Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 37 - Dendam Shafa

Chapter 37 - Dendam Shafa

"Apa salah aku, Mas? Kenapa aku selalu kehilangan orang-orang yang aku cinta?! Kenapa?!!!"

Shafa marah besar saat tau dia kembali kehilangan anak dikandungannya. Fahri, Galih, dan Mbok Dewi pun ikut menangis dan ikut merasakan hal yang Shafa rasakan. Bukan hal yang mudah untuk bisa ikhlas dan bangkit setelah kehilangan banyak orang tercinta.

"Daripada orang-orang dekatku mati, mending aku aja yang mati!"

Walau Alby memeluknya, Shafa dapat memberontak karena tenaganya begitu kuat. "Sayang, tenang dulu. Tenangin diri kamu dulu."

"Lepas!" Shafa menampar Alby untuk pertama kalinya. "Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang bikin hidup aku jadi kayak gini! Setelah nikah sama kamu, kedua orang tua aku meninggal! Kamu juga udah hancurin hidup sahabat aku sampai dia meninggal. Mama kamu yang jahat itu, banyak nyakitin aku dan sampai bikin anak aku meninggal juga! Ini semua karena kamu! Bukan aku, tapi kamu yang pembawa sial! Kamu yang pembawa sial!!!"

Sakit. Sangat sakit. Apa yang Shafa tuturkan sungguh menyayat hati Alby karena itu pertama kalinya Shafa berkata sangat kasar padanya. Alby hanya diam dan mencerna ucapan Shafa yang memang ada benarnya. Alby sudah salah langkah sejak awal. Memang dia penyebab semua luka dalam rumah tangga mereka.

"Shafa, maafin aku. Maaf aku udah ...."

"Kerjaan kamu emang cuma minta maaf terus! Bosen aku dengernya! Emang dasar kamu suami yang cuma bisa nyakitin. Kalau tau gini, aku enggak akan pernah mau nikah sama kamu. Nyesel aku," ungkap Shafa dengan emosi yang meluap. Itu bukan seperti Shafa yang mereka kenal.

"Hey, Shafa. Kamu enggak boleh ngomong gitu." Galih menyingkirkan Alby dari hadapan Shafa. Dia membelai rambut adiknya itu dengan lembut. "Sabar, Shaf. Ayah sama ibu enggak pernah ngajarin kamu ngomong kasar kayak gitu."

"Aku enggak peduli. Suruh dia pergi dari sini, Kak."

"Shafa, dengerin Kakak. Kamu ...."

"Pergi dari sini! Pergi!!!!"

Bersama Alby, Fahri ikut keluar dari ruangan itu. Mereka tersinggung dengan ucapan Shafa, tapi tidak dapat marah. Menyisakan Galih dan Mbok Dewi di sana. Wanita tua itu mendekati Shafa.

"Mbak Shafa, sabar. Istighfar, Mbak. Jangan terhasut bisikan setan. Mbak Shafa yang Mbok kenal enggak sekasar ini. Pasti ini semua ulah setan yang menghasut, Mbak."

"Enggak. Ini aku yang sekarang. Aku udah terlalu banyak terluka karena dia. Aku udah terlalu sabar, udah terlalu baik selama ini sama orang-orang yang udah nyakitin aku. Aku enggak bisa gini terus. Aku harus berubah, Mbok."

Galih tidak percaya kalau itu benar adiknya. Wajah dan mata Shafa terlihat berubah seperti bukan Shafa yang sebenarnya. "Bener kata Mbok Dewi. Sadar, Shafa. Kamu itu anak yang baik, bukan jahat seperti ini."

"Aku akan bales perbuatan mereka yang udah nyakitin aku. Aku janji sama diri aku sendiri. Liat aja nanti."

***

Setelah seminggu di rumah sakit, Shafa pulang dengan aura yang berbeda. Ada suami dan papa mertua yang menunggu Shafa. Namun, Shafa terlihat sudah berubah dari raut wajahnya yang sinis, tidak ramah seperti sebelumnya.

"Shaf, aku seneng kamu udah pulang."

Alby bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Dia mendekati Shafa dan merangkulnya lembut. Dengan cepat Shafa melepaskan rangkulan itu dengan kasar.

"Enggak usah pegang-pegang," pinta Shafa.

"Shafa, ada roti bakar keju kesukaan kamu. Kita makan bareng, yuk?" ajak Fahri dengan bujukan.

"Terima kasih. Tapi saya udah kenyang." Kalau pada mertuanya itu, ucapan Shafa masih sedikit lebih sopan.

Wanita cantik berusia hampir 26 tahun itu masuk ke dalam kamarnya. Dia memasukkan semua baju dan barang-barang miliknya ke dalam koper dan tas. Alby melihatnya dari depan kamar. Atur napas lebih dulu sebelum menegur sang istri.

"Kamu mau ngapain, Sayang? Mau ke mana?"

"Aku mau pergi dari sini."

Awalnya mereka berdiri dengan banyak jarak. Tapi Alby mendekat dan mengambil kedua tangan Shafa. "Tolong jangan pergi, Shaf. Kita ini suami istri. Kita harus tinggal sama-sama."

"Makannya itu. Aku pergi dari sini karena mau pisah sama kamu. Aku mau kita cerai."

Deg. Kalimat itu lebih sakit dari kalimat-kalimat menyakitkan sebelumnya. Shafa melepaskan genggaman Alby dan kembali merapikan barang-barangnya. Setelahnya, dia pergi dan Alby kembali mencegahnya.

"Aku enggak mau pisah sama kamu. Aku cinta sama kamu. Tolong maafin semua kesalahan aku. Aku bersumpah akan bener-bener berubah jadi lebih baik. Aku janji akan bahagiain kamu. Aku janji, Shaf."

"Lepas!"

Walau keberatan, Shafa terus berusaha menurunkan kopernya ke lantai bawa. Alby terus memohon tapi Shafa tidak menggubrisnya. Sampai akhirnya dia memegang kaki Shafa, berlutut untuk memohon di depan Fahri, Galih, dan Mbok Dewi.

"Jangan tinggalin aku, Shaf. Aku enggak mau pisah sama kamu. Aku mohon. Tolong, aku mohon."

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Shafa malah menarik kakinya dengan kuat sampai terlepas dari tangan Alby. Tidak ada senyum yang terpancar di bibir Shafa. Tidak juga ada air mata yang membasahi pipinya. Shafa benar-benar berubah.

"Memang, aku pernah sangat mencintai kamu. Aku pernah sangat takut kehilangan kamu. Aku juga pernah sangat bersyukur memiliki kamu sebagai suami aku. Tapi, rasa kecewa lebih besar dari semua itu dan nyatanya, kamu bukan suami terbaikku. Aku tetap mau pisah kamu. Aku urus surat perceraian kita," tutur Shafa.

***

Perasaan marah lebih besar dari sedih dan kecewa. Siska sudah berada di dalam penjara akibat kesalahannya sendiri. Alby mendatanginya dengan kekesalan yang teramat.

"Ini pertama kalinya kamu temuin aku di penjara. Ada perlu apa, Al?"

"Rasanya aku belum puas liat kamu ada di penjara karena udah bikin anak aku meninggal. Bukan cuma itu. Aku juga kehilangan Shafa dan calon keluarga kecilku. Karena ulah kamu, aku kehilangan semuanya. Adanya kamu di penjara ini, belum cukup adil buat aku. Aku mau kamu dapat ganjaran yang lebih dari semua ini."

"Apa? Kehilangan keluarga? Aku udah enggak punya adik ataupun orang tua. Kehilangan harta? Aku udah enggak punya apa-apa. Kehilangan cinta? Setelah kejadian ini, aku trauma akan cinta. Jadi, aku harus kehilangan apa lagi setelah aku udah enggak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi?"

"Diri kamu. Kamu harus kehilangan diri kamu. Itu pun belum cukup bikin aku puas. Tapi setidaknya, aku lihat kamu udah mati."

"Anggap aja aku udah mati, Al. Aku juga merasa kalau diri aku udah mati."

"Kamu sadar enggak, sih, sama semua kesalahan yang kamu perbuat?"

Alby masih mencoba tenang. Berbicara dengan tenang dan pelan, padahal dalam hati ingin sekali marah dan menyiksa wanita di hadapannya itu.

"Bagi aku ini adil. Aku enggak bisa dapetin kamu dan Shafa juga harus merasakannya. Eh, tau-tau kamu beneran pisah sama dia."

"Kamu pikir, Shafa akan diam aja? Dia udah berubah. Dia pasti akan lakukan apapun buat balas perbuatan kamu."

"Silahkan kalau bisa. Aku enggak percaya kalau dia bisa."

Ponselnya berdering. Alby mengangkatnya setelah meminta izin pada polisi yang sedang berjaga. "Halo, Pa. Ada apa?"

"Kamu buka pesan yang Papa kirim, buru."

Alby mengeceknya segera. Sungguh diluar dugaan. Shafa benar-benar melakukannya. Alby menunjukkannya pada Siska dan respon mereka sama.

"Kurang ajar! Shafa!!!!!!!"

***