Kemarin menjadi hari kehilangan kesekian kalinya untuk Shafa. Setelah kehilangan orang tuanya, anaknya, dan sahabatnya, dia juga telah kehilangan suaminya. Sungguh, saat itu ingin sekali Shafa mencegahnya. Bukan gengsi. Tapi entah kenapa sulit dilakukan.
"Maafin aku, Mas." Itu yang berkali-kali Shafa ucapkan dalam lamunannya.
"Shafa, ada Mbok Dewi dateng, nih."
Berbeda dengan saat Alby yang datang, kali itu Shafa yang menemui tamunya sendiri di ruang tamu. "Mbok Dewi? Apa kabar, Mbok?"
"Baik. Mbak sendiri gimana kabarnya?"
"Aku baik-baik aja. Mbok Dewi mau ke mana?" Shafa melihat wanita tua berusia 50-an tahun itu membawa 2 tas besar.
"Mbok ke sini mau pamit sama Mbak Shafa. Mbok mau pulang kampung karena udah enggak ada kerjaan lagi di sini. Mbok juga harus betul-betul pilih majikan, jadi enggak mau buru-buru, Mbak."
"Mas Alby ...."
"Beliau udah berangkat ke Australia pagi tadi, Mbak."
"Jadi, Mas Alby bener-bener pergi?"
"Iya. Oh, ada sesuatu yang dia titipin ke saya buat Mbak Shafa." Mbok Dewi mencari sesuatu di dalam tasnya. "Ini, Mbak."
Sebuah kotak cincin berwarna silver itu Shafa ambil sambil terus mengingatnya. Dia membukanya dan membaca sebuah surat singkat yang ditulis langsung oleh Alby.
'Ini cincin pernikahan kita. Terserah mau kamu apain. Aku kasih ini ke kamu karena aku enggak sanggup buangnya.'
"Cih, apa-apaan ini? Kenapa dia kasih cincin ini ke aku?"
"Selama Mbak Shafa pergi, Mas Alby banyak nangis, Mbak. Bahkan dia pernah sampai pingsan gara-gara enggak mau makan. Maaf kalau saya lancang, kayaknya Mas Alby bener-bener enggak mau pisah dari Mbak Shafa."
Menangis lagi. Air mata seperti tidak ada habisnya. Bukan hanya Alby, tapi Shafa juga menangis setiap hari memikirkan permasalahan itu. Dia bimbang, cemas, takut, dan tidak tau harus melakukan apa.
"Aku mau ikut Mbok Dewi boleh?"
"Ikut saya, Mbak? Ke kampung?"
Shafa menengok pada Galih di sampingnya. "Aku mau cari suasana baru, Kak. Aku setres di sini. Boleh, ya, aku ikut Mbok Dewi?"
"Tapi kamu sama Mbok Dewi, 'kan ...."
"Aku percaya, kok, sama Mbok Dewi."
Tidak perlu waktu lama untuk membuat keputusan itu. Keputusan untuk pergi dari tempat yang memberinya banyak kenangan baik dan buruk di hidupnya. Tempat yang menjadi saksi bersatu sekaligus perpisahannya Shafa dan Alby.
Karena Shafa terus memohon dan memaksa, Galih mengizinkannya. Dia langsung mengemas barang-barangnya dibantu Dinda.
"Kak, jangan kasih tau siapapun ke mana aku pergi, ya? Aku mau lupain semua orang-orang yang aku kenal di sini."
"Termasuk Rendi?"
"Iya. Termasuk Rendi, Kevin, dan Jihan. Pokoknya aku mau mulai hidup baru di sana."
Selesai. Sulit untuk Galih melepaskan adik perempuan satu-satunya yang selalu dijaga oleh orang tuanya dulu. "Kalau ada waktu, Kakak akan ke sana."
"Aku pergi, ya, Kak?"
***
Masih tidak percaya dengan semua yang dialami. Malam sudah lewat, tapi Shafa belum juga tidur. Dia terus melihat pemandangan desa dari kaca mobil. Mulai merasa sedikit menyesal, tapi bukan berarti Shafa memaafkan Alby.
Sampailah mereka di terminal pada pagi hari. Itu kali pertama Shafa datang ke Yogyakarta. Mereka lanjut pergi menggunakan angkot menuju rumah Mbok Dewi yang tidak terlalu jauh.
"Ini pertama kali aku ke Yogya, loh, Mbok. Bagus banget, ya? Sejuk udaranya."
"Nanti, Mbok akan ajak Mbak Shafa jalan-jalan ke tempat-tempat bagus. Pokoknya, Mbak Shafa akan bahagia tinggal di sini."
Rumah joglo dengan banyak pepohonan rindang di halaman depan, sungguh membuat udara semakin sejuk. Rumah itu sangat kotor karena sudah lama tidak ditempati.
"Maaf, ya, Mbak? Soalnya Mbok tinggal sendiri di sini. Jadi enggak ada yang urus rumahnya."
"Yaudah, kita bersihin bareng-bareng aja, ya? Inget, Mbok. Aku sekarang bukan majikan Mbok lagi. Jadi, santai aja, ya?"
Mereka membersihkan rumah itu bersama. Shafa bisa sejenak melupakan masalahnya yang semalam terus terpikirkan, berputar di kepalanya. Setelah 3 jam membersihkan, Shafa merasa lelah, pusing, dan ingin sekali muntah.
"Minum air hangat dulu, Mbak."
Segelas air hangat habis dengan cepat. Saat Mbok Dewi hendak pergi, Shafa menahannya. "Tunggu, Mbok. Ada yang mau aku omongin."
"Apa, toh, Mbak?"
"Mbok, maaf kalau nantinya aku nyusahin. Sebenarnya, aku lagi hamil, Mbok."
"Apa? Hamil, Mbak?"
"Iya. Beberapa hari sebelum Mas Alby pamit untuk pergi, aku cek dan ternyata aku hamil."
"Kenapa Mbak enggak ngomong ke Mas Alby, toh?"
"Aku mau ngomong, tapi ragu. Aku juga enggak mau ada yang tau soal ini. Makannya aku mau ikut Mbok ke sini."
"Mbak ...."
Mbok Dewi memberikan pelukan yang Shafa rasa seperti pelukan dari ibunya. Walau tidak sama, tapi rasanya sama-sama nyaman. Dia dan Mbok Dewi sama-sama menangis dan berbicara tidak jelas.
"Apa aku bisa urus semua ini, Mbok? Apa aku bisa lewatin semuanya tanpa Mas Alby?"
"Mungkin bisa, Mbak. Tapi tetap, anak ini enggak boleh lahir tanpa punya ayah. Dia enggak salah. Jadi dia enggak pantas merasakan hal itu."
"Aku yang salah, Mbok. Ini semua karena aku. Aku harus gimana sekarang?"
"Mbak harus kasih tau Mas Alby."
"Enggak. Aku enggak mau kasih tau sekarang. Mas Alby pasti udah sangat sulit ambil keputusan untuk pergi ke Australia dan lupain aku. Aku enggak mau hancurin dia lagi."
"Tapi, gimana anak itu, Mbak?"
***
Waktu berjalan sangat cepat. Mbok Dewi yang tinggal sendiri karena tidak ada lagi keluarga, sudah menganggap Shafa sebagai anaknya. Dia membantu Shafa dalam merawat kehamilannya. Sudah 8 bulan Shafa hamil dan tinggal menunggu waktu untuk melahirkan. Namun, belum ada satupun yang tau tentang itu kecuali Mbok Dewi.
"Mbok, aku mules banget rasanya. Makin mules, makin mules, kayak gitu terus."
"Jangan-jangan Mbak Shafa mau melahirkan? Aduh, biar Mbok panggil bidan dulu, ya? Mbak tunggu di sini, ya?"
Ternyata benar, Shafa ingin melahirkan. Keringat mulai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya menahan betapa mulas perutnya. Setelah hampir 20 menit, Mbok Dewi datang bersama 2 orang bidan.
"Aduh, perut saya sakit banget."
"Kita mulai persalinannya, ya, Mbak? Nanti, Mbak ikutin instruksi saya, ya? Banyak berdoa, ya?" pinta bidan muda itu.
Sudah lewat 30 menit, 1 jam, 2, jam, dan pada jam ke-3 anak itu akhirnya dilahirkan dari seorang wanita yang pernah dianggap pembawa sial. Shafa akhirnya memiliki anak setelah kehilangan 2 calon anak di kandungannya.
"Alhamdulillah, Mbak. Anaknya laki-laki, fisiknya lengkap dan keadaannya sehat. Saya data dan bersihkan dulu, ya?" tutur bidan satunya.
Shafa istirahat sebentar dan tubuhnya dibersihkan. Selama persalinan, Shafa terus memikirkan Alby. Membayangkan Alby ada di sampingnya, menemaninya, dan menguatkannya.
"Ini anaknya, Mbak. Ganteng dan bersih."
Shafa pernah menggendong Daren dulu, tapi sudah lama. Dan sekarang, dia menggendong anaknya sendiri. Anak yang dia kandung dan dia lahirkan sendiri. Rasa haru dan bangga Shafa rasakan untuk dirinya.
"Ganteng banget, ya, Mbok? Kayak ayahnya." Tangan Shafa mengelus sangat pelan kepala bayi yang belum diberi nama tersebut.
"Iya, ganteng, Mbak. Mbak Shafa udah siapkan nama?"
"Bizar. Albizar Bachtiar."
***