"Shafa!"
Suara itu asalnya dari luar rumah. Saat berdiri, Shafa melihat seorang pria di depan pagar rumahnya dengan mengendarai sepeda. "Kevin?"
"Aku pikir, aku salah orang. Ternyata kamu beneran tinggal di sini?"
Shafa mendekati pria itu. "Kamu ngapain di sini?"
"Rumah aku di komplek sebelah. Baru pindah beberapa hari lalu."
"Oh, gitu. Yaudah, aku masuk dulu." Dengan spontan, Shafa menepis tangan Kevin yang mencoba menariknya. "Kevin, aku minta maaf sebelumnya. Aku udah menikah dan sekarang tinggal di sini bareng suami aku. Aku enggak bermaksud apa-apa, kok. Maaf, ya?"
"Iya, aku udah tau dari Jihan. Tapi kamu mau, 'kan, jadi teman aku? Setidaknya kita berteman, Shaf."
"Iya, boleh."
"Awalnya, aku seneng karena bisa ketemu kamu lagi. Tau-tau, Jihan bilang kamu udah nikah. Jadi pupus lagi harapan aku. Tapi, aku seneng bisa kenalan sama kamu secara langsung. Enggak diam-diam kayak dulu."
"Maaf, k-kamu udah enggak ada rasa lagi sama aku, 'kan?"
Kevin menggelengkan kepalanya. Itu adalah arti dari apa yang Shafa ucapkan salah. Artinya, Kevin masih menyukainya. Shafa terdiam sejenak mencoba mencermati maksud Kevin.
"Kevin ...."
"Aku masih suka sama kamu. Tapi, aku enggak akan merebut kamu. Tenang aja."
"Terima kasih, ya, atas pengertiannya? Kalau gitu, aku mau ke warung dulu."
"Yaudah, aku juga mau pulang."
Bukannya benar-benar pulang, Kevin malah mengikuti Shafa diam-diam. Dia sungguh masih ada rasa, apalagi saat melihat Shafa yang semakin cantik.
"Shafa?!"
Karena jaraknya terlalu jauh dan hanya menggunakan sepeda, Kevin tidak dapat mengejar mobil yang membawa kabur Shafa. "Aduh, gimana, nih?"
***
Sudah tengah malam tapi mereka tidak bisa tidur karena terus memikirkan Shafa. Alby dan Galih menangis, cemas pada wanita yang mereka cintai. Polisi sudah langsung melakukan penyelidikan sesaat setelah laporan diterima. Fahri ikut bingung. Tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan selain berdoa dan menunggu kabar dari polisi.
"Pa, aku curiga sama seseorang. Apa mungkin mama pelakunya? Sampai sekarang, bukannya mama masih jadi buronan polisi, ya?"
"Sebenarnya, Papa juga curiga sama dia karena beberapa hari lalu saat pulang kerja, Papa liat dia di sekitaran depan komplek kamu. Cuma Papa pikir salah liat."
"Kalau sampai benar mama pelakunya, aku enggak akan pernah maafin dia."
"Papa harap, bukan mama kamu pelakunya. Papa enggak mau kamu benci sama mama kamu sendiri, sejahat apapun dia, Al."
"Permisi?"
Alby langsung bangun dan menemui tamu tersebut. "Ada apa tengah malam ke sini?"
"Saya mau ngomongin sesuatu."
Sebenarnya, Alby malas bertemu dengan pria itu karena sudah lancang mencoba untuk memegang tangan Shafa di depannya saat di kafe es krim waktu itu. Tapi, itu bukan saatnya untuk menginterogasinya.
Kevin dipersilahkan masuk, duduk bersama Fahri dan Galih. Anaknya sopan dan murah senyum. "Sebelumnya perkenalkan saya Kevin, temannya Shafa waktu SMA."
"Jadi, apa yang mau kamu omongin?" ucap Alby karena tak mau banyak basa-basi.
"Saya mau menawarkan diri untuk bantu mencari Shafa. Kebetulan, saya punya beberapa orang yang bisa saya suruh untuk mencarinya. Kalau bisa, saya juga mau minta kerjasama dari kalian. Karena pasti kalian juga enggak tenang, 'kan, kalau cuma diam aja?" tutur Kevin dengan baik.
***
Keesokan harinya di pagi hari, mata mereka masih terjaga walau sebenarnya sangat mengantuk. Alby semakin frustasi karena cemas dengan keadaan sang istri, begitupun dengan Galih dan Fahri.
"Pak, Mas, silahkan diminum tehnya. Saya juga udah buat sarapan, silahkan dimakan."
Mbok Dewi juga sama, tidak bisa tidur karena keadaan yang sedang terjadi. Dia sebenarnya merasa bersalah karena tidak bisa menjadi majikannya itu.
"Permisi?"
Sudah tau kalau itu Kevin, Alby berteriak mempersilahkannya masuk. "Masuk aja!"
Kedatangan Kevin seperti memberi harapan bagi Fahri. "Nak Kevin, kita bisa mulai cari Shafa sekarang?"
"Belum ada kabar dari polisi?" tanya Kevin pada 3 orang pria yang duduk didepannya.
"Belum. Makannya, kita mulai cari sekarang aja." Sangat terlihat kalau Fahri benar-benar mengkhawatirkan menantunya itu.
"Orang suruhan saya udah mulai mencari, Pak. Kita tunggu kabar dari mereka."
Mereka mulai meminum dan memakan sarapannya bersama. Di sana juga ada beberapa warga dan pak RT yang bertamu. Setelah hampir 20 menit, Alby izin untuk bersiap pergi mengajar karena ada tugas yang tidak bisa ditunda. Di kamar, dia kebingungan mencari kemejanya karena biasanya Shafa yang menyiapkan semuanya.
"Shaf, kamu di mana? Aku khawatir banget sama kamu. Aku bener-bener takut sekarang. Aku takut kamu kenapa-kenapa," gumam Alby pada dirinya sendiri.
Setelah selesai bersiap, Alby pergi dengan mata sembabnya. Selama diperjalanan, dia melihat kanan kiri barang kali menemukan Shafa. Namun, hingga sampai di sekolah juga tidak ada hasil.
Beberapa guru dan siswa bertanya-tanya karena melihat mata sembab Alby yang sangat terlihat. Tapi Alby hanya menjawabnya dengan candaan. Hanya pada Siska, Alby menceritakannya. Mereka masih berada di ruang guru disaat semua guru sudah memasuki kelas mengajarnya masing-masing.
"Al," Siska memegang tangan Alby dan satu tangannya lagi mengelus punggung pria itu. "kalau kamu mau nangis, temui aku. Kalau kamu cerita, kasih tau aku. Jangan dipendam aja. Aku akan selalu ada buat kamu, seperti kamu yang dulu selalu ada buat aku. Nanti, kita cari istri kamu, ya? Aku bakal bantu kamu, oke?"
***
Shafa merasakan sakit yang teramat pada seluruh tubuhnya. Kaki, tangan, dan lehernya diikat dengan tali tambang. Mata dan mulutnya ditutup kain yang sangat kotor dan bau. Berkali-kali dia dipukul, dijambak, dan ditampar.
"Ampun, Ma, sakit."
Iya, kecurigaan Alby dan Fahri benar. Pelakunya ada Hera, mertua Shafa sendiri. Merintih dan berteriak tidak ada gunanya. Semalaman sudah Shafa di siksa, rasanya sudah tidak kuat lagi.
"Kalau aja kamu nurut sama saya untuk gugurkan anak itu dan kalau aja kamu enggak ngadu ke anak saya tentang apa yang saya lakukan, enggak akan saya jadi buronan kayak gini! Saya capek! Saya setres gara-gara kamu!"
"Maaf, Ma. Tolong berhenti. Sakit, Ma."
"Biarin aja. Biar sekalian kamu mati."
Mendengar ada suara dari balik pintu belakang, Hera menyuruh orang suruhannya untuk mengecek. Di sisi lain, Hera sendiri yang menjambak rambut Shafa sampai rontok sembari tertawa. Benar, dia sudah setres tapi karena ulahnya sendiri.
"Diam di tempat!"
Kaget setengah mati. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Hera bersama 5 orang suruhannya berjongkok sambil mengangkat kedua tangan. Polisi dengan cepat langsung menyergap mereka dan membawanya ke dalam mobil.
"Ini semua gara-gara kamu! Dasar pembawa sial! Pembawa sial, argh!!!!!!!" umpat Hera pada menantunya yang sudah sangat lemah.
Kevin dan Galih juga orang-orang suruhan Kevin langsung masuk ke dalam rumah lusuh itu setelah polisi keluar membawa para pelaku. Sedangkan Alby dan Fahri, menangis melihat Hera yang sudah sangat berubah.
"Ma, kenapa Mama jadi sejahat ini? Ini kayak bukan Mama yang aku kenal. Mama yang lembut dan penyayang. Kenapa Mama jadi kayak gini?" tutur Alby dengan air mata yang terus mengalir, walau dia berusaha menahannya.
"Al, Mama kayak gini demi kamu. Karena Mana sayang sama kamu. Mama mau jaga kamu dan kasih yang terbaik buat kamu."
"Kamu salah jalan, Hera." Fahri mengusap air matanya. "Semenjak berteman sama nyai itu, kamu jadi berubah. Kamu salah mempercayai orang."
"Tolong Mama, Al. Mama enggak mau dipenjara!"
"Kamu bukan Mama aku. Mama aku orang baik, enggak seperti kamu."
***