Hari yang sangat melelahkan untuk Alby lewati. Tapi juga membahagiakan karena mungkin itu keinginan terakhir yang telah terpenuhi. Dia hanya ingin memiliki anak dari Shafa, walau dengan status yang sudah berbeda.
Sepertinya Shafa sadar kalau Alby terlihat jauh lebih kurus dari terakhir bertemu 5 tahun lalu. Bahkan, otot yang dulu selalu menjadi bantalan sudah tidak nampak lagi. Iya, itu semua karena penyakit yang dia alami sejak 3 tahun lalu. Kalau dipikir, itu lebih baik daripada dia meninggal Shafa dan anaknya disaat keluarga mereka utuh dan penuh kebahagiaan. Kepergiannya akan sangat menyakitkan untuk berikan, 'kan?
"Iya, Pa. Aku di Yogya dari 2 hari lalu. Maaf aku enggak kasih tau Papa dulu." Sembari tiduran, Alby sengaja menelpon Fahri yang sudah beberapa kali menghubunginya.
"Kamu sendirian? Ngapain kamu ke sana?"
"Iya, aku pergi ke sini sendirian. Aku kangen sama Shafa, makannya aku ke Indonesia."
"Tapi kamu lagi sakit, Al. Papa takut kamu kenapa-napa di sana. Kamu ngerti perasaan Papa enggak, sih?!" omel Fahri.
"Iya, aku ngerti, Pa. Tapi aku di sini bahagia. Papa mau tau kenapa? Karena aku bisa ketemu Bizar, anak aku."
"Hah? Anak kamu?"
Alby menceritakan semuanya pada Fahri. Namun, respon Fahri seperti tidak percaya karena biasa saja jawabannya. Tidak terkejut ataupun bahagia.
"Itu beneran anak kamu? Kamu percaya sama Shafa?"
"Kenapa Papa tanya gitu? Aku sama Shafa udah pisah dari 5 tahun lalu dan usia Bizar sekarang 5 tahun. Apa yang harus Papa curigai?"
"Alby, mending kamu balik ke Australia sekarang."
"Masih ada yang mau aku lakuin di sini, Pa. Kalau udah selesai, aku pasti akan balik ke sana."
"Oke. Tapi, tanpa Shafa dan anaknya."
"Iya, tanpa Shafa dan Bizar."
***
Kesibukan Shafa setiap hari selalu sama, membuat bekal dan sarapan untuk anak. Kemudian, dia bersiap untuk mengantar Bizar sekolah dan membuka kafenya. Walau ada Mbok Dewi, Shafa tetap melakukan semuanya sendiri. Sudah cukup dia merepotkan wanita tua itu selama bertahun-tahun.
Menjadi single parent bukanlah hal mudah, tapi perlahan menjadi mudah karena terbiasa. Ditambah, Bizar yang pintar dan penurut membuat Shafa tidak sulit mengurusnya.
"Bunda hati-hati, ya, di jalan?" ucap Bizar setelah mencium tangan Shafa. "Jangan lupa sarapan, ya, Bunda?"
"Iya, Sayang. Terima kasih, ya?" Shafa merapikan rambut Bizar, lalu memakaikan topi padanya. "Bekalnya jangan lupa dihabisin, belajar yang benar, nurut sama ibu guru, mainnya hati-hati, dan ...."
"Kalau Bunda belum jemput, jangan sedikitpun keluar dari gerbang sekolah. Tunggu Bunda di dalam sekolah. Bener, 'kan?" Bahkan anak itu bisa mengingat ucapan bundanya yang setiap hari memang Shafa ucapkan.
Dengan motornya, Shafa pergi ke kafe yang tidak terlalu jauh dari sekolah Bizar. Dia selalu datang lebih dulu dari para karyawannya. Tapi, kali itu ada seseorang yang datang lebih dulu darinya. Tubuhnya yang tinggi ditutupi jaket tebal, berdiri di depan kafe.
"Mas Alby? Udah dari jam berapa kamu di sini?"
"Belum lama. Bizar mana?"
Pada hakekatnya, seorang ayah yang telah memiliki anak akan lebih peduli pada anaknya daripada istrinya dan Shafa mulai merasakannya. Lagi pula, dia bukan lagi istrinya. Untuk apa Alby peduli padanya?
"Dia sekolah."
"Nanti, biar aku aja yang jemput dia, ya?"
"Kamu sakit, Mas? Muka kamu pucat gitu?"
"Enggak, kok. Biasa aja."
"Mau mampir ke kafe aku dulu?"
"Shafa, kapan kamu ada waktu senggang?"
"Eum ... mungkin nanti siang? Kenapa, Mas?"
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Nanti siang aku jemput, ya?"
"O-oh, oke."
"Kalau gitu aku pergi dulu."
"Mas, sekarang juga bisa, kok. Ada karyawan aku yang jaga kafenya."
"Serius?"
"Iya. Mau ngobrol di mana?"
Benar-benar sangat canggung karena sudah lama tidak duduk bersebelahan sedekat itu. Shafa malah kembali teringat saat dulu Alby yang terus memegang tangannya walau sedang menyetir mobil. Tapi kali itu, Alby bahkan tidak meliriknya sama sekali.
"Aku sampai lupa tanya kabar kamu. Kamu baik-baik aja, 'kan?"
Ingin sekali Shafa menjawabnya dengan jujur, tapi dia berpikir lebih dulu sebelum mengatakannya. "Aku harap gitu."
"Kenapa? Kamu lagi sakit?"
"Oh, enggak."
Alby tidak peka. Mereka bicara namun tidak saling melihat atau sesekali melirik. Bahkan Shafa terus menundukkan kepalanya dan sengaja menutupi wajah dengan rambut panjangnya yang terurai.
Tibalah mereka di sebuah pantai. Masih sepi karena baru saja dibuka. Alby berusaha kuat untuk berjalan kepinggir pantai dan duduk lebih dulu diatas pasir putih, sedangkan Shafa masih berdiri melihat lautan dengan kagum.
"Kalau enggak salah inget, kamu pernah minta untuk pergi ke pantai. Makannya aku ajak kamu ke sini sekarang."
"Aku udah lama banget enggak ke pantai."
Diam-diam Alby memegangi dadanya yang terasa sakit dan napasnya sangat sesak. Shafa yang masih fokus melihat laut, tidak sadar kalau Alby beberapa kali mengoleskan lipbalm pada bibirnya yang pucat.
Shafa seperti menaruh harapan baik pada apa yang akan Alby katakan. Satu-satunya harapan dia yaitu Alby memintanya untuk rujuk. Tidak masalah sekalipun alasannya demi Bizar.
Posisi duduk Shafa sedikit berjarak dari Alby. "Jadi, kamu mau ngomong apa, Mas?"
"Aku terlalu sering minta maaf. Jadi sekarang aku mau berterima kasih karen dulu kamu udah mau berusaha buat mencintai aku, mengurus aku, dan menghargai aku sebagai suami kamu. Terima kasih juga karena kamu selalu sabar menerima kenyataan yang menyakitkan dari aku. Terima kasih untuk pelajaran yang kamu berikan ke aku. Itu bener-bener mengubah hidup aku, Shaf. Kalau bukan karena kamu, aku enggak akan sekuat sekarang."
Entah kenapa, Shafa sudah ingin menangis hanya karena apa yang mantan suaminya itu ucapkan. "Iya, sama-sama, Mas. Terima kasih juga karena waktu bersama kamu, aku bisa dapat banyak pelajaran dan kekuatan."
"Sekali lagi, maaf untuk segala-galanya. Maaf aku enggak bisa bahagiain kamu dan maaf aku enggak bisa jaga Bizar." Alby memiringkan posisi duduknya, meraih tangan Shafa dengan berani. "Tolong jaga diri kamu baik-baik. Aku juga titip Bizar. Sekali lagi, aku minta maaf karena akan selalu nyusahin kamu."
Tiba-tiba perasaan Shafa tidak enak. Bulu kuduknya berdiri karena merinding. Tatapan mata Alby seketika berubah. Keringat bercucuran membasahi keningnya. Shafa memperhatikan semua itu dengan teliti.
"Kamu enggak apa-apa, Mas?"
"Shafa, aku cinta sama kamu. Semua ucapan aku saat kamu ingin bercerai, itu bener-bener serius, Shaf. Tentang aku yang enggak mau pisah sama kamu, aku yang berjanji akan berubah, dan aku yang bener-bener cinta sama kamu. Itu semua serius, Shaf. Bahkan sampai saat ini, keseriusan itu masih sama. Aku sangat kecewa karena saat itu kamu enggak percaya sama aku. Aku bener-bener putus asa."
Pernyataan itu membuat Shafa tertegun. Tapi, rasanya kenapa berbeda? Shafa seharusnya merasa senang, tapi kenapa malah jadi cemas?
"Mas, kamu ...."
Perlahan-lahan, tubuh Alby terjatuh keatas pasir putih dengan tangan yang masih Shafa genggam. "Mas?! Bangun, Mas! Mas Alby!!!!"
***