Chereads / Kakak Iparku, Suamiku / Chapter 13 - Impossible

Chapter 13 - Impossible

"Kenapa lagi lo, Nan? Bad mood banget."

Wajahku memang tak bisa membuat segalanya terlihat baik-baik saja. Aku seakan tak punya tenaga untuk berpura-pura baik. Mendapat dua masalah dari dua dosen iblis membuatku harus rela jika nantinya nilaiku kembali anjlok. Bu Mega tak akan memberi keringanan dan Rangga tak akan dengan mudah membubuhkan nilai cantik untukku. 

"Gue salah ngasih tugas, Wi."

"Maksudnya, lo salah ngasih tugas lagi ke Pak Rangga?"

Aku mengangguk. "Bukan hanya itu aja, tugas yang harusnya gue setor ke Bu Mega, malah gue setor ke Pak Rangga. Begitu pun sebaliknya." Aku menelungkupkan kepala ke meja, menyembunyikan wajah yang dipenuhi rasa frustrasi. Aku benar-benar stres akan kecerobohanku sendiri.

"Lah, emang lo nggak ngecek lagi?" Mela mengusap-usap punggungku.

"Ngecek, kok. Akan tetapi, lo tahu, kan, bagaimana cerobohnya gue. Apalagi kemarin gue tuh buru-buru banget. Mana sampulnya sama lagi, jadi gue kayaknya keliru."

"Ya ampun, Nan. Gue benar-benar turut berduka cita." Rara menatapku dengan sendu. 

"Jadi gimana kelanjutanya, keduanya ngasih tugas tambahan lagi, nggak?"

Aku menegakkan tubuh, lalu bersandar dengan lunglai di sandaran kursi. "Bu Mega ngasih tugas tambahan, tetapi Pak Rangga tidak. Entahlah tugas apalagi yang akan dia berikan. Gue benar-benar pusing."

"Tugas di ranjang kali, Nan."

Tatapan kami beralih kepada Mela. Gadis yang terlihat alim, polos, dan suci, tetapi yakinlah mulutnya tidak menyiratkan semuanya.

"Lah, kenapa kalian natap gue kayak gitu? Apa gue salah ngomong?" Mela mengerjapkan mata kala sadar bahwa tatapan kami menyiratkan ketidaksukaan.

"Lo pikir ini waktu yang tepat untuk bercanda?" pekik Rara terdengar kesal.

"Mulut dijaga, Mela." Dewi memberi petuah.

Saat Dewi punya hobi membuat suasana di geng menjadi ramai, Mela justru kerap menjadi tukang rusuh dan membuat kami bad mood. Ia tak bisa menempatkan candaan yang ia lontarkan. Seperti sekarang, saat kami sedang serius ia malah melontarkan candaan yang terdengar garing dan menjengkelkan.

"Di otak lo itu apa hanya terisi dengan hal-hal seputar ranjang?"

"Ya, maaf. Gue bener-bener salah." Mela manyun dan menunduk penuh rasa bersalah. Namun, yakinlah bahwa kami tidak bisa berlama-lama marah pada si bontot. Di antara kami berempat, Dewi lah yang paling sulung, dilanjut aku, Rara, dan terakhir Mela.

Si bontot yang otaknya juga tak jauh berbeda denganku. Akan tetapi, dia selalu mendapat dosen yang baik dan tak pelit nilai. Ya, Mela memang se-hoki itu.  Di saat hidupku selalu diisi dengan kesialan, dia malah penuh dengan keberuntungan. Sepertinya saat pembagian rezeki, dia selalu berada di barisan paling depan, sedang aku paling terakhir.

Berbicara tentang keberuntungan, apa aku memang sesial ini? Tak ada satu pun harapan yang sesuai dengan apa yang kujalani. Bagaimana bisa dunia begitu kejam padaku? Pada gadis imut dan cantik ini. Memuji diri sendiri tak salah, kan? Siapa lagi yang akan memuji jika bukan diri sendiri? Berharap dengan orang lain, sepertinya hal yang paling menyulitkan. Orang lain hanya akan memuji saat dia sedang ada maunya dan akan menghujat jika tak membutuhkan apa pun lagi. Begitulah harfiah seorang manusia. 

"Lo bisa kali, Nan, minta keringanan sama Pak Rangga."

Aku menatap Rara dengan tatapan memelas. "Minta keringanan sama dosen yang super profesional? Impossible, Ra. Gue bahkan hampir berlutut, tapi dia tetap kekeh dengan pendiriannya. Nggak ada pengecualian buat gue."

Ya, laki-laki itu tak akan mau tahu tentang kesulitanku. Kalau kata Mela 'Ja je jo, urus urusan masing-masing'.