Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 38 - Pamit

Chapter 38 - Pamit

Hari pertama tanpa Shafa sangat sulit Alby lalui. Fahri melarangnya untuk menemui Shafa karena keadaan belum baik-baik saja. Alby menurut walau sulit dia lakukan. Mbok Dewi juga banyak memberikan saran dan masukan yang sedikit membuat Alby merasa masih ada harapan untuk dapat kembali bersama dengan Shafa.

"Selama ini, Mbak Shafa selalu cinta sama Mas Alby dalam situasi apapun. Dia bisa bertahan sendiri, Mas. Jadi, bibi sebenarnya enggak percaya kalau Mbak Shafa bisa semudah itu mau pisah sama Mas Alby."

"Jadi maksud Mbok Dewi, mungkin Shafa cuma lagi emosi dan bakal kembali sama saya lagi?"

"Iya, Mas. Coba sabar aja dulu. Biarin Mbak Shafa tenangin dirinya dulu. Nanti coba Mas Alby temuin dan ngomong baik-baik."

Setelah hampir 30 menit mengobrol, Alby yang cuti dari jadwal mengajar dan kuliahnya, pergi menemui Siska di penjara. Polisi berhasil menangkapnya 2 hari setelah laporan di terima dan Siska terbukti bersalah.

Penampilan Siska sangat berubah. Saat SMP, Alby jatuh cinta padanya karena selalu perhatian, polos, dan wajahnya yang manis dengan kulit putih bersih. Berbeda dengan hari itu. Siska terlihat lusuh, berantakan dan lebih kurus dari sebelumnya.

Alby masih mencoba tenang. Berbicara dengan tenang dan pelan, padahal dalam hati ingin sekali marah dan menyiksa wanita di hadapannya itu.

"Bagi aku ini adil. Aku enggak bisa dapetin kamu jadi Shafa juga harus merasakannya. Eh, tau-tau kamu beneran pisah sama dia."

"Kamu pikir, Shafa akan diam aja? Dia udah berubah. Dia pasti akan lakukan apapun buat balas perbuatan kamu."

"Silahkan kalau bisa. Aku enggak percaya kalau dia bisa."

Ponselnya berdering. Alby mengangkatnya setelah meminta izin pada polisi yang sedang berjaga. "Halo, Pa? Ada apa?"

"Kamu buka pesan yang Papa kirim, buru."

Alby mengeceknya segera. Sungguh diluar dugaan. Shafa benar-benar melakukannya. Alby menunjukkannya pada Siska dan respon mereka sama.

"Kurang ajar! Shafa!!!!!!!"

Yang mereka lihat adalah sebuah banner bertuliskan 'Hati-hati ada pelakor' ditambah dengan banyak foto Siska di dalamnya. Banner itu sudah tersebar ke semua media sosial karena ulah Shafa dengan maksud balas dendam.

"Kamu liat sendiri, 'kan? Dia bukan Shafa yang dulu. Mungkin dia akan lakuin hal yang lebih dari ini. Kamu liat aja nanti."

***

Shafa hanya mengurung diri di kamar. Pikirannya terus berputar tentang bagaimana cara membalaskan dendamnya pada Siska. Shafa sadar kalau dirinya sudah berubah. Luka yang dia rasakan membuatnya ingin melukai orang yang sudah melukainya.

"Sekarang tinggal Alby. Aku harus lakuin apa, ya?" Bahkan, Shafa tidak lagi memakai embel-embel 'Mas' pada nama mantan suaminya itu.

"Shafa? Kak Dinda boleh masuk?"

"Mau ngapain?"

"Mau ngobrol sama kamu."

"Masuk aja."

Dinda masuk setelah dipersilahkan. Dia ikut bersandar di kasur bersama adik iparnya tersebut. "Kamu lagi ngapain?"

"Enggak ngapa-ngapain."

"Kamu yang buat banner itu?"

"Iya. Aku juga bayar banyak orang buat sebar banner itu. Kenapa? Kak Dinda mau ceramahin aku kayak Kak Galih? Kalau iya, mending Kak Dinda keluar aja dari sini. Aku enggak mau denger," cetus Shafa sambil memainkan ponselnya.

"Perceraian kamu sama Alby udah selesai?"

"Tinggal sidang besok lusa."

"Kakak seneng kamu bisa ambil keputusan terbaik menurut kamu. Itu keputusan terbaik kamu, 'kan?"

"Iya, lah. Cuma orang bodoh yang masih mau bertahan setelah disakiti."

"Kamu inget enggak perasaan saat kehilangan ayah dan ibu?"

Shafa terdiam dengan pandangan yang tidak lagi tertuju pada layar ponselnya. "Aku mau lupain perasaan itu. Tapi enggak bisa."

"Terus setelah kehilangan mereka, kamu masih cinta sama mereka?"

"Mereka mencintai aku sampai meninggal. Jadi, mana mungkin sekarang aku enggak cinta sama mereka?"

"Apa kamu tersiksa setiap inget akan hal bahagia yang udah pernah kamu lakuin sama mereka?"

"Aku ... aku sangat tersiksa setiap inget hal itu."

"Mungkin itu yang Alby rasain sekarang?"

Saat nama Alby disebut, Shafa kembali tersadar. "Hah, dia lagi. Aku bilang, kalau Kak Dinda mau ceramah soal itu, mending keluar dari kamar aku." Shafa kembali memainkan ponselnya.

"Alby pasti akan selalu inget gimana rasanya saat kehilangan kamu. Posisinya, dia masih cinta sama kamu sampai kamu pergi dari hidupnya. Dia pasti tersiksa setiap inget hal-hal bahagia yang dia lalui bersama kamu. Sekarang, Alby udah merasakan perasaan kehilangan yang kamu rasakan. Apa selama ini, cuma luka yang dia kasih ke kamu? Apa enggak ada kasih sayang dan cinta yang dia kasih? Apa kamu mau terus menyiksa dia dengan perasaan kehilangan itu?"

"Dari mana Kak Dinda bisa tau kalau dia merasakan semua hal itu?"

"Kalau dia tulus, dia pasti masih mencintai kamu setelah sudah kehilangan kamu."

"Buktinya?"

"Kamu perlu bukti? Apa itu artinya kamu masih cinta sama dia? Kamu penasaran sama perasaan dia?"

"Hah?"

"Iya. Kamu enggak akan minta bukti kalau kamu udah enggak cinta sama dia. Harusnya kamu mengelak dan enggak peduli lagi. Apa lagi minta bukti tentang masih atau enggak dia mencintai kamu."

"Udahlah, Kak. Aku males bales ini. Mending Kak Dinda pergi dari sini."

Dinda memegang kedua tangan Shafa dan ponselnya terjatuh diatas pahanya. "Jujur sama Kakak. Kamu masih cinta sama Alby, 'kan? Kamu enggak bener-bener mau pisah sama dia, 'kan?"

***

Semenjak jauh dari Alby, tidurnya tidak pernah nyenyak. Dipikirannya selalu ada hal yang sulit dihilangkan. Entah apa, tapi Shafa merasa sangat setres. Setelah mendengar kakak iparnya ucapkan kemarin, bukan hanya pikiran tapi hati Shafa sedikit terbuka. Dia mulai bisa kembali memikirkan hal lain selain cara membalaskan dendamnya.

"Apa aku harus temuin dia?"

"Shafa! Ada tamu!" Suara itu perlahan terdengar semakin jelas. "Shaf? Ada tamu, tuh." Dinda sudah berada tepat di depan pintu kamar Shafa.

"Aku enggak terima tamu."

Dinda masuk tanpa izin. Dia mendekati Shafa dan bicara perlahan. "Ada Alby. Dia mau ketemu sama kamu."

Awalnya, Shafa akan langsung benci bahkan saat baru mendengar nama Alby. Tapi kali itu, dia hanya bisa diam memandang Dinda. Ada sedikit rasa ingin bertemu dengannya. Hanya sedikit.

"Temuin dia, Shaf. Dia pasti sulit meyakinkan dirinya untuk bisa dateng ke sini. Sebenci apapun, kamu harus bisa hargai dia."

"Mau apa dia ke sini?"

"Kakak enggak tau. Kamu temui dia kalau mau tau."

Tersadar lagi. Shafa kembali menolak. "Enggak. Aku enggak mau ketemu sama dia. Jangan paksa aku, Kak. Aku tetep enggak mau."

Tanpa bicara apapun lagi, Dinda keluar dari kamar yang sedikit berantakan itu. Walau menolak dengan kuat, hati Shafa bertolak belakang dengan ucapannya. Dia ingin menemui Alby, tapi penuh pertimbangan.

"Shafa?"

Suara itu. Suara yang sering dia dengar dan baru terdengar kembali setelah beberapa bulan lamanya. Perlahan, Shafa mengarahkan pandangnya pada pria yang jalan perlahan mendekatinya.

"Aku enggak kasih kamu izin untuk masuk ke sini! Pergi kamu dari sini!"

"Aku ke sini cuma mau berterima kasih atas semua kesabaran kamu. Aku banyak merasakan kebahagiaan dan cinta saat bersama kamu."

"Aku bilang, pergi dari sini!"

"Aku mau minta maaf, tapi kamu pasti udah males dengernya. Jadi, aku mau pamit aja. Sebelum kamu suruh pergi, aku emang udah punya niat untuk pergi. Jauh dari kamu, jauh dari kamar ini, jauh dari rumah ini, jauh dari kota ini, jauh dari negara ini, dan jauh dari hati kamu. Aku pengen banget ngomong ke kamu untuk enggak perlu nunggu aku kembali. Tapi, kamu pasti enggak akan nunggu aku. Untuk persidangan cerai kita, aku udah pasrah. Aku serahkan semuanya ke kamu. Jaga diri kamu baik-baik. Jangan lagi ketemu pria seperti aku. Kamu wanita yang baik, jadi temui pria yang baik juga. Aku pergi."

Tubuh tinggi dan sedikit berotot yang pernah sangat Shafa sukai, perlahan menjauh dari hadapannya. Shafa terdiam, masih mendengarkan ucapan yang sudah selesai diucapkan. Butiran air mata jatuh satu persatu dan semakin deras. Tapi, Shafa terus menahan dirinya untuk tetap di posisi. Tidak ingin mengejar atau mencegahnya untuk pergi.

***