Acara telah selesai. Kafe sudah sepi, hanya menyisakan para karyawan yang merapikan sisa acara. Alby duduk diposisi paling ujung, dekat jendela yang memperlihatkan hujan di malam hari. Ditemani secangkir mocaccino coffee, Alby menunggu dengan sabar.
"Bunda, itu siapa? Dari tadi om itu liatin aku terus, sih?" tanya Bizar pada sang bunda.
"Ayo, ikut Bunda."
Shafa menggendong Bizar dan mendekati Alby. Rasanya sangat canggung saat kembali bertemu setelah sekian lama. Kalau Alby, dia canggung pada sang anak yang baru kali pertama dia temui.
Bizar melihat Alby sebentar, kemudian memeluk bundanya yang masih menggendongnya. "Bizar, dengerin bunda dulu coba." Tangan Shafa mengelus kepala anaknya seakan merapikan rambut. "Bizar mau ketemu ayah, kan?"
"Iya, mau."
"Ini ayah Bizar. Om yang dari tadi liatin Bizar itu ayah. Ayahnya Bizar."
Kepalanya yang kecil kembali menengok dan menatap Bizar dengan wajah polosnya. "Ayah?"
Setelah mencoba memberanikan diri, Alby akhirnya benar-benar berani untuk mengulurkan tangannya meminta Bizar berada dipelukannya. "Boleh Ayah gendong Bizar?" tanya Alby dengan lembut.
Tentu Bizar menolak karena dia baru saja bertemu dengannya. Tidak mudah untuk Alby mengambil hati sang anak. Namun, Shafa mencoba membantu. Dia menyuruh Bizar untuk makan kue bersama.
"Ayah boleh minta kuenya?" tanya Alby
Namun kali itu, Bizar merespon dengan baik. Dia menyuapi Alby dengan garpu miliknya. Alby juga mencoba bersikap lembut dengan membersihkan cream yang mengotori mulut anaknya.
"Mas, aku tinggal dulu, ya?" Shafa pergi dengan sengaja agar Bizar bisa lebih dekat dengan ayahnya.
"Makanan yang Bizar suka apa?"
"Soto ayam sama es krim."
"Sama, dong. Ayah juga suka."
"Aku punya banyak hadiah, dong," ucap Bizar dengan polosnya.
"Wah, enak banget. Bizar mau hadiah apa dari Ayah?"
Bizar jawab tanpa berpikir. "Mau mobil-mobilan."
"Oke, nanti kita beli, ya?"
Entah apa yang tiba-tiba terlintas dipikirannya, Bizar menatap Alby lumayan lama. "Ayah ke mana aja, sih? Kok, baru datang sekarang?"
Pertanyaan itu sama dengan yang Shafa tanyakan. "Maafin Ayah, ya?"
"Kata Bunda, Ayah kerjanya jauh banget. Emangnya Ayah kerja di mana?"
"A-ayah kerja di luar negeri. Jadi baru bisa pulang sekarang."
"Jadi Ayah enggak bakal pergi lagi, 'kan? Sekarang aku bisa tidur sama Ayah, 'kan?"
Mereka makan dan saling suap-suapan. Alby banyak tertawa karena melihat Bizar tertawa. Memiliki anak adalah hal yang ditunggu-tunggu. Tapi, dia baru memilikinya setelah pisah dari sang istri.
"Ayah, jangan pergi lagi, ya? Nanti bunda nangis lagi, deh."
"Bunda nangis?"
"Iya. Setiap hari bunda nangis ngumpet-ngumpet. Tapi aku bisa liat."
"Bizar tau dari mana kalau Bunda nangis karena Ayah?"
"Tau, dong. Di hp bunda aja banyak foto Ayah," jawab Bizar sedikit tidak nyambung. "Bunda juga sering bilang kalau aku ganteng kayak Ayah. Bunda sering puji Ayah. Kata bunda, Ayah itu pintar, baik, ganteng, penyayang, dan selalu jagain bunda. Jadi aku mau kayak Ayah. Tapi bunda selalu larang."
Dalam hati Alby berkata, "Tentu aja. Shafa pasti enggak mau anaknya seburuk aku."
"Ayah sering nangisin bunda juga, enggak?
***
Sebenarnya, Shafa pergi karena ada alasan lain juga. Dia melihat Rendi datang dan tidak ingin membiarkannya bertemu Alby. Shafa takut kedatangannya akan merusak suasana yang Alby ciptakan untuk dekat dengan anaknya.
"Sejak kapan Alby ada di sini?"
"Aku baru tadi sore ketemu. Pasti Kak Galih yang masih tau dia."
"Jadi gimana?"
"Apanya?"
"Gimana perasaan kamu setelah ketemu dia lagi?"
"Aku seneng karena akhirnya Bizar bisa ketemu ayahnya yang selama ini dia tunggu."
"Kamu masih cinta sama Alby?"
Entahlah. Shafa juga bingung dengan perasaannya sendiri. Rasa cintanya pada Alby tidak sekuat dulu, tapi juga tidak sebenci saat dia memutuskan untuk pisah.
"Rendi, saat ini yang aku cinta cuma Bizar. Yang bisa bikin aku bahagia cuma dia. Aku bahkan lebih mencintai Bizar daripada diri aku sendiri."
"Kapan kamu bisa cinta sama aku?"
Perlahan Shafa menengok kearah Rendi yang berdiri di sampingnya. "Aku selalu cinta sama kamu sebagai ...."
"Lebih dari sahabat, Shaf. Aku mau kamu cinta sama aku lebih dari sekedar sahabat. Apa sesusah itu jatuh cinta sama aku?"
"Rendi ...."
"Kamu bisa secinta itu sama Alby, padahal kalian dijodohkan dan enggak saling kenal sebelumnya. Tapi kenapa sama aku ...."
"Cukup Rendi. Kamu enggak bisa paksa aku. Aku sendiri juga enggak tau apa alasannya."
"Tapi boleh kan, aku berusaha untuk dapetin kamu?"
Udara dingin setelah hujan sangat menusuk kulit. Sedari tadi Shafa memeluk dirinya sendiri yang kedinginan karena hanya mengenakan gaun mini dan berdiri di bawah langit malam.
"Kamu berhak mencintai siapapun, begitu juga aku. Jadi, jangan salahin aku kalau hasilnya enggak sesuai yang kamu mau."
Shafa bersikap begitu sepertinya karena sudah bosan dengan Rendi yang terus menerus memojokkannya soal cinta. Tidak memaksa, tapi seakan memaksa.
"Bunda!" panggil Bizar yang berada digendongan sang ayah. "Sini, Bunda!"
Walau mereka berdiri sedikit berjauhan, tapi Rendi bisa melihat senyum sopan dibibir Alby. Namun, Rendi membalasnya dengan sinis. Tentu saja itu membuat Alby bingung.
"Ada apa, Sayang?" tanya Shafa pada Bizar.
"Bunda, Ayah mau pergi lagi. Tahan Ayah supaya enggak pergi, Bunda."
"Kamu mau ke mana, Mas?"
"Aku nginep di hotel. Enggak jauh dari sini. Besok aku ke sini lagi, mau ajak Bizar jalan-jalan. Boleh, 'kan?"
"Boleh, dong. Dia juga kan, anak kamu."
Tiba-tiba, Rendi ikut bicara tetap dengan wajah sinis. "Aku pikir kita enggak akan pernah liat kamu lagi."
Shafa mengambil Bizar dari gendongan Alby, lalu pergi. Bizar menangis karena tidak mau jauh dari ayahnya. Alby bingung dengan sikap Rendi padanya.
"Ada apa? Kenapa kamu kayak gitu?"
"Kenapa kamu dateng lagi? Apa niat kamu sebenernya?"
"Karena aku kangen sama Shafa. Cuma itu."
"Alby, tolong jangan ganggu Shafa lagi. Kalian udah pisah. Walau ada Bizar, hubungan kamu dan Shafa tetap mantan suami istri."
"Iya, aku tau. Aku juga enggak akan kembali lagi sama Shafa. Akan percuma karena nantinya aku yang akan pergi tinggalin dia."
"Maksudnya?"
Alby melangkah lebih dekat lagi dengan Rendi. "Aku malah mau minta sama kamu untuk jaga Shafa dan Bizar. Cuma kamu yang bisa aku percaya untuk jaga mereka."
"Shafa enggak pernah bisa cinta sama aku lebih dari sahabat. Dia cuma cinta sama kamu, bahkan sampai saat ini."
"Mungkin itu karena dia berharap aku bakal kembali. Tapi nanti saat aku bener-bener pergi dan enggak akan mungkin kembali lagi, Shafa pasti bisa jatuh cinta sama kamu."
"Maksud kamu apa, sih? Kamu mau ke mana, Al?"
"Aku punya penyakit jantung iskemik dan aku enggak tau kapan aku mati karena penyakit itu."
***