Chereads / Kakak Iparku, Suamiku / Chapter 11 - Resmi Menjadi Babu

Chapter 11 - Resmi Menjadi Babu

"Apa kalian dekat?" tanya Mas Rangga saat aku melewatinya di ruang keluarga. 

Sebelum hari pernikahan, aku dan Rangga sudah membawa pakaian ke rumah ini. Rumah yang diberikan oleh kedua orang tuaku dan orang tuanya. Bisa dibilang ini adalah hadiah pernikahan kami. Berada di kawasan yang cukup elit dan asri. Jujur aku suka rumah ini, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Tak akan ada tetangga yang julid dan tak akan ada CCTV berjalan, seperti lingkungan rumahku sebelumnya. 

"Maksudnya?" Keningku berkerut samar, berpura-pura tak tahu apa maksud dari ucapannya. Padahal, sudah jelas jantungku berdegup kencang kala mendengar pertanyaannya barusan.

"Kau sudah dewasa dan masih saja tidak cepat tanggap." Ia mendengus lalu kembali berkata, "kau dan Devan. Hubungan kalian sejauh mana?"

"Oh, kami hanya berteman."

"Teman? Akan tetapi, mengapa kalian tampak seperti pasangan kekasih? Sampai-sampai dia menemanimu di kelas. Sakit?" Ia lagi-lagi mendengus dan menatapku tak suka. "Kau sakit apa?"

Aku tak mengindahkan pertanyaannya. Cukup malas berinteraksi dengan laki-laki yang datar seperti dirinya.

"Sekarang kau bahkan berani mengabaikanku. Dasar! Gadis tak punya sopan santun."

Kuhentikan langkah dan menoleh menatapnya. "Bukannya kau sendiri yang menulis aturan di perjanjian kita kemarin? Poin pertama jelas tertulis, bahwa di antara kita tak boleh mencampuri urusan pribadi." Persetan dengan sopan santun. Aku bahkan tak memanggilnya dengan kata panggilan seperti biasanya. Kulihat ia juga terkejut mendengar kalimatku.

"Ini urusan bersama, kau sudah menjadi istri orang lain, dan secara terang-terangan berhubungan dengan laki-laki lain."

Kini giliranku yang mendengus. Hei, mengapa laki-laki ini terlalu banyak urus, bukannya dia sendiri yang tak mau tahu tentang diriku? Bukannya pernikahan kami hanya sebatas pelengkap, agar Lala memiliki orang tua yang utuh. Ah, mengingat anak itu membuatku rindu. Ia masih harus tinggal bersama mama karena katanya tak ingin mengganggu kami yang baru menikah ini. Padahal, mereka tak tahu saja bagaimana kehidupan kami. Kamar yang pastinya berpisah, tak ada keharmonisan, apalagi hubungan romantis yang biasa dilewati para pasangan baru lainnya. 

Rangga hanya sebatas suami di atas kertas. Ya, status suami istri hanya berlaku di kartu keluarga, tetapi tidak dengan dunia nyata. Meski aku harus menjadi babu agar mendapat uang bulanan yang bisa disebut sebagai bayaran karena telah memasak dan mengurus rumah, seperti asisten rumah tangga pada umumnya.

Kehidupan pernikahan yang kuharapkan, sangat jauh berbeda dengan yang kujalani. Sehari baru berlalu dan aku sudah mengeluh. Bagaimana aku akan menghabiskan waktuku yang tidak sebentar ini? Apa aku meminta jangka waktu saja, setelah jangka waktu itu sampai, kami akan berpisah. Tak apa berstatus janda, setidaknya kelak aku akan mendapat pasangan yang juga mencintaiku. Daripada aku harus melewati sepanjang hidup dengan laki-laki yang hanya menganggapku sebagai ibu pengganti bagi Lala, sekaligus pelengkap bagi kehidupan anaknya. Sekali lagi kutegaskan, dia tak membutuhkan seorang istri, hanya Lala yang membutuhkan seorang ibu. 

Apa-apaan dia? Seolah semua wanita bisa luluh padanya. Padahal, tidak menutup kemungkinan ada wanita yang juga tak akan bisa terpengaruh akan pesona yang ia sebarkan, aku misalnya. Meski kutahu hanya secuil wanita yang tidak akan terpukau oleh ketampanan yang ia miliki. Namun, dia tak bisa semena-mena dan memperlakukanku seperti ini. Dia laki-laki otoriter, mendominasi, dan tak mau terkalahkan.

***

Suara alarm di ponselku berbunyi, membuatku meregangkan tubuh masih dengan mata yang tertutup. Pagi ini merupakan hari perdana, di mana diriku harus bangun pagi dan memasak untuknya. Meski mata ini masih berat, tetap saja aku harus memaksakan diri untuk berpisah dengan bantal dan kasurku. Dengan langkah gontai dan terkesan diseret seret, kusibak gorden agar mataku bisa beradaptasi dengan cahaya di luar sana.

Keadaan rumah yang sepi membuatku sedikit tak suka. Biasanya di setiap pagi, suara Lala mengisi gendang telingaku. Terkadang, dia pula yang menjadi alarm berjalan yang sering membuat kerusuhan jika aku terlambat bangun.

Saat masih di rumah yang sama dengan mama, aku juga kerap membantunya di dapur, membuat sarapan. Kuberalih pada kulkas, hanya ada telur dan daging kaleng yang kubeli semalam. Sepertinya aku harus meminta agar Rangga berbelanja jika ia ingin dibuatkan sarapan. Untung saja semalam aku memasak banyak, sehingga nasi di rice cooker bisa langsung kuolah. Nasi goreng dan telur mata sapi mungkin menjadi pilihan yang baik untuk menu sarapan hari ini. Toh, tak ada bahan yang lain yang bisa kuolah menjadi masakan lain. 

 Sekali-kali kutatap pintu kamar Rangga, tak terdengar kehidupan dari dalam sana. Apa dia masih tidur di jam seperti ini. Padahal, biasanya dia bangun pagi saat ia menginap di rumah mama. Apa karena berada di rumah mertua sehingga ia bangun pagi agar terlihat rajin di mata mertua. Sepertinya semua menantu akan seperti dia. Aku pun akan melakukan hal yang sama jika berada di rumah mertuaku. Bangun pagi dan membantunya di dapur, agar tidak terlihat seperti menantu pemalas. 

Aku kerap mendengar beberapa teman yang sudah menikah mengalami hal serupa. Dicap sebagai menantu pemalas dan pembangkang, sebab mertua yang tak menyukai mereka. Apa karena itu pula Mela tak mau menikah sebelum ia memiliki pekerjaan dan gaji yang layak. Katanya ia tak mau kehidupannya mirip sang kakak yang harus menderita karena hidup bersama mertua dan juga ipar yang begitu egois. 

Aku pernah membaca novel yang dibawa Mela ke kampus. Novel yang berjudul "Menantu Yang Tak Diinginkan" berisi tentang perjuangan seorang wanita yang ingin terlepas dari kukungan mertua dan ipar. Selain mertua dan ipar, suami yang diduga selingkuh malah semakin memperkeruh keadaan, membuat sang istri harus merasakan kekecewaan yang teramat dalam. Dan karena novel itu pula, Mela semakin takut untuk menikahi laki-laki yang memiliki orang tua. Ia bahkan ingin menikah dengan laki-laki yatim piatu yang kaya raya. Sungguh hal itu membuat kami geleng-geleng kepala. Selalu saja, yang kaya menjadi tipe idealnya.

Suara langkah dari arah ruang tamu membuat keningku berkerut. Apa ada orang lain di rumah ini? Namun, saat melihat siapa yang datang, perasaan ini tiba-tiba menjadi lega. Rangga sepertinya baru pulang dari berolahraga. Ah, pantas saja tak terdengar kehidupan di kamarnya, ternyata ia sudah pergi jogging.

Tanpa aba-aba dia beralih ke meja makan dan duduk di sana. Aku segera menyimpan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi.

"Telur mata sapinya, kok, begini? Tidak sempurna," protesnya saat melihat kuning telur yang tidak sempurna berada di tengah dan sedikit pecah.

Aku memasang cengiran. "Ya, mata sapinya juling jadi agak beda sama telur mata sapi yang lain. Makan aja kali, rasanya tetap sama itu," hardikku tak mau kalah. 

"Kamu tidak makan?"

"Nanti. Saya mau mandi dulu," sahutku lalu segera berjalan meninggalkannya sendiri. Aku memiliki kebiasaan yang sudah mendarah daging. Tak boleh sarapan sebelum mandi. Jangan berharap akan ada adegan di mana kami sarapan bersama diselingi beberapa candaan. 

Aku sengaja melambatkan langkah, sambil sesekali menoleh melihatnya yang tengah menikmati masakanku. Lagi-lagi aku merasa cukup lega saat tak ada komentar nyelekit yang keluar dari mulutnya setelah mencicipi nasi goreng tersebut. Setidaknya ada hal yang ia sukai dari diriku. Ya, walaupun itu masih dugaan.