Chereads / Suami Terbaikku / Chapter 32 - Isi Hati Shafa

Chapter 32 - Isi Hati Shafa

Kevin adalah mahasiswa semester 3 Fakultas Teknik di salah satu universitas swasta. Setelah lulus SMA, dia langsung bekerja agar dapat kuliah. Dia bekerja sebagai barista sampai saat itu.

Hari itu tidak ada jam kuliah pagi. Jadi, Kevin memutuskan untuk menjenguk Shafa dengan membawa buah-buahan yang dia beli semalam. Berkat Jihan, dia jadi tau banyak hal tentang Shafa.

Sebenarnya, dari luar ruangan tidak terdengar suara siapapun. Namun saat membuka pintu, ada seorang pria yang menemani Shafa. "Permisi? Aku boleh masuk, Shaf?"

"Iya, masuk aja. Ada apa kamu pagi-pagi banget udah ke sini?" tanya Shafa yang bersandar di ranjangnya.

"Kevin?"

"Loh, Rendi?"

Ternyata, Kevin dan Rendi adalah teman satu tongkrongan sewaktu SMA. Mereka sangat akrab saat itu dan mulai hilang komunikasi setelah lulus SMA karena Rendi pindah ke Malang.

"Kamu kenal sama Kevin, Shaf?" tanya Rendi.

"Iya, dikenalin sama Jihan. Baru beberapa hari lalu. Sebenernya aku baru tau juga kalau dia satu sekolah sama kita waktu SMA."

"Wah, bahaya, nih."

"Kenapa?" tanya Shafa dan Kevin bersamaan.

"Shafa udah tau, Vin?" Mata Rendi melirik Kevin dengan serius. "Ah, enggak usah dibahas. Cuma masa lalu."

"Iya, Shafa udah tau. Aku sendiri yang ngomong ke dia. Eh, Jihan, sih yang awalnya ngomong."

"Hah?" Rendi melongok.

"Soal perasaan aku ke Shafa, 'kan?"

Mata Rendi terbuka lebar sambil menatap Shafa. "Serius, Shaf?"

Anggukan Shafa menjawab pertanyaan Rendi. Mereka diam beberapa saat sambil saling menatap satu sama lain. Sejak dulu, tentu saja Rendi tau kalau Kevin menyukai sahabatnya itu. Namun karena Kevin termasuk dalam golongan siswa berandalan, tidak mungkin Rendi membantu Kevin untuk dekat dengan Shafa.

"Vin, kamu tau kalau Shafa udah nikah?" tanya Rendi kesekian kali.

"Udah. Shafa sendiri yang kasih tau. Tenang aja, aku enggak akan jadi perusak rumah tangga mereka. Lagi pula, aku takut nanti bakal ditonjok sama sahabatnya gara-gara deketin dia," gurau Kevin yang membuat Shafa tertawa karena sindirannya untuk Rendi.

"Emangnya Rendi pernah tonjok kamu, Vin?" Shafa bertanya sambil meminum air putih yang tersedia.

"Iya, pernah. Waktu itu aku cuma bercanda bilang ke Rendi kalau mau antar kamu pulang biar sekalian kenalan. Eh, belum apa-apa udah ditonjok aja sama dia."

Rendi bangkit dan berdiri menuju pintu. "Udah, lah, enggak usah bahas masa lalu."

Jedug!

"Aduh!" rintih Rendi sambil memegang kepalanya yang berciuman dengan pintu. "Aw ...."

"Eh, maaf, Ren. Aku enggak tau kalau ada kamu di situ. Maaf, ya?"

Ternyata, Galih adalah pelakunya. Kalau saja itu Kevin, pasti Rendi sudah menonjoknya tanpa berpikir lagi. "Iya, Kak, enggak apa-apa."

Dibalik itu, Galih kembali bisa melihat Shafa yang tertawa lepas setelah sekian lama, walau sesekali merintih perih karena luka di wajahnya. "Akhirnya bisa liat Shafa ketawa lagi," batin Galih.

***

Sungguh, Alby tidak ada niat untuk tidak mengajar hari itu. Dia juga sudah rapi dengan kemeja kerjanya. Namun, saat di jalan Siska menelponnya, mengabari kalau papanya kritis. Mana tega saat mendengar Siska menangis sendirian melihat keadaan papanya seperti itu. Tapi, mana mungkin juga Alby menemaninya tanpa sepengetahuan Shafa?

"Gimana, ya? Kayaknya, sekarang aku temuin Siska dulu, habis itu baru aku ceritain semuanya ke Shafa. Iya, aku harus jujur ke Shafa nanti. Toh, aku enggak macem-macem. Niat cuma mau tolong aja. Shafa pasti ngerti." Alby berusaha berpikir positif dengan niat baiknya.

Saat sampai di rumah sakit, Siska terduduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Alby berdiri di hadapannya sambil bertanya dengan pelan, "Kamu baik-baik aja? Yang sabar, ya?"

Siska mengangkat wajahnya yang penuh air mata. Matanya sembab, bibirnya jadi tebal, suaranya serak, dan rambutnya berantakan. Terlihat sangat menyedihkan bagi Alby.

"Papa kamu bakal baik-baik aja, kok. Kamu cuma perlu doain dia dan temenin dia, oke?"

"Papa aku meninggal, Al. Dia udah pergi tinggalin aku."

Kembali Siska menangis terisak-isak. Dadanya terasa sangat sesak dan kepalanya sangat pusing. Bukan Siska yang mengingkari janjinya, karena kali itu Alby yang memeluknya lebih dulu. Dia ikut berduka karena tau betul betapa berat perjuangan Siska yang merawat ayahnya dari dulu.

Tangannya yang besar mengelus punggung Siska dengan lembut. "Yang sabar, ya? Yang sabar. Papa kamu akan jauh lebih tenang di sana. Kamu yang sabar."

Siska tidak dapat berbicara karena sesegukan. Dia hanya terus menangis di punggung Alby sampai kemeja pria itu basah. Tapi, suara seseorang membuat Alby secara refleks melepaskan pelukannya.

"Siapa dia, Al?"

"Rendi?"

"Aku tanya, siapa dia?"

"Dia Siska, teman aku. Kita cuma teman, kok, Ren. Kamu jangan salah paham, ya?"

"Jadi, aku harus kasih tau ke Shafa atau enggak soal ini? Kayaknya, Shafa berhak dan harus tau. Iya, 'kan, Al?"

Alby mendekati Rendi yang berdiri tegak tidak jauh darinya. "Ren, tolong ngerti. Kamu harus liat keadaan yang sebenarnya."

"Apa?!"

"Perempuan itu, dia teman aku. Sama kayak hubungan antara kamu sama Shafa. Papanya dia baru aja meninggal. Makannya aku ke sini."

Walau sebenarnya kesal dan ingin sekali mengumpat, Rendi menahannya. "Shafa tau kalau kamu mau ke sini?"

"Enggak. Tapi, aku beneran berniat untuk kasih tau Shafa nanti."

"Halah. Udah ketahuan, baru punya niat kayak gitu."

"Enggak, Ren. Aku beneran enggak berniat bohongin Shafa, kok."

"Yaudah, jangan salahin aku kalau Shafa tau semua yang aku liat ini, ya?"

***

Kevin sudah pulang dan Galih harus pergi kerja. Untung ada Dinda–Kakak Ipar–yang menemaninya. Mereka menceritakan pengalaman rumah tangga masing-masing. Respon Dinda terhadap cerita Shafa sangat menyentuh.

"Shafa, cobaan dalam rumah tangga itu arti dari kenapa pernikahan harus dipersiapkan matang-matang. Bukan hanya mempersiapkan resepsi dan ijab kabulnya aja, melainkan juga persiapan fisik dan batin untuk menempuh hidup bersama-sama. Terlihat sabar, bukan berarti beneran sabar. Terlihat kuat, bukan berarti beneran kuat. Hal itu yang harus ditunjukin didepan orang-orang, karena aib dalam rumah tangga harus ditutup rapat-rapat. Tapi, bukan berarti kamu harus terus pura-pura dan bersembunyi dalam kepalsuan. Kamu juga harus punya tempat yang bisa kamu percaya sebagai wadah untuk menampung segala cerita dan keluhan kamu. Sekarang, kamu bisa, kok, percaya sama Kakak sebagai wadahnya."

Tanpa sadar Shafa meneteskan air matanya. Sejak menikah, dia jadi jauh dari sang ibu yang selalu memberinya nasihat. Saat kembali bertemu, wanita tercintanya itu telah pergi untuk selamanya. Shafa pikir, tidak akan ada lagi nasihat-nasihat untuk menguatkannya. Ternyata, kehadiran Dinda cukup walau tidak akan pernah menggantikan posisinya sang ibu di hidupnya.

"Sebenarnya aku udah capek, Kak, sama hubungan ini. Aku juga udah enggak bisa sepenuhnya percaya sama Mas Alby kayak dulu. Emang, aku percaya kalau dia bener-bener cinta sama aku. Tapi, aku ragu kalau cuma aku wanita yang dia cintai."

"Apa hubungan kalian itu menyakiti kamu, Shaf?"

"Aku juga bingung, Kak. Walau berkali-kali aku terluka karena pernikahan ini, tapi aku tetap aja bisa dan mau bertahan. Di satu sisi, aku enggak mau melepas Mas Alby karena rasanya kayak berat banget. Di sisi lain, aku berpikir kalau kepercayaan itu penting dalam sebuah hubungan dan hubungan kita ini udah enggak didasari dengan kepercayaan yang kuat lagi. Bagi aku, semuanya berubah."

"Shafa cantik," Dinda menyelipkan rambut Shafa ke telinga. "itu artinya kamu tulus cinta sama Alby. Kamu sulit melepaskan dia, walaupun berkali-kali terluka karena dia. Kamu berhak untuk curiga, tapi jangan berlebih. Dengerin penjelasan dia dan coba untuk omongin bareng-bareng, cari jalan keluarnya baik-baik."

"Kak Dinda ...." Shafa memeluk Dinda dengan nyaman.

"Menurut kamu, apa Alby bakal ninggalin kamu demi wanita lain yang kamu curigai?"

"Enggak!" Suara Alby yang berat terdengar seisi ruangan. "Sampai kapanpun, aku enggak akan tinggalin kamu, Shaf. Kalau kamu udah enggak tahan sama aku, silahkan kamu yang pergi. Kamu udah terlalu banyak terluka karena aku. Jadi, biarin kali ini aku yang terluka karena ditinggal oleh wanita yang aku cinta."

"Emangnya, menurut kamu aku bakal terluka kalau kamu tinggalin, Mas?"

***