Tak akan ada kata libur untuk pengantin baru. Aku bahkan tak habis pikir bagaimana pola pikir laki-laki yang berstatus sebagai suamiku. Harusnya aku libur saat ini, tetapi Rangga mewanti-wanti agar diriku tetap ke kampus. Tidak ada kata pengecualian meski aku berstatus sebagai istrinya. Toh, saat di kampus statusku tetap sama dengan mahasiswa lain. Orang-orang akan curiga jika Rangga memperlakukanku dengan spesial. Baru beberapa jam menyandang status sebagai istri dari Rangga Prakasa, tetapi aku sudah merasakan euforia yang sangat berbeda.
Aku terus menerus mengomel sebab dia tak membangunkan. Sehingga aku harus ketinggalan bus dan terpaksa menggunakan taksi yang nahasnya harus tersendat akibat terperangkap kemacetan ibu kota.
"Kirain libur?" tanya Rara setelah melihatku turun dari taksi.
"Tak ada kata libur, Ra. Bisa-bisa Pak Rangga ngasih hukuman lagi. Nilai gue udah anjlok di titik terendah."
"Dih, paling hukumannya di ranjang." Ia menaik turunkan alis, pertanda sedang menggodaku, si pengantin baru ini. "Semalam udah jebol, nggak?"
"Jangan harap. Otak lo perlu disterilisasi kayaknya. Isinya cuma anuan, doang."
Ia cengengesan. "Ya, maaf, gue kira kalian semalam, gituan."
Aku bergidik. "Ya ampun, Rara. Tolong ucapannya jangan ambigu."
Mengapa banyak orang yang mengira di malam pernikahan akan ada adegan penjeblosan yang akan menguras tenaga? Padahal, si pengantin sudah kelelahan menerima tamu di pelaminan.
"Siapa suruh nikah di hari Minggu, kenapa nggak hari Sabtu aja, sih?"
"Salahkan tanggal kelahiran gue yang jatuh pada hari Minggu," jawabku acuh.
Rasa mengantuk yang tadinya masih menyelimuti terpaksa menguap seketika, kala ragaku kembali sadar bahwa sebentar lagi kelas Rangga akan dimulai. Salahkan otakku yang dongkol, sehingga ia membuatku harus mengulang di kelasnya. Rangga memberi perintah agar nilaiku bisa menembus angka A, yang di mana hal itu adalah kemustahilan bagi diriku yang memiliki otak pas-pasan. Lulus dengan IPK ideal sepertinya akan sangat sulit kuperoleh. Otakku tidak seperti Kinara yang terlalu encer. Sepertinya aku kesiangan saat pembagian kecerdasan, sehingga kecerdasan yang diberikan padaku hanya secuil. Ya, syukur. Daripada tidak sama sekali.
Aku mengatur napas yang tersengal-sengal sebelum masuk ke dalam ruangan. Sepertinya Rangga belum masuk, melihat kelas masih rusuh. Suara langkah kaki yang cukup mendominasi di telinga membuatku menoleh. Di sana terlihat lelaki berjalan dengan gagah, tegap, sambil membawa beberapa buku dan map.
Dengan langkah cepat aku segera masuk ke ruangan dan mencari tempat duduk kosong yang berada di pojok ruangan. Tempat yang paling aman dan mungkin tak akan terlihat dari radar Rangga. Semoga saja.
"Hei!" Seseorang menepukku, membuatku menoleh karena terkejut.
"Heh, ngapain di sini, Dev?" tanyaku masih dipenuhi dengan keterkejutan. Devan tak pernah mengambil kelas Pak Rangga, tetapi mengapa hari ini dia bisa ada di sini?
"Aku penasaran bagaimana cara dia mengajar yang katanya tidak pernah beramah tamah dengan mahasiswanya. Dan aku juga ingin mengenal dosen yang sering mengajakmu berdebat," bisiknya kala Pak Rangga sudah di depan sana.
Tak ada salam, sapa, dan senyum. Ia hanya menjelaskan beberapa hal yang akan dilakukan beberapa hari ke depannya. Ya, khas Pak Rangga, tak akan ada adegan basa basi seperti dosen lain. Tak ada pula candaan yang akan membuat mahasiswanya tertawa. Namun, tetap saja, kelasnya selalu penuh dengan mahasiswa yang kutahu hanya numpang duduk, sekaligus menikmati mahakarya yang hampir sempurna.
"Setelah penjelasan panjang lebar tentang manajemen bisnis, ia kembali menatap kami satu persatu, dan tatapan terakhirnya berhenti padaku. Aku segera menunduk dan pura-pura menulis. Padahal, aku hanya mencoret-coret buku dengan garis abstrak.
"Apa saya yang salah hitung, absensi hari ini hanya empat puluh orang, mengapa ruangan ini begitu penuh dan sesak. Apa ada yang salah dengan absensi saya?" tanyanya membuat yang lain saling memandang.
Aku melengos, biasanya dia tak seperti ini. Mengapa sekarang ia peduli dengan keadaan sekitar? Ia kembali membaca satu persatu nama mahasiswa yang tertulis di absensi.
"Bagi mereka yang namanya tak kusebut, silahkan keluar dari ruangan ini."
Aku menyikut lengan Devan, tetapi pria itu bergeming seolah dirinya tak termasuk dalam jajaran orang yang diusir oleh Rangga.
"Kau tak keluar?" tanyaku mengingatkannya.
"Tidak, sepertinya dia tak sadar akan kehadiranku," gumamnya tanpa menoleh padaku.
Setelah pengusiran mendadak yang dilakukan Pak Rangga, suasana kelas yang tadinya begitu sesak, menjadi leluasa. Seketika oksigen yang kuhirup terasa sangat menyegarkan. Ya, sebelum mereka pergi, hidungku harus bersaing menghirup oksigen tersebut.
Pak Rangga tiba-tiba berjalan ke arahku, jelas hal itu membuat kurang nyaman. Ia berdiri di samping Devan dan menatapnya tajam.
"Devan Mahendra, mengapa kau ada di sini? Sejak kapan anak teknik mampir ke kelas manajemen?" sarkasnya.
"Ah, saya ingin menemani Kinan, Pak."
"Dia bukan anak kecil yang harus ditemani."
Devan menghela napas panjang, " Saya harus berada di sampingnya, Pak." Devan merangkulku membuat mataku melotot. Bukan hanya aku seorang, semua orang tampak menunjukkan keterkejutan akan aksi pria yang satu ini. "Dia sakit, Pak. Aku tidak tega meninggalkannya."
Pak Rangga terlihat mengeraskan rahang, lalu berjalan kembali ke depan kelas. Sungguh, aksi Devan di luar nalar. Aku tak berani menegurnya, takut Pak Rangga kembali menggelindingkan tatapan tajamnya ke arahku.
***
"Aksi lo bener-bener di luar nalar, Dev." Aku bertepuk tangan lalu mengacungkan jempol padanya. Aksi Devan yang berani menentang kehendak Pak Rangga menjadi trending topik di grup angkatan. Banyak yang takjub dengan Devan, banyak juga yang mencela, karena alasannya adalah aku.
'Mengapa Devan harus membuat namanya tercoreng hanya karena seorang wanita?'
'Mengapa Devan harus masuk ke kelas manajemen?'
'Mengapa Devan yang terkenal pemalas rela menghabiskan waktunya menemani Kinan?'
'Apa mereka sedang memamerkan keromantisannya?'
Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan di grup dan kuyakini diisi dengan ketidaksukaan tentang masalah ini. Namun, aku masih bersikap bermasa bodoh dengan semuanya. Toh, semuanya akan berlalu seiring berjalannya waktu.
"Pak Rangga benar-benar seperti macan betina. Apa salahnya jika banyak yang masuk di kelasnya? Harusnya dia bangga, sebab banyak yang suka dengan matkul yang ia bawakan."
"Ralat, Dev. Bukan suka akan matkulnya, tapi suka sama dosennya. Lo mah kagak tau aja, pesona Pak Rangga hampir setara dengan pesona Agus BTS."
Ia mengerutkan alis bingung. "Sejak kapan di BTS ada Agus? Namanya lokal banget lagi." Tawanya terdengar nyaring, membuat penghuni kantin menoleh padanya.
"Hadeh, maksudnya Suga, di balik jadi agus. Kan, enak tuh kalo nyebut idol dengan nama lokal. Berasa produk dalam negeri."