Tidak ada bosannya memuji betapa cantik wanita dihadapannya. Namun, Shafa tetap saja merasa tidak pantas dimiliki Alby. Padahal Alby yang seharusnya merasa begitu karena Shafa lebih pantas bersanding dengan pria yang jauh lebih baik darinya.
"Aku emang bukan pria yang baik, tapi aku akan berusaha jadi yang terbaik buat kamu untuk menebus semua kesalahan aku," ucap Alby pada Shafa yang tertidur pulas.
Alby beranjak dari ranjang dan memakai pakaiannya. Melihat pintunya sedikit terbuka, "Loh, dari tadi pintunya enggak dikunci, ya?"
Kaki jenjangnya menuruni dua anak tangga sekaligus. Belum sampai di lantai dasar, langkah Alby terhenti kala mendengar keributan di ruang tengah. "Ada apaan, sih?"
"Saya masih tau diri. Enggak kayak kamu. Udah tau Alby punya istri, masih aja di deketin."
"Ada juga kamu. Udah tau Shafa punya suami, masih aja ikut campur urusan rumah tangga mereka. Kamu suka, 'kan, sama Shafa?"
Suara Rendi dan Siska dapat Alby kenali. Dia bersembunyi dibalik dinding dan diam-diam mendengarkan ocehan mereka dengan perasaan deg-degan.
"Kalau iya kenapa? Kamu juga suka, 'kan, sama Alby?!"
"Kalau iya kenapa?"
Apa yang didengarnya membuat Alby tertegun kaget. "Rendi suka sama Shafa?"
Pengakuan Siska tidak membuat Alby kaget karena dia sudah menyangka sejak awal mereka bertemu setelah sekian lama. Tapi, pengakuan Rendi yang menyukai Shafa lebih dari sahabat sangat membuat Alby kaget sekaligus kesal.
"Rendi!" Kedatangan Alby membuat Siska dan Rendi berhenti bicara. "Kamu serius?"
"A-alby? Kamu denger ...."
"Mas Alby, tolong, Mas!"
Teriakan Mbok Dewi dari lantai dua terdengar sangat kencang. Tanpa pikir panjang, Alby berlari menaiki anak tangga sekaligus 3 dengan kaki panjangnya. Siska dan Rendi menyusul karena panik dan penasaran.
"Ada apa, Mbok?" tanya Alby sambil menggantikan posisi Mbok Dewi yang menjadikan tangannya sebagai bantalan.
"Mbak Shafa pingsan. Tadi saya coba bangunin karena harus minum obat. Tapi enggak bangun-bangun, Mas," tutur Mbok Dewi.
"Shafa? Shaf?" Pipi Shafa yang sedikit gembul ditepuk lembut oleh Alby.
***
Rendi dan Siska menunggu di luar ruangan tanpa mengobrol. Ketika Alby dan Shafa keluar bersama dengan dokter yang memeriksa, senyuman Alby membuat mereka penasaran.
"Shaf, kamu enggak apa-apa?" tanya Rendi yang langsung dilirik Alby.
"Enggak apa-apa, kok, Ren."
"Shafa sakit apa?" Siska bertanya seolah peduli.
"Bukan sakit, tapi Shafa hamil." Jawaban Alby membuat mereka kaget dan saling melirik. "Shaf, kamu mau langsung pulang?"
"Iya, aku mau istirahat, Mas. Kepala aku masih pusing."
Mereka pun pulang dengan mobil yang sama. Beda dengan Shafa dan Alby yang sedang bahagia, Siska dan Rendi malah merasa hancur karena kehadiran anak tersebut. Rendi berpikir dia harus segera melupakan perasaan cintanya pada Shafa, tapi Siska malah bertekad untuk tetap mencintai Alby.
Saat sampai di rumah, Alby dan Shafa langsung masuk ke kamar meninggalkan Siska dan Rendi di halaman depan. Dua orang yang tidak ikut bahagia itu saling menatap dengan tajam.
"Shafa hamil. Jadi kamu harus berhenti sampai di sini," pinta Rendi.
"Berhenti? Mana mungkin?"
"Kesempatan kamu dapetin Alby semakin enggak mungkin. Alby kelihatan makin mencintai Shafa. Jadi mending kamu berhenti sekarang atau kamu bakal makin terluka?"
"Itu bukan apa-apa. Saya udah sering terluka. Saya udah kehilangan semua orang yang saya cintai. Tapi saat kembali ketemu Alby, saya sadar kalau masih ada satu orang yang saya cintai yaitu dia. Jadi, mana mungkin saya lepasin dia gitu aja? Tentu saya enggak mau kehilangan orang yang saya cintai lagi."
"Tapi nyatanya kamu udah kehilangan Alby sejak dia menikah sama Shafa."
"Akan ada saatnya saya bisa dapetin dia lagi. Saya cuma harus sabar dan itu bukan hal yang sulit buat saya. Mending kamu urus diri kamu sendiri. Yakini diri kamu, mau berjuang atau mau berhenti sekarang?"
"Kamu bener-bener ...."
"Cukup." Kembali Alby datang dengan tatapan dinginnya. "Kalian apa-apaan, sih? Kalian enggak akan bisa dapetin aku atau Shafa. Kalian enggak bisa hancurin hubungan kita. Tolong, jangan bikin masalah baru dalam rumah tangga aku."
"Tapi, Al. Aku berhak untuk mencintai siapapun," ucap Siska.
"Tapi kamu enggak berhak merebut suami orang. Aku harap kamu enggak punya niat kayak gitu, Siska."
Rendi berusaha untuk menahan emosinya, tapi tidak berhasil. "Alby, aku enggak bisa berhenti mencintai Shafa. Aku pikir, aku bisa lupain dia setelah kita punya pasangan masing-masing. Nyatanya sampai sekarang aku masih mencintai Shafa lebih dari sahabat. Enggak mudah buat aku lupain dia."
Rasanya sangat kesal mendengar pernyataan mereka. Alby yang emosional berusaha untuk menahannya, belajar untuk lebih bersabar demi Shafa. Rendi memalingkan pandangannya karena jujur dia merasa bersalah, tapi Siska terus menatap Alby dengan penuh harapan.
"Ini yang aku dan Shafa nanti-nanti setelah kehilangan anak kita sebelumnya. Aku mau bener-bener jaga Shafa dan calon anak kita. Aku mau bahagiakan Shafa. Mau menjadikan keluarga kita penuh kebahagiaan. Tolong, jangan rusak semuanya."
"Tapi, Al. Enggak mudah buat aku lupain kamu. Kamu juga harus bisa ngertiin aku," Siska bahkan berani memegang tangan Alby.
***
Shafa tidur sangat pulas semalam. Alby tidak mungkin membangunkannya untuk memberitahu kalau Siska sudah pergi. Rendi mengantarnya ke sebuah kosan milik temannya.
Alby tidak bisa tidur. Perasaannya campur aduk antara bahagia dan takut. Tentu saja bahagia karena Shafa hamil, tapi juga takut kalau kejadian sebelumnya terulang lagi. Ditambah masalah Siska dan Rendi.
Lagi-lagi Alby menatap Shafa dengan kagum. Dia memainkan bibir Shafa pelan-pelan. "Sayang, bangun. Aku mau berangkat kerja."
Karena sudah tidur pulas, jadi Shafa bisa dengan mudah bangun. "Eum?" Matanya masih menyipit tapi bisa melihat Alby yang sudah rapi. "Kamu udah mau berangkat?"
"Iya."
"Aduh, aku kesiangan banget, ya, bangunnya?"
"Enggak apa-apa. Tapi lain kali, kamu bangun pagi dan olahraga kecil. Berjemur di halaman juga."
Kepalanya terangkat agar dapat mencium bibir sang suami diatasnya. "Pulangnya beliin aku mie ayam, ya?"
"Iya, nanti aku beliin. Oh, iya, Siska udah pergi. Rendi yang antar dia ke kosan punya temannya."
Kedua kalinya di pagi itu, Shafa mencium Alby seperti kecanduan. "Kamu hati-hati, ya, di jalan? Oh, jangan lupa kabarin papa dan Kak Galih."
"Iya, Sayang. Kamu jangan kecapean di rumah, ya? Jangan keluar rumah sendirian dan tanpa izin ke aku."
Baru saja Shafa ingin mencium lagi, tapi Alby lebih dulu melakukannya. Dia bahkan mencium bibir wanita miliknya itu dengan cukup lama. Merasakan nikmatnya jatuh cinta yang sebenarnya.
"Sayang, kamu pilih aku atau Rendi?"
Pertanyaan itu sempat membuat Shafa bingung. "Kenapa kamu tanya gitu?" Tapi, dia tidak mencurigai apapun.
"Aku mau tau aja."
"Aku pilih kamu, lah. Rendi cuma sahabat aku. Buat apa kamu cemburu?"
"Kalau Rendi suka sama kamu lebih dari sahabat gimana?"
"Enggak mungkin, Mas. Kamu harus percaya itu," jawab Shafa yang diakhiri dengan mencolek bibir suaminya. "Kalau kamu, pilih aku atau Mbak Siska?"
"Kok, Siska, sih? Aku cuma temenan sama dia."
"Kalau Mbak Siska suka sama kamu gimana?" Shafa bertanya tanpa tau kenyataannya.
"Aku enggak peduli. Pokoknya aku cuma cinta sama kamu."
"Ini cuma misalnya, ya? Kalau misal aku pergi, apa kamu bakal tetap cinta sama aku?"
"Selamanya, aku bakal tetap cinta sama kamu. Bahkan sampai aku mati."
"Hus, jangan ngomong gitu, dong? Aku lagi hamil, nih."
"Sebaliknya, kalau aku yang pergi apa kamu bakal tetap cinta sama aku?"
"Enggak, lah. Aku butuh pasangan untuk jaga aku dan anak kita." Maksud Shafa hanya bercanda, tapi Alby langsung berubah jadi serius. "Aku cuma bercanda, Mas. Jangan marah, ya? Hehehe."
***