Aku kembali merutuki segala kebodohanku saat ini. Bagaimana bisa aku salah mengambil tugas dan malah menyerahkannya ke dosen ganas yang tak lain adalah Rangga dan Bu Mega. Pantas saja kedua dosen tersebut memanggilku dan mengatakan bahwa aku tak becus, salahkan kecerobohanku yang sepertinya sudah mendarah daging. Aku benar-benar tak teliti, tak memeriksa tugas itu terlebih dahulu sebelum mengumpulkannya.
Kembali kumengacak rambut frustrasi, mengapa aku mengulang dua kelas yang diisi dengan dosen paling ganas di kampus ini? Seharusnya aku tak perlu mengulang kelas mereka, agar nasibku juga tak se-mengenaskan ini. Namun, aku bisa apa? Kelas keduanya sangat penting dan akan sangat berpengaruh jika nantinya ingin melamar pekerjaan.
Dengan segala keberanian yang telah kukumpulkan, kuketuk pintu Rangga dan membukanya setelah orang di dalam mengisyaratkan agar aku langsung masuk saja. Jantungku berdegup kencang, jangan lupa napasku sudah tak teratur sebab laki-laki itu terlihat sedang menahan amarah.
"Duduk!" perintahnya yang lagi-lagi segera kuiyakan. Entahlah, tapi aku seperti robot yang sudah disetel untuk patuh kepadanya.
Ia melepaskan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Iri? Jelas, hidungnya yang kelewat mancung sangat berbanding terbalik denganku yang memiliki hidung mungil ini, meski mungil, tetap cantik, kok. Hahaha, pembelaan.
Ia melemparkan tugas itu ke hadapanku sambil berdecak. "Mengapa kamu begitu ceroboh?"
Aku mengambil tugas bersampul merah dan kembali melihat judulnya. Ya ampun, judul segede gaban masih bisa membuatku keliru. Dasar gadis ceroboh!
"Maafkan saya, Pak," cicitku pelan.
"Maaf tak akan membuat nilaimu membaik. Mengapa kamu sangat tak teliti? Hanya kau sendiri yang selalu bermasalah denganku dan Bu Mega? Jangan bawa-bawa sikap badungmu kemari! Apa kata orang tuamu jika tahu bahwa anaknya tak bisa mandiri dan tak telaten dalam mengelolah tugas? Kuliah mahal-mahal, tetapi kamu malah tidak becus." Dia asyik ngedumel, tanpa peduli bagaimana perasaanku saat ini.
Semua kalimatnya membuatku seakan dilempar kotoran. Semua yang ia ucapkan mengisyaratkan bahwa aku ini adalah gadis bodoh yang hanya menghambur-hamburkan uang orang tua. Padahal, aku sudah berusaha agar tidak melakukan kesalahan, tetapi alam tak pernah sekali pun mendukungku. Ada saja masalah yang membuatku selalu saja diomeli olehnya. Ya Tuhan, mengapa kau memberiku kecerdasan yang hanya secuil? Apa otakku hanya sekecil otak udang? Ah, sepertinya aku harus memeriksanya.
"Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?
Berkali-kali aku mengerjapkan mata. Dia meminta agar aku menjawab, tetapi kuyakin, setelah menjawab nanti ia terus akan meronrongku dengan kalimat-kalimat yang menyakitkan hati. Jadi diam adalah jalan yang terbaik agar jiwa dan ragaku tidak tersakiti lebih dalam lagi.
"Lagi-lagi kamu tidak mengindahkanku? Dasar gadis tak punya sopan santun! Meski berstatus sebagai istri, jangan harap akan mendapat toleransi dari saya. Ingat! Pernikahan ini hanya sebatas keterpaksaan."
Seketika aku mengangkat kepala, memandangnya dengan intens. Kalimatnya benar-benar menyakitiku. Ya, aku paham jika pernikahan kami memang keterpaksaan, tetapi dia tak perlu mengulangnya berkali-kali.
"Bisa tidak, Pak. Jangan bawa-bawa masalah pribadi. Apa Bapak pernah berpikir bahwa hubungan kita sangat tidak sehat? Hanya sebuah keterpaksaan. Ya, saya tahu akan hal itu, tetapi Bapak tidak perlu menegaskan karena saya juga tak pernah mengharapkan pernikahan ini berjalan seperti pernikahan pada umumnya. Jadi saya minta agar kontrak diperbaharui," tegasku dengan nada penuh emosi.
"Diperbaharui? Apa yang ingin kamu tambahkan?"
Aku menarik napas panjang, mengisi paru-paru dengan oksigen yang mungkin saja akan terasa sesak nantinya. "Saya ingin menambahkan jangka waktu pernikahan. Tidak mungkin, kan, saya menghabiskan waktu seumur hidup untuk bersama dengan seseorang yang tidak mencintai saya. Jadi ada baiknya Bapak menentukan waktu agar kita nantinya bisa berpisah. Apa baiknya saat usia Lala sudah sepuluh tahun?" Aku berpikir sejenak, menimbang-nimbang sebaiknya berapa lama kami akan menjalin hubungan palsu ini. "Apa lima tahun cukup? tanyaku meminta pendapat.
Kutatap mata Rangga yang tiba-tiba berubah menjadi tajam seperti elang yang telah menemukan mangsa dan siap menerkam. Apa aku salah lagi? Akan tetapi, di mana letak kesalahanku?
"Apa kau sudah berhenti berbicara?"
Aku mengangguk, lagi-lagi patuh.
Ia menghela napas kasar. "Saya tidak akan pernah memberi jangka waktu pada pernikahan ini. Tidak akan ada perceraian dan saya tidak akan pernah memintamu untuk melepaskan diri. Ingat! Saya tidak mau menikah untuk ketiga kalinya."
Aku membelalakkan mata. "Tapi, Pak. Saya benar-benar tidak bisa menjalani hubungan yang tidak sehat in. Tolong jangan egois! Membayangkannya saja sudah membuat frustrasi. Menghabiskan waktu dengan orang yang tidak dicintai itu adalah hal yang paling menakutkan di dunia ini."
"Itu masalahmu," ucapnya acuh tak acuh lalu meninggalkanku sendiri di ruangan ini.
Aku kembali mencerna ucapannya. Ah, masalahku, ya?
"Rangga … lo bener-bener iblis," jeritku.