"Albizar, bangun, yuk? Katanya mau jalan-jalan sama ayah?"
Sebenarnya bukan hanya kali itu, tapi setiap harinya Bizar selalu mudah jika dibangunkan. Bahkan, dia selalu bangun saat mendengar bundanya menangis di malam hari.
"Emangnya ayah udah dateng, Bun?"
"Nanti ayah jemput di kafe. Sekarang, Bizar siap-siap dulu. Mandi, terus sarapan, oke?"
Mandi pun, Bizar sudah bisa melakukannya sendiri, tapi masih tetap dipantau sang bunda. Untuk makan, sudah sejak usia 3 tahun Bizar mulai makan tanpa di suapi. Shafa tidak heran kalau Bizar tergolong anak yang cerdas sejak kecil, karena itu pasti turunan dari ayahnya.
"Ayo, Bunda! Pasti ayah udah dateng."
Shafa masih sibuk menguncir rambutnya disaat anaknya sudah menunggu di luar rumah. "Tunggu, Sayang."
"Cepet, Bunda."
"Iya, sabar."
Bizar duduk dengan resah, tidak sabar bertemu ayahnya. Bukan salah liat, Bizar langsung memanggil saat melihat Alby datang. "Ayah?!"
"Assalamualaikum?"
"Wa'alaikumsalam, Ayah! Bunda, ayah dateng!"
Walau tidak bisa membuka gerbang rumahnya, Bizar terus mencoba. Padahal, gerbang tersebut tidak akan bisa terbuka tanpa kunci. Shafa berjalan cepat dan segera membuka gemboknya.
"Kamu tau dari mana alamat rumah ini, Mas?"
"Dari Rendi. Ada Mbok Dewi? Aku mau ketemu."
"Oh, ada di dalam. Mau masuk?"
Alby mengangguk lalu mengikuti Shafa masuk ke dalam. Sejak pintu gerbang dibuka, Bizar langsung menggandeng tangan ayahnya yang besar itu. Mbok Dewi yang hendak pergi ke dapur, terkejut dengan kedatangan mantan majikannya itu.
"Loh, Mas Alby?"
"Apa kabar, Mbok?"
Mbok Dewi yang lebih dulu memeluk Alby secara spontan. Dia mengusap punggung lebar pria itu dan menepuk-nepuk pelan. "Alhamdulillah baik. Mas Alby sendiri gimana kabarnya? Sehat, toh?"
"Alhamdulillah, insya Allah sehat, Mbok."
"Bizar, bener kan, kata Mbok? Kamu itu ganteng kayak ayahmu," ucap Mbok Dewi pada anak kecil dihadapannya.
"Ayah, ayo jalan-jalan! Lama banget, sih?!" rengek Bizar dengan polosnya.
"Bizar sama Bunda masuk duluan ke mobil, ya? Nanti Ayah susul, oke?"
"Ayah mau ngapain lagi, sih?"
Entah cerewetnya Bizar turunan dari siapa. Anak itu sangat pintar bicara walau kadang tidak jelas. Alby memberikan kunci mobilnya pada Shafa yang langsung menggendong Bizar pergi ke mobil tersebut.
"Ada apa, toh, Mas?"
"Mbok, maaf kalau saya selalu nyusahin selama ini."
"Mas Alby selalu baik dan sopan sama saya. Enggak pernah saya merasa di susahkan."
"Maaf kalau kedatangan saya yang setelah bertahun-tahun ini karena untuk minta tolong sama Mbok Dewi."
"Kalau saya bisa bantu, saya akan bantu, kok, Mas."
"Tolong jaga Shafa dan Bizar. Tolong bantu mereka saat sedang kesusahan. Tolong untuk selalu ada buat mereka disaat mereka kesepian. Tolong bikin mereka nyaman disaat mereka ketakutan. Tolong selalu berikan kasih sayang yang saya titipkan ini untuk mereka. Apa Mbok bisa janji sama saya?"
Mbok Dewi terdiam bukan karena mempertimbangkan hal itu. Tapi, dia terkejut dengan apa yang Alby katakan. "Selama ini, saya selalu berusaha melakukan semua itu. Tapi, mereka enggak mungkin setiap hari hanya butuh saya. Pasti mereka juga butuh Mas Alby disampingnya, apalagi Bizar."
"Terima kasih selama ini Mbok udah nemenin Shafa, jaga dia, rawat dia disaat hamil sampai melahirkan. Bahkan, Mbok juga ikut andil dalam merawat Bizar menjadi anak yang sehat dan pintar seperti sekarang. Maaf, Mbok harus repot karena saya."
"Mas Alby, ada apa, toh? Kenapa perasaan Mbok jadi enggak enak gini? A-apa ada yang Mas Alby sembunyikan?"
"Saya cuma mau tenang disaat pergi nanti. Merasa tenang karena meninggalkan orang yang saya cintai ditangan orang yang tepat seperti Mbok Dewi."
"Emangnya Mas Alby mau ke mana lagi?"
***
Awalnya, Shafa menolak untuk ikut. Bukan Bizar, tapi Alby yang memaksanya ikut dengan Bizar sebagai alasannya. Mereka juga memang tidak pernah memberikan momen lengkap sebagai keluarga sejak Bizar masih kecil. Itu alasan yang membuat Shafa memutuskan untuk ikut ke sebuah kebun binatang yaitu Ragunan.
"Ayah, gendong!"
Alby menggendongnya tanpa pikir panjang. Baru beberapa menit berjalan sambil melihat binatang, wajah Alby sudah terlihat lelah dan pucat.
"Mas, sekarang biar aku aja yang gendong Bizar."
"Enggak apa-apa, Shaf. Kamu udah terlalu sering gendong dia. Sekarang giliran aku, dong?"
"Tapi kamu keliatan cape banget, loh?"
"Ayah, aku mau turun!"
Tidak seperti saat awal meminta, Alby tidak langsung menuruti mau anaknya. "Kenapa, Sayang?"
"Ayah keringetan banget mukanya. Pasti cape, 'kan?"
"Enggak, kok, biasa aja. Ini karena kepanasan aja."
Mereka memutuskan untuk beristirahat diatas rumput hijau, tepat di depannya adalah kandang rusa. Tidak jauh dari sana, ada toilet umum yang lumayan ramai.
"Shafa, aku mau ke toilet dulu, ya? Kalian tunggu sini. Jangan ke mana-mana."
"Iya, Mas."
Jalannya sudah sempoyongan karena kepalanya sangat pusing. Rasanya semakin sangat sulit bernapas. Ditambah lagi, dadanya terasa sangat sesak. Keringat semakin bercucuran dan Alby mulai tidak kuat berdiri lagi. Untung saja sudah waktunya dia memasuki toilet.
"Ah, ah, ah ...." Alby berjongkok, menundukkan kepalanya sambil memegang dadanya yang terasa semakin sakit. "Ah, tolong tahan sebentar. Sehari aja. Tolong, Al," kata Alby pada dirinya sendiri.
Padahal ingin lebih lama lagi, tapi tidak enak karena banyak orang yang mengantri. Setelah berkumur dan mencuci wajahnya, Alby mengoleskan lipbalm agar bibirnya tidak kering dan pucat.
Dari jauh sudah terlihat betapa semangatnya Bizar setiap melihat ayahnya. Alby mengeluarkan ponselnya dan merekam tingkah anak tunggalnya itu.
"Ayah sayang sama Bizar. Tolong untuk selalu jadi anak yang ceria kayak gini, ya? Sekalipun disaat Bizar kehilangan Ayah, oke?" ucap Alby yang sengaja terdengar di video dan berhenti saat mulai dekat dengan kedua orang yang dia cintai itu.
"Coba aku liat videonya, Mas?"
"Nanti aja aku kirimin ke kamu."
Alby duduk dengan melipat kedua kakinya yang panjang. Lalu, Bizar duduk di pangkuannya dan mereka mulai berfoto. Jika disandingkan, Alby dan Bizar terlihat benar-benar mirip. Bahkan, lesung pipi mereka ada di posisi yang sama.
"Bunda enggak ikut foto?"
"Ayo, Shaf, kita foto bareng!"
Dengan canggung, Shafa ikut bergabung. Tersenyum dengan sangat manis. Itu yang menjadi favorit Alby. Wajar kalau saat itu, Alby fokus melihat wajah Shafa yang tentu saja Shafa menyadarinya.
Mereka bersama-sama melihat hasilnya. "Ayah ganteng, ya, Bun? Bunda juga cantik kan, Yah?" tanya Bizar polos.
"Iya, Bunda cantik banget," jawab Alby tanpa melihat ke arah Shafa yang makin canggung dengan jawabannya tersebut.
"Aku seneng banget bisa bareng-bareng sama Ayah dan Bunda kayak gini. Ayah enggak akan pergi lagi, 'kan?" tanya Bizar.
"Boleh Ayah minta Bizar fokus sebentar?" Anggukan Bizar adalah jawabannya. "Bizar bisa janji sama Ayah untuk jaga bunda?"
"Selama ini, aku selalu jagain bunda, kok. Setiap malam kalau bunda nangis, aku selalu bangun dan peluk bunda sambil tepuk-tepuk punggungnya," ungkap Bizar dengan jujur.
"Bizar enggak boleh jadi anak yang nakal, ya? Dengerin kata-kata bunda, nurut sama bunda, dan jadi anak yang berbakti. Selalu bikin bunda bahagia, oke? Jangan pernah biarin bunda sedih dan kesusahan."
"Mas, kenapa kamu ngomong gitu?" potong Shafa.
"Aku enggak akan bisa bersama kamu lagi. Jadi, aku titip kamu sama Bizar. Aku yakin, dia pasti bisa jaga dan bahagiain kamu lebih dari apa yang aku lakuin selama ini."
"Kenapa kita enggak bisa sama-sama lagi?"
Sebenarnya sudah jelas apa yang Shafa ucapkan itu maksudnya adalah keinginannya untuk bisa bersatu lagi dengan Alby. Iya, Shafa masih mencintai pria itu bahkan dia berharap bisa memilikinya lagi.
"Bertahun-tahun aku hidup penuh rasa bersalah. Aku udah susah payah berusaha untuk lupain kamu, untuk enggak menyisakan sedikitpun cinta buat kamu. Jadi, tolong hargai usaha aku, ya? Kamu akan dapat yang jauh lebih baik dari aku. Percayalah, kalau aku bukan suami terbaik untuk kamu."
***