karena masih berada di hotel, mau tidak mau kami harus menginap. Tidak memungkinkan untuk pulang, dan membuat keluarga gempar akan kenyataan tersebut.
"Apaan, nih?"
"Makanya baca." Suara dinginnya lagi-lagi membuatku tak senang.
Aku melebarkan mata saat membaca tulisan di sana. Apa? Aturan pernikahan yang harus dipatuhi? Laki-laki ini benar-benar membuatku tercengang dengan segala macam perilaku yang menurutku sangat tak masuk akal.
kembali kubaca poin-poin yang terlampir. Seketika aku ingin menjambak rambut dan mencakar wajah tampannya yang nahasnya tak menyiratkan rasa bersalah sedikit pun. Dasar laki-laki berwajah datar. Aku seperti menikahi patung manekin yang sering dipajang di mall dan pusat perbelanjaan saja.
Peraturan yang ia buat membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi. Poin pertama tertulis bahwa tak ada yang boleh mencampuri urusan pribadi. Ha! Aku pun tak akan mau mencampuri urusannya. Sebenarnya aturan ini cukup baik untukku juga. Jika aku tak boleh mencampuri urusannya, berarti dia pun demikian. Sehingga aku bebas ke mana pun tanpa harus meminta izin darinya.
Poin kedua tertulis bahwa tidak boleh membawa teman ke rumah. Aih, sepertinya ini cukup sulit, sebab ketiga sahabatku akan merengek untuk datang ke rumah pengantin baru, mengingat bagaimana sikap mereka yang selalu penasaran dengan apa yang menurutnya baru.
Poin ketiga tercantum, bahwa jika ada acara keluarga kedua belah pihak wajib ikut. Ya, ini juga masih masuk di akal. Dia sepertinya ingin terlihat seperti keluarga harmonis di depan keluarga yang lain. Kukira dia bermasa bodoh, ternyata hal seperti itu masih dipikirkan juga.
Saat membaca poin keempat mataku sempat melotot, makanan wajib tersedia setiap pagi. Pekerjaan rumah tangga tetap dilakukan olehku. Apa ini? Bagaimana bisa semua pekerjaan rumah tangga dilimpahkan padaku? Apa aku hanya dinikahi untuk dijadikan pembantu saja? Aku tidak ingin bersikap layaknya seorang istri penurut. Namun, sebelum aku protes, mataku tertuju pada kalimat selanjutnya, Rangga akan memberikan uang bulanan yang sesuai. Sehingga rasa emosi yang tadinya membara dan siap meledak, seketika mengikis. Setidaknya aku bisa merangkap menjadi pembantu rumah tangga di rumah Rangga. Toh, hanya mengurus rumah dan memasak. Keahlian memasaknya tidak terlalu buruk.
"Bagaimana dengan Lala, siapa yang akan mengantarnya ke sekolah? Siapa yang akan menjemputnya?" Hal ini tidak boleh luput dari pembicaraan dan kesepakatan.
"Siapa yang punya waktu luang, berarti dia yang harus menjemput Lala."
"Perjelas, Mas. Mas, tahu sendiri bagaimana kesibukanku di kampus, sedangkan Mas juga begitu. Sepertinya kita berdua tak punya waktu luang di jam pulang Lala."
"Kalau begitu, kita akan bergantian untuk menjemputnya. Mau tidak mau, sibuk atau tidak, jika sudah waktunya, kita harus meninggalkan masing-masing pekerjaan."
Aku bersiap mengeluarkan amunisi untuk menolak, tetapi dia lagi-lagi membuatku tak berdaya.
"Tidak boleh ada penolakan. Kau sekarang sudah menjadi orang tua Lala, jadi jangan melalaikan tugas."
Aku seperti sedang berbicara dengan orang yang berkuasa di jagat raya. Tak boleh ada penolakan, tak boleh mengeluh, dan tak boleh mengeluarkan aspirasi. Hidupku sekarang benar-benar berantakan.
"Tidurlah di kasur, aku akan tidur di sofa."
Aku mengedikkan bahu acuh. Meski kutahu sofa tak akan nyaman untuk tubuhnya yang setinggi tiang listrik, tetapi aku tak akan mau berbagi kasur, apalagi berganti tempat. Anggap saja, sekarang ia sedang memperlihatkan sisi simpati dan prikemanusiaannya terhadap seorang wanita.