"Kak Dinda salah. Buktinya, aku masih sangat mencintai Shafa walaupun berkali-kali Shafa terluka karena aku. Ini nyata, aku beneran cinta sama Shafa. Aku sadar sama semua kesalahan aku dan aku coba perbaiki itu. Tapi, semuanya udah terlanjur, 'kan, Shaf? Kamu udah terlanjur enggak percaya lagi sama aku, 'kan?"
Cengengnya Shafa kembali terlihat. Dia merasa kasihan pada Alby entah apa alasannya. "Mas, anggap kamu enggak dengar apa-apa, ya? Lupain semua yang kamu dengar tadi."
"Aku seneng tanpa sengaja bisa tau isi hati kamu yang sebenernya, yang enggak akan pernah kamu ceritain ke aku. Tapi tolong, Shaf. Untuk yang terakhir kali, tolong percaya lagi sama aku. Aku udah berusaha untuk jujur sama kamu, untuk bisa bahagiain kamu, dan berusaha untuk enggak menyakiti kamu lagi."
Dinda menarik tangan Alby untuk mendekat pada Shafa, setelahnya dia keluar meninggalkan pasutri itu untuk menyelesaikan masalahnya. Alby yang biasanya selalu menyentuh Shafa dengan lembut bahkan tanpa izin, saat itu seperti tidak berani memulai.
Tangannya ditaruh diatas lutut dengan pandangan mata ke bawah, seperti malu untuk menatap Shafa. "Maafin aku, Shaf. Maaf karena aku cuma bisa minta maaf terus menerus. Itu karena aku enggak mau kamu marah dan tinggalin aku. Aku takut itu terjadi."
Satu tangan yang diimpus, menjadi tangan yang beruntung karena dapat menyentuh wajah dan bibir Alby yang sangat dikagumi banyak wanita, salah satunya Shafa.
Dia memegang wajah Alby, kemudian turun menyentuh bibir sang suami dan mengelusnya. "Sampai sekarang aku masih belum percaya kalau pria tampan ini milikku. Harusnya aku bangga, tapi kenapa aku menyia-nyiakannya?"
Shafa yang memulainya. Dia mencium bibir Alby beberapa kali, kemudian berhenti sejenak untuk menikmati. Mata mereka sama-sama terpejam, namun apakah hati mereka mengatakan hal yang sama?
Batin Alby berkata, "Kenapa aku baru merasakan takut kehilangan kamu setelah aku kehilangan kepercayaan dari kamu, Shaf? Aku ... aku bener-bener takut. Aku enggak mau kehilangan kamu."
Sedangkan batin Shafa berkata, "Setelah apa yang kamu lakuin ke aku, bagi aku arti cinta adalah luka. Aku pernah mendapatkan banyak cinta, lalu aku kehilangan semuanya. Aku takut terluka lagi. Aku juga takut kehilangan cinta lagi."
***
Setelah beberapa bulan di rumah sakit, Shafa akhirnya diizinkan pulang dengan luka di tubuh dan wajahnya yang sudah 80% sembuh. Alby menggendongnya menuju kamar, sambil beberapa kali mencium kening dan bibir Shafa.
"Mas, kamu masih hutang janji sama aku, loh?"
"Janji apa?" tanya Alby dengan tangan yang sibuk melepas ikat pinggangnya.
"Antar aku ke makan ibu dan ayah."
Selesai. Alby sudah membuka pakaiannya, menyisakan celana pendek dan tubuh tanpa baju. "Mau kapan kita ke sana?"
"Besok?"
"Oke."
Shafa menyingkir sedikit karena Alby tiduran disampingnya. "Pake baju, dong, Mas? Kebiasaan banget kamu, tuh."
"Gerah, Sayang. Panas banget."
Sifat manja Shafa kembali setelah sekian lama. Dia yang awalnya duduk bersandar di tempat tidur, perlahan merebahkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya pada tubuh sang suami.
"Kok, kamu enggak deg-degan lagi, sih? Dulu, setiap aku deketin, kamu selalu deg-degan?" Shafa masih mencoba merasakan detak jantung Alby.
"Karena sekarang kamu deketinnya kurang deket. Coba lebih deket lagi, deh?" Tangan yang awalnya dijadikan bantalan, dengan cepat mengubah posisi jadi memeluk Shafa.
"Ish, bisa aja modusnya!"
"Shaf, kita pacaran, yuk?"
"Eum?"
"Pacaran. Udah lama kita enggak pacaran, 'kan? Yuk, yuk!"
Alby memutar balikkan posisi. Shafa tidur terlentang dengan pakaian yang masih lengkap. "Tapi, Mas. Ada beberapa luka aku yang masih perih."
"Dih, emang kamu pikir aku mau ngapain?"
"Bukannya kamu mau ...."
Wajah Shafa memerah karena malu. Alby dapat melihatnya dengan jelas karena dia berada diatas Shafa. "Aku mau tanya sesuatu sama kamu."
"Apa?"
"Apa kamu enggak akan terluka kalau aku tinggalin?"
"Kenapa kamu tanya gitu, Mas?"
"Kenapa kamu enggak langsung jawab?"
Suasana yang awalnya terasa hangat dan bahagia, tiba-tiba berubah jadi canggung. Tapi, Shafa segera mengatasinya. Dia mengangkat kepalanya agar dapat mencium bibir Alby yang berada di atasnya.
"Kepercayaan kamu ke aku udah bener-bener hilang, ya, Shaf?"
Lagi, Shafa tidak menjawabnya dan malah mencium Alby seperti sebelumnya. Alby bangun. Dia duduk dipinggir kasur, sedikit jauh dari Shafa yang masih terlentang.
"Aku enggak nyangka kalau Rendi beneran enggak kasih tau kamu. Padahal, hari itu dia keliatan kesel banget."
"Tentang apa?" Shafa duduk disamping Alby.
"Dari awal aku mau jujur tapi tunggu waktu yang tepat. Mungkin, ini saatnya. Tapi sejujurnya, aku takut."
Tangannya yang kecil, berusaha menggenggam tangan Alby yang jauh lebih besar. "Kalau kamu jujur, seburuk apapun kejujuran kamu itu, aku akan berusaha ngerti, Mas."
"Tentang aku dan Siska, teman waktu SMP."
***
Siska benar-benar telah kehilangan semuanya. Orang tua, keluarga, dan hartanya. Dia bingung harus tinggal di mana. Baru satu hari ayahnya pergi, Siska sudah merasakan sulitnya kehidupan yang lebih sulit lagi. Bahkan, dia tidak pergi mengajar karena sibuk mencari tempat tinggal.
"Kalau aku minta tolong Alby lagi, enggak enak. Dia juga pasti lagi ada masalah sama istrinya gara-gara hari itu temenin aku di rumah sakit. Gimana, ya?"
Kakinya secara perlahan membawa Siska entah ke mana. Dia hanya berjalan tanpa tujuan, dibawah teriknya matahari yang hampir tengah hari. Maag kambuh membuat perutnya terasa sangat sakit. Padahal, Siska sudah makan nasi uduk pagi tadi.
"Ah, sakit banget."
"Siska?"
Alby seperti telah ditakdirkan untuk selalu ada disaat Siska butuh pertolongan. Namun kali itu Alby tidak sendirian. Ada Shafa yang berdiri disampingnya dengan tangan yang terus Alby genggam.
"Siska, kamu mau ke mana bawa tas gede gitu?" tanya Alby.
"Aku di usir dari kontrakan gara-gara sering nunggak. Dari tadi pagi, enggak ada kontrakan murah. Semua harganya diatas 1 juta perbulan, mahal."
Alby melirik Shafa dan istrinya itu melihat Sonya dengan wajah polosnya. "Kamu sakit, ya? Muka kamu pucat banget soalnya," ucap Shafa.
"Iya, maag aku kambuh. Sakit banget."
Genggaman Alby cukup erat, namun Shafa bisa melepaskannya dengan mudah. Dia meraih tangan Siska. "Kamu harus minum obat, habis itu makan. Yuk, kita makan di restoran ini?" Shafa menunjuk restoran yang ada di sampingnya.
"Ah, enggak usah repot-repot, aku ...."
"Ayo, Mbak." Tas Siska diambil oleh Shafa, lalu dia berikan pada Alby. "Bawain, Mas, hehehe."
Siska dan Alby beberapa kali saling lirik dengan canggung tanpa sepengetahuan Shafa. Tapi Alby tetap tidak mau jauh dari sang istri. Dia kembali menggenggam tangan Shafa atau sesekali merangkulnya.
"Mbak Siska mau makan apa?" Suara Shafa terdengar lembut, bahkan Siska sebagai wanita mengakuinya.
"Apa aja."
Shafa fokus pada menu yang dia pegang, memesan beberapa hidangan dengan teliti. Lagi. Siska melirik Alby yang berusaha untuk pura-pura tidak tau. Alby meraih pinggang Shafa dan mengusapnya pelan. Bukan maksud ingin membuat Siska cemburu, dia hanya ingin Siska tau kalau Shafa adalah istri yang dia cintai.
"Sayang, ini Siska yang aku ceritain kemarin. Dia teman SMP aku. Kebetulan banget kita ketemu, ya?"
Shafa mengulurkan tangan. "Halo, aku Shafa, istrinya Alby. Salam kenal, ya?"
Siska menjabatnya. "Aku Siska. Seneng bisa kenal sama kamu, Shafa. Kamu cantik banget. Pantes Alby mau sama kamu."
"Mas," Setelahnya, Shafa kembali bicara pada Alby. "gimana kalau Siska tinggal di rumah kita dulu, sampai dia dapet tempat tinggal lagi? Kamu mau enggak, Mbak?"
Kedua manusia yang duduk di kanan dan kiri Shafa terkejut bersamaan dengan pernyataan itu. "Sayang, kamu serius kasih izin?"
"Enggak usah repot-repot, Shafa. Aku bisa cari cara dan jalan keluarnya sendiri, kok."
Kedua kalinya Shafa memegang tangan Siska. "Aku tau rasanya kehilangan orang tua. Kamu pasti masih sangat berduka. Enggak apa-apa, kok, untuk sementara kamu tinggal di rumah kita dulu."
"Serius?"
***