Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 44 - Jawaban Shafa Untuk Rendi

Chapter 44 - Jawaban Shafa Untuk Rendi

Walau tidak sejauh Indonesia-Australia, Shafa tetap merasakan dirinya jauh dari Alby. Di luar ruangan dengan kaca besar sebagai pembatas, Shafa terus menatap Alby sambil menangis sesenggukan. Satu persatu kenangan kebersamaan mereka saat dulu berputar bergantian. Sampai Bizar datang dan menghentikan putaran memori itu.

"Bunda!"

Bersama Rendi, Bizar datang dengan masih mengenakan seragam sekolah dan ransel berkarakter Superman kesukaannya. Seperti tau apa yang bundanya rasakan, Bizar memeluk Shafa dengan sangat erat.

"Ayah kenapa, Bunda? Ayah sakit, ya?" tanya Bizar yang juga ikut menangis.

"Iya, ayah sakit. Tapi Bizar enggak usah khawatir. Pasti sebentar lagi ayah sembuh, kok."

Anak lelaki dengan tubuh yang masih sangat kecil itu berusaha memeluk Shafa agar sepenuhnya masuk dalam pelukannya. "Aku sedih banget. Pasti Bunda lebih sedih, 'kan? Selama ini aja Bunda selalu nangis padahal enggak tau keadaan ayah. Apalagi sekarang saat Bunda liat ayah sakit?" Bizar memeluknya lagi sambil menepuk punggung bundanya beberapa kali.

Rendi maupun Shafa yang mendengarnya makin terharu dengan pikiran dewasa dari anak berusia 5 tahun tersebut. Ketika dokter keluar setelah hampir 30 menit di ruangan steril itu, Shafa langsung berdiri dengan menggendong anak sematang wayangnya.

"Gimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Shafa yang membuat Rendi terkejut.

"Pasien sempat kritis dan saat ini koma. Kami akan pindahkan ke ruang ICU dengan pantauan khusus."

"Apa yang terjadi sama dia, Dok? Kenapa tiba-tiba bisa kayak gini?"

"Pasien mengidap penyakit jantung iskemik atau yang sering disebut penyakit jantung koroner. Hal itu terjadi karena kurangnya suplai darah ke jantung akibat penyumbatan plak pada pembuluh darah, Bu."

"A-apa penyakit itu bisa disembuhkan, Dok?" Pertanyaan terpenting yang Shafa tanyakan.

"Pada dasarnya, penyakit jantung tidak dapat sembuh sendiri. Namun jika dibantu dengan perawatan medis yang rutin, gaya hidup yang lebih sehat, dan beberapa cara lainnya akan dapat membantu penyembuhan secara perlahan."

Jantungnya belum terpompa normal, tapi kembali dihajar dengan mendengar ucapan dokter itu. Shafa hampir saja pingsan sesaat setelah dokter wanita itu pergi. Baru saja sebuah harapan tertanam di hatinya yang mungkin dapat kembali bersama dengan Alby. Tapi, apakah pria yang tengah bertaruh nyawa itu dapat bertahan lebih lama lagi?

"Shaf, Alby pasti sembuh, kok. Dia enggak mungkin tinggalin Bizar. Iya, 'kan?" ucap Rendi menguatkan sang sahabat.

***

Hari-hari Shafa lewati dengan penuh harapan. Dia terus berdoa dari jauh walau tidak dapat berada di samping Alby. Semenjak mantan mertuanya datang, Shafa merasa tidak enak jika selalu menjenguk Alby. Fahri seperti jaga jarak dengannya, tidak bersikap seperti saat masih menjadi mertuanya. Bahkan, Bizar pun tidak Shafa biarkan menemui ayahnya karena belum siap menceritakan semua pada Fahri.

Pagi itu lebih cerah dari biasanya. Tapi tetap saja hati Shafa terasa mendung. Walau hanya murung saat di rumah, karyawannya tetap dapat melihat kecemasan yang Shafa rasakan.

"Kalau Mbak Shafa lagi kurang sehat, istirahat di rumah aja, Mbak," kata Fani.

"Saya enggak apa-apa, kok."

"Oh, iya. Kemarin beberapa menit setelah kafe tutup, ada bapak-bapak dateng ke sini. Tapi enggak lama langsung pergi."

Shafa langsung berpikir dan menyeleksi orang-orang yang ada di pikirannya. Ternyata, jawabannya benar. Fani menunjuk seseorang yang baru saja memasuki kafe.

"Nah, itu orangnya, Mbak. Bapak-bapak itu yang saya liat kemarin."

Ternyata Fahri orangnya. Shafa langsung dapat bertemu dengannya karena posisinya sedang ada di meja kasir. "Papa?"

"Wah, kaget saya dengernya."

Langsung Shafa tersadar kalau dia salah menyebut. "Oh, maksud saya Om Fahri."

"Kamu lagi sibuk? Saya mau ngobrol-ngobrol sama kamu bisa?"

"Bisa, kok, Om." Shafa mempersilahkannya duduk diposisi paling belakang dekat jendela. "Ada apa Om datang ke sini?"

"Aneh banget kamu panggil saya Om. Panggil Papa aja enggak apa-apa, Shaf."

"Oh, aku ...."

"Di mana Bizar?"

"Ha?" Sudah gugup, tambah gugup lagi dengan apa yang Fahri katakan. "Kok, Papa ...."

"Alby udah cerita semuanya. Papa ke sini mau ketemu Bizar. Mau liat cucu Papa yang kata Alby pinter dan genteng."

"Dia belum pulang sekolah, Pa."

"Kenapa kamu memutuskan untuk sembunyikan semua ini dari Alby?"

Entah kenapa setiap membahas masa lalu, rasanya air mata akan keluar secara otomatis. Shafa langsung menyekanya sebelum jatuh lebih jauh.

"Shafa, Papa tau kalian itu saling cinta. Cinta kalian itu tulus. Saat di Australia, Alby benar-benar menutup diri, apalagi dari para wanita. Dia fokus bekerja dan menyibukkan diri. Papa berpikir mungkin itu cara dia agar bisa lupain kamu. Tapi nyatanya, dia kembali ke Indonesia karena enggak kuat lagi nahan kangen ke kamu. Sebegitu cintanya dia sama kamu. Kamu percaya itu, 'kan, Shaf?"

***

Shafa kadang khawatir karena sang anak mudah dekat dengan siapa saja. Tapi, kecerdasan Bizar yang sedikit menenangkannya. Bizar selalu berusaha meyakinkan bundanya agar tidak cemas karena dia tidak akan pergi dengan orang lain tanpa izin dari bundanya.

Seperti contohnya saat itu. Bizar pergi jalan-jalan dengan kakeknya yang baru dia kenal karena Shafa mengizinkannya. Sedangkan Shafa pergi ke sebuah pantai atas ajakan Rendi.

"Seger banget udaranya, ya?"

"Iya. Lautnya cantik, ya, kayak kamu?"

Gombalan Rendi tidak mempan. Shafa malah menepis pelan pipi Rendi yang duduk di sampingnya. "Ish, bisa aja. Udah pasti lebih cantikan aku, lah."

Shafa tertawa lepas, tapi tidak dengan Rendi. Terlihat raut gugup di wajahnya. "Eum, Shaf?"

"Heum?"

"Jangan bercanda dulu, ya? Kali ini aku mau ngomong serius."

"Lagi?" ucap Shafa dengan penekanan.

"Aku udah bilang, 'kan, sama kamu? Aku akan berusaha dapetin kamu selagi kamu bukan milik siapapun." Rendi meraih tangan Shafa. "Aku cinta sama kamu Shaf. Itu hal wajar karena kita udah temenan sejak masih sekolah. Hampir setiap hari aku liat wajah cantik kamu, senyum manis kamu, cium harum tubuh kamu, dan semua hal yang ada di diri kamu itu bikin aku makin jatuh cinta setiap harinya. Sejujurnya aku udah enggak sanggup menampung perasaan ini lagi, Shaf. Tapi, aku bingung gimana cara meluapkannya. Selama ini ungkapan rasa cinta aku yang berkali-kali terucap, itu semua enggak bisa membebaskan aku dari perasaan cinta yang meluap ini."

"Kamu mau bebas dari perasaan itu?"

"Tolong berusaha untuk mencintai aku, Shaf. Tolong kasih aku kesempatan untuk bisa dicintai sama kamu."

"Enggak perlu. Dari dulu, aku udah cinta sama kamu. Bahkan rasa cinta itu lebih besar dari yang aku berikan ke Alby. Sebegitu cintanya aku sama kamu. Karena kamu sahabat aku, Ren."

"Lebih dari sahabat, Shaf. Lebih dari itu."

"Aku akan membebaskan kamu dari perasaan cinta yang meluap itu."

"Dengan menerima aku sebagai ...."

"Aku masih mencintai Mas Alby. Aku akan kembali bersama dia setelah dia sadar nanti. Karena aku udah tau, kalau Mas Alby juga masih mencintai aku."

"Bener-bener sesusah itu, ya, mencintai aku, Shaf?"

"Sesusah itu melupakan Mas Alby, Ren. Sesusah itu."

***