5 tahun berlalu. Shafa mengurus anak laki-lakinya tanpa suami. Tapi tidak sendirian, ada Mbok Dewi yang masih setia menemaninya. Mbok Dewi memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai ART karena ingin kembali berjualan, ditemani dengan Shafa. Sudah 2 tahun mereka berjualan keliling menjajakan kue buatan sendiri. Sampai akhirnya, Shafa memiliki sebuah kafe, modal dari sang kakak.
Keberadaannya di Yogya diketahui oleh Rendi setelah Shafa melahirkan. Tapi, Alby dan ayahnya–Fahri–sama sekali tidak terdengar kabarnya. Rindu. Iya, itu yang Shafa rasakan walau mereka sudah lama bercerai.
Bizar tumbuh menjadi anak tampan dan pintar. Usianya sudah menginjak 5 tahun. Tentu dia banyak bertanya tentang ayahnya. Di mana ayah? Kapan aku ketemu ayah? Dan beberapa pertanyaan lain yang selalu diulang.
Hari itu, Shafa sengaja memboking sendiri kafe miliknya untuk ulang tahun Bizar. Dia mengundang teman sekelas Bizar dan guru-gurunya juga.
"Ayo, silahkan masuk. Di pakai topinya, ya?" Shafa memberikan topi ulang tahun pada anak-anak yang datang.
Para tamu sudah berkumpul. Acara di mulai dengan hiburan dari badut sewaan. Bizar dan teman-temannya terlihat sangat terhibur. Sampai tiba waktunya tiup lilin dan potong kue. Shafa juga menyiapkan banyak makanan untuk mereka makan di sana.
"Mbak Shafa, sini sebentar, deh?" Salah seorang karyawan yang membantu menyiapkan makanan, menarik tangan Shafa perlahan.
"Ada apa, Fani?"
"Mbak, dari tadi ada bapak-bapak ngeliatin kafe kita terus."
"Mungkin itu orang tua temannya Bizar kali."
"Mungkin aja kali, ya, Mbak? Tapi, saya curiga gitu. Soalnya, dia kayak ngeliatin Mbak Shafa terus."
"Coba ada di mana orangnya?"
Lewat pintu samping, Fani keluar kafe untuk menunjukkan bapak-bapak yang dia maksud. "Itu, Mbak, yang pakai jaket abu-abu itu."
Secara bersamaan, orang yang Fani maksud menengok dan melihat mereka. Fani izin kembali bekerja karena karyawan lain butuh bantuannya, sedangkan Shafa terdiam di posisi dengan sangat terkejut.
"Mas Alby?"
***
Tidak terasa sudah 5 tahun Alby menjalani hari-hari tanpa Shafa. Awalnya, dia yakin tidak akan kuat jauh dari wanita yang sangat dia cintai itu. Apalagi mereka sama sekali tidak saling bertukar kabar dan Alby juga tidak mencari tau tentang kehidupan Shafa setelah berpisah darinya.
Kembali ke Indonesia adalah keputusan yang penuh pertimbangan. Alby sangat ragu untuk kembali. Lagi pula, ayahnya sudah tinggal di Australia. Tidak ada keluarga lagi di Indonesia.
Alasan kembali ke negara tempat kelahirannya itu karena Alby ingin menemui Shafa. Sudah dikuat-kuatkan tapi tidak kuat juga menahan rindu tanpa bertemu. Sudah tidak dapat ditahan lagi.
"Jadi, Shafa ada di Yogya?"
"Iya, Al. Setelah kamu pergi ke Australia, Shafa langsung pindah ke sana sama Mbok Dewi. Udah sekitar 4 tahun dia di sana," jelas Galih.
Alby sebenarnya tidak menyangka kalau kedatangannya disambut baik oleh mantan kakak iparnya itu. Berkat Galih, Alby mendapatkan alamat tempat Shafa tinggal.
"Kenapa Kak Galih masih mau baik sama saya? Padahal saya udah banyak nyakitin Shafa."
"Itu udah masa lalu, Al. Lagi pula, alasan kamu ke sini pasti karena kangen, 'kan? Kamu masih cinta kan, sama Shafa?"
Tanpa perlu berpikir, Alby langsung mengangguk. "Iya. Saya masih cinta sama Shafa. Setidaknya, saya bisa liat dia walau dari jauh. Udah terlalu kangen soalnya."
Dinda yang sedari tadi duduk disamping suaminya, mulai bicara dengan pelan namun terdengar oleh Alby. "Alby harus tau soal itu, Gal. Mau gimana, pun, dia ayahnya."
"Kalau Shafa marah gimana?"
"Biar aku yang urus. Mau sampai kapanpun di sembunyikan, tetap aja suatu saat Alby berhak tau."
"Ada apa? Ayahnya? Maksud kalian apa?" tanya Alby penasaran.
Galih dan Dinda diam sejenak dan saling melirik. Alby menunggu dengan sabar sampai akhirnya Galih buka suara untuk menjelaskan.
"Setelah kamu pergi, saat itu Shafa lagi hamil. Awalnya dia juga enggak kasih tau saya. Sampai akhirnya dia melahirkan seorang anak laki-laki yang dia kasih nama Albizar."
"M-maksudnya, i-itu anak saya?"
"Iya. Itu anak kamu dan Shafa. Mending kamu temui mereka di Yogya karena Bizar udah semakin sering bertanya tentang ayahnya. Ini saatnya kamu temui dia."
***
Alby mengemudi dengan laju yang kencang. Dia tidak sabar ingin bertemu sang anak yang selama ini tidak dia ketahui. Alby sedikit marah pada Shafa karena telah merahasiakan semuanya.
Setelah belasan jam, Alby akhirnya sampai di rumah Mbok Dewi pada sore hari. Tapi, tetangganya menyarankan agar Alby pergi ke kafe tempat mereka berjualan. Di sana sedang ada acara ulang tahun. Alby berdiri di luar jendela sambil melihat seorang anak laki-laki yang dia yakini itu adalah anak kandungnya.
"Albizar, apa itu kamu, Nak?"
Hidungnya yang mancung, bibirnya yang kecil, dan senyumnya yang terlihat mirip seperti dirinya. Alby semakin yakin itu anaknya. Dia menangis beberapa kali karena masih belum menyangka. Shafa. Dia juga melihat Shafa ada di samping anak tersebut.
"Kamu makin cantik, Shaf."
Alby ikut merayakan ulang tahun itu dari luar kafe, sampai gerimis mulai turun. Tapi Alby tetapi di posisi. Dia suka melihat sang anak yang tertawa bahagia bersama teman-temannya.
Tidak sengaja Alby menengok dan melihat Shafa berdiri mematung tidak terlalu jauh darinya. "S-shafa?"
Ingin sekali mendekat, namun takut Shafa menolak dan akhirnya membuat mood Shafa berantakan di acara ulang tahun Bizar yang membahagiakan.
Sungguh sudah tidak dapat di tahan lagi. Alby berjalan cepat mendekati Shafa namun menahan diri untuk memeluknya. "Shaf, kamu ...."
"Ngapain kamu di sini?"
"Aku ...."
"Pergi kamu dari sini."
Shafa mengusirnya dengan pelan tanpa emosi. Dia juga langsung ingin kembali masuk ke dapur kafe tapi Alby menahannya.
"Tunggu, Shaf. Tunggu sebentar."
"Ada apa, hah?"
"Kenapa kamu enggak kasih tau aku?"
"Kasih tau apa?"
"Aku berhak tau, Shaf. Dia juga anak aku. Kenapa kamu sembunyikan?"
Shafa langsung berpikir kalau pasti Galih yang memberitahunya. "Aku cuma nunggu waktu yang tepat."
"Sampai kapan? Kalau sekarang aku enggak ke sini, kapan kamu mau kasih tau aku?"
"Kenapa kamu ke sini?" Terdengar dari suaranya kalau Shafa menahan tangis. "Kenapa kamu dateng lagi setelah bertahun-tahun pergi?! Kenapa?!"
"Bukan aku yang pergi, tapi kamu. Kamu yang memutuskan untuk pergi dari hidup aku."
"Jadi aku yang salah gitu?"
"Aku mau ketemu sama Albizar, Shaf."
Shafa berjongkok, menyembunyikannya wajahnya pada kedua lututnya. Bukan karena gerimis yang semakin kencang, tapi dia bersembunyi untuk menangis. Semakin ditahan, semakin sesak dadanya.
"Tolong jangan bosen denger permintaan maaf aku lagi, Shaf. Karena itu yang bener-bener mau aku ucapin setiap liat kamu. Cuma kata maaf yang bisa aku ucapin sebagai tanda keseriusan aku. Aku minta maaf, Shaf. Maaf udah selalu nyakitin kamu. Maaf udah nyusahin hidup kamu selama ini. Maaf, Shaf. Cuma itu yang bisa aku ucapin."
"Sesak, capek, aku enggak bisa tahan lagi." Suaranya tidak terlalu jelas terdengar karena bersama dengan tangisan. "Kenapa kamu baru dateng sekarang, Mas?"
Tubuhnya besar memeluk penuh tubuh Shafa yang kecil. "Maaf, ya?"
"Katanya kamu masih cinta sama aku? Tapi kenapa kamu pergi sebelum persidangan cerai kita dimulai?! kenapa?!"
"Maaf, Shaf. Maaf."
***