Suara anak kecil yang terus mengoceh membuat senyumanku terus mengembang. Akhirnya Lala kembali juga, setelah tiga hari mengungsi di rumah neneknya. Sejak tiga hari pula aku harus menjalani hari dengan penuh kejenuhan. Itu sudah jelas. Lala sudah sejak bayi kurawat dengan sepenuh hati seperti anak sendiri. Sehingga, saat ia jauh dariku, seketika rasa sepi itu muncul.
"Bunda, kata nenek, Lala harus memanggil bunda dengan sebutan ibu. Apa perlu?"
Aku mengerutkan kening berpikir sejenak. "Sepertinya tak perlu. Lala sudah nyaman manggil bunda, kan?"
Ia mengangguk cepat.
"Bunda itu, kan, artinya sama dengan ibu."
"Oh begitu, baiklah, Bunda." Ia lagi-lagi mengangguk dan beralih menonton serial animasi yang berasal dari negeri seberang. Ya itu cerita anak kembar botak yatim piatu, di salah satu stasiun televisi. Gara-gara kartun tersebut, Lala kerap melontarkan bahasa melayu yang membuatku cukup terhibur.
Aku memperhatikan wajahnya dari samping, perpaduan Kinara dan Rangga jelas terukir di sana. Dan banyak yang bilang bahwa Lala memiliki wajah yang juga mirip dengan aku. Ya, jelas aku saudara ibunya sehingga tak heran jika fitur wajahnya sedikit mirip denganku.
Lala kembali menepuk lenganku agar aku kembali melihatnya. "Bun, ayah ke mana?"
Aku menaikkan alis sebab tak tahu keberadaan ayahnya di mana. Pria itu sudah pulang sore tadi, tetapi tak lama dia keluar lagi dengan menggunakan pakaian santai.
"Bunda juga nggak tahu, Sayang," jawabku sambil mengelus rambu sebahunya.
"Kenapa Bunda nggak tahu? Sebelum Ayah pergi, seharusnya dia ngasih tau Bunda terlebih dulu. Nenek sama Kakek begitu, Oma sama Opa juga begitu, terus kenapa Bunda dan Ayah berbeda."
"Eh?" Aku menelan air ludah dengan susah payah. Pertanyaan Lala selalu saja membuatku tak sanggup untuk menjawabnya.
"Apa Ayah dan Bunda bertengkar?"
Aku segera melambaikan kedua tangan. "Tidak, Sayang. Bunda tadi keluar beli camilan, eh, sewaktu pulang, Ayah sudah tidak ada." Ini jelas pembohongan.
Lala kembali mengerutkan alis seolah jawabanku terdengar melenceng dari jalur. "Harusnya Ayah menghubungi Bunda kalau begitu."
Inginku menjawab bahwa kami tidak menyimpan kontak satu sama lain. Namun, aku sadar bahwa Lala berbeda dari anak seusianya. Entahlah, tapi menurutku pikiran Lala terlalu cepat untuk memahami situasi seperti ini.
***
Tak kusangka Devan juga ada di tempat seperti ini. Kukira ia hanya berbasa basi menanyakan keberadaanku, tetapi rupanya pria itu benar-benar datang menghampiriku di sini. Bukannya tak senang, tetapi ketiga sahabatku terlihat kurang nyaman dengan kehadiran Devan di sampingku. Berkali-kali mereka membelalakkan mata dan memberi kode menyuruhku agar menjauh, tetapi aku tak peduli. Toh, hubunganku dengan Rangga juga tak berarti apa-apa. Hanya istri di atas kertas, tak lebih.
"Pulanglah!" pinta Rangga setelah menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Gue anterin," lanjutnya menawarkan tumpangan.
"Ah, nggak perlu. Gue bisa ikut di mobil Dewi."
Devan lagi-lagi menatapku dengan tatapan intens. "Rumah Dewi nggak searah dengan rumah lo."
Memang benar, tetapi aku tak mungkin mengatakan bahwa rumahku bukan lagi yang dulu. Kini aku sudah pindah ke rumah yang berbeda.
"Ya, memang benar. Gue bisa naik taksi kok, Dev." Lagi-lagi aku berusaha menolak.
"Ngapain lo naik taksi, padahal rumah kita searah?"
Aku mengembuskan napas panjang. Kali ini aku benar-benar tak bisa menolak tawaran Devan, dan aku juga tak bisa mengatakan kondisiku yang sebenarnya. Tak sengaja netraku menangkap sosok Dewi yang menggoyangkan ponselnya dari kejauhan, seolah menyuruhku untuk mengecek ponsel. Aku merogoh benda pipih itu dari tas selempang yang kugunakan dan membaca pesan mereka yang juga ingin pulang. Segera kubalas dan meminta agar mereka pulang duluan, dan aku akan naik taksi saja. Lagi-lagi aku berbohong kepada mereka. Karena aku berinisiatif untuk pulang bersama Devan. Ini kesempatan yang langka, bukan?
"Kalau begitu, ayolah. Yang lain udah pada pulang."
Sejenak kumenoleh menatapnya dan ia tersenyum semringah. Apakah aku bisa berbangga diri? Sebab dari yang kutahu Devan bukanlah laki-laki yang akan dengan mudah menjemput gadis lain di tempat seperti ini. Devan yang kutahu cukup malas mengendarai mobilnya, apalagi hanya untuk menjemput gadis sepertiku. Ada yang bilang, jika Devan memberikan tumpangan pada seorang gadis berarti gadis itu cukup berarti baginya. Ada rasa senang mendengar kabar tersebut. Dan dengan senang hati, aku tak boleh melewatkan kesempatan ini.
***
"Dari mana saja kamu? Saya sudah pernah bilang, kamu harus ada di rumah sebelum jam sepuluh malam."
Aku memutar bola mata kesal. "Yakali, jam sepuluh itu batas untuk anak abege. Lah, gue udah gede."
"Udah gede? Tapi sifat seperti anak kecil," sanggahnya dengan nada mengejek.
Aku kembali melangkah, berniat masuk ke kamar. Namun langkahku terhenti saat ia kembali memanggil namaku.
"Pertanyaan saya belum kamu jawab, Kinan. Kebiasaan banget, tidak sopan," geramnya.
"Aduh, Mas. Siapa kemarin yang bilang tak akan mengurusi urusan pribadi masing-masing. Apa aku salah denger ya, Mas, tapi di surat perjanjian kita juga tertulis dengan jelas." Aku jelas tak mau kalah dengannya. Amunisi untuk melawan setiap perkataannya sudah kutabung jauh-jauh hari.
Dia terdiam, lalu menatapku dengan kesal. "Bagaimana jika orang lain melihatmu diantar oleh laki-laki lain? Jaga nama baik keluarga kita."
Eh, dari mana ia tahu jika aku diantar oleh laki-laki. "Tak perlu risau, Mas. Toh tetangga kita bukanlah tetangga yang mengurusi urusan orang lain. Mereka sibuk cari kerja, bukan sibuk ngurusin urusan orang lain."
"Siapa pria tadi?" tanyanya sambil membuka lembaran surat kabar.
"Mengapa Anda sangat penasaran dengan hal itu?! Anda tak punya hak untuk tahu siapa lelaki yang mengantarku tadi," sahutku menekan setiap kata, agar dia tahu bahwa aku bukanlah gadis yang gampang disabotase.
"Mengapa kamu tiba-tiba menggunakan kata 'Anda'? Tidak biasanya." Ia balik bertanya.
Inginku menjawab bahwa aku akan mengeluarkan kata-kata formal itu pada orang yang menurutku asing, dan orang yang tak tahu diri.
"Apa lelaki itu Devan?" tebakannya sangat benar.
Aku membuang pandangan ke sembarang arah, jawabannya sangat tepat sasaran. Namun, mengapa ia bisa menebak? Apa tadi ia mengintip? Akan tetapi, keadaan di luar sana cukup gelap untuk mengetahui siapa orang di balik kemudi. Apa dia titisan cenayang? Jika iya, sepertinya aku harus berhati-hati kedepannya.
"Sudahlah. Saya capek. Besok pagi kelasnya si dosen singa," ucapku lalu berlari menuju kamar.
"Apa kamu mengataiku singa?" teriaknya yang tak kupedulikan.