Chereads / Kakak Iparku, Suamiku / Chapter 7 - Didewasakan Kakak Ipar

Chapter 7 - Didewasakan Kakak Ipar

"Kemarin gimana, Nan?" Rara menopang dagu sambil melihatku dengan mata berbinar, terlihat sangat penasaran dengan kegiatanku kemarin.

"Ya, gimana lagi. Sudah pasti menjengkelkan. Dia terlambat datang lalu membuatku berganti-ganti gaun. Setiap pilihanku selalu ia tolak dengan alasan gaun yang kupilih tak sesuai dengan usiaku, padahal gaun itu nggak seksi amat, kok," geramku kala kembali mengingat kejadian kemarin.

"Berarti dia nggak mau kalo aurora calon istrinya dilihat sama orang lain. Wah, protektif banget nggak, sih?" Mela tersenyum semringah. Seolah kejadian kemarin adalah hal yang paling romantis di muka bumi ini.

"Bukannya protektif, tapi dia memang tak suka dengan setiap hal yang kulakukan." Aku tahu mengapa ia sangat membenciku, mungkin karena aku adalah adik dari Kinara. Wanita yang tak pernah ia cintai sebelumnya. Dari yang kutahu Rangga tak suka pada Kinara, padahal Kinara juga korban dari perjodohan ini, tetapi sayangnya wanita lembut itu ternyata jatuh dalam pesona lelaki yang katanya sempurna. Ya, kakakku itu sangat mengagumi suaminya, meski ia sendiri tahu bahwa Rangga sama sekali tak pernah memikirkannya. 

"Lo kayaknya udah terlalu benci sama Pak Rangga, jadi setiap apa yang dia lakukan selalu salah di mata lo."

Aku hanya memutar bola mata jengah. Mereka tak mengetahui kebenaran tentang sikap Rangga pada Kinara, yang membuat wanita itu terpuruk sampai akhir hayatnya.

"Eh, si Dewi ke mana lagi?" tanyaku berusaha mengalihkan topik pembicaraan yang tidak berfaedah.

Kedua sahabatku hanya mengedikkan bahu pertanda bahwa ia juga tak tahu keberadaan gadis berambut pendek itu. Aku kemudian mendekat pada Rara, berniat menyeruput es amerikano yang sudah tinggal setengah. Namun, sebelum bibirku menempel di sedotan, si pemilik malah menarik gelas tersebut. 

"Enak aja main nyomot. Kebiasaan, deh, Nan. Beli sendiri sono!" perintahnya yang kutanggapi dengan bibir yang mengerucut.

"Dasar pelit," geramku.

"Bukan gue yang pelit, lo yang terlalu suka gratisan."

Masih dengan wajah yang kesal aku berjalan ke barista yang terlihat sibuk dengan pesanan para pengunjung. Kedai kopi ini memang langganan para mahasiswa dan dosen. Selain harganya yang sesuai kantong, rasanya pun dapat bersaing dengan kopi di kafe besar.

"Amerikano lagi, Nan?" tanya Bagas, si barista yang sudah bekerja di kedai ini selama dua tahun.

"Ya, seperti biasa."

Sepertinya hampir semua mahasiswa mengenal Bagas, begitu pun sebaliknya. Saking akrabnya, Bagas sudah seperti teman bagi kami. Aku bahkan menghafal mana minuman yang dibuat Bagas dan mana yang dibuat Riko, si pekerja paruh waktu yang baru beberapa bulan ini bekerja.

"Selamat menikmati, Kinan," kata Bagas saat menyimpan minuman tersebut di meja kasir. 

Dengan semangat aku mengambil minuman tersebut tanpa menduga akan ada seseorang di belakangku. Pupil mataku melebar saat mataku menangkap sosok devil yang terlihat siap menerkamku. 

Mulutku terbuka, sungguh terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Ruangan yang tadinya ramai, seketika hening. Aku tahu mereka yang melihatku pun terkejut dengan apa yang terjadi. Aku menabrak Rangga dan minumanku tumpah di kemeja biru langitnya. Seketika baju yang tadinya rapi seperti baru disetrika menjadi kusut dan berwarna cokelat kehitaman.

"Maaf, Pak." Aku menggigit bibir bagian bawah dan hanya mampu menunduk. Tak berani mendongak, sebab aku tahu akan bagaimana wajah laki-laki itu.

"Ikut saya!" Suara dinginnya membuat jantungku memacu dengan cepat.

Aku berjalan mengikutinya, lalu menoleh ke arah di mana Rara dan Mela duduk. Mereka terlihat masih syok dan menggoyangkan tangan yang mengepal, seolah memberiku semangat. Aku berdoa dalam hati, agar Rangga tak menyemprotku dengan kata-kata kasar dan menuangkan siraman kalimat yang menohok. Walaupun itu sebenarnya mustahil. Mengingat mulutnya yang tak bisa berkata lembut barang sejenak.

***

Aku menutup mata dan menjerit pelan, kala ia membuka kemeja di hadapanku tanpa mengatakan aba-aba terlebih dahulu. Untung saja ia memakai kaos dalam tipis yang nahasnya memperlihatkan bentuk tubuhnya yang terlihat … sempurna. Wah, apa lagi ini? Mataku didewasakan oleh kakak iparku sendiri. Oh My God.

"Cuci sekarang, dan sebelum saya pulang baju itu harus kembali seperti semula."

"Hah?" teriakku tanpa sadar. "Pak, saya bisa membawa baju ini pulang dan mencucinya di rumah." Aku mencoba bernegosiasi.

"Tidak bisa, nodanya akan mengering dan hal itu akan membuat noda tersebut susah dihilangkan."

Ah, aku lupa, bahwa dia laki-laki perfeksionis dan selalu menjaga kebersihan.

"Tapi, Pak. Saya ada kelas setelah ini."

"Saya tidak terima penolakan."

Aku ingin protes, tetapi niatku tertahan setelah melihat wajah Rangga yang masih mempunyai banyak amunisi untuk membalas sanggahanku. Dengan hati yang dongkol, aku mengambil kemeja tersebut dan segera berlari agar tidak terlambat untuk masuk ke kelas Bu Mega. Wanita yang mendapat julukan perawan tua itu akan mengomel jika aku tak masuk. Bu Mega memang terkenal sensitif akan sesuatu hal. Banyak yang bilang karena pengaruh hormon membuat emosinya tak stabil dan kerap setres. Efek tak pernah orgasme membuat hormon oksitosin juga terhambat.

"Kinan!" 

Aku menghentikan langkah yang sudah mirip atlet jalan cepat, lalu menoleh ke sumber suara. Devan berlari mendekat dengan senyuman manis yang mampu membuatku meleleh, seperti keju mozarella.

"Mau ke mana, Nan?"

"Gue kena musibah." Aku kembali melangkah, tetapi tanganku dicegat Devan.

"Musibah apa? Gue bisa antar lo, kalau lo butuh tumpangan."

Aku menggeleng dan mengibaskan tangan. "Nggak perlu. Gue cuma mau ke tukang laundry."

"Heh? Mau nyuci apa?"

Aku mengangkat paper bag kecil. "Nih, kemeja Pak Rangga. Gue nggak sengaja numpahin kopi di bajunya."

Devan meringis. "Gue turut berduka cita, Nan. Gue bisa nebak bagaimana kesalnya dia."

"Jangan dibahas, gue nggak ada waktu. Sejam lagi kelas Bu Mega di mulai, dan baju si Dosen Singa itu harus rapi seperti sedia kala."

Untung saja di seberang kampus terdapat laundry koin yang bisa digunakan sesuka hati. Tidak akan membutuhkan waktu satu jam agar si baju laknat ini kembali bersih. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti jika kami sudah menikah, kehidupanku akan berubah 180 derajat. Bukan hanya itu saja, sikap perfeksionis dan OCD-nya akan membuatku si pemalas ini tak nyaman. Bayangkan saja, jika suatu saat nanti kami berada di rumah yang sama, aku mungkin akan mengotori meja dengan menyimpan pembungkus sisa camilan, mengotori lantai dengan sisa-sisa makanan, atau tak membersihkan piring yang menumpuk di dapur. Mengingat kebiasaannya yang suka akan kebersihan sudah jelas hal itu akan membuatnya sering mengomel. 

"Nan, sepertinya kita tak bisa menyelesaikan baju ini dalam waktu kurang satu jama," ucapnya kala kami berada di depan pintu kaca laundry.

Terlihat keadaan laundry begitu ramai, sepertinya banyak mahasiswa yang juga mencuci di sana. Mengingat tempat ini dekat dengan kampus, sehingga tempat ini sangat sesuai bagi mereka yang ngontrak atau ngekost.

Aku kembali menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangan, tidak lama lagi, kelas Bu Mega akan dimulai sehingga aku sudah sangat gelisah. Mungkin karena itu pula, Devan menawarkan bantuannya. 

"Terima kasih, Dev. Lo emang malaikat penyelamat gue."

Ia tersenyum manis. "Ya, sebut saja seperti itu." Ia mendekatkan bibir ke telingaku. "Apa yang nggak buat lo, Nan," bisiknya yang mampu membuat mataku melotot.

Apa ini? Mengapa jantungku berdegup dengan kencang. Ada aliran aneh yang kurasakan saat ia berbisik di telingaku. Apa ini pertanda bahwa aku sudah dewasa? Oh tidak! Hormon estrogenku sepertinya mulai berkembang.