5 bulan berlalu. Shafa belum terbiasa dengan kehamilannya. Dia sering merasa pusing, mual, emosi yang tidak stabil, dan lain-lain. Karena Shafa sulit tidur, Alby jadi mengikutinya untuk menemaninya. Kalau dihitung, mereka tidur kurang dari 8 jam. Apalagi pagi itu Alby harus pergi ke kampus dan siangnya pergi mengajar sampai sore.
"Jangan ke mana-mana, ya? Kalau ada apa-apa, langsung kasih tau aku."
"Iya, Mas. Bosen aku denger kamu ngomong gitu terus. Sampai hapal aku."
Alby tersenyum kemudian mencium kening, pipi, dan terakhir bibir sang istri. "Mau aku beliin apa?"
"Eum ... cimol sama roti bakar rasa blueberry."
"Siap! Nanti aku beliin."
Selama di jalan, Alby merasa seperti diikuti sebuah mobil sampai ke kampusnya. Mereka sama-sama keluar dari mobil dan ternyata itu Siska. Wanita itu yang mengikuti Alby sejak keluar dari komplek perumahannya.
"Alby!" Siska berlari mengejarnya, tapi Alby menghindarinya. "Al, tunggu sebentar." Tangannya menarik Alby dan menggenggamnya erat.
Spontan Alby melepasnya. "Ngapain kamu ke sini?"
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Aku cuma bisa ketemu sama kamu di sini."
"Ngomong apa?"
"Al, aku udah berusaha untuk lupain kamu beberapa bulan belakangan. Tapi enggak bisa. Ini bukan salah aku karena aku udah berusaha untuk enggak cinta sama kamu. Makin hari aku malah makin kangen sama kamu."
"Terus kamu mau apa?" tanya Alby singkat.
"Aku mau kamu tau betapa setianya aku. Kamu cinta pertama aku, Al. Setelah putus dari kamu saat SMP, aku enggak bisa jatuh cinta sama siapapun lagi. Aku serius. Aku janji akan kasih kebahagiaan yang teramat untuk kamu. Tolong hargain aku."
"Kamu mau dihargai setelah kamu berusaha untuk merebut suami orang? Kamu wanita, sama kayak Shafa. Harusnya kamu bisa rasain apa yang bakal Shafa rasain nantinya."
"Aku dan Shafa beda. Aku enggak peduli, Al. Aku mohon, kasih aku setidaknya sedikit harapan untuk bisa dapetin kamu."
"Sedikitpun aku enggak akan pernah kasih harapan ke kamu." Alby mulai emosi dan nada bicaranya mulai tidak enak di dengar. Tapi, dia masih menahan amarahnya. "Asal kamu tau aja. Sekarang, aku jauh lebih bahagia dari sebelumnya. Kebahagiaan ini enggak pernah aku rasain dan Shafa sumber kebahagiaan itu."
"Alby ...."
"Bagi aku, enggak ada satupun wanita yang lebih sempurna dari Shafa, sekalipun mamaku. Dan kamu, jangan berjanji sama aku untuk bisa kasih aku kebahagiaan yang tiada tara. Karena bagi aku, Shafa lebih sempurna dari siapapun." Alby bahkan sampai menatap Siska dengan kesal. "Kamu enggak ada apa-apanya dibanding Shafa. Jadi, berhenti sampai di sini, Siska. Jangan permalukan diri kamu sendiri."
"Kamu tega banget ngomong gitu sama aku?"
"Karena kamu udah berubah. Kamu bukan Siska yang aku kenal. Kamu sekarang jadi jahat, licik, dan keras kepala. Makannya aku enggak bisa jatuh cinta sama kamu lagi."
"Kalau gitu, aku akan berubah demi kamu. Aku janji."
"Tapi enggak akan sesempurna Shafa."
***
Saat sore menjelang malam, Shafa mulai merasa pegal-pegal dan sakit di perutnya. Untung ada Mbok Dewi yang selalu siap mengurus Shafa saat Alby tidak ada. Kedatangan seorang tamu membuat Mbok Dewi menghentikan pijatan di pinggang majikannya itu.
"Mbak Siska, ya?" tanya Mbok Dewi.
"Iya, saya mau ketemu Shafa."
"Ada perlu apa, Mbak?"
"Mau nengok aja."
"Maaf, Mbak. Udah izin sama Mas Alby?"
"Izin?"
"Iya, Mbak."
Alby betul-betul menjaga Shafa. Bahkan Alby meminta Mbok Dewi untuk tidak mengizinkan siapapun datang bertamu ke rumahnya tanpa menghubunginya lebih dulu.
"Udah, dong. Saya udah izin ke Alby. Jadi, sekarang saya boleh masuk?"
Mbok Dewi sebenarnya ragu, namun tetap mengizinkan Siska masuk. Shafa ada di ruang tengah, sedang duduk sambil mengelus-elus perutnya.
"Shafa?"
"Mbak Siska? Sini, Mbak."
Siska duduk di samping Shafa dan ikut mengelus perut besar itu. "kamu baik-baik aja, Shaf?"
"Iya, Mbak. Ada apa Mbak Siska dateng ke sini?"
"Saya mau ngomong sesuatu sama kamu Tapi sebelumnya aku mau minta maaf dulu. Ini bukan kemauan aku, tapi ini jalannya takdir."
"Ada apa, sih, Mbak?"
Siska memegang kedua tangan Shafa dengan lembut. "Sebenarnya, sulit buat aku jujur soal ini. Aku dan Alby pernah pacaran saat SMP. Sampai sekarang, aku masih mencintai dia. Cuma dia satu-satunya penyemangat aku untuk bertahan hidup setelah kehilangan semua orang yang aku cinta, Shaf. Kamu paham maksud aku, 'kan?"
Tentu saja Shafa paham. Dia juga telah kehilangan sahabat, anak, dan kedua orang tuanya. Jika tidak ada Alby, mungkin hidupnya akan hancur dan ternyata Siska juga merasakan hal itu.
"Aku tau rasanya, Mbak. Tapi, kenapa harus Mas Alby orangnya? Dia itu suami aku, Mbak."
"Aku tau. Aku juga udah berusaha bertahun-tahun untuk lupain dia, tapi gagal."
"Jadi apa yang Mbak Siska mau sekarang?" tanya Shafa sambil menangis. "Aku lagi hamil, Mbak. Kenapa Mbak Siska tega ungkapin semuanya disaat kondisi aku lagi hamil gini? Apa yang Mbak Siska mau?"
"Aku cuma mau kamu tau yang sebenarnya karena aku udah enggak tahan pendam semuanya sendiri.".
"Kalau gitu, Mbak Siska mau berjuang untuk dapetin Mas Alby atau mau menunggu aku pisah sama dia?
"Kamu enggak perlu kasih pilihan ke aku. Apapun kondisinya, aku akan tetep cinta sama dia."
"Aku pikir Mbak Siska wanita yang baik, ternyata perebut suami orang. Maksud Mbak jelasin semua ini ke aku supaya aku dan mas Alby pisah gitu? Enggak akan! Aku dan suamiku enggak akan pisah, Mbak!"
Siska tersulut emosi. Dia mendorong Shafa sampai terjatuh dan membentur anak tangga. "Kamu yang merebut Alby dari aku! Aku yang kenal Alby lebih dulu. Kalau aja kamu enggak ada, Alby pasti akan jatuh cinta ketika bertemu aku lagi setelah sekian lama."
"Aw, sakit!"
Darah keluar mengucur ke kaki Shafa. Mbok Dewi yang ada di dapur dan tidak berani ikut campur, langsung menolong Shafa. "Mbak, kita ke rumah sakit aja sekarang, ya? Biar saya panggil ambulan dulu."
Mbak Dewi ingin meminta tolong pada Siska, tapi wanita itu sudah pergi tanpa pamit. "Keterlaluan Mbak Siska!"
Setelah menelpon ambulan, Mbok Dewi langsung menelpon Alby. Tidak peduli apa kesibukan yang sedang Alby lakukan.
"Halo, Mas Alby?"
"Ada apa, Mbok?"
"Ketubannya Mbak Shafa pecah, Mas. Tapi saya udah panggil ambulan dari rumah sakit Permata Husada."
"Saya ke sana sekarang," jawab Alby tanpa basa-basi lagi.
Ambulans datang dan Shafa segera dibawa ke rumah sakit. Dia meringis sakit dan Mbak Dewi coba menenangkannya. "Mbak, tahan sebentar lagi, ya? Sabar, ya, Mbak?"
"Sakit, Mbok. Aduh, sakit banget."
Shafa segera dibawa masuk ke IGD. Tidak lama setelahnya Alby datang dengan keringat bercucuran. "Gimana keadaan Shafa, Mbok?"
"Belum ada info apa-apa, Mas."
"Kok bisa ini sampai terjadi, Mbok?"
"Maaf, Mas. Ini semua karena Mbak Siska. Salah saya juga karena kasih izin dia untuk masuk, soalnya dia bilang udah izin ke Mas Alby."
"Siska udah kelewatan. Keterlaluan!"
***