Chereads / Kakak Iparku, Suamiku / Chapter 15 - Cosplay Jadi Ibu Rumah Tangga

Chapter 15 - Cosplay Jadi Ibu Rumah Tangga

Kembali kumemulai aktivitas pagiku, menyiapkan sarapan sekaligus membersihkan  dan merapikan setiap sudut ruangan. Kadang aku menertawakan diri sendiri yang sudah mirip ibu rumah tangga sungguhan. Pantas zaman sekarang banyak wanita yang tidak ingin menikah, apalagi jika sudah memiliki penghasilan tetap. Bagi wanita yang sudah memiliki penghasilan besar, pria tak ada gunanya, sehingga mereka tak perlu menikah yang akan menambah beban hidup. Sedangkan bagi pria, mereka tak akan bisa bertahan tanpa istri, karena mereka sudah terbiasa dilayani sejak lahir oleh ibunya. 

Jika nantinya aku memiliki anak laki-laki, aku akan mengajari mereka untuk lebih mandiri dalam urusan pekerjaan rumah tangga,. Setidaknya kelak anakku akan mandiri dan tak bergantung kepada istri atau pembantu rumah tangga. Kalaupun nanti anakku menikah, istrinya tak terlalu lelah dengan semua pekerjaan rumah. Karena banyak laki-laki yang terlihat gengsi untuk membantu pekerjaan sang istri. Banyak suami-suami yang mengatakan bahwa kodrat istri memanglah seperti itu, mengerjakan urusan dapur, sumur, kasur, dan sebagainya. Padahal, kodrat wanita yang sesungguhnya hanya empat, yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui, selebihnya bisa dikerjakan oleh laki-laki.

Jadi statement yang mengatakan bahwa wanita memang tercipta untuk nemplok di dapur adalah hal yang konyol yang pernah aku dengar. Jadi pria kerjanya apa? Hanya sekadar mencari nafkah saja? Lah, wanita juga bisa kalau begitu. Namun, karena banyak wanita yang katanya ingin mengurus sekaligus mengabdi kepada suami sehingga para istri juga kerap mengubur keinginan untuk bekerja. Padahal, banyak kok, wanita di luaran sana yang berkeinginan untuk bekerja seperti saat masih single, tetapi karena dipaksa dengan keadaan sehingga keinginan mereka harus ditutup rapat-rapat. Terlebih jika sudah memiliki anak. 

"Bun, sarapan apa pagi ini?" teriakan Lala membuyarkan lamunanku.

"Ini …." Aku menelengkan kepala, sedikit berpikir tentang nama keren dari roti bakar yang kubuat. "Ah, ini strawberry jam toast with whip cream," jawabku dengan riang.

"Bilang saja, roti panggang selai strawberry, jangan membuat Lala pusing menghafal nama makanan yang kamu buat."

Kedatangan Rangga benar-benar membuat suasana yang tadinya ceria seketika berubah mendung. Dia memang pantas menjadi duta pilu dan duka cita.

Aku menyimpan piring berisi sandwich di hadapannya. Alisnya berkerut, seolah makanan yang di hadapannya tak sesuai dengan kemauannya. 

"Mengapa roti saya gosong? Berbeda dengan punya Lala."

"Ya makan saja, Mas. Toh, sama-sama roti. Bedanya, Lala pakai selai, Mas pake sayuran dan telur."

Seketika aku tercenung melihat keadaan ini. Seperti keluarga kecil nan harmonis. Tanganku terasa gatal ingin bertepuk tangan dengan drama yang kami lakukan di depan Lala.

"Bunda, semalam pulang jam berapa?"

"Jam sebelas, Sayang."

"Apa Ayah yang menjemput, Bunda?"

"Eh, bunda pulang sama temen."

Lala menatap sang ayah dengan mata yang memicing. "Seharusnya Ayah yang jemput Bunda."

"Kalau Ayah yang jemput, nanti Lala sama siapa, dong? Takut ada orang jahat yang masuk ke rumah," kataku menjawab pertanyaan Lala yang ditujukan untuk ayahnya.

"Tapi di luar lebih bahaya, Bun."

"Ya kan, ada temen."

"Temen Bunda laki-laki juga seperti Ayah?"

"Ada laki-laki, ada perempuan." Mataku tak sengaja menangkap angka di jam dinding. "Eh, kita harus ke sekolah, Sayang, Ayo berangkat," lanjutku saat kulihat roti yang ia pegang sudah habis."

Hari ini adalah waktuku untuk mengantar Lala ke sekolah. Kami sudah menjalankan aturan bergilir untuk mengantar dan menjemput gadis kecil itu. 

"Kau naik motor?"

"Ya. Aku lebih mudah menggunakan motor ketimbang mobil."

"Akan tetapi, Lala tak akan nyaman menggunakan motor. Polusi dan udaranya tidak bagus."

Kukerutkan alis saat mendengar kalimatnya yang cukup membuatku meradang. "Mas, sebelumnya Lala juga sering, kok, naik motor bersama saya. Jadi tolong jangan mengatakan hal-hal yang tidak penting. Lala suka naik motor. Suka kan, Sayang?" tanyaku pada Lala.

Gadis itu mengangguk, membuatku menggoyangkan kepala dan menaikkan alis menatap Mas Rangga. Inginku berkata bahwa aku lebih tahu apa yang disukai anaknya. Gadis kecil ini lebih lama tinggal bersamaku dibanding dirinya. Jadi jangan mengetesku dengan kata-kata baik atau buruk untuk gadis kecil itu. Kalau boleh jujur, aku akan mengatakan bahwa aku lebih mengetahui lebih banyak dibanding dirinya. Namun, sepertinya kalimat itu cukup frontal dan akan membuat Rangga kembali mengulitiku dengan tatapan tajamnya.