Chereads / Kakak Iparku, Suamiku / Chapter 8 - Berseteru Dengan Calon Suami

Chapter 8 - Berseteru Dengan Calon Suami

Aku benar-benar tak tahu bagaimana lagi menghadapi dosen yang mengalahkan singa dan para jajarannya. Apa salahnya jika Devan yang menyelesaikan tugas yang diberikan padaku? Katanya aku melimpahkan tugas kepada orang lain dan tidak bertanggung jawab akan amanah yang diberikan. Hello! Dia pikir hanya dirinya yang punya banyak pekerjaan. Sebagai mahasiswa, aku pun memiliki segudang pekerjaan sekaligus masalah. Jika bukan Devan yang membantuku, nasibku mungkin sudah berada di ujung tanduk. Ya, Bu Mega akan memberiku nilai jelek untuk kesekian kalinya. Itu opsi yang masih ditoleransi, bagaimana jika beliau malah tidak memberikan nilai sama sekali? Mau tidak mau aku harus mengikuti kelasnya lagi, karena nilaiku yang kurang baik, sehingga dengan segala kebaikan yang ia miliki membuatku harus mengulang kelas yang sama. Hal ini adalah opsi yang sangat membagongkan, bagiku yang memiliki otak dangkal, mendapat nilai C saja sudah syukur, apalagi jika mendapat B, dipastikan aku akan menari samba saking bahagianya.

"Apa susahnya, sih, diterima dengan hati yang baik dan tenang," gerutuku saat si Rangga selesai mengomel. Mulai sekarang aku tak akan memanggilnya 'Mas' lagi. Sudah cukup bagiku untuk beramah tamah dan bersikap sopan padanya.

"Saya mengajarkan kamu untuk disiplin dan bertanggung jawab," bentaknya yang membuatku sedikit terkejut.

Aish, dia siapa sehingga berani membentakku? Hanya seorang kakak ipar yang nahasnya akan berganti gelar menjadi suami di kartu keluarga. Aku yang dirawat dengan sepenuh hati dan cinta oleh orang tuaku hanya boleh dibentak oleh mereka. 

"Pak, saya juga masih ada kelas. Bapak tahu kan, bagaimana kejamnya Bu Mega. Kalau saya tidak masuk di kelasnya lagi, bisa-bisa dia nggak ngasih nilai."

"Itu urusanmu, bukan urusanku."

Dih, dasar laki-laki tembok. Bagaimana bisa dengan mudahnya mengatakan hal yang tidak mengandung prikemanusiaan? Tak ada rasa simpati dan empati yang ia miliki. Aku calon istrimu, tapi kau perlakukan seperti orang lain. Inginku berteriak seperti itu, tetapi hati kecilku menolak, sebab mungkin saja ia membalasnya dengan kata-kata yang lebih menyakitkan lagi.

"Bapak nggak punya rasa simpati terhadap orang lain, ya?" Aku mendengus menyadari satu hal, jangankan padaku, pada Kinara yang jelas-jelas istrinya ia tak pernah menunjukkan rasa simpatinya.

"Apa kau bilang?"

Aku mengibaskan tangan. "Ah, lupakan. Bapak juga tidak akan mengerti," ucapku geram.

"Kinan, kau … benar-benar tak punya sopan santun."

"Ya, sebelum masuk kemari, sopan santun saya hilang di telan bumi, Pak." Aku segera berdiri dan berniat meninggalkan ruangannya. Namun, sebelum membuka pintu aku kemudian berbalik menatap ke arahnya. "Karena saya tidak punya sopan santun, sepertinya saya tidak cocok menikah dengan Bapak, si paling good attitude," ucapku menekankan kalimat tersebut. Itu bukan pujian melainkan ejekan untuknya. 

Sudah cukup diri ini bersabar. Kesabaranku yang hanya setipis tisu malah diubek-ubek oleh Rangga yang nahasnya akan menikahiku beberapa hari lagi. Bagaimana bisa hidupku akan didedikasikan untuk laki-laki seperti dirinya? Dingin, datar, tak ekspresif, dan tak punya simpati. Sudah bisa ditebak bagaimana kehidupanku selanjutnya, tak akan berwarna. Semuanya abu-abu, seolah warna-warna dalam hidupku terhisap oleh dirinya yang mengeluarkan aura kegelapan seperti iblis. Ya, iblis tampan.

***

"Baju si dosen udah lo bersihin?" tanya Dewi saat aku duduk di kursi taman yang berada di hadapannya.

"Dari mana lo tahu?"

"Si Rara tadi ngomong kalo lo numpahin kopi ke baju calon suami."

Aku seketika memajukan badan dan membekap mulutnya sembari melihat keadaan di sekitar.

"Apa sih, Nan," gerutunya setelah sukses menyingkirkan tanganku.

"Suara lo dikecilin, takut yang lain denger," ucapku lalu menempelkan telunjuk di bibir.

"Hei, kita di taman dan sepertinya tak ada orang selain kita di sini."

Aku kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, tak lupa mendongak menatap cabang pohon mangga yang berada di atas kami, siapa tahu ada orang yang tiba-tiba nemplok di atas sana.

"Iya sih, tapi siapa tahu aja, kan, ada yang denger. Gue nggak mau ngambil risiko, Wi. Pernikahan ini harus dirahasiakan dari para kaum ciwi-ciwi pengagum dosen singa itu."

"Kok, gitu, sih. Dia calon suami lo, nggak sopan banget, Nan."

"Tunggu! Sejak kapan lo ngebela tuh dosen, dibayar berapa lo sama dia, Wi?" 

Raut wajahku menjadi kesal, para sahabatku seolah-olah membela Rangga karena laki-laki itu memiliki paras yang rupawan. Aku tidak memungkiri bahwa laki-laki itu memang tampan dengan sejuta pesona yang mampu membuat kaum hawa klepek-klepek seperti ikan kekeringan. Rangga memiliki postur tubuh yang tinggi, badan atletis, dada yang bidang. Urusan wajah jangan diragukan lagi, hidung mencuat, alis tebal, bulu mata lentik, rahang tegas, tulang pipi yang tinggi membuatnya terlihat lebih maskulin.  Kemeja slimfit yang tiap hari ia kenakan menambah pesonanya, membuat siapa pun akan berharap jatuh ke dalam pelukannya. 

Akan tetapi, semua itu tak membuatku terpesona akan dirinya. Hatiku sepertinya kebal dengan ketampanan yang ia miliki. Ya, ketampanannya terhapus dengan sikap dingin yang ia perlihatkan padaku. Di saat yang lain berlomba-lomba untuk menarik perhatian sang dosen, aku justru sebaliknya. Menjauh adalah hal yang tepat agar kesehatan jantungku selalu aman dan membuatku berumur panjang.

"Eh, betewe, pernikahan lo bakal diadain berbarengan dengan hari ulang tahun lo, kan? Wah, beruntung banget, sih." Dewi menatapku dengan mata berbinar, seolah ia akan bahagia jika berada di posisi tersebut.

"Beruntung dari mananya, sih? Bagi gue itu musibah. Ke depannya, hari ulang tahun gue nggak bakal dirayain lagi?"

"Heh? Kenapa?"

"Karena gue nggak mau inget tentang hari pernikahan gue kelak. Inget, pernikahan ini hanya sebuah keterpaksaan dan hal itu membuatku sampai detik ini masih frustrasi."

"Eleh, lo tau kan, sepupu yang pernah jemput gue tempo hari?"

Aku mengangguk cepat. "Ya, dia kenapa?"

"Dia juga dijodohin, tapi sampai sekarang di usia pernikahannya yang sudah hampir lima tahun, tak pernah sekali pun ada berita miring tentang mereka. Berita yang tersebar malah lurus semua. Meski dijodohkan, tetapi mereka sangat pengertian satu sama lain."

"Beda orang, beda rezeki, Wi. Sepupu lo dapetnya produk bagus. Lah, gue, dapet produk cacat, bekas pula."

Dewi memukul bibirku. "Heh! Bekas juga punya kakak lo sendiri. Syukur masih ada laki-laki yang mau nikah sama lo, meskipun itu terpaksa," sanggahnya lalu terpingkal. Ya, Dewi sepertinya menertawakan kesialanku. 

"Sepertinya Tuhan tak memberiku skenario yang baik."

Dewi lagi-lagi mencibir. "Alah, jangan sok melankolis, deh, kena burung juga langsung meleyot."

Aku sontak melebarkan mata dan membuka mulut tak percaya. Ucapan Dewi memang rada absurd dan brutal. "Istighfar, Wi."