Rendi langsung pergi ke Jakarta setelah mendapat kabar tentang Shafa. Setelah kehilangan Sonya, Rendi jadi sangat sensitif pada keadaan Shafa. Dia tidak mau kehilangan sahabatnya lagi.
"Aku bener-bener panik banget, Shaf. Tapi syukurlah kamu baik-baik aja."
"Kamu enggak ajak Jasmin ke sini?"
"Nanti aku ceritain semuanya kalau kamu udah sembuh."
"Ada apa, Ren? Rumah tangga kalian baik-baik aja, 'kan?"
"Makannya kamu cepet sembuh. Biar aku bisa ceritain semuanya."
Mereka akhirnya dapat mengobrol lagi setelah sekian lama. Hanya membicarakan hal yang tidak membuat Shafa drop. Tapi, Shafa malah memulainya disaat mereka tidak ada lagi bahan obrolan.
"Kak Galih mana?" tanya Shafa.
"Tadi pas aku dateng, dia lagi di luar. Terus bilang katanya mau pulang dulu. Kenapa?"
"Aku mau ceritain soal Mas Alby. Tapi, jangan ada yang tau selain kamu, ya?"
"Kenapa lagi? Dia nyakitin kamu lagi?!" Benar, 'kan? Rendi jadi lebih sensitif tentang hal yang berkemungkinan membuat Shafa tersakiti.
"Ren, tenang dulu. Sebenernya ini cuma kecurigaan aku aja. Mas Alby kayak lagi sembunyikan sesuatu dari aku."
"Huh, apa dia selingkuh lagi? Shaf, orang yang udah pernah selingkuh, pasti bakal susah tahan hawa nafsunya untuk enggak ngelakuin itu lagi."
"Kamu jangan ngomong gitu, dong? Aku bilang, ini cuma kecurigaan aku aja, kok."
"Terus, kamu mau diam aja?
"Aku mau minta tolong sama kamu untuk cari tau semuanya. Kamu mau bantu aku enggak?"
"Pasti aku bantu, lah. Mana mungkin aku diam aja?"
"Beberapa hari lalu, aku sempet berantem hebat sama Mas Alby. Dia bilang, 'Tadi aku sekalian lewat aja, Shaf'. Aku baru sadar, dia sekalian lewat karena habis dari mana coba? Sedangkan lokasi kampus dan sekolah tempat dia ngajar, posisinya jauh sama kafe es krim tempat kita ketemu waktu itu."
"Maksud kamu, dia keceplosan gitu?"
"Iya. Terus, dia juga enggak bahas apa-apa setelahnya. Yang bikin aku semakin curiga lagi, tadi Mas Alby teleponan sama seseorang yang minta tolong ke dia. Setelah itu, dia langsung pergi katanya mau ambil baju di rumah. Kayak ada yang dia sembunyikan gitu dari aku. Apa cuma perasaan aku aja, ya?"
"Shaf, jangan sampai Alby ngelakuin hal seperti apa yang Jasmin lakuin."
"Maksudnya?"
"Selingkuh. Jangan sampai Alby selingkuh kayak Jasmin."
***
Karena sudah waktunya untuk Shafa beristirahat, Rendi keluar dari ruangan itu. Dia sendiri sebenarnya sedang banyak pikiran. Jasmin berselingkuh dengan rekan kerjanya dan memilih meninggalkan Rendi, suaminya sendiri. Rasa kesal semakin menumpuk saat mendengar curhatan dari Shafa.
"Cowo brengsek!" Entah umpatan itu tertuju untuk selingkuhan Jasmin atau khusus untuk Alby.
"Rendi? Sampai dari kapan?"
Alby datang seakan tidak ada apa-apa. Padahal kenyataannya, Rendi benar-benar kesal walau hanya melihatnya. Tangannya menggenggam erat tangan Alby.
"Tolong jaga Shafa baik-baik, ya, Al? Jangan sakitin dia lagi. Shafa bener-bener cinta sama kamu. Tolong cintai dia juga." Walau usia mereka terpaut 3 tahun, Rendi memanggil Alby seperti seumuran dengannya.
"Iya, saya akan jaga dia lebih baik lagi."
"Jangan cuma di omongan. Buktiin." Rendi berbicara lebih serius lagi karena mulai menatap mata Alby lebih dekat. "Buktiin kalau kamu cuma cinta sama dia. Karena dia juga cintanya cuma sama kamu."
Sepertinya, Alby merasa ada yang tidak beres dengan Rendi. Wajahnya mulai pucat karena takut ada kesalahpahaman lagi. "I-iya, saya beneran cuma cinta sama Shafa, kok."
"Kamu sadar enggak? Kamu udah banyak nyakitin Shafa. Mulai dari kebohongan hubungan kamu sama Sonya, sampai perlakuan orang tua kamu terhadap Shafa. Kalau kamu sadar, tolong lindungi Shafa dari semua hal seperti itu. Jangan pernah tinggalin dia."
"Maksud kamu apa, sih, Ren? Dari tadi kamu kayak lagi sindir saya?" ucap Alby jadi sedikit lebih sopan karena kesal.
"Enggak nyindir, kok. Saya cuma peringati aja. Wajar, 'kan? Karena kamu pernah nyakitin Shafa, sahabat saya."
"Shafa itu istri saya. Kamu cuma sahabat dia, bukan orang tua, adik, atau kakaknya. Kamu enggak berhak ikut campur masalah rumah tangga saya, paham?"
Saat hendak masuk ke dalam kamar Shafa, langkah Alby terhenti di depan pintu. "Kenapa kesel? Ada yang disembunyikan, ya?" tanya Rendi dengan senyum smirk yang jarang sekali dia perlihatkan.
***
Rumah sakit benar-benar sunyi. Jika tidak memasang alarm, mungkin dia tidak akan bangun sepagi itu. Hari itu dia harus ngajar di pagi hari dan pulangnya langsung kuliah. Walau Shafa sudah tidur lebih awal darinya, tidak tega rasanya membangun Shafa yang masih tertidur lelap.
"Sayang, aku pergi dulu, ya? Nanti sore sepulang dari kampus, aku langsung ke sini."
Dia tidak membawa apa-apa lagi kecuali ponsel, dompet, kunci mobil. Di luar kamar, sudah ada Rendi yang datang. Berusaha untuk melupakan kejadian kemarin. Jadi, Alby lebih dulu menyapa Rendi.
"Rendi, saya titip Shafa, ya? Saya harus pergi ngajar dan kuliah. Sore nanti setelah selesai, saya langsung ke sini lagi."
"Iya, hati-hati di jalan. Ada Shafa yang nunggu kamu pulang."
Alby hanya mengangguk kemudian pergi. Tubuh tinggi dan besar itu sudah jauh dan tak terlihat lagi. Rendi segera memasuki kamar Shafa perlahan. Ternyata, Shafa sudah bangun dan sedang merenggangkan tangannya perlahan.
"Heh, jangan kayak gitu. Tunggu batuan dokter aja. Nanti ada yang sakit, loh?"
"Iya, iya."
"Shaf, aku enggak bisa lama di Jakarta. Paling 3 hari lagi aku balik ke Malang. Jadi, aku mulai cari tau tentang Alby dari sekarang, ya?"
"Iya, Ren. Terima kasih, ya?"
"Nanti kalau Kak Galih udah dateng, aku langsung pergi."
"Sekarang aja. Aku bisa sendiri di sini, kok. Sebentar lagi juga dokter dateng buat periksa aku."
Benar saja ada yang datang, tapi bukan dokter melainkan Kevin. "Permisi? Aku boleh masuk, Shaf?"
"Iya, masuk aja. Ada apa kamu pagi-pagi banget udah ke sini?"
"Kevin?"
Bukan hanya Rendi, Kevin juga terkejut melihat teman satu tongkrongannya sewaktu SMA ada di sana. "Loh, Rendi?"
***
Rendi bergegas pergi bukan setelah Kevin datang, tapi setelah Galih datang menyusul beberapa menit kemudian. Mana mungkin dia meninggalkan Shafa berduaan dengan temannya yang berandalan sewaktu SMA?
"Ren, tolong pikirin Shafa dulu. Fokus. Lupain dulu masalah kamu sama Jasmin. Sekarang fokus ke Shafa dulu, oke?" ucapnya pada diri sendiri sambil menyetir mobil.
Tempat tujuannya adalah tempat Alby mengajar yang Shafa beritahu. Rendi bingung harus ke mana dulu. Dia memutuskan untuk pergi ke kantin dan seperti diberi jalan oleh Tuhan, dia langsung mendapatkan kabar terpenting dihari itu tanpa harus mencarinya susah-susah.
"Ah, antara enak sama enggak kalau mata pelajaran Pak Alby jamkos, ya?"
"Iya, padahal pelajaran Pak Alby yang aku tunggu-tunggu."
Perbincangan dua siswi dihadapannya itu membuat Rendi berpikir sejenak. Tapi, otaknya masih lemot karena belum sarapan katanya. Akhirnya, Rendi kembali ke mobilnya untuk dapat berpikir lebih teliti.
"Pelajaran Pak Alby jamkos? Berarti, Alby hari ini enggak ngajar gitu? Terus, dia pergi ke mana, dong pagi ini? Atau ke kampusnya?"
Rendi bertanya pada Shafa di mana tempat Alby berkuliah. Karena rumah Alby dan Shafa lebih dekat dari sana, Rendi memutuskan untuk mengecek ke sana lebih dulu. Barang kali Alby masih di rumahnya
Dan benar. Rendi menemukan mobil Alby yang keluar dari kompleks perumahan. "Nah, itu dia! Ya Tuhan, terima kasih. Dari tadi, semuanya dipermudah banget."
Rendi mengikuti Alby dari belakang dan pikirannya campur aduk saat tau Alby berhenti di sebuah rumah sakit. Masalahnya, itu bukan rumah sakit tempat Shafa dirawat.
"Siapa yang sakit? Ngapain dia ke sana?"
Hatinya mulai panas. Emosinya mulai meluap. Ditambah saat melihat Alby menemui seorang wanita. Pikirannya masih berusaha positif. Tapi tidak berlaku lagi saat Alby memeluk wanita itu erat-erat, sambil membelai rambutnya dengan lembut.
"Kurang ajar! Siapa wanita itu?! Aku enggak bisa diam aja."
Sejak awal Rendi sudah memperingati Alby. Jadi tidak masalah, 'kan kalau dia melabrak Alby dan wanita itu secara langsung? Dengan langkah cepat dan emosinya yang terus dikontrol mengingat dia berada di rumah sakit, Alby berdiri di hadapan Alby yang sedang memeluk wanita itu.
"Siapa dia, Al?"
"Rendi?"
"Saya tanya, siapa dia?"
"Dia Siska, teman saya. Kita cuma teman, kok, Ren. Kamu jangan salah paham, ya?"
"Jadi, saya harus kasih tau ke Shafa atau enggak soal ini? Kayaknya, Shafa berhak dan harus tau. Iya, 'kan, Al?"
***