Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 34 - Sama-sama Cemburu

Chapter 34 - Sama-sama Cemburu

"Sayang, kamu yakin mau pergi sekarang? Udah enggak sakit kakinya kalau dibuat jalan?" Alby mengelus kaki Shafa dengan sedikit pijatan.

"Enggak, Mas. Udah enakan badan aku. Pokoknya kita harus pergi sekarang."

Alby memperlihatkan rasa sayangnya pada sang istri. Beberapa kali tangan kirinya mencium tangan Shafa juga membelai rambut panjang sang istri. Setelah orang tuanya pergi, hanya Alby yang membuatnya merasa sangat dicintai. Tapi, sampai kapan perasaan itu akan Shafa rasakan?

Sebuah pemakaman umum yang sangat luas itu adalah rumah terakhir Yunus dan Fatim. Pasti mereka sangat bahagia melihat anak dan menantunya datang setelah sekian lama. Dibantu Alby, Shafa duduk di antara makam ayah dan ibunya.

"Maafin aku karena enggak bisa bahagiakan Shafa. Aku udah terlalu sering nyakitin Shafa. Aku minta maaf, Ayah, Ibu. Tapi aku janji akan perbaiki semua kesalahan aku selama ini. Aku akan berusaha untuk mencintai dan membahagiakan Shafa. Aku janji."

Apa ucapannya itu sungguhan? Itu yang menjadi pertanyaan satu-satunya di hati Shafa sambil melihat sang suami yang duduk disampingnya. Apakah kesalahan Alby separah itu sampai-sampai Shafa tidak bisa lagi mempercayainya?

"Mas, aku boleh tanya sesuatu?"

"Apa, Sayang?"

"Soal Siska teman SMP kamu yang kemarin kamu ceritain, serius kamu udah enggak suka sama dia?"

Alby tertawa kecil dengan pertanyaan Shafa yang serius. "Sayang, aku jujur sama kamu, ya, di depan ayah dan ibu. Aku udah enggak ada perasaan apapun ke Siska. Itu zaman SMP, Sayang. Udah lama banget. Itu cinta monyet. Kalau sekarang, aku cuma cinta sama kamu, Shafa. Kamu bisa percaya?"

"Terus, kenapa kamu masih perhatian sama dia?"

"Waktu SMP, aku deket banget sama orang tuanya, Shaf. Mereka baik dan selalu bantu aku kalau lagi ada masalah keluarga. Sekarang, rasanya aku enggak tau diri banget kalau enggak bantu Siska."

"Apa kamu cemburu sama Rendi? Karena selama ini, aku dan Rendi deket banget, 'kan?"

"Awalnya aku cemburu, tapi sekarang biasa aja karena dia sahabat kamu dari kecil. Tapi kalau Kevin, aku enggak mau kamu deket-deket sama dia."

"Aku cuma sekedar kenal, kok, sama dia."

"Kayaknya dia suka sama kamu. Terus, dia ganteng pula. Ya, aku takut kamu suka sama dia."

"Ih, mana mungkin? Toh, suami aku jauh lebih ganteng. Itu salah satu alasan kenapa ibu jodohin aku sama kamu. Iya, 'kan, Bu?" Shafa mengelus batu nisan sang ibu.

Setelah hampir 1 jam berbincang di sana, mereka memutuskan untuk pulang karena Shafa harus beristirahat. Awalnya tidak ada niat untuk mampir, tapi Shafa merasa haus jadi mereka pergi ke sebuah restoran yang ada di luar pemakaman.

"Shaf, itu kayak Siska, deh?"

"Siska teman kamu? Coba kamu panggil?"

"Siska!" Mereka mendekati seorang wanita dengan membawa tas besar ditangannya. "Kamu mau ke mana bawa tas gede gitu?"

***

Selama diperjalanan, Alby tidak hanya sibuk mengemudi, tapi juga sibuk memegang tangan Shafa beberapa kali dan mengelus kepala sang istri. Siska yang duduk di bangku tengah sedikit merasa risih melihatnya. Tapi Shafa tidak peka akan hal itu.

Sampailah mereka di rumah yang cukup besar dengan perpaduan warna abu dan putih. Siska tertegun melihat betapa bagusnya rumah tersebut. "Wah, rumah ini yang dulu kamu impikan banget, ya, Al? Akhirnya kamu bisa punya sekarang."

"Ini rumah papa aku. Rumah aku ada di Malang. Ayo, kita masuk?"

Siska duduk di sofa yang terbilang mahal harganya. "Wah, empuk banget, Al? Lebih empuk dari kasur aku," ucap Siska dengan gurauan.

"Mbak Siska mau minum apa? Atau mau nyemil juga?"

Belum juga Siska menjawabnya, Alby menggendong Shafa tanpa pikir panjang. "Sayang, kamu harus istirahat. Enggak usah pergi-pergi ke dapur. Biar Mbok Dewi aja yang bikin."

Dari awal, Alby seperti berusaha untuk memperlihatkan ke Siska betapa cintanya dia pada Shafa. Alasannya karena ingin Siska melupakan masa lalu mereka dan menerima kenyataan kalau mereka tidak berjodoh.

"Mas, kamu jangan gitu, dong? Enggak enak diliat temen kamu," ucap Shaf yang terduduk dipinggiran kasur.

"Suka-suka aku, dong? Misal ketemu Kevin, aku juga mau cium kamu di depan dia."

Mwah! Bibir Alby mendarat ke bibir ranum Shafa tanpa aba-aba. "Kok bibir kamu rasanya kayak ...."

"Kayak?"

"Coba sini aku rasain lagi."

Tangan Shafa memegang belakang kepala pria tampan dihadapannya, kemudian menariknya agar mendekat. Mata mereka secara spontan terpejam, merasakan nikmatnya hal yang hanya suami istri boleh lakukan.

Sweater ungu yang menutupi tubuh Shafa, perlahan terbuka karena ulah sang suami. Shafa mencoba untuk mencegahnya dengan mendorong tangan lebar Alby, tapi tidak berhasil.

"Ah, ah." Napasnya hampir habis, begitupun dengan Alby. "Mas, ini masih siang."

"Emangnya enggak boleh?"

"B-boleh, sih. Tapi ...."

Terlalu lama, Alby sudah terlanjur bernafsu. Shafa melakukannya sedikit karena terpaksa. Dia berusaha menerima semua yang akan Alby lakukan padanya. Tapi ada satu kesalahan besar yang mereka lakukan, yaitu pintu kamar yang tidak tertutup rapat.

Seorang wanita yang jadi penghuni sementara di rumah itu, awalnya hanya tidak sengaja mendengar suara bising di kamar yang dia lewati. Menyadari pintunya tidak tertutup rapat, rasa penasaran membuat Siska memutuskan untuk mengintip.

"Ha?"

***

Malam-malam Rendi datang dengan membawa martabak keju susu kesukaan sahabatnya. Tapi, dia belum juga bertemu dengan Shafa dan Alby karena Mbak Dewi tidak berani memanggilnya. Mereka tidak kunjung keluar kamar sejak siang hari. Jadi, Rendi hanya ditemani Siska untuk mengobrol.

"Kamu ngapain di sini?" Pertanyaan Rendi sedikit kurang sopan.

"Shafa suruh aku tinggal di sini sementara sampai saya dapat kontrakan nantinya."

"Shafa yang suruh?"

"Iya. Kenapa?"

"Tolong jangan bikin rumah tangga mereka renggang. Waktu itu mereka bertengkar gara-gara kamu. Alby udah menikah dan Shafa istrinya. Jangan kamu rebut Alby dari Shafa, paham?"

"Kok, ngomongnya gitu? Saya enggak ada niat sama sekali untuk merusak rumah tangga mereka. Saya enggak terima, ya, kamu tuduh kayak gitu?!"

Siska mulai tersulut emosi. Dia tidak terima dengan apa yang Rendi ucapkan. Memang, ucapannya itu terkesan kasar. Itu karena kesan pertemuan pertama mereka di rumah sakit yang membuat Rendi membenci wanita di dihadapannya itu.

"Kalau sampai kamu jatuh cinta sama Alby dan nyakitin Shafa, saya enggak akan tinggal diam."

"Kamu keliatan khawatir banget? Atau mungkin, kamu yang suka sama Shafa kali?"

"Ngaco."

"Kamu cuma jadiin saya alasan supaya rumah tangga mereka hancur dan kamu bisa dapetin Shafa. Iya, 'kan?"

"Saya masih tau diri. Enggak kayak kamu. Udah tau Alby punya istri, masih aja di deketin."

"Ada juga kamu. Udah tau Shafa punya suami, masih aja ikut campur urusan rumah tangga mereka. Kamu suka, 'kan, sama Shafa?"

"Kalau iya kenapa? Kamu juga suka, 'kan, sama Alby?!"

"Kalau iya kenapa?"

***