Shafa merasa kalau dia penyebab semua kekacauan itu. Kekacauan di hidupnya dan di hidup orang-orang terdekatnya. Karena menikah dengannya, Alby jadi banyak menderita. Lalu karena mengenalnya, Rendi jadi harus merasakan jatuh cinta yang tak berbalas.
Di halaman belakang rumah, Shafa duduk termenung sampai lupa waktu. Bahkan Mbok Dewi yang menjemput Bizar di sekolah. Sudah 2 hari Shafa banyak melamun dan tidak pergi bekerja.
"Mbak Shafa?"
Lamunannya tersadarkan dan Shafa menengok. "Ada apa, Mbok?"
"Tadi Bizar di jemput kakeknya. Dia merengek minta ikut kakeknya untuk ketemu Mas Alby. Enggak apa-apa, toh?"
"Enggak apa-apa, Mbok."
"Ada masalah apa, toh, Mbak? Beberapa hari ini melamun terus?"
"Kalau Mbok di posisi aku, siapa yang bakal Mbok pilih? Mas Alby atau Rendi?"
"Loh, itu soal perasaan masing-masing, Mbak. Mbok enggak punya alasan untuk kasih jawaban ke Mbak."
"Mereka tulus cinta sama aku, Mbok. Tapi aku enggak bisa balas ketulusan itu."
"Mbak pernah bersama Mas Alby. Harusnya Mbak jadikan momen itu sebagai alasan kenapa harus pilih beliau. Mbak juga udah lama kenal sama Mas Rendi. Jadikan momen bersamanya sebagai alasan kenapa harus pilih beliau. Mereka sama-sama orang baik. Tapi pilih mana yang lebih baik untuk Mbak pilih."
"Aku bingung Mbok. Aku takut menyakiti mereka."
"Hakikat dalam mencintai, ya, begitulah, Mbak. Pasti akan senang kalau cintanya berbalas dan dapat bersatu. Akan sangat terluka ketika cintanya hanya bertepuk sebelah tangan tanpa kepastian."
"Mbok ...," Shafa memeluk Mbok Dewi sembari menangis dibalik punggung wanita tua yang sudah dia anggap sebagai ibunya. "sejujurnya aku masih mencintai Mas Alby. Aku masih mau bersama dia. Aku enggak mau kehilangan dia. Tapi, aku juga enggak mau menyakiti Rendi. Dia pasti akan sangat terluka. Aku bener-bener bingung, Mbok.
"Itu jawabannya, Mbak. Mbak udah punya jawabannya." Dengan tangan keriputnya, Mbok Dewi memegang bahu Shafa. Menatap wanita itu sambil merapikan rambutnya. "Itu jelas jawabannya. Mbak menginginkan Mas Alby, bukan Mas Rendi."
***
Datang ke rumah sakit seperti sudah menjadi rutinitas baru untuk Shafa. Setiap dua minggu sekali dia menjenguk Alby yang masih koma hampir 2 bulan lamanya. Membersihkan wajah, tangan, dan kaki mantan suaminya itu dengan kain dan air hangat.
"Cepet sadar, ya, Mas? Aku kangen sama kamu."
Ungkapan itu sudah berkali-kali Shafa ucapkan, tapi entah Alby dengar atau tidak. Sesekali air matanya menangis karena benar-benar sangat rindu. Saat hendak mengelap jemari tangan Alby yang besar, Shafa kaget bukan main melihat jari-jari itu bergerak pelan. Iya, sangat pelan dan sesekali berhenti.
Shafa diam sambil terus memperhatikan jari Alby. Saat dirasa jari itu benar-benar bergerak, Shafa menutup mulutnya untuk tidak teriak atau nanti akan mengejutkan Alby. Dia berlari keluar, ada Fahri dan Bizar di depan ruangan.
"Pa, Mas Alby sadar. Tangannya bergerak, Pa."
Tanpa basa-basi, Fahri memanggil dokter dan Shafa kembali masuk. Tidak lama setelahnya, dokter bersama dua orang perawat datang. Di luar ruangan, Shafa memeluk Bizar dengan erat. Menangis tanpa suara dengan jantung yg berdegup kencang. Dia benar-benar berharap Alby sadar.
"Bunda, ayah udah sadar, ya?" tanya Bizar yang juga sebenarnya menangis.
"Berdoa terus, ya, Sayang? Semoga ayah beneran sadar."
"Iya. Aku enggak sabar mau main bola sama ayah."
Setelah hampir 30 menit, suster keluar lebih dulu sambil membawa Alby keluar dari ICU. Pria itu belum membuka matanya, wajahnya juga sangat pucat. Wajar Shafa merasa khawatir.
"Dokter, suami saya mau dibawa ke mana? Suami saya baik-baik aja, 'kan?" tanya Shafa dengan tangan gemetar dan mata yang terus mengeluarkan air.
"Pasien sudah baik-baik saja. Beliau juga sudah siuman tadi. Hanya saja mungkin masih merasa sangat lemas. Kami mau pindahkan ke kamar rawat. Kalau begitu saya permisi mau cek pasien lagi."
Shafa terjatuh karena kakinya sangat lemas. Pikirannya sudah kacau. Dia benar-benar trauma berat dengan keadaan itu. Fahri menuntunnya untuk menemui Alby. Saat melihat ayahnya sudah sadar, Bizar berlari memeluk ayahnya sambil berjinjit. Dia menangis kencang sampai membuat pasien lain menengok.
Bukan hanya Bizar, tapi Shafa juga begitu. Dia memeluk Alby sambil menangis sesenggukan. "Aku takut, Mas. Aku takut kamu pergi juga."
"Bizar juga takut Ayah meninggal. Kita harus pulang, Yah. Bizar enggak mau ke rumah sakit terus," ucap Bizar dengan kepolosannya.
***
Sudah tidak tahan lagi. Rendi memutuskan untuk pergi dan berharap selamanya pergi dari kehidupan mereka. Walaupun harus pergi dengan membawa cinta yang masih berpihak pada Shafa, Rendi kuat dengan keputusannya. Biar saja waktu yang melunturkan cinta itu.
Tanpa memberitahu alasannya sebenarnya, Rendi datang ke kafe milik Shafa. Bermaksud untuk mengucapkan salam perpisahan, tapi enggak untuk diungkapkan.
"Kamu mau ke mana, Ren?"
"Aku mau jalan-jalan. Kamu mau ikut?" tanya Rendi walau sudah tau jawabannya.
"Kok, dadakan, sih?"
"Enggak, kok. Aku udah pikirin ini jauh-jauh hari, dengan matang-matang juga," jawab Rendi namun Shafa tidak peka.
"Ke mana?"
"Ke hatimu." Rendi masih berusaha terlihat seperti dia yang Shafa kenal, padahal hatinya benar-benar lemah saat itu.
"Heh, hati Shafa udah ada pengunjungnya. Cuma muat satu orang. Kamu enggak bisa masuk," canda Alby yang tiba-tiba datang dan merangkul Shafa.
"Yah, yaudah aku pergi aja, deh."
Shafa meraih tangan Rendi. Menggenggamnya erat sambil berkata, "Hati-hati, ya, Ren? Kalau udah sampai langsung kabarin kita. Jangan lupa juga oleh-olehnya, oke?"
"Jaga Shafa baik-baik, ya, Al? Jangan sakitin dia lagi. Kalau sampai kamu bikin Shafa terluka lagi, aku bakal ambil dia dari kamu, paham?"
"Karena aku enggak mau Shafa jadi milik kamu, jadi aku benar-benar akan jagain Shafa, janji."
"Yaudah, aku pergi, ya?"
"Eh, tunggu sebentar." Shafa berlari masuk ke ruangannya, mengambil sebuah kertas yang ingin dia berikan pada Rendi. "Kamu harus pulang sebelum tanggal ini, ya?"
Sebuah surat undangan pernikahan ada di tangannya saat itu. Hatinya kembali kembali menangis dan bibirnya kembali menampilkan senyum palsu.
"Wah, aku kaget banget, loh. Kalian bener mau menikah lagi?"
"Iya dan aku janji kesempatan ini akan aku gunain untuk jaga Shafa dan Bizar selamanya," jawab Alby.
Tidak sanggup lagi untuk bicara, Rendi memeluk Alby dan Shafa bergantian sambil mengucapkan 'Selamat dan semoga bahagia' dengan perasaan campur aduk. Sampai akhirnya, dia benar-benar pergi ke Swiss dan berencana untuk menetap di sana tanpa sepengetahuan siapapun di Indonesia.
***
Sejak H-2 pernikahan berlangsung, Shafa sudah menunggu Rendi datang. Pria itu tidak dapat dihubungi dan tidak diketahui keberadaannya. Shafa sudah bertanya pada siapapun yang mengenal Rendi, tapi tidak ada yang tau di mana pria itu berada.
Sampai akhirnya pernikahan yang kedua kalinya dengan orang yang sama selesai dilaksanakan, Rendi tidak juga datang. Shafa jadi khawatir dan penasaran dengan alasannya.
"Rendi ke mana, ya? Aku takut dia kenapa-kenapa, Mas."
"Aku rasa, Rendi bermaksud untuk melupakan kamu dengan cara memulai hidup baru di suatu tempat. Kita berdoa aja semoga Rendi baik-baik aja sekarang, ya?"
Shafa mengangguk dan mencoba menenangkan dirinya. Pelukan Alby kembali dapat Shafa rasakan. Di hatinya, banyak perasaan yang bercampur aduk. Shafa merasakan bahagia, takut, curiga, dan trauma yang bercampur jadi satu. Hal itu karena banyak pengalaman pahit yang dia rasakan.
"Mas, ini bulan ke-4 kita menikah, 'kan? Kalau ditotal sama pernikahan pertama kita, berarti udah berapa lama?"
"Eum ... lebih kurang 3 tahun? Ah, aku lupa banget, Shaf."
"Kalau di pernikahan pertama kita lama dapat anak, di pernikahan kedua ini cepat, loh!"
Alby diam sejenak. "Maksudnya?"
"Aku hamil, Mas. Udah 3 minggu. Aku udah cek kemarin."
"Serius, Shaf? Kamu hamil???"
Shafa mengangguk semangat. Pojok kafe menjadi saksi kalau Alby menangis sesenggukan mendengar kabar bahagia itu. Bizar yang baru pulang sekolah dengan dijemput oleh kakeknya, datang dan langsung ikut memeluk Shafa.
"Ada apa, nih? Kok nangis sambil ketawa gitu?" tanya Fahri bingung.
"Aku hamil, Pa." Jawab Shafa juga disambut baik oleh mertuanya yang langsung mencium pucuk kepala Shafa.
"Selama, ya? Jaga baik-baik kandungannya." Kemudian, tangannya memukul punggung Alby lumayan kencang. "Kamu juga. Jangan buat ulah lagi. Jaga Shafa baik-baik. Sayangi dia, lindungi dia. Ada anak kamu di kandungannya. Kalau sampai Shafa kenapa-kenapa, Papa enggak akan maafin kamu lagi, paham?!" omel Fahri dengan ancaman.
Alby tertawa malu, lain dengan Shafa yang tertawa bahagia melihat betapa sayang mertuanya itu. Setelah melewati banyak kebahagiaan dan lebih banyak lagi rasa luka, Shafa menjadi lebih dewasa dan terbuka akan dunia. Tidak selamanya yang dipercaya akan menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya. Tidak selamanya kata cinta berarti benar-benar cinta. Tidak selamanya juga yang diinginkan akan tercapai.
Tidak selamanya hidup hanya terus diselimuti kebahagiaan. Luka perihal dikecewakan dan ditinggal, menjadikan diri jadi kuat dan penuh lapang dalam hati. Shafa sudah merasakan semua itu. Ikhlas menerima kenyataan dan kebahagiaan kembali datang walau tidak dalam waktu singkat.
Shafa dan Alby akhirnya hidup bahagia dengan dua orang anak, Albizar dan Balqisa. Alby kembali bekerja sebagai guru di beberapa sekolah dan Shafa telah memiliki beberapa kafe di Yogyakarta. Alby benar-benar telah mengubah semua hal buruk didirinya, perlahan tapi pasti, begitupun dengan Shafa.
Rendi hidup bahagia, tapi juga masih merasakan rindu pada Shafa. Masih ada Shafa di hatinya. Tapi, perlahan perasaan itu memudar, walau tanpa hadirnya orang baru. Banyak perempuan di Swiss yang menyukainya, tapi Rendi masih enggak membuka hati. Dia juga masih menutup diri dan belum bisa mengabari siapapun di Indonesia, selain orang tuanya. Walau begitu, Rendi berusaha untuk hidup bahagia dan menikmati waktu sampai akhirnya bisa benar-benar melupakan cintanya untuk Shafa.
***